Pak Walikota arogan sekali. Coba baca tulisan saya berikut ini :
Kepada Yth.
Bapak Presiden Joko Widodo
Di tempat.
Bapak Presiden Joko Widodo yang saya cintai, perkenankan saya menyampaikan keluhan kami para dokter, tenaga kesehatan, dan pengelola klinik kesehatan swasta /RS swasta kecil, sehubungan dengan pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan oleh BPJS kesehatan.
Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila yang saya sampaikan ini ada yang kurang berkenan di hati Bapak Presiden.
Semuanya ini demi perbaikan bersama menuju masyarakat Indonesia yang pintar, sehat dan sejahtera.
Terimakasih.
Dampak pelaksanaan BPJS Kesehatan.
Dalam rangka memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia, sejak 1 Januari 2014 pemerintah menggulirkan BPJS Kesehatan yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru diterapkan secara nasional. Semua program jaminan / layanan kesehatan sebelumnya yang sudah ada dan berjalan dengan baik seperti Askes, Jamkesmas- Jamkesda, dilebur menjadi satu ke dalam BPJS Kesehatan.
Dalam pelaksanaan layanan kesehatan rawat inap kepada peserta BPJS kesehatan, pelaksana layanan kesehatan / provider memberikan layanan kesehatan tanpa boleh menarik biaya dari pasien. Setelah layanan kesehatan selesai dan pasien dipulangkan dari Klinik Rawat Inap / Rumah Sakit, maka Klinik/RS tersebut mengajukan klaim atas biaya perawatan pasien tsb kepada pihak BPJS Kesehatan.
Yang menjadi masalah adalah besaran pengganti biaya rawat inap ditentukan sepihak oleh pemerintah / BPJS Kesehatan, melalui pola tarif INA CBG’s yang nilainya jauh lebih kecil dari biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh Klinik Kesehatan Swasta / RS Swasta pada umumnya.
Bahkan kepada Klinik Rawat Inap Swasta, untuk kasus / penyakit yang sama, besaran pengganti biaya rawat inap dibayarkan lebih rendah dari nilai yang dibayarkan kepada RS tipe D. Untuk biaya rawat inap perhari diberikan penggantian sekitar 100 ribu rupiah atau 1/3 dari biaya klaim RS tipe D.
Akibat selanjutnya dari tarif INA CBG’s yang belum ideal adalah kualitas pelayanan kesehatan menjadi kurang optimal karena terbatasnya dana. Demikian juga penggunaan obat-obat paten di klinik kesehatan dan Rumah Sakit semakin menurun. Dampak selanjutnya akan dialami oleh perusahaan farmasi dan semua karyawan yang terlibat di dalamnya. Bahkan sebagian Perusahaan Farmasi lama-kelamaan mendekati berada di ujung tanduk kebangkrutan, dan ratusan ribu karyawan farmasi dihantui kegetiran mengalami PHK.
Pola tarif INA CBG’s ditujukan untuk pengendalian biaya dan kendali mutu layanan kesehatan. Hal ini bisa dipahami dan sangat baik. Namun dalam menghitung besarnya biaya perawatan, tentunya ada perbedaan pada beberapa komponen biaya antara Klinik/RS Swasta dan Klinik/RS milik Pemerintah.
Demi pelayanan kesehatan nasional yg baik, demi keadilan bagi Klinik Swasta dan RS Swasta, apabila besaran klaim / tarif INA CBG’s bagi Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta disamakan dengan Fasilitas Layanan Kesehatan milik Pemerintah, kami mohon kepada Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta juga diberikan perlakuan yang sama dengan Fasilitas Layanan Kesehatan milik Pemerintah, yaitu diberikan :
Subsidi Anggaran Kesehatan dari pemerintah, mendapatkan subsidi dana untuk investasi gedung, peralatan kedokteran, dan gaji pegawai.
Dengan keadilan seperti ini, saya yakin tanpa perlu diminta, pihak swasta akan dengan senang hati melayani peserta BPJS.
Semoga Pemerintah memperhatikan dan tersentuh dengan kesulitan yang dialami banyak pihak swasta (Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta dan perusahaan2 Farmasi) yang sekarang ini berada diambang keterpurukan dan nyaris kolaps, akibat penurunan pemasukan / omzet.
Masih banyak Klinik Swasta dan RS Swasta yang mengedepankan fungsi sosial, bukan sekedar mencari keuntungan belaka. Tetapi kami masih banyak yg menanggung hutang/kredit untuk biaya investasi gedung dan peralatan kedokteran yang mahal2. Juga kami mesti berusaha menghidupi semua karyawan yang menanggungkan hidupnya pada Klinik/RS Swasta, sekedar untuk bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak2nya, bukan untuk bisa menjadi kaya.
Bapak Presiden yang kami muliakan, masih banyak karyawan kesehatan Swasta yang penghasilannya perbulan dibawah UMR. Banyak perawat yg penghasilannya dibawah Rp. 1.000.000 perbulan. Masih banyak dokter yang harus bekerja sebagai dokter jaga 24 jam dengan penghasilan sekitar Rp. 200.000-250.000 perhari, dengan resiko setiap saat bisa tertular penyakit. Bahkan masih banyak yg penghasilannya dibawah itu.
Bahkan ada sejawat dokter dan paramedis yang terpaksa mogok kerja menuntut haknya, karena sudah 8 bulan atau lebih melayani pasien peserta BPJS tetapi haknya belum dibayarkan.
Bukannya dibela dan dilindungi oleh Kepala Dinas Kesehatan, tetapi sejawat tersebut malahan diberi sangsi. Apakah dokter dan paramedis sudah dianggap seperti robot yang dianggap tidak membutuhkan makan, kesejahteraan dan penghargaan lagi ??
Kepada siapa lagi kami para Petugas Kesehatan, Klinik Kesehatan Swasta dan RS Swasta yang Pas-pasan, dan Perusahaan2 Farmasi boleh mengadukan penderitaan dan kesulitan kami ? Siapa lagi yang masih mau berempati kepada kami para Petugas Kesehatan dan bisa membantu kami, kalau bukan Pemerintah melalui Bapak Presiden yang bijaksana.
Saya mengajak kepada seluruh Dokter Indonesia, mari kita layani semua pasien dengan sebaik-baiknya, tanpa melihat/membedakan miskin atau kaya.
Saya mengajak kepada pengelola Fasilitas Kesehatan Swasta dan Rumah Sakit, Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Daerah, mari kita perhatikan kebutuhan hidup layak dan kesejahteraan para Petugas Kesehatan.
Kami mohon kepada bapak Presiden untuk menjaga agar perusahaan2 farmasi tetap bisa hidup dan memiliki dana yang cukup untuk penelitian2, dalam upaya menemukan obat2 baru dan metode pengobatan yang baru.
Demikian isi hati dan keluhan kami, Bapak Presiden.
Apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Terimakasih.
Ditulis oleh :
dr. PC. Bambang Suyatmoko.
Praktisi Kesehatan/ Pengelola klinik,
Pengurus IDI dan Badan Pertimbangan Kesehatan Kabupaten OKU Timur
Pak Walikota arogan sekali. Coba baca tulisan saya berikut ini :
Kepada Yth.
Bapak Presiden Joko Widodo
Di tempat.
Bapak Presiden Joko Widodo yang saya cintai, perkenankan saya menyampaikan keluhan kami para dokter, tenaga kesehatan, dan pengelola klinik kesehatan swasta /RS swasta kecil, sehubungan dengan pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan oleh BPJS kesehatan.
Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila yang saya sampaikan ini ada yang kurang berkenan di hati Bapak Presiden.
Semuanya ini demi perbaikan bersama menuju masyarakat Indonesia yang pintar, sehat dan sejahtera.
Terimakasih.
Dampak pelaksanaan BPJS Kesehatan.
Dalam rangka memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia, sejak 1 Januari 2014 pemerintah menggulirkan BPJS Kesehatan yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru diterapkan secara nasional. Semua program jaminan / layanan kesehatan sebelumnya yang sudah ada dan berjalan dengan baik seperti Askes, Jamkesmas- Jamkesda, dilebur menjadi satu ke dalam BPJS Kesehatan.
Dalam pelaksanaan layanan kesehatan rawat inap kepada peserta BPJS kesehatan, pelaksana layanan kesehatan / provider memberikan layanan kesehatan tanpa boleh menarik biaya dari pasien. Setelah layanan kesehatan selesai dan pasien dipulangkan dari Klinik Rawat Inap / Rumah Sakit, maka Klinik/RS tersebut mengajukan klaim atas biaya perawatan pasien tsb kepada pihak BPJS Kesehatan.
Yang menjadi masalah adalah besaran pengganti biaya rawat inap ditentukan sepihak oleh pemerintah / BPJS Kesehatan, melalui pola tarif INA CBG’s yang nilainya jauh lebih kecil dari biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh Klinik Kesehatan Swasta / RS Swasta pada umumnya.
Bahkan kepada Klinik Rawat Inap Swasta, untuk kasus / penyakit yang sama, besaran pengganti biaya rawat inap dibayarkan lebih rendah dari nilai yang dibayarkan kepada RS tipe D. Untuk biaya rawat inap perhari diberikan penggantian sekitar 100 ribu rupiah atau 1/3 dari biaya klaim RS tipe D.
Akibat selanjutnya dari tarif INA CBG’s yang belum ideal adalah kualitas pelayanan kesehatan menjadi kurang optimal karena terbatasnya dana. Demikian juga penggunaan obat-obat paten di klinik kesehatan dan Rumah Sakit semakin menurun. Dampak selanjutnya akan dialami oleh perusahaan farmasi dan semua karyawan yang terlibat di dalamnya. Bahkan sebagian Perusahaan Farmasi lama-kelamaan mendekati berada di ujung tanduk kebangkrutan, dan ratusan ribu karyawan farmasi dihantui kegetiran mengalami PHK.
Pola tarif INA CBG’s ditujukan untuk pengendalian biaya dan kendali mutu layanan kesehatan. Hal ini bisa dipahami dan sangat baik. Namun dalam menghitung besarnya biaya perawatan, tentunya ada perbedaan pada beberapa komponen biaya antara Klinik/RS Swasta dan Klinik/RS milik Pemerintah.
Demi pelayanan kesehatan nasional yg baik, demi keadilan bagi Klinik Swasta dan RS Swasta, apabila besaran klaim / tarif INA CBG’s bagi Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta disamakan dengan Fasilitas Layanan Kesehatan milik Pemerintah, kami mohon kepada Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta juga diberikan perlakuan yang sama dengan Fasilitas Layanan Kesehatan milik Pemerintah, yaitu diberikan :
Subsidi Anggaran Kesehatan dari pemerintah, mendapatkan subsidi dana untuk investasi gedung, peralatan kedokteran, dan gaji pegawai.
Dengan keadilan seperti ini, saya yakin tanpa perlu diminta, pihak swasta akan dengan senang hati melayani peserta BPJS.
Semoga Pemerintah memperhatikan dan tersentuh dengan kesulitan yang dialami banyak pihak swasta (Fasilitas Layanan Kesehatan Swasta dan perusahaan2 Farmasi) yang sekarang ini berada diambang keterpurukan dan nyaris kolaps, akibat penurunan pemasukan / omzet.
Masih banyak Klinik Swasta dan RS Swasta yang mengedepankan fungsi sosial, bukan sekedar mencari keuntungan belaka. Tetapi kami masih banyak yg menanggung hutang/kredit untuk biaya investasi gedung dan peralatan kedokteran yang mahal2. Juga kami mesti berusaha menghidupi semua karyawan yang menanggungkan hidupnya pada Klinik/RS Swasta, sekedar untuk bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak2nya, bukan untuk bisa menjadi kaya.
Bapak Presiden yang kami muliakan, masih banyak karyawan kesehatan Swasta yang penghasilannya perbulan dibawah UMR. Banyak perawat yg penghasilannya dibawah Rp. 1.000.000 perbulan. Masih banyak dokter yang harus bekerja sebagai dokter jaga 24 jam dengan penghasilan sekitar Rp. 200.000-250.000 perhari, dengan resiko setiap saat bisa tertular penyakit. Bahkan masih banyak yg penghasilannya dibawah itu.
Bahkan ada sejawat dokter dan paramedis yang terpaksa mogok kerja menuntut haknya, karena sudah 8 bulan atau lebih melayani pasien peserta BPJS tetapi haknya belum dibayarkan.
Bukannya dibela dan dilindungi oleh Kepala Dinas Kesehatan, tetapi sejawat tersebut malahan diberi sangsi. Apakah dokter dan paramedis sudah dianggap seperti robot yang dianggap tidak membutuhkan makan, kesejahteraan dan penghargaan lagi ??
Kepada siapa lagi kami para Petugas Kesehatan, Klinik Kesehatan Swasta dan RS Swasta yang Pas-pasan, dan Perusahaan2 Farmasi boleh mengadukan penderitaan dan kesulitan kami ? Siapa lagi yang masih mau berempati kepada kami para Petugas Kesehatan dan bisa membantu kami, kalau bukan Pemerintah melalui Bapak Presiden yang bijaksana.
Saya mengajak kepada seluruh Dokter Indonesia, mari kita layani semua pasien dengan sebaik-baiknya, tanpa melihat/membedakan miskin atau kaya.
Saya mengajak kepada pengelola Fasilitas Kesehatan Swasta dan Rumah Sakit, Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Daerah, mari kita perhatikan kebutuhan hidup layak dan kesejahteraan para Petugas Kesehatan.
Kami mohon kepada bapak Presiden untuk menjaga agar perusahaan2 farmasi tetap bisa hidup dan memiliki dana yang cukup untuk penelitian2, dalam upaya menemukan obat2 baru dan metode pengobatan yang baru.
Demikian isi hati dan keluhan kami, Bapak Presiden.
Apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Terimakasih.
Ditulis oleh :
dr. PC. Bambang Suyatmoko.
Praktisi Kesehatan/ Pengelola klinik,
Pengurus IDI dan Badan Pertimbangan Kesehatan Kabupaten OKU Timur