Reportase
Investasi dan Keberlangsungan RS – RS Swasta di Era BPJS
Sabtu, 26 Agustus 2016
Sampai saat ini keterlibatan rumah sakit – rumah sakit swasta pada era BPJS yang dimulai 2014 meliputi 2 kategori yaitu rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS maupun rumah sakit swasta yang tidak atau belum bersedia bekerja sama dengan BPJS. Kondisi tersebut menjadi topik menarik yang dibahas pada seminar Investasi dan Keberlangsungan Rumah Sakit – Rumah Sakit Swasta di Era BPJS dengan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D sebagai pembicara, dr. Hans Wijaya, MM sebagai pembahas dan praktisi di National Hospital Surabaya, serta Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M. Kes, MAS sebagai moderator. Seminar tersebut diselenggarakan di Kantor Dinas Kesehatan Jawa Tengah dan diikuti secara online oleh peserta dari Magister Manajemen Rumah Sakit FK UGM serta berbagai titik online lainnya.
Tujuan dari seminar ini adalah membahas situasi pembiayaan kesehatan di Indonesia, posisi rumah sakit swasta dan pendanaannya dari sisi konteks Laporan Ernst and Young, serta masalah filosofis terkait hal tersebut. BPJS di Jawa Tengah terus mengalami defisit. Di sisi lain, pada 2015 / 2016 perusahaan konsultan internasional Ernst and Young menerbitkan laporan yang mengejutkan dimana intinya E&Y menganjurkan bahwa era JKN saat ini adalah saat tepat untuk melakukan investasi dalam usaha rumah sakit di Indonesia. Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia menunjukkan 2 kutub yang berbeda, 10% masyarakat Indonesia masuk kategori kaya sedangkan sisanya merupakan kategori miskin yang mengakibatkan permintaan dan pembiayaan terhadap pelayanan rumah sakit akan berbeda di berbagai kelompok tersebut.
Pertumbuhan rumah sakit swasta profit lebih agresif dibandingkan rumah sakit swasta non profit. Rumah sakit tersebut tergabung dalam rumah sakit jejaring dan biasanya berbentuk PT yang sebagian bekerja sama dengan BPJS dan sebagian tidak atau belum. Dari sisi ekonomi, posisi rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS masuk dalam sistem pembiayaan oleh pajak, sedangkan posisi rumah sakit swasta yang non BPJS tidak tergantung dari sumber pajak dan menerapkan pendekatan demand supply murni. Kekuatan finansial rumah sakit – rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS berasal dari subsidi dan dana filantropis maupun pendapatan dari pasien. Rumah sakit ini berupaya mengungguli pesaingnya dengan pemberian jasa layanan yang lebih murah dengan mutu yang sama atau lebih baik. Namun yang menjadi perhatian adalah rumah sakit – rumah sakit berbasis keagamaan kristiani masih belum memaksimalkan pendanaan filantropis padahal cikal bakal rumah sakit keagamaan tersebut dari pendanaan filantropis. Rumah sakit keagamaan di Australia sudah memanfaatkan jalur filantropis untuk pendanaan operasional, mereka mempunyai financing unit untuk mengurus sumber-sumber donor tersebut. Bahkan rumah sakit jejaring keagamaan islam di Indonesia saat ini sudah mulai menggunakan pendanaan filantropis tersebut tandem dengan BPJS.
Di sisi lain, rumah sakit – rumah sakit non BPJS cenderung memberikan pelayanan yang berbeda untuk masyarakat dengan ekonomi kuat. Pelayanan personalized medicine, jenis obat, dan kenyamanan tinggi lebih banyak diberikan oleh rumah sakit jenis ini. Tentunya rumah sakit tersebut didukung oleh kondisi finansial yang kuat seperti perusahaan – perusahaan konglomerasi yang melakukan ekspansi usahanya di bidang perumahsakitan. Seperti National Hospital di Surabaya yang mengambil pasar sasaran masyarakat ekonomi kuat sebesar 10% tersebut. Bermain di blue ocean dimana pesaing belum banyak, NH harus tetap berinovasi dan berinvestasi baik di alat medis, tim medis, maupun tim manajemen yang kuat. Berfokus pada pasar kelas atas, NH terus menciptakan nilai lain dengan memfasilitasi SDM yang ingin berinovasi. Dengan prospek pertumbuhan penerimaan sebesar 60% per tahun dan EBITDA > 30%, NH menjadi daya tarik tersendiri bagi para investor yang memiliki private equity untuk berinvestasi di rumah sakit tersebut.
Pola pelayanan kesehatan di Indonesia setelah 4 tahun berjalan saat ini mengarah pada sistem two tiers. Tier 1 merupakan rumah sakit non BPJS yang melayani masyarakat ekonomi kuat dan tier 2 merupakan rumah sakit bekerja sama dengan BPJS yang melayani masyarakat miskin. Pro dan kontra mengenai sistem ini dimana sistem tersebut dipandang dapat mengurangi beban BPJS, masyarakat kaya diarahkan untuk membayar sendiri melalui asuransi kesehatan komersial ataupun out of pocket, dana PBI dapat dipakai sepenuhnya untuk masyarakat miskin, dan dapat memberikan dana tambahan untuk sektor rumah sakit. Namun di sisi lain menimbulkan diskriminasi pelayanan dan tidak mencerminkan kesetaraan. Implikasinya hal tersebut membutuhkan sumber daya yang cukup dan tenaga medis harus dapat membagi diri.
Merujuk data bahwa capital flight Indonesia di bidang kesehatan sebesar USD 1.8 billion / tahun belum termasuk biaya lainnya dan hasil dari Seminar Hospital Management Asia yang baru saja diselenggarakan di Manila menggambarkan bahwa Singapura, Thailand, dan Malaysia merupakan pelaku usaha perumahsakitan sedangkan Indonesia sebagai pasarnya. Melihat kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia hanya ingin menjadi pasar atau menjadi pemain ?
Oleh : Elisabeth Listyani
Silakan materi dapat di download di laman ini juga.
Untuk Materi bisa didownload dimana?