Dear Pengunjung Website manajemenrumahsakit.net,
12 Aug2014
Ancaman Ebola dan Guideline untuk RSIsu Global: Virus Ebola Ebola yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu bentuk demam berdarah yang menyebabkan penyakit berat dan sering berakibat fatal. Menurut WHO, angka kematian akibat Ebola bisa mencapai 90%, namun angka ini bisa bervariasi tergantung pada kondisi pasien. Ebola bisa menyerang dengan sangat cepat dengan symptom yang muncul antara 8-10 hari setelah terpapar. Meskipun hanya 20% pasien yang mengalami symptoms yang ekstrim namun pada hari ke-6 sampai dengan ke-10 pasien bisa survive atau meninggal. Dari seluruh pasien yang meninggal akibat Ebola, penyebabnya adalah turunnya tekanan darah secar drastis yang disebut sebagai hypovolemic shock.
Wabah Ebola Wabah Ebola pertama kali muncul tahun 1976 di Sudan dan Kongo, Afrika Barat. Jumlah total orang yang terinfeksi saat itu adalah 602 orang dan yang meninggal sebanyak 431 orang. Sejak itu hingga tahun 2014 sudah ada 25 kali ledakan wabah Ebola yang seluruhnya terjadi di Afrika Barat dengan jumlah total korban meninggal sebanyak lebih dari 2600 orang. Wabah kali ini pertama kali diumumkan oleh WHO pada 25 Maret yang lalu bersama dengan Kementerian Kesehatan Republik Kongo yang melaporkan adanya kejadian di bagian tenggara negara tersebut. Doctors Without Borders kemudian bergabung dengan WHO dan mendirikan pusat penanganan kasus Wbola. Juga ada usaha untuk memberikan edukasi pada masyarakat. Kemudian di negara lain yaitu Sierra Leone, Guinea dan Nigeria juga terjadi wabah dengan jumlah korban meninggal sebanyak 932 orang. Sebagian penularan terjadi akibat kontak dari petugas kesehatan ke pasien setelah sebelumnya menangani pasien yang terinfeksi. Bahkan di Sierra Leone ada 9 orang petugas kesehatan yang meninggal akibat terinfeksi virus ini, menurut Wall Street Journal.
Dua orang tenaga kesehatan asal AS yang terinfeksi dipulangkan ke negara asalny auntuk mendapatkan penanganan. Obat-obatan yang digunakan merupakan obat baru yag belum pernah diujicobakan pada manusia. Meskipun demikian, saat ini kondisi pasien membaik. Pada 1 Agustus yang lalu, CDC lalu mengeluarkan guideline penanganan pasien Ebola di RS. Guideline Penanganan Pasien Ebola di RS Berdasarkan guideline tersebut, fasilitas kesehatan harus mengevaluasi pasien untuk EVD bila pasien memiliki faktor risiko berikut:
CDC kemudian juga merekomendasikan pengukuran kontrol infeksi untuk pasien yang dicurigai EVD, antara lain:
Rekomendasi selengkapnya dari CDC mengenai penanganan pasien Ebola di RS dapat dilihat disini. (link: http://www.cdc.gov/vhf/ebola/hcp/infection-prevention-and-control-recommendations.html) (pea)
12 Aug2014
Kebijakan Kartu Indonesia Sehat: Bikin RS jadi Galau?Kebijakan Kartu Indonesia Sehat: Bikin RS jadi Galau? Salah satu program strategis Joko Widodo sebagai Gubernur DKI adalah Kartu Jakarta Sehat yang diimplementasikan dalam kurun waktu 100 hari pertamanya menjabat sebagai gubernur. Dengan kartu ini, seluruh masyarakat ber-KTP DKI bisa mengakses pelayanan kesehatan meskipun mereka tidak memiliki uang.
Dalam salah satu sesi debat capres, Jokowi menyatakan bahwa Kartu Indonesia Sehat akan menjadi salah satu prioritasnya jika ia terpilih sebagai presiden RI. Ketika pada 22 Juli lalu KPU menyatakan pasangan Ir. H. Joko Widodo – Drs. H. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden, publik sektor kesehatan ramai mendiskusikan masalah KIS. Sebagian mempertanyakan apa perlunya KIS padahal sudah ada BPJS, apalagi BPJS adalah program baru yang dalam pelaksanaannya masih banyak masalah. Sebagian khawatir bahwa program KIS akan berbenturan dengan program BPJS dan petugas (pemberi pelayanan kesehatan) akan semakin bingung dengan berbagai program yang berganti-ganti. Tidak sedikit pula yang menyoroti bahwa KJS belum sepenuhnya berjalan baik di DKI sehingga menimbulkan apriori pada rencana penerapan program KIS di seluruh Indonesia. Benarkan demikian? Untuk memahami KIS dan bagaimana dampaknya terhadap pelayanan di RS, kita harus memahami bagaimana KJS diterapkan. Hasil wawancara website ini terhadap Dr. Kusmedi Priharto, SpOT (Direktur RSUD Tarakan) dan dr. Heru Ariyadi, MPH (Sekjen ARSADA Pusat) menunjukkan bahwa banyak hal positif dengan diterapkannya KJS. Antara lain adalah kelemahan sistem rujukan dan kapasitas pelayanan selama ini jadi telihat dengan lebih jelas. “Angka kematian di RS meningkat. Bukan berarti pelayanan di RS buruk, namun ini akibat dari semakin terbukanya akses masyarakat terhadap pelayanan di RS. Jadi jika tadinya warga miskin yang sakit terminal meninggal di rumah, kini mereka bisa dibawa ke RS untuk mendapatkan perawatan”, katanya. Dalam hal ini, meskipun kasus terminal memiliki prognosa buruk, RS tidak mungkin menolaknya sehingga dirawat di RS hingga akhirnya meninggal. Di negara maju, layanan paliatif dikembangkan di RS maupun di rumah (homecare) agar pasien meninggal dalam kondisi layak dan terawat. Hal yang menarik adalah fenomena tingginya jumlah pasien. Pada awal pelaksanaan KJS, jumlah pasien tiba-tiba meningkat sehingga menyebabkan RS-RS kewalahan. Lonjakan pasien menyebabkan antrian sangat panjang hingga “penolakan” pasien karena kapasitas RS sudah penuh. Salah satu penyebab diserbunya RS oleh pasien adalah karena pelayanan tingkat primer (PPK I baik di puskesmas maupun RS pratama) masih jauh dari memadai. Selama enam bulan pertama kondisi tersebut menimbulkan kesemrawutan pelayanan, yang pada akhirnya berangsur reda. Namun jumlah pasien hingga saat ini masih tetap tinggi.
Sebagai Direktur RSUD Tarakan Jakarta, Dr. Kusmedi menganggap bahwa pelaksanaan JKN merupakan kawah candradimuka yang telah mengajarkannya untuk secara kreatif memikirkan cara-cara untuk meningkatkan efisiensi dengan tetap menjaga mutu layanan. Menurutnya, kunci pelaksanaan KJS (maupun jaminan kesehatan lainnya) adalah pada program promotif dan preventif. Kapasitas PPK I harus diperkuat. Apalagi sejak diimplementasikannya JKN pada Januari lalu, PPK I harus menguasai penanganan 155 jenis penyakit yang tidak boleh dirujuk ke RS. Ia menambahkan, “Sekarang saatnya jika hendak memperbaiki sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Bukan hanya fasilitas kesehatan, namun Fakultas Kedokteran juga harus berubah. Dengan sistem rujukan saat ini, RS Pendidikan hanya akan menangani kasus dengan tingkat severity yang tinggi”. Mahasiswa kedokteran tidak akan dapat mempelajari kasus dengan tingkat severity rendah di RS Kelas A atau RS Kelas B Pendidikan, sehingga perlu ada perubahan dalam sistem pendidikan kedokteran. Menanggapi masalah KJS versus JKN, menurut dr. Kusmedi baik KJS (atau KIS) maupun JKN sama-sama merupakan jaminan negara bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Hanya saja pada JKN ada partisipasi masyarakat mampu untuk membayar iur biaya. “JKN adalah asuransi paling gila di dunia karena tidak ada batasnya, sehingga asuransi asing menjadi ketakutan. Pertanyaannya adalah berapa lama negara bisa menjamin dengan cara seperti ini?” dr. Kusmedi menambahkan.
“Jadi tidak ada masalah jika JKN diganti dengan Kartu Indonesia Sehat karena itu hanya masalah labelling”. (Mengenai Kartu Indonesia Sehat, dr. Heru Ariyadi, MPH telah menyiapkan artikel khusus yang bisa Anda simak disini). Jika nantinya Kartu Indonesia Sehat benar-benar telah diimplementasikan, yang perlu dilakukan menurutnya adalah nomenklatur yang digunakan perlu ditata kembali, sedangkan sistem tidak berubah karena pada prinsipnya sudah sama. “Paling-paling yang berubah nanti hanya PBI yang lebih luas, misalnya karena ini adalah kebijakan populis maka semua masyarakat asalkan mau dirawat di Kelas III maka bisa menggunakan KIS”, katanya. Dr. Heru mengakui bahwa saat ini program JKN masih dilematis bagi RSUD khususnya. ARSADA sejak awal menginginkan agar masyarakat dapat dilayani dengan baik, para profesional kesehatan happy karena mendapatkan imbalan yang layak, serta ada kendali mutu maupun kendali biaya oleh BPJS dan RS. Namun iuran kecil sekali, yaitu hanya Rp 19.500/orang/bulan untuk PBI dan Rp 22.500/orang/bulan untuk peserta mandiri. Meskipun demikian, menurut dr. Heru ada harapan pada pemerintahan Jokowi bahwa anggaran kesehatan akan lebih memadai, mengingat saat ini masih lebih kecil (APBN 2,5%) dibandingkan amanat UU Kesehatan (APBN 5% dan APBD 10%). Program JKA di Aceh atau Bali Mandara di Bali bisa menjadi semacam varian bagi JKN atau Kartu Indonesia Sehat. Dari penjelasan di atas, jelas bahwa implementasi KIS di seluruh Indonesia merupakan bentu dari tanggung jawab negara untuk menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu. Tentu saja ada masalah yang perlu diantisipasi. Dr. Kusmedi maupun Dr. Heru sama-sama sepakat bahwa untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka:
Masih galau dengan KIS? (pea)
08 Aug2014
Walikota Diharapkan Pastikan Dirut RS Pirngadimanajemenrumahsakit.net :: Medan, (Analisa).
08 Aug2014
7 RS Lampung dan BPJS Sepakat Perbaiki Pelayananmanajemenrumahsakit.net :: Bandarlampung (Antara Lampung) – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan tujuh rumah sakit di Lampung menandatangani nota kesepahaman tentang implementasi “Bridging System” untuk memudahkan layanan kesehatan bagi peserta yang menjadi pasien di rumah sakit tersebut. “Melalui penandatanganan ini, tujuh rumah sakit tersebut sudah terintegrasi dengan basis data BPJS Kesehatan, sehingga melakukan entry data pasien peserta di rumah sakit bisa lebih cepat,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, di Bandarlampung, Kamis. Ia menyebutkan, bridging system merupakan sarana untuk meningkatkan efektivitas proses memasukkan data, efisiensi penggunaan sumber daya, serta lebih cepat dalam proses pengelolaan, baik klaim, piutang, verifikasi, dan sebagainya. Dengan sistem tersebut, proses antrean peserta BPJS Kesehatan jadi lebih cepat karena registrasi peserta hanya pada sistem rumah sakit yang bersangkutan dan lebih cepat mendapatkan pelayanan kesehatan. Tujuh rumah sakit yang menandatangani nota kesepahaman penerapan Bridging System terdiri atas empat rumah sakit di Bandarlampung dan dua rumah sakit di Kota Metro. Keempat rumah sakit di Bandarlampung adalah Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek, RS Imanuel Wayhalim, Rumah Sakit Urip Sumoharjo, dan Rumah Sakit Pertamina. Sedangkan tiga rumah sakit di Kota Metro yang juga menandatangani Nota Kesepahaman tersebut adalah Rumah Sakit Ahmad Yani, Rumah Sakit Mardi Waluyo, dan Yukum Media Center. Penandatangan Nota Kesepahaman tersebut disaksikan oleh Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo. Dalam sambutannya, Ridho menyatakan, sosialisasi tentang program BPJS Kesehatan mutlak dilakukan hingga ke masyarakat terbawah, yang menjadi sasaran utama program ini. BPJS Kesehatan menurut dia, merupakan program pemerintah pusat untuk memastikan rakyat Indonesia memperoleh layanan prima dalam kesehatan. Sementara untuk pemerintah daerah Lampung, ada 91 puskesmas dan 198 puskesmas Pembantu, 38 rumah sakit milik pemerintah dan swasta untuk melayani kesehatan warganya melalui program jaminan kesehatan daerah. “Kami akan berupaya mengalokasikan 10 persen dari dana APBD untuk sektor kesehatan, dan itu menjadi prioritas,” tambahnya. Sumber: antaralampung.com
08 Aug2014
Perda Retribusi RSGM Tertundamanajemenrumahsakit.net :: Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) – Pengesahan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang tarif retribusi pelayanan kesehatan pada Rumah Sakit Gigi dan Mulut Gusti Hasan Aman Banjarmasin di Kalimantan Selatan untuk menjadi peraturan daerah (Perda) tertunda. Semestinya sesuai jadwal kegiatan DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) pengesahan Raperda tarif retribusi pelayanan kesehatan pada RSGM Gusti Hasan Aman untuk menjadi Perda dalam rapat paripurna lembaga legislatif tingkat provinsi tersebut, Rabu. Penundaan tersebut, karena Panitia Khusus (Pansus) Raperda itu masih memerlukan pendalaman materi, ungkap Ketua DPRD Kalsel Kolonel Inf (Purn) Nasib Alamsyah saat memimpin rapat paripurna lembaga legislatif tingkat provinsi itu, di Banjarmasin. Oleh karenanya, DPRD Kalsel menjadwalkan ulang untuk pengesahan Raperda tarif retribusi pelayanan kesehatan pada RSGM Gusti Hasan Aman itu menjadi Perda. “Kita akan jadwalkan kembali pengesahan Raperda tarif retribusi pelayanan kesehatan pada RSGM Gusti Hasan Aman itu sebagai Perda, bila pembahasan Raperda tersebut betul-betul rampung,” demikian Nasib Alamsyah. Pada kesempatan terpisah, Ketua Pansus Raperda tarif retribusi pelayanan kesehatan pada RSGM tersebut Rakhmat Nopliardy menyatakan, penundaan pengesahaan Perda itu karena ketidaksinkronan antara materi Raperda yang berasal dari eksekutif dengan kondisi objektif RSGM tersebut. Wakil rakyat yang menyandang gelar sarjana hukum dan magister bidang ilmu hukum tersebut mengungkapkan beberapa ketidak sinkronan, antara lain mengenai kesiapan dan persiapan pengoperasian RSGM Gusti Hasan Aman, seperti ketersediaan aliran listrik, serta kelengkapan lain. “Ketidak sinkronan tersebut kami lihat saat Pansus Raperda terif retribusi pelayanan kesehatan pada RSGM Gusti Hasan Aman meninjau rumah sakit milik pemerintah provinsi (Pemprov) itu, 5 Agustua lalu,” ungkap politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut. “Kita sudah minta kepada eksekutif agar membuat penyesuaian tarif retribusi pelayanan kesehatan pada RSGM milik Pemprov Kalsel tersebut dengan kondisi objektif kelengkapan atau peralatan rumah sakit itu,” demikian Rakhmat Nopliardy. Peresmian RSGM Gt Hasan Aman tersebut belum sampai satu tahun, yang bangunannya berdekatan dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin, dan sama-sama milik Pemprov Kalsel. Pembangunan RSGM tersebut atas gagasan Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin yang sudah memasuki periode kedua dan berakhir Agustus 2014, bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih sempurna, terutama bidan kesehatan gigi dan mulut kepada warga masyarakat setempat. Oleh Syamsuddin Hasan Sumber: antaranews.com
08 Aug2014
RS Jayapura Naikkan Biaya Rujukan Rp20 Juta/pasienmanajemenrumahsakit.net :: Jayapura (Antara) – Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura menaikkan biaya rujukan pasien menjadi Rp20 juta per pasien, kata Direktur RSUD Jayapura dr Jeremias Mnsen. “Awalnya biaya yang kami keluarkan untuk merujuk satu pasien ke Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta sebesar Rp10 juta. Namun kali ini kami naikan menjadi Rp 20 juta per satu pasien,” kata dr Jeremias Mnsen di Jayapura, Kamis. Menurut Jeremias, pihaknya menaikkan biaya rujukan tersebut karena biaya Rp10 juta selama ini untuk membiayai perjalanan pasien, satu orang dari keluarga pasien dan satu perawat untuk mendampingi. Kemudian biaya hidup selama lima hari sebesar Rp5 juta. Pembiayaan itu tidak cukup dalam sepekan. Sejumlah keluhan terkait pembiayaan itu mulai muncul. “Sebagian disampaikan kepada Tim Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua saat memantau pelayanan rujukan di RS PGI Cikini Jakarta, dua pekan lalu,” ujarnya. Sebagian pendamping pasien mengatakan biaya hidup yang diberikan oleh rumah sakit Jayapura, kurang. Dengan demikian pendamping terpaksa mencari biaya tambahan. Terkait masalah ini, pihak RS Jayapura menambahkan biaya rujukan menjadi Rp20 juta untuk membiayai perjalanan satu pasien, dua pendamping yakni dari keluarga dan rumah sakit. Kemudian penambahan hari yang awalnya 5 hari menjadi 10 hari. “Keputusan ini baru dibuat dan ke depan berlaku. Diharapkan dapat mengurangi masalah,” ujarnya.(rr) Sumber: berita.yahoo.com
07 Aug2014
Kota Bogor Akhirnya Mempunyai Rumah Sakit Daerah
Rumah Sakit (RS) Karya Bhakti, yang belokasi di Jalan Raya Dr Semeru Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor yang sudah bekerjasama dengan Pemkot Bogor sejak 30 tahun lalu, mulai diambil alih oleh Pemkot Bogor pada Rabu (6/8) mendatang. “Tanggal 6 Agustus 2014, kerjasama Yayasan Karya Bhakti dengan Pemkot Bogor berakhir. Maka tanggal 6 Agustus kepemilikan dan pengelolaannya resmi menjadi milik Pemkot Bogor,” kata Sekertaris Daerah Ade Syarif Hidayat. RS Karya Bhakti resmi mengganti nama menjadi RSUD Kota Bogor. Dan menurut Ade, hal ini akan menjadi kebanggan tersendiri untuk warga dan Pemkot Bogor. Artinya, kata Ade Syarif, seluruh pengelolaan rumah sakit akan diserahkan sepenuhnya kepada Pemkot. Sementara pegawai yang kini bekerja untuk Yayasan Karya Bakti akan berubah statusnya menjadi pegawai RSUD Kota Bogor. “SDM tidak berubah. Semuanya tetap bekerja seperti biasa, hanya statusnya berubah jadi pegawai RSUD,” terang Ade. Pemkot Bogor juga sudah menyediakan anggaran sebesar Rp 20 miliar untuk membeli alat kesehatan dan biaya operasional selama tiga bulan ke depan. “Anggaran sudah disiapkan sebanyak Rp 20 miliar dari APBD Kita. Nanti akan ada bantuan dari Propinsi sebesar Rp 4,5 miliar,” lanjutnya. Sebelumnya, RS Karya Bhakti merupakan rumah sakit tipe B dan hanya melayani 30 persen pasien kelas 3. Maka ke depan, terang Ade, setelah menjadi rumah sakit daerah pelayanan untuk kelas 3 akan ditambah. Selain itu, keberadaan RSUD Kota Bogor juga diharap bisa mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor. Karena ketika RS itu milik Yayasan Karya Bakti, yang masuk untuk PAD Kota Bogor hanya Rp 18 juta perbulan. “Kalau sudah jadi miliik pemkot ini diharap meningkat menjadi 300 persen,” tambah Ade. Dari data Dinas Kesehatan Kota Bogor, hingga 2014 sudah ada 15 rumah sakit swasta di kawasan ini. Tiga diantaranya rumah sakit baru, dua masih dibangun dan satu sudah beroperasi. Penulis: Vento Saudale/FAB Sumber: beritasatu.com
07 Aug2014
Pelayanan Dikeluhkan Pasien, Walikota Tegal Sidak RSUD Kardinahmanajemenrumahsakit.net :: |
12 Aug2014