Menyongsong HKN ke 50 dan Perubahan Sistem Pelayanan Kesehatan Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
15 Oktober 2015 – 18 Oktober 2015
Hari 1 :: Hari 2 :: Hari 3 :: Hari 4
Paripurna 4 : Dampak Implementasi JKN Terhadap Provider Swasta
Pada hari kedua ini sesi awal lebih banyak membahas mengenai dampak implementasi JKN terhadap rumah sakit swasta yang bermitra dengan BPJS. Sesi ini dimoderatori oleh Drs. Odang Muchtar, MBA dengan beberapa narasumber yaitu dr. Chairul R. Nasution, Sp.PD, K-GEH, Finasim, FACP, M. Kes (Direktur BUK Rujukan Kemenkes RI), dr. Mohammad Edison, MM, AAK (Kepala Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan), dr. Daniel B. Wibowo, M. Kes (PERSI/Direktur RS Panti Wilasa Dr. Cipto), dan Laurensia, MSc (IBI).
Sudah tepatkan klasifikasi RS kaitannya dengan tarif INA CBG’s? Topik tersebut yang dibahas oleh dr. Chairul R. Nasution, Sp.PD, K-GEH, Finasim, FACP, M. Kes. yang mengemukakan bahwa sustainabilitas program JKN tergantung pada kendali mutu dan kendali biaya. Per 3 Oktober 2014 peserta JKN telah mencapai 129.3 juta jiwa dan per 10 Oktober 2014 rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS sebanyak 1,592 buah. Rumah sakit harus menjalankan kendali mutu dan kendali biaya agar dapat berkembang di era JKN. Banyak rumah sakit yang berlomba untuk menaikkan kelas rumah sakit agar nilai klaimnya meningkat.
Rumah sakit swasta belum banyak yang menjadi mitra BPJS karena merasa klaim tidak sesuai, misal pelayanan di rumah sakit tersebut sudah termasuk tersier namun klasifikasi rumah sakit masih tipe C. Untuk itu, Dr. Chairul menyarankan perlunya penyesuaian tarif dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti fasilitas rumah sakit, SDM, maupun status rumah sakit (pendidikan dan non pendidikan, serta clinical pathway). Severity level yang berkaitan dengan clinical pathway perlu menjadi perhatian agar PPK 2 dan PPK 3 tidak memberikan pelayanan yang overlap di rumah sakit yang pada akhirnya dapat menjadi temuan. Evaluasi severity level dengan menggunakan credentialing apakah sudah tepat bagi rumah sakit dalam menerapkan CBG’s sehingga dapat meningkatkan tipe rumah sakit.
Skenario penyesuaian tarif 2014 perlu dilakukan dengan melihat kondisi keuangan BPJS (rasio klaim), pendapatan rumah sakit per tahun, keadilan tarif antar rumah sakit, sistem rujukan berdasar pola penyakit, pola rujukan, dan utilisasi penyakit, serta peningkatan tipe rumah sakit tipe C dan D dinaikkan menjadi 80%. Untuk tarif rawat jalan terdapat 30 tarif yang disesuaikan berdasar kelompok tarif JKN yaitu rumah sakit tipe A, B, C, D, RSUP nasional, dan rumah sakit rujukan nasional.
Tarif BPJS perlu disesuaikan dengan pertimbangan faktor yang mempengaruhi biaya rumah sakit seperti penggunaan teknologi kedokteran, obat, pemeriksaan laboratorium, jasa dokter, perubahan pola penyakit, dan biaya umum rumah sakit. Disisi lain rumah sakit harus bekerja sesuai dengan cinical pathway, misal penanganan demam thypoid harus sesuai dengan obatnya. Dengan bekerja sesuai pedoman pelayanan kedokteran dan panduan praktek klinik serta mengedepankan kendali mutu dan kendali biaya maka rumah sakit akan dapat berhasil dalam era BPJS.
dr. Mohammad Edison, MM, AAK sebagai narasumber kedua mengemukakan mengenai meningkatkan peran rumah sakit swasta dalam JKN ke depan. Ketersediaan fasilitas kesehatan diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN Pasal 23, UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Pasal 11 dan Perpres 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Peningkatan fasilitas kesehatan harus dibarengi dengan kendali mutu dan biaya. Saat ini terdapat 617 rumah sakit swasta (40%) sebagai fasilitas kesehatan rujukan BPJS. Rasio kecukupan fasilitas sekunder berdasar NHS UK adalah 1 : 50,000 – 500,000 dan menurut FKRTL JKN sebesar 1 : 81,339. Namun yang menjadi isu adalah distribusi yang tidak merata. Fasilitas primer dan sekunder idealnya harus saling bekerja sama. Untuk itu sebaiknya fasilitas primer dioptimalisasi karena masih dibawah utilisasi dalam hal program rujuk balik.
Topik lain yang juga menarik adalah kebijakan program JKN yang tidak kondusif bagi pengembangan rumah sakit swasta yang dibawakan oleh dr. Daniel B. Wibowo, M. Kes. Seperti kita ketahui bahwa sebanyak 671 rumah sakit swasta (40%) merupakan mitra BPJS, namun masih lebih dari 50% rumah sakit swasta yang belum menjadi mitra BPJS. Dalam kurun waktu Mei 2013 sampai dengan September 2014 terdapat penambahan jumlah rumah sakit sebanyak lebih dari 200 buah dimana rumah sakit swasta tipe C dan D serta rumah sakit yang belum ditetapkan kelas lebih banyak mendominasi penambahan jumlah tersebut. Rumah sakit swasta diharapkan segera mempunyai penetapan kelas sehingga dapat menjadi mitra BPJS.
Dr. Daniel mengajak untuk melihat posisi rumah sakit swasta dimana dalam 16 bulan terakhir terdapat penambahan jumlah rumah sakit lebih dari 200 buah, kontribusi TT untuk ICU sebesar 6.97% dan VVIP sebesar 13.15%. Sebagian besar rumah sakit tersebut adalah tipe C dan D, bahkan ada yang kelasnya belum ditetapkan belum ditetapkan kelas. Distribusi rumah sakit swasta belum merata. Pemerintah belum membuat kebijakan untuk memberikan insentif bagi investasi. Selain itu ada juga faktor beban biaya masih dibayar oleh jasa pelayanan dan bukan donasi, kesulitan pemenuhan spesialisasi dan tenaga lainnya, serta kesenjangan gaji antara rumah sakit pemerintah dan swasta yang perlu mendapat perhatian.
Di era JKN ini, rumah sakit swasta akan berkembang dalam kuantitas dan karena adanya TT. Rumah sakit swasta kecil tidak akan dapat memenuhi persayarat rumah sakit sesuai regulasi sehingga tidak dapat menjadi mitra BPJS. Selain itu rumah sakit swasta menengah kecil akan kekurangan pasien karena tidak menjadi mitra BPJS dan pada akhirnya akan tutup. Hanya rumah sakit yang kompeten yang akan bertahan dalam era BPJS. Harapannya adalah pelayanan pasien sesuai dengan standar pelayanan, tidak terjadi masalah hukum dan menerapkan efisiensi beban biaya.
Rumah sakit swasta merasa kebijakan JKN kurang kondusi untuk pengembangan karena regionalisasi tarif berdasarkan provinsi. Biaya rumah sakit di kota besar tentunya lebih besar dibanding kota kecil dalam 1 regional. Regionaliasi tarif sesuai dengan indeks kemahalan di kabupaten atau kota, perbedaan tarif rumah sakit pemerintah dan swasta, regulasi urun biaya, bobot kasus yang belum sesuai dengan unit cost seperti ada beberapa tarif rawat jalan dan ICU yang belum sesuai dengan bobot kasus, diskriminasi pengadaan obat dimana beberapa obat di e-catalog dapat dibeli oleh rumah sakit swasta namun dengan harga mahal, regulasi berlaku surut, dan tidak ada insentif bagi rumah sakit swasta merupakan faktor-faktor yang ikut membebani pengembangan RS swasta di era BPJS.
Dr. Daniel berharap ada pembobotan ulang mengenai tarif untuk beberapa kasus tertentu. Rumah sakit swasta misalnya diberi password untuk dapat akses ke e-catalog sehingga dapat membeli obat dengan harga e-catalog yang berlaku, serta berharap adanya insentif dari pemerintah terhadap fasilitas dan pajak rumah sakit swasta.
Narasumber ketiga membahas mengenai apakah kebijakan BPJS merugikan profesi bidan pelayanan mandiri? Menurut Laurensia dari Ikatan Bidan Indonesia, kebijakan BPJS didalamnya belum mendukung kebijakan-kebijakan yang memihak pada praktek bidan. Praktek bidan yang di dalamnya dapat menangani praktek emergensi dalam persalinan malah tidak dapat masuk menjadi mitra BPJS, sedangkan praktek dokter yang tidak mencakup layanan emergensi malah dapat menjadi mitra BPJS. Selain itu alat kontrasepsi dasar dijamin oleh Pemerintah namun tidak dijamin oleh BPJS. Pada klinik pratama, bidan hanya dapat melayani persalinan namun ANC tidak diperkenankan.
Paripurna 5 : Evaluasi Tarif INA CBG’s
Sesi selanjutnya membahas topik yang cukup hangat dibicarakan sampai dengan saat ini yaitu berkaitan dengan tarif INA CBG’s. Narasumber yang hadir pada sesi ini adalah dr. Supriyantoro, Sp. P, MARS (Anggota DJSN), dr. Bambang Wibowo, Sp. OG (K), MARS (Netua NCC), dr. Anastina Tahjoo, MARS (direktur Siloam Lippo Village), dr. H. Sigit Gunarto, Sp. KFR (Direktur RS Al Islam Bandung), dan dr. Dodo Anondo, MPH (Direktur RSUD Soetomo Surabaya) serta dimoderatori oleh dr. R. Heru Aryadi, MPH.
Dr. Supriyantoro mengemukakan bahwa kurang lebih 78% pasien di RSCM adalah pasien JKN. Hal ini berkaitan dengan banyaknya puskesmas yang tidak siap menerima rujukan balik. Gambaran beberapa efek dari sistem BPJS sebelum bridging adalah antrian lama bahkan bisa 2 kali dari antrian biasa serta entri aplikasi BPJS bisa 2 kali. Banyak rumah sakit yang masih merasa ketidakadilan dalam penentuan tarif BPJS. Dalam hal ini beberapa rekomendasi yang dapat diberikan agar BPJS dapat berjalan lebih baik di berbagai rumah sakit adalah pemberian remunerasi secara mutlak, sosialisasi CBG’s kepada para klinisi, clinical pathway, kendali mutu dan biaya, re-evaluasi tarif dan iuran, isu kewaspadaan fraud namun harus disikapi dengan positif, serta mengoptimalkan ketersediaan faskes dan nakes.
Pola tarif INA CBG’s mungkinkah menguntungkan bagi rumah sakit? Hal inilah yang dibahas oleh dr. Bambang Wibowo yang menggambarkan bahwa JKN saat ini masih berkonsep utilisasi. Semestinya konsep yang dianut adalah efisiensi. Pola tarif yang diterapkan saat ini berdasar pada data penyakit dan biaya rumah sakit. Kurang lebih 6,000 data biaya rumah sakit dikumpulkan saat akan menetapkan tarif BPJS. Tarif BPJS seharusnya dapat meng-cover dari seluruh aspek kelas rumah sakit, regional, kepemilikan rumah sakit pemerintah dan swasta.
Agar rumah sakit tidak mengalami defisit pembiayaan salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi length of stay. Potensi efiensi lainnya yang dapat dilakukan adalah dari sisi farmasi, coding yang baik, memahami regulasi dalam sistem JKN dan tidak melakukan fraud. E-catalog juga sangat membantu dalam lelang obat sehingga dapat lebih efisien, selain itu dengan menerapkan clinical pathway maka ALOS dapat diturunkan dan tentu saja biaya dapat ditekan.Rumah sakit yang untung dalam era BPJS ini adalah rumah sakit yang menerapkan efisiensi dan efektivitas biaya, dapat membangun manajemen kesehatan yang baik, mutu coding yang baik, mutu klaim yang baik dan tentu saja tidak melakukan fraud.
Beberapa rumah sakit swasta yang menjadi mitra BPJS diminta pula untuk memaparkan pengalamannya menjadi mitra BPJS. Salah satunya adalah RS Siloam Lippo Village. Dr. Anastina mengangkat topik mengenai kiat rumah sakit swasta grup tetap survive dengan tarif INA CBG’s. RS dapat mengelompokkan diagnosa penyakit (casemix) berdasarkan pada gejala klinis yang sama serta sumber daya atau biaya yang sama. Berdasarkan pengalamannya, manfaat casemix diantaranya adalah efisiensi, kualitas, dan informasi. Dalam hal ini tenaga medik spesialis yang melakukan casemix namun tetap dalam monitoring casemix manager. Tarif CBG’s seharusnya dibuat berdasarkan pada klasifikasi rumah sakit dan regional, termasuk tarif rawat jalan dan rawat inap, tingkat keparahan dan kerumitan, rumah sakit rujukan atau khusus memiliki tarif khusus, serta kategori pasien akut dan kronik.
Saat mempersiapkan penerapan casemix, RS Siloam Lippo Village terlebih dahulu memahami konsep CBG’s, membentuk tim casemix yang terdiri dari steering committee (termasuk direktur, keuangan, bagian pembelian) dan working committee (termasuk didalamnya klinisi, rekam medik dan tim sistem informasi). Hal lain yang perlu disiapkan adalah SOP alur pasien rawat jalan dan rawat inap, persiapan ruangan, menyiapkan SDM yang akan menangani kode, costing dan verifikasi internal, melakukan training, serta menyediakan perlengkapan lain seperti mesin fotokopi.
Tugas dari steering committee diantaranya menyusun strategi dan kebijakan, sistem casemix dan melakukan monitoring. Tugas working committee adalah melakukan coding, costing dan revisi clinical pathway. Tim clinical pathway meliputi dokter, perawat, ahli gizi, rekam medik, laboratorium dan farmasi. Sosialisasi casemix juga diperlukan dengan melakukan pemberian informasi, meningkatkan kemampuan agar paham menggunakan sistem CBG’s, mengubah perilaku menjadi efisien, efektif, melakukan standarisasi dan kelengkapan rekam medik.
Tentunya penerapan casemix ini menghadapi berbagai tantang namun dengan adanya keefektifan biaya, efisiensi, standarisasi, komunikasi yang baik maka tantangan tersebut akan terlampaui. Masalah – masalah juga dihadapi seperti kurang menerima info, kurang memberi info, kemampuan coder, kelengkapan rekam medik, dan kelengkapan administrasi. Dengan menerapkan casemix yang baik makan efisiensi akan meningkat dengan tentunya menerapkan formularium nasional, clinical pathway, mengurangi LOS, standarisasi obat dan alat kesehatan, serta memaksimalkan potongan harga dari vendor.
Rumah sakit swasta lain yang memaparkan pengalamannya menjadi mitra BPJS adalah RS Al Islam Bandung. Di sesi ini kiat rumah sakit swasta non grup tetap survive dengan tarif INA CBG’s menjadi topiknya. Dr. Sigit Gunarto sebagai direktur rumah sakit ini memaparkan profil dari RS Al Islam Bandung yang memiliki 243 TT, rawat jalan sekitar 18,000 kunjungan per bulan, pasien rawat inap sekitar 575 pasien per bulan dan pasien HD sebanyak 106 pasien per bulan dengan 1,016 tindakan HD per bulan.
Selama 8 bulan menjadi mitra BPJS, RS Al Islam Bandung mengalami margin dalam pengelolaan biaya. Namun RS ini juga menghadapi masalah dari sisi internal seperti mental dan mindset dimana personil rumah sakit banyak yang resah dan bingung. Hal ini diubah dengan menjadikannya sebagai peluang. Kemudian dari sisi tarif, pelayanan, dan sistem pengendalian menjadi masalah internal yang dihadapi. Disisi lain masalah eksternal adalah tarif, regulasi, dan tidak adanya dukungan atau insentif dari pemerintah. Masalah lain yang dihadapi adalah kapasitas karena meningkatnya kunjungan pasien rawat jalan maka solusinya adalah dengan pembatasan sesuai kapasitas, selain itu banyak keluhan pasien. Agar mengurangi antrian maka dilakukan terobosan dengan pendaftaran melalui sms atau telepon. Piutang juga semakin meningkat namun realisasi pembayaran BPJS N+25 hari dapat terealisasi. Piutang ini tentunya berpengaruh pada cashflow sehingga rumah sakit melakukan penjadwalan ulang pembayaran kepada suplier obat dan BHP. Sarana fisik, sistem informasi, dan sistem rujukan juga menjadi masalah yang dihadapi oleh RS AL Islam. Namun kesemuanya itu dengan menjadi mitra BPJS, RS Al Islam mendapatkan manfaat.
Setelah beberapa rumah sakit swasta memaparkan pengalamannya sebagai mitra BPJS, selanjutnya bagaimana kiat rumah sakit pemerintah menghadapi pola tarif INA CBG’s. Rumah sakit yang berkesempatan membagikan pengalamannya adalah RSU Soetomo Surabaya. Dr. Dodo Anondo memaparkan profil RSU Soetomo Surabaya yang memiliki 1,505 TT dengan BOR 81.27% dan rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan tersier. Fenomena yang dihadapi oleh RSU Soetomo Surabaya selama 6 bulan JKN diantaranya peningkatan progresif pasien yang sebelumnya sekitar 2,000 pasien per hari menjadi 5,000 per hari. Selain itu, pasien non PBI meningkat, ada disharmoni negatif pada pasien rawat inap terutama kasus bedah, keterlambatan info pasien naik kelas perawatan, persepsi masyarakat terhadap JKN adalah gratis, sistem rujukan berjenjang, serta mindset tenaga medis.
Dengan adanya JKN tidak dipungkiri kunjungan rawat jalan dan pasien rawat inap meningkat namun sistem rujukan berjenjang belum berjalan baik. Pasien dengan tingkat keparahan 3 masih langsung datang ke rumah sakit tersier. Hal ini seharusnya dapat ditangani oleh rumah sakit sekunder. Banyaknya kejadian pasien non-PBI kelas 3 yang naik kelas ke paviliun kerena mereka hanya menambah sedikit biaya dengan adanya cost sharing.
Untuk menghadapi hal ini RSU Soetomo Surabaya melakukan penyempurnaan dan pengembangan dengan mengembangkan sistem pelayanan yang meliputi melakukan akreditasi, penyusunan dan penerapan clinical guideline. Selain itu mengembangkan sistem pengelolaan dan pembayaran klaim dengan efisiensi obat dan BHP, sadar mutu dan biaya, juga menerapkan remunerasi. RS juga perlu menerapkan sistem jaga mutu pelayanan.
Paripurna 6 : Regionalisasi Pola Tarif INA CBG’s yang Berkeadilan
Pada sesi ini para narasumber memaparkan penerapan tarif CBG’s dibeberapa regional yaitu Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Moderator pada sesi ini adalah dr. Sintak Gunawan, MA dengan naasumber dr. Jerry Nikijuluw Sp. B (Ketua PERSI Papua Barat/Direktur RSUD Kabupaten Sorong), dr. H. Leo Prawirohardjo, SP. OG (K), M. Kes, MM, PhD (Ketua I PERSI Daerah Sulawesi Selatan), dr. Azwan Lubis, SpA, MARS (Ketua PERSI Sumatera Utara), dan dr. I Wayan Sutarga, MPHM (Ketua PERSI Bali).
Dr. Jerry Nikijuluw memaparkan kondisi rumah sakit di Papua Barat dimana bahwa hampir seluruh rumah sakit di Papua Barat belum berstatus BLUD dan tarifnya belum berbasis unit cost. Saat ini hanya RSUD Kabupaten Sorong yang sudah berstatus BLUD dan mulai akan menerapkan tarif berdasarkan unit cost. Masalah yang dihadapi dalam menerapkan tarif INA CBG’s di Papua adalah sebagian besar tarif INA CBG’s lebih rendah dibandingkan dengan tarif rumah sakit, meskipun ada tarif INA CBG’s yang lebih tinggi namun itu hanya sedikit. Terutama jika dibandingkan dengan tarif rumah sakit swasta di Sorong yang sangat tinggi. Tentunya hal ini merupakan ketidakadilan bagi Papua.
Selain masalah tarif yang dihadapi di Papua adalah belum adanya clinical pathway, diagnosa yang tidak spesifik oleh dokter, audit medis belum berjalan, rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS belum memiliki tenaga medis yang cukup, peran tim casemix rumah sakit belum maksimal, banyak rumah sakit belum berstatus BLUD dan pembagian jasa layanan masih bermasalah. Masalah lain yang dihadapi adalah banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang sistem JKN, banyaknya masyarakat miskin dan tidak mampu yang belum terdaftar sebagai peserta PBI, birokrasi pengurusan peserta JKN mandiri masih rumit, tempat pembayaran iuran hanya Bank Mandiri dan BNI padahal di Papua banyaknya adalah BRI, belum ada penetapan rumah sakit pusat rujukan regional Papua Barat, tarif regional 5 masih dibawah tarif penghitungan unit cost dimana rumah sakit dan petugas medis merugi, adanya pemerintah kabupaten yang belum bersedia menjalankan jaminan kesehatan dan tidak ada sistem zona tarif kapitasi di pelayanan dasar.
Usulan dari Regional Papua adalah perlu adanya bimtek tentang penghitungan tarif rumah sakit berdasarkan unit cost dan clinical pathway, tarif INA CBG’s regional 5 dievaluasi untuk dinaikkan, perlu koordinasi yang lebih baik antara BPJS , Pemda dan BPS untuk kepesertaan PBI, penambahan regional 6 untuk pedalaman Papua, status rumah sakit menjadi BLUD, efisiensi belanja operasional, pemerintah harus menjamin ketersediaan obat dengan harga e-catalog, serta sistem zona tarif kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat dasar.
Pembahasan selanjutnya mengenai penerapan tarif CBG’s di Regional Sulawesi dipaparkan oleh dr. Leo Prawirohardjo yang menyatakan bahwa dengan adanya UU 36/2009 dan 44/2009 maka rumah sakit dipaksa untuk berubah dengan adanya UHC. Fee for service berubah menjadi prospective payment (tarif paket). Manfaat dari implementasi ini adalah tarif terstandar dan transparan serta penghitungan tarif lebih objektif. Namun tidak dipungkiri terdapat masalah di rumah sakit dalam menghadapi penerapan tarif ini diantaranya mindset dari stakeholder, persepsi masyarakat tentang sakit dan sehat, sistem rujukan yang belum berjalan baik, penulisan rekam medik belum baik, ALOS masih panjang dan pola tarif belum berdasarkan unit cost. Demikian juga adanya potensi inefisiensi pada farmasi.
Untuk menghadapi permasalahan ini menurut dr. Leo RS perlu menerapkan clinical pathway agar efisien dan juga perlu ada penyesuaian tarif sehingga dapat menutup biaya yang belum diperhitungkan dalam casemix. Dr. Leo Prawirohardjo yang juga sebagai Direktur RSKDIA di Sulawesi Selatan yang sudah berstatus BLUD mengungkapkan masih banyak kasus yang sudah dapat dilayani di fasilitas primer sehingga tenaga medis di fasilitas sekunder tidak mendapat banyak remunerasi.
Penerapan tarif INA CBG’s di Regional Sumatera masih menyimpan ketidakadilan berdasarkan severitas. Hal tersebut diungkapkan oleh dr. Azwan Lubis. Banyak kasus di rumah sakit daerah kabupaten/kota yang tingkat severitasnya lebih tinggi daripada rumah sakit di provinsi sehingga muncul pertanyaan yang berhubungan dengan fraud. Sistem paket tarif diharapkan dapat meningkatkan kualitas rumah sakit. Namun disisi lain jika ada kesalahan dalam sistem layanan akan mengurangi kualitas rumah sakit. Pelayanan yang diberikan kepada pasien non BPJS dan BPJS harus berkualitas sama dan clinical pathway harus seragam. Hanya dari sisi kenyamanan bisa berbeda dalam melayani kedua jenis pasien tersebut.
Sesi selanjutnya yang dibawakan oleh dr. I Wayan Sutarga memaparkan mengenai penerapan tarif INA CBG’s di Regional Bali. Jumlah pasien di beberapa rumah sakit mitra BPJS di Bali sejak Januari sampai dengan Juni 2014 meningkat cukup tajam baik rawat jalan maupun rawat inap. Sebagai contoh jumlah pasien di RSUD Tabanan lebih banyak dibanding RSUD Sanglah. Hal ini selain tergantung dari kondisi geografis juga karena pengaruh kualitas pelayanan. Proporsi pasien rawat inap kebanyakan dari pasien rawat jalan. Di Bali dari 10 rumah sakit mitra BPJS jumlah pasien non PBI lebih banyak dibanding pasien PBI, jumlahnya bisa mencapai 2 -3 kali lipat.
Level severitas di RSUD Tabanan menunjukkan bahwa severitas level 1 lebih banyak dibanding level 3, namun di RSUD Sanglah severitas level 3 lebih banyak dibanding level 1. Seharusnya severitas level 3 lebih rendah dibanding level 1 padahal trauma center di RSUD Sanglah berjalan dengan baik. Sejak diterapkannya tarif INA CBG’s 1 Januari 2014 di Bali sejumlah rumah sakit mitra BPJS masih merasa rugi karena tarif INA CBG’s masih dibawah tarif rumah sakit, sehingga beberapa hal dilakukan dengan menerapkan efisiensi layanan kesehatan, meningkatkan kualitas rekam medis, meningkatkan kualitas klaim dan memberikan remunerasi sehingga dapat memotivasi dokter.
Paripurna 7 : Virus Ebola Menghantui Dunia
Topik yang sedang hangat akhir-akhir ini adalah virus ebola yang menjadi pandemi di dunia. Kita melihat banyak media yang mengulas mengenai berita ini. Pada sesi ini dimoderatori oleh dr. Santoso Soeroso, Sp A, MARS dengan narasumber dr. I Nyoman Kandun, MPH, Prof. dr. Chandra Yoga Aditama, SpP, MARS, dan Dr. dr. Fatmawati, MPH (Dirut RSPI Sulianti Saroso).
Dr. I Nyoman Kandun menggambarkan mengenai virus ebola yang terjadi pertama kali di Sudan pada tahun 1976. Di tahun 1978 – 1981 terjadi epidemi virus ebola dan 90% penderita meninggal. Saat ini virus ebola sudah menyebar ke Amerika dan Eropa. Jika ebola sudah menyerang suatu negara maka negara tersebut akan bangkrut, demikian yang dapat dikutip dari pernyataan Obama.
Virus ebola termasuk dalama family fitoviriade dan genusnya adalah ebola viruse. Ebola merupakan penyakit yang mematikan dan merupakan wabah. Masa inkubasi sekitar 4-10 hari dimana penderita tidak akan menularkan saat masa inkubasi tersebut. Moda penularan dari penyakit ebola adalah ditularkan dengan kontak langsung dari darah, cairan tubuh, dan jaringan yang terinfeksi. Penularan terjadi pada mereka yang terinfeksi dengan gejala klinis. Virus dapat ditemukan pada sperma 3 bulan setelah penderita sembuh.
Penularan di luar rumah tangga dapat terjadi saat memegang jenzah, infeksi nosokimial, dan kontak langsung dengan penderita. Sumber penularan dapat melalui hidung dan kulit. Belum ada vaksin dan pengobatan spesifik. Situasi penyebaran ebola secara intens (Guinea, Liberia dan Sierra Leone).
Dapatkan virus ebola masuk ke Indonesia? Jawabannya adalah mungkin. Potensi masuknya virus ini dapat dari pelancong, petugas kesehatan yang menjadi volunteer di luar negeri, maupun jemaah haji. Untuk mencegahnya dapat melakukan capacity to detect, prepare to respond dan koordinasi antara stakeholder dalam persiapan, respon dan sistem pelaporan. Ada 5 kunci kompetensi untuk menghadapi penyakit ini yaitu komunikasi resiko, surveillance, tes laboratorium, manajemen klinis dan kontrol serta preventif yang dapat diberikan melalui komunikasi resiko seperti memberi info tentang pencegahan dan pendampingan psikologis.
Kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam mengantisipasi wabah virus ebola dipaparkan oleh Prof. dr. Chandra Yoga Aditama. Sampai dengan Oktober 2014 terdapat 8,000 kasus ebola dan 4,000 diantaranya meninggal. Angka kematian untuk penyakit ini mencapai 25% sampai dengan 90%. Rumah sakit perlu memperhatikan jika ada gejala khusus dengan monitoring pasien dan juga pengunjung.
Tiga perkembangan terbaru obat ebola adalah dengan plasma pasien yang sudah sembuh dan diberikan kepada pasien penderita virus ebola, dengan vaksin dan beberapa jenis obat seperti ZMapp. Namun obat ini masih diujicobakan pada binatang.
Kewaspadaan rumah sakit diperlukan untuk menghadapi wabah ini dengan memisahkan semua penyakit negara yang terjangkit, pasien ditanyai riwayat perjalanan, pengklusteran keluhan sakit yang sama, fever of unknown origin yang beru pulang dari negara terjangkit.
Pada sesi ini juga hadir Dirut RSPI Sulianti Saroso yaitu Dr. Fatmawati yang menggambarkan kesiapan RSPI Sulianti Saroso dalam menghadapi kasus ebola di rumah sakit. RSPI Sulianti Saroso sebagai pusat rujukan penyakit infeksi telah banyak pengalaman dalam menangani kasus pandemi seperti H5NI, MERS, dan juga saat ini ebola suspek. Dr. Fatmawati menyatakan bahwa rumah sakit yang ditunjuk oleh Kemenkes harus siap menghadapi pandemi tersebut. Kesiapan yang dimiliki oleh RSPI Sulianti Saroso adalah dari sisi SDM, SOP, ruang isolasi APD dan juga rumah sakit ini sudah melakukan simulasi.
RSPI Sulianti Saroso siap menerima rujukan minimal 2 jam setelah ada rujukan dari puskemas atau rumah sakit lain dengan menyiapkan ruang isolasi untuk pasien ebola di isolasi ICU ataupun isolasi rawat inap biasa dan pemeriksaan laboratorum yang hasilnya dapat dikeluarakn dibawah 24 jam.
Reporter: Elisabeth Listyani
Editor: Putu Eka Andayani