CoP Health Equity
Stigma, Diskriminasi di Masyarakat dan Mereka yang Bertaruh Nyawa di Garda Depan
Bagaimana Ahli Kesehatan Masyarakat Dapat Menangani Stigma Terkait COVID-19 dan Memberikan Keadilan Bagi Semua Lapisan Masyarakat?
Pandemi COVID-19 dampaknya tidak hanya pada fasilitas kesehatan, namun juga pada masyarakat termasuk tenaga kesehatan. Munculnya wabah global ini telah menempatkan lembaga kesehatan masyarakat dalam kewaspadaan tinggi. Untuk praktisi kesehatan masyarakat, penting untuk mengidentifikasi risiko yang semakin meningkat terhadap kesehatan terkait dengan peningkatan stigma dan diskriminasi baik terhadap ras dan individu (pasien maupun tenaga kesehatan). Sebagai contoh, stigma dan diskriminasi dapat mengancam rasa aman dan kesejahteraan seseorang; untuk anak – anak dan remaja dapat memiliki dampak yang merugikan selama masa hidup. Stigma juga menghadirkan hambatan untuk mengakses layanan kesehatan dan sosial. Lebih khusus lagi, bukti menunjukkan bahwa banyak orang mungkin menunda mencari perawatan atau menghindari pengungkapan kondisi kesehatan karena takut ditolak fasilitas layanan atau diperlakukan dengan bias.
Berbagai diskriminasi yang dilakukan terhadap ras tertentu seperti tindakan intimidasi, serangan verbal dan fisik, penggusuran, gangguan yang sengaja ditargetkan, menghindari bisnis, petisi menentang dimasukkannya siswa di sekolah, dan transportasi online menolak untuk mengambil pelanggan ras tertentu. Di masyarakat, orang yang berpotensi terpapar COVID-19 juga harus menghadapi pengucilan dari tetangga meskipun hasil pemeriksaan negatif. Meskipun orang tersebut sudah melakukan isolasi mandiri, tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa menderita penyakit ini adalah sebuah aib, bahkan ada pula masyarakat yang menutup akses keluar masuk rumah yang bersangkutan dengan alasan agar tidak keluar rumah selama isolasi mandiri. Sebuah ironi bahwa anjuran pemerintah bertolak belakang dengan perlakuan warga yang semestinya bergotong royong untuk memerangi COVID-19. Pengucilan dan penghindaran menyebabkan kehilangan dalam kesempatan, pendapatan, dan kondisi sosial, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif terhadap status kesehatan karena kebangkrutan, isolasi sosial, isolasi fisik, stres, dan trauma. Bagi mereka yang mengalami diskriminasi terkait COVID-19, ada risiko jangka panjang terhadap kesehatan.
Meningkatnya kasus COVID-19 juga membuat tenaga kesehatan sangat beresiko untuk tertular bahkan meninggal. Pasien yang telah dirawat ada yang dapat sembuh dan kembali ke keluarga, namun apakah tenaga kesehatan dapat terus kuat dan kembali ke keluarga mereka? Setidaknya sampai saat ini ada 30 dokter dan 14 perawat telah meninggal akibat COVID-19. Tidak tersedianya APD sesuai standar, tidak terbukanya pasien terkait riwayat perjalanan menambah resiko bagi tenaga kesehatan. Orang tanpa gejala juga menjadi persoalan tersendiri, di sisi lain resiko penularan semakin tinggi terjadi di rumah sakit non rujukan COVID-19, rumah sakit swasta, klinik, dan puskesmas yang tidak disiapkan menangani COVID-19.
Peningkatan resiko terkait COVID-19 juga berhubungan dengan stigma dan diskriminasi. Tenaga kesehatan banyak berkorban untuk memerangi COVID-19, meskipun ada dari mereka yang tidak tertular, namun tidak sedikit yang kehilangan momen bersama keluarga. Untuk melindungi diri, mereka menggunakan APD lengkap dan mengisolasi diri sementara waktu di fasilitas yang sudah disediakan. Bagi tenaga kesehatan yang terkonfirmasi COVID-19 bahkan meninggal juga menghadapi tantangan tersendiri dengan ditolaknya jenazah mereka oleh masyarakat sekitar.
Dalam melindungi, mempromosikan, dan mengoptimalkan kesehatan masyarakat, praktisi dan tenaga kesehatan masyarakat perlu menyadari bagaimana stigma dan diskriminasi yang terkait dengan COVID-19 dapat berdampak pada kesehatan masyarakat. Para pemimpin dapat memberikan prioritas dan perhatian yang sesuai untuk masalah penting ini dengan tindakan spesifik seperti :
- Mengambil tindakan untuk mengatasi stigma.
Tenaga kesehatan masyarakat dapat merefleksikan peran mereka untuk mengidentifikasi potensi bias yang penting untuk mencerminkan peran mereka, menggunakan bahasa destigmatisasi, dan bijaksana dalam bertindak. Strategi – strategi tersebut juga merupakan kunci untuk menghilangkan stigma organisasi dan mengoptimalkan pemberian layanan kebutuhan spesifik dan kesehatan kepada masyarakat yang terkena dampak. Dukungan data melalui pengawasan untuk dampak di masa depan akan sangat berharga untuk mengidentifikasi akar penyebab.
- Melibatkan masyarakat.
Praktisi kesehatan masyarakat dapat mempromosikan tindakan solidaritas dengan masyarakat yang terkena dampak melalui pekerjaan dan kehidupan sehari – hari mereka. Bekerja dengan mitra dan masyarakat lintas sektoral akan membantu mengatasi dampak kesehatan dari tindakan stigmatisasi. Misalnya, lembaga kesehatan masyarakat dapat bekerja dengan dewan sekolah atau layanan masyarakat untuk mengenali dan menanggapi situasi yang mungkin timbul.
- Menawarkan pelatihan yang berkelanjutan kepada penyedia layanan kesehatan.
Stigma dan diskriminasi yang telah muncul setelah COVID-19 semakin memvalidasi kebutuhan meningkatkan kapasitas kesehatan masyarakat untuk kesetaraan ras dan keamanan. Pelatihan anti stigma dan anti penindasan akan lebih melengkapi para praktisi untuk menanggapi kebutuhan saat ini sambil juga mempersiapkan tim mereka untuk masalah kesehatan masyarakat di masa depan.
- Membuat pesan kesehatan yang lebih positif.
Sebagai pemangku kepentingan, perlu untuk melakukan komunikasi untuk:
- Memastikan bahwa pesan tersampaikan.
- Membawa pesan kredibel terhadap ancaman stigmatisasi dan diskriminasi.
- Menentang rasisme secara terbuka dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mempromosikan keamanan dengan tujuan mengurangi dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan.
Dengan langkah – langkah yang dapat diambil untuk mengatasi dampak kesehatan dari wabah COVID-19, termasuk stigma dan diskriminasi, akan memiliki nilai besar bagi upaya kesehatan masyarakat di masa depan (Elisabeth Listyani).
Sumber :
http://nccdh.ca/blog/entry/stigma-discrimination-health-impacts-and-covid-19.
Kompas, Rabu, 15 April 2020, Stigma COVID-19, Bisik-bisik Tetangga Lebih Berbahaya.
Kompas, Senin, 20 April 2020, Benahi Perlindungan Terhadap Tenaga Kesehatan.
Kompas, Senin, 20 April 2020, Mereka Bertaruh Nyawa di Garis Depan.