Sindonews.com – Untuk meningkatkan pelayanannya, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Depok terus melakukan prebaikan fasilitas. Salah satu yang dilakukan dengan menempatkan belasan tenaga dokter spesialis di rumah sakit tersebut.
Sindonews.com – Untuk meningkatkan pelayanannya, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Depok terus melakukan prebaikan fasilitas. Salah satu yang dilakukan dengan menempatkan belasan tenaga dokter spesialis di rumah sakit tersebut.
Harianjogja.com, KULONPROGO- Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates juga menerapkan terobosan baru melalui pemangkasan alur pendaftaran pasien.
Tujuannya, supaya efisien karena pasien tidak terlalu lama menunggu antrean. Berbeda dengan tahun lalu, pendaftaran di RSUD Wates kali ini terpisah antara pasien umum dan pemegang kartu BPJS.
Direktur RSUD Wates, Lies Indriyati menjabarkan, pasien BPJS langsung mendatangi loket verifikasi internal. Setelah sesuai dengan persyaratan, pasien mendapat surat penjaminan dari loket penjaminan dan membawa ke loket pendaftaran.
SIGLI – Pembebasan lahan untuk pembangunan Rumah Sakit (RS) Regional Sigli, Pidie bantuan Jerman masih terganjal dengan sekitar 7.000 meter lebih tanah wakaf di lokasi rencana pembangunan RS tersebut. Lahan wakaf itu masing-masing dikelola meunasah Lampeude Baroh dan Masjid Al-Qurban, Kemukiman Gampong Lhang Tijue.
Bupati Sarjani Abdullah menyampaikan hal ini dalam rapat dengan MPU Pidie, Rabu (26/2). Menurutnya rencana Pemkab membebaskan lahan untuk pembangunan RS Regional Sigli dengan anggaran Rp 18 miliar. Harga lahan dibeli Pemkab Rp 350 ribu per meter. Menurutnya hingga kini Pemkab telah membebaskan empat hektare lebih dengan anggaran Rp 16 miliar.
JAMBI- Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher (RM) saat ini mengalami kekurangan tenaga dokter spesialis. Diakui dr Rambe, Direktur SDM RSUD RM, kekurangan jumlah dokter spesialis yang dialami oleh RSUD RM mencapai sebanyak 257 orang.
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK — Program pemerintah untuk kesehatan yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan rupanya belum diminati oleh sebagian besar rumah sakit (RS) swasta di Depok. Setidaknya berdasarkan informasi yang diperoleh Republika, dari 15 RS swasta baru lima RS yang sudah melaksanakan MoU dengan program BPJS Kesehatan di Kota Depok, selebihnya masih menolak bekerja sama.
Kelima RS swasta itu adalah RS Tugu Ibu, RS Harapan Depok, RS Tumbuh Kembang, RS Hasanah Graha Afifah (HGA), dan RS Simpangan Depok. Menurut anggota DPRD Kota Depok dari Komisi A yang membidangi masalah kesehatan, Mutaqien Syafi, keengganan rumah sakit swasta untuk bergabung dimungkinkan karena mereka belum cocok dengan hitung-hitungan harga yang diharapkan.
”RS swasta mungkin hitung-hitungan juga, mungkin juga pricing mereka belum cocok juga,” kata Mutaqien saat dihubungi Republika, Kamis (27/2).
Selain itu, lanjutnya ternyata belum ada peraturan yang mewajibkan RS swasta untuk menjalankan program BPJS. ”Setahu saya, pada 2019 RS swasta baru wajib,” ungkap calon legislatif (caleg) DPRD Kota Depok dari PKS daerah pemilihan (dapil) Beji-Limo-Cinere ini. ”Semuanya itu tergantung kerjasama RS dengan pihak BPJS,” tegasnya.
Menurut Mutaqien, program BPJS Kesehatan itu bukan kewenangan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, tapi kewenangan Pemerintah Pusat. ”Tapi kita dorong kerjaasam dipercept, karena untuk pelayananya masyarakat yang tak mampu lebih optimal,” tuturnya yang juga mengungkapkan Komisi D DPRD Depok sudah mendesak ke Kementrian Kesehatan untuk segera menyelesaikan masalah kekisruhan pelaksanaan BPJS Kesehatan.
Mutaqien menganjurkan kepada masyarakat tak mampu untuk segera mendaftarkan Jamkesda ke BPJS Kesehatan. ”Nanti pihak RS wajib menerima pasien tak mampu dengan BPJS Kesehatan. Kalau ada RS yang tidak mau terima ada sanksinya, ya akan dicabut ijinnya, karena dalam pengajuan ijin operasinal RS itu wajib 20 persen menyediakan pelayanan kesehatan untuk masyarakat tak mampu dan pelayanan kamarnya harus disediakan yakni di ruang kelas 3,” tuturnya.
Sumber: republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK — Sejumlah rumah sakit (RS) di Depok menolak bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam program Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN). Kondisi tersebut ternyata belum mendapatkan solusi. Bahkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mengakui tak mampu berbuat banyak atas penolakan tersebut.
”Kami tidak bisa berbuat apa-apa selain sebatas imbauan. Kami mengimbau, kalau bisa RS yang menolak BPJS ikut menandatangani MoU untuk pelayanan maksimal kepada masyarakat. Namun semua itu terpulang kembali kepada masing-masing manajemen RS, karena masih ada keterbatasan seperti kekurangan tempat tidur di RSUD Depok,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Noerzamanti Lies,
Penetapan Klasifikasi RS adalah pengelompokan RS berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan yang penetapannya dengan SK Menkes. Rumah Sakit sebagai salah satu institusi pelayanan publik harus da
INILAH.COM, Bandung – Selama sebulan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kantor Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Soreang, belum ada rumah sakit yang mengajukan klaim pembiayaan pasien BPJS.
Kepala BPJS Soreang Rahmad Widodo mengatakan, selama satu bulan pelaksanaan JKN, dari lima rumah sakit yang melayani BPJS, yakni RSUD Soreang, RSUD Cicalengka, RSUD Majalaya, RSUD Al Ihsan dan RS swasta AMC Cileunyi, belum mengajukan klaim biaya.
Meski belum ada klaim, pihaknya mengaku telah menyiapkan dana untuk 50 persen biaya yang telah dipakai oleh peserta BPJS. Kata dia, dana ini baru diberikan kepada RSUD Majalaya sebesar Rp1,7 miliar dari total klaim yang harus dibayar BPJS sebesar Rp3,5 miliar.
“Meski belum ada klaim, kami siapkan 50 persennya. Tapi yang sudah diserahkan baru kepada RSUD Majalaya,” kata Rahmad, Kamis (27/2/2014).
Pertimbangan memberikan 50 persen ini, kata Rahmad, agar operasional rumah sakit bisa terus berjalan. Menurutnya, jangan sampai rumah sakit berhenti beroperasi hanya karena klaim belum dibayar BPJS.
Apalagi, sejak diberlakukannya BPJS, dia melihat jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit terus meningkat. Seperti di Al Ihsan, dalam sehari tidak kurang dari 500 pasien datang, dengan 10 persen di antaranya merupakan pasien rawat inap.
“Begitu juga pendaftar peserta BPJS di kantor kami dalam sehari rata-rata 200 orang. Dari jumlah tersebut, 20 persen adalah pendaftar yang sakit dan 10 persennya harus menjalani rawat inap,” katanya.
Selama sebulan pelaksanaan JKN ini, lanjut Rahmad, memang RS Al Ihsan menjadi rumah sakit paling banyak dikunjungi oleh pasien peserta BPJS. Kedua adalah RSUD Majalaya, yang perharinya sekitar 350 orang. Sedangkan tiga rumah sakit lainnya masih normal.
“Tingginya kunjungan pasien di kedua rumah sakit tersebut, mungkin karena memang daerah tersebut padat penduduk dan menjadi rujukan dari berbagai Puskesmas di Kabupaten Bandung,” katanya.
Tingginya rujukan ke rumah sakit, lanjut dia, karena belum maksimalnya pemberdayaan tahap pertama, yakni puskesmas dan dokter praktek swasta yang ditunjuk.
“Sehingga, orang lebih memilih minta rujukan ke rumah sakit. Ini karena pemberdayaan tingkat satu belum maksimal,” ujarnya.
Humas RS Al-Ihsan Ahmad Dahlan membenarkan pihaknya belum mengajukan klaim biaya kesehatan kepada BPJS. Hal ini terjadi karena data surat kebenaran pasien (SEP) dari peserta non-Askes seperti polisi, tentara dan peserta Jamsostek di rumah sakit masih manual. Data manual ini, tidak terbaca oleh sistem yang dimiliki BPJS.
“Saat ini, pihak BPJS masih memverifikasi data tersebut. Jadi memang benar kami belum mengajukan klaim,” ujarnya. [hus]
Sumber: inilahkoran.com