Meski tidak tercantum sebagai kebutuhan pokok, kesehatan merupakan masalah vital bagi manusia. Setiap manusia ingin selalu sehat supaya bisa melakukan aktivitas dan rutinitas sehari-hari. Apalagi, bagi yang sedang sakit, mereka ingin segera sembuh dengan berobat ke dokter atau rumah sakit.
Lantaran menjadi kebutuhan vital, tak heran, industri rumah sakit terus bertumbuh. Prospek dan peluang bisnis rumah sakit pun masih bagus, mengingat jumlah penduduk yang terus berkembang. Cucu Setiawan, pemilik RSIA Insan Permata, pun meyakini prospek cerah ini karena pertambahan penduduk selalu sebanding dengan kebutuhan kesehatan.
Tak heran, setelah sepuluh tahun bergelut dalam dunia kesehatan, Cucu, yang juga berprofesi sebagai dokter, mengembangkan klinik dan rumah bersalin miliknya menjadi rumah sakit . “Saat itu memang ada tuntutan dari masyarakat untuk meningkatkan rumah bersalin menjadi rumah sakit ,” terang Cucu, mengenang.
Sedikit menengok ke belakang, sebagai dokter, Cucu mengawali kiprahnya dalam bisnis dunia kesehatan ini dengan membuka praktik pribadi sejak 1998. Sementara istrinya, Riesnita Yuniar Rachmiati, membuka praktik bidan swasta yang berlokasi di kediamannya, Jalan Bhayangkara 1, Pakujaya, Tangerang, Banten.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan layanan kesehatan, pada 2004, Cucu mengembangkan praktik bidan istrinya menjadi rumah bersalin. “Saya yang semula praktik di Rumah Sakit Bhakti Asih, bergabung di sini untuk memberikan layanan poli umum,” jelas Cucu.
Karena berkembang sesuai kebutuhan kesehatan masyarakat di sekitar rumah sakit , Cucu pun menyebut rumah sakit nya sebagai rumah sakit tumbuh. Secara bertahap pula, dia membeli lahan-lahan di sekitar rumah sakit nya dan mendirikan gedung-gedung baru.
Pada tahun 2010, rumah bersalin itu berganti status sebagai rumah sakit ibu dan anak (RSIA), tentu dengan penambahan sejumlah fasilitas dan layanan kesehatan. Kini, selain memberikan pelayanan berkaitan dengan kelahiran dan poli umum, RSIA Insan Permata juga menyediakan kamar operasi, laboratorium, rontgen, dan lainnya. Dokter yang berpraktik di rumah sakit seluas 2.000 m2 ini juga lebih lengkap, seperti poliklinik gigi, THT, kulit kelamin dan kecantikan, pusat khitan, dan lainnya.
Saban bulan, Cucu bilang, ada sekitar 3.000 hingga 5.000 pasien yang datang untuk melakukan pemeriksaan kesehatan/rawat jalan di rumah sakit nya. Dari jumlah itu, ada yang kemudian dirujuk untuk menjalani rawat inap. Yang pasti, rata-rata tingkat hunian kamar-kamar rawat inap mencapai 70%.
Untuk rawat inap, Insan Permata menyediakan 45 tempat tidur yang terbagi dalam beberapa kelas, mulai dari kelas 3, kelas 2, kelas 1, VIP dan VVIP. Untuk rawat inap, tarif harga per kamar mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 600.000.
Sayang, Cucu enggan menyebutkan omzet maupun keuntungan yang diperoleh dari bisnis rumah sakit ini. “Yang terpenting bagi kami adalah memberikan pelayanan terbaik untuk pasien,” ungkap dia.
Pengusaha lain yang sukses mendirikan rumah sakit ialah Bambang M. Roeslan. Awalnya, Bambang mendirikan Klinik dan Rumah Bersalin Bina Medika di Bekasi, Jawa Barat. Dalam pengembangannya, klinik tersebut berkembang menjadi RS Permata Bunda.
Ekspansi rumah sakit ini cukup gencar sejak dia menawarkan waralaba pada 2010. “Sekarang, kami punya tujuh cabang rumah sakit ,” ujar Bambang. Senada dengan Cucu, Bambang menuturkan, bisnis rumah sakit punya prospek yang cerah. Meski pemerintah terus mengupayakan tempat pelayanan kesehatan, tapi kebutuhan tumbuh lebih cepat.
Mengutip data BPS, misalnya. Dari total penduduk yang ada di Bekasi dan Tangerang, tingkat kunjungan untuk berobat masyarakat masih 20%. Total biaya kesehatan yang dikeluarkan sebesar Rp 3,1 triliun per tahun. “Penambahan tempat pelayanan kesehatan masih sangat diperlukan,” tegas Bambang.
Namun, untuk merintis bisnis rumah sakit , Bambang berpesan agar investor menganalisis pasar terlebih dulu. “Pemilik harus tahu siapa yang mau dibidik, lantas perhatikan apakah segmentasi pasarnya masuk atau tidak. Jangan lupa analisis perilaku pasar yang mau disasar, apakah mereka medical minded atau tidak,” ujarnya.
Setelah data terkumpul, yang tak kalah penting ialah membuat feasible study, berikut simulasi dengan asumsi versi optimistis dan realistis. “Hal ini penting dibuat agar pada saat versi optimistis tak tercapai, program contingency plan-nya sudah ada.
Setelah hal itu sudah clear, baru dibuat objektif: strategi dan action plan yang bergaris lurus dengan visi dan misi serta motto perusahaan,” terang pria 56 tahun ini. Bambang bilang, untuk terjun di bisnis rumah sakit memang tidak mutlak harus punya latar belakang medis. Bambang sendiri merupakan tenaga ahli di bidang marketing beberapa perusahaan farmasi. “Sebagai stake holder, sebaiknya berlatar belakang medis, tapi share holder tidak harus. Buktinya, pemilik Siloam Group bukan dokter,” jelas dia.
Menjaring pasien melalui asuransi
Keberadaan asuransi sebagai mitra rumah sakit ternyata menguntungkan berbagai pihak, termasuk pasien dan rumah sakit . Dari sisi pasien, asuransi memudahkan mereka untuk mendapat layanan kesehatan. Pasalnya, asuransi menanggung biaya kesehatan. Sementara, dari sisi rumah sakit , asuransi jadi daya tarik bagi pasien.
Semakin banyak asuransi yang dijaring rumah sakit , maka peluang untuk mendapatkan pasien pun terbuka lebar. “Sekarang era asuransi, karena rata-rata pasien memiliki asuransi, jadi kami berusaha untuk bekerjasama dengan asuransi,” ujar Cucu Setiawan, pemilik RSIA Insan Permata.
Akan tetapi, rumah sakit pun tak boleh sembarangan bermitra dengan asuransi. Pasalnya, ada beberapa asuransi yang malah merugikan. Bambang M. Roeslan, pemilik RS Permata Bunda, menuturkan ada beberapa asuransi yang sering terlambat membayar biaya kesehatan kliennya. “Bahkan ada yang sampai 6 bulan baru bayar. Saya juga pernah dapat kasus asuransi yang tak sanggup bayar sehingga tutup,” ucap dia.
Untuk menghindari itu, Bambang menyarankan agar rumah sakit selalu melakukan pemantauan piutang. Pemilik RS juga harus selektif dalam menjalin kerjasama dengan pihak asuransi. Perhatikan jejak rekam asuransi tersebut. Hingga saat ini, Permata Bunda bermitra dengan 90% asuransi swasta yang ada di dalam negeri. “Kami cut off asuransi yang mangkir dan kami imbau pasien untuk tidak lagi menggunakan asuransi itu karena kendala prosedur,” tukasnya.
Sumber: pemudawirausaha.com