15 Oktober 2015 – 18 Oktober 2015
Hari 1 :: Hari 2 :: Hari 3 :: Hari 4
Pembukaan
Keynote speech Menteri Kesehatan RI berjudul:
Menyongsong HKN ke 50 dan Perubahan Sistem Pelayanan Kesehatan Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
Maju dan berkembang di era JKN melalui tata kelola rumah sakit yang baik menjadi topik pada Seminar Nasional XIII PERSI yang dibarengi dengan Seminar Tahunan VIII Patient Safety dan Hospital Expo XXVII. Pidato Menteri Kesehatan RI, dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, SpA, MPH yang diwakili oleh Dirjen BUK Kemenkes RI, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp U (K) menyatakan bahwa Jaminan Kesehatan Nasional akan menghilangkan hambatan kesulitan finansial bagi masyarakat. Masyarakat dapat menikmati layanan kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah. Untuk itu PERSI mempersiapkan konsep JKN secara utuh, konsep biaya, mutu, dan pemenuhan standar rumah sakit. Hal ini teah diperkuat dengan regulasi yaitu Permenkes 56/ 2014 mengenai klasifikasi, ijin, dan akreditasi rumah sakit.
Dengan diterapkannya JKN maka diharapkan rujukan pelayanan kesehatan mesti berjalan dengan baik. Saat ini anggota JKN sebanyak 128 juta peserta melampaui target akhir tahun 2014 yaitu 121 juta peserta. Akreditasi rumah sakit juga perlu diperhatikan untuk mendukung terlaksananya JKN. Selain itu dalam pelaksanaan JKN ini diharapkan para pelaku pelayanan kesehatan dapat menghindari fraud.
Dengan adanya Asian Economic Community pada 2015 diharapkan Indonesia harus siap berkompetisi untuk menghadapi persaingan global. Demikian inti dari pidato Menteri Kesehatan RI dan pembukaan seminar dimulai dengan pemukulan gong oleh Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp U (K) dan dilanjutkan dengan sesi-sesi paralel.
Paripurna 1
Diskusi Panel : Quovadis Kebijakan Pelayanan Kesehatan Sektor Perumahsakitan di Indonesia
Paripurna 1 yang dimoderatori oleh dr. Umar Wahid, Sp. P menghadirkan para narasumber seperti dr. Ribka Tjiptaning (DPR RI), Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD (Guru Besar Ekonomi dan Asuransi GKM UI), Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M Sc, PhD (Guru Besar FK UGM), Dr. dr. Sutoto, M. Kes (Ketua Umum PERSI), dan Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD (Guru Besar Hukum Internasional UI). Topik yang diangkat pada diskusi ini adalah Prediksi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Sektor Perumahsakitan Era 2014 – 2019.
Narasumber pertama yaitu dr. Ribka Tjiptaning menyampaikan dari sisi budgeting. Menurut dr. Ribka yang berperan sebagai wakil rakyat DPR RI menyatakan bahwa anggaran kesehatan saat ini kurang memenuhi. Anggaran kesehatan seharusnya sebesar 5% dari APBN (diluar gaji PNS), namun fakta menunjukkan bahwa anggaran yang ditetapkan hanya sebesar 2.1 – 2.3 % dari APBN. Diharapkan dengan pemerintahan yang baru ini maka dapat mewujudkan anggaran kesehatan yang seharusnya.
Kemudian dari sisi aspek alokasi pembiayaan, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD mengangkat isu mengenai adilkah alokasi dana dalam program JKN? Prof. Budi Hidayat membahas mengenai skema pendapatan dan pengeluaran JKN, estimasi CBG’s (porsi terbesar kue JKN), dan solusi dari permasalahan tersebut. Kita ketahui bahwa alokasi pembiayaan obat di Indonesia tinggi yaitu > 30% dari total biaya kesehatan. Alokasi ini lebih tinggi dibandingkan dari negara lain. Selain itu dana kesehatan di Indonesia kecil karena kapasitas fiskal (yang ditopang oleh APBN dan APBN) tergantung dari pajak, serta politik anggaran yang sangat kental.
Iuran dana untuk JKN sebanyak 90% lari ke fasilitas kesehatan primer dan sekunder, sedangkan pengeluaran untuk JKN sebanyak 64% dana kesehatan lari ke rumah sakit, dimana 60% merupakan rumah sakit pemerintah, 32% rumah sakit swasta. Utilisasi pelayanan kesehatan meningkat lebih banyak pada kasus top up. Diharapkan pasien lebih banyak dilayani di daerah masing-masing sehingga kue JKN dapat tersebar merata. Saat ini rasio klaim di regional 1 mencapai 3 kali lipat dari rata-rata nasional untuk klaim fasilitas kesehatan tingkat lanjut.
Tarif JKN dirasa masih kurang adil. Untuk itu, ada beberapa solusi yang dapat diambil antara lain dengan revisi nilai iuran JKN, penyesuaian tarif Permenkes 69/2013, cost containment via aplikasi untuk mencegah fraud dan optimalisasi dana DJS. Jika hal tersebut tidak dapat dilaksanakan maka terdapat konsekuensi penurunan pada layanan kesehatan. Namun apabila penerapan CBG’s dapat diikuti dengan pola revisi iuran JKN dan rumah sakit juga berbenah diri maka layanan kesehatan dapat diberikan dengan mutu yang lebih baik.
Sisi lain yang perlu dilihat adalah dari aspek insentif dari pemerintah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M Sc, PhD. Prof. Laksono menyoroti distribusi dokter spesialis yang kurang merata di Indonesia sehingga mengakibatkan klaim BPJS akan berbeda antar wilayah karena ketersediaan dokter spesialis. Selain itu bila dilihat dari jumlah rumah sakit di regional 1 lebih banyak mengalami penambahan jumlah. Sebagai contoh kasus, di NTT terdapat sisa klaim sebanyak Rp. 15 – 20 milyar karena kurangnya jumlah spesialis. Sisa ini akan diberikan ke mana? Apakah akan diberikan ke wilayah lain, misalnya ke wilayah DIY? Akan menjadi hal yang tidak wajar jika NTT sebagai wilayah yang perlu dibantu malah memberikan bantuan sisa klaim kepada DIY hanya karena di NTT terdapat keterbatasan jumlah spesialis sehingga tidak dapat mengajukan klaim secara optimal. Hal ini menunjukkan bahwa JKN saat ini banyak dinikmati di Pulau Jawa dan kurang dapat dinikmati di daerah tertinggal, serta dana JKN lebih banyak dipakai oleh PBI bukannya oleh non PBI.
Di tahun 2019 ada skenario optimis akan tercapai Universal Health Coverage, namun kita juga harus mencegah skenario terburuk jika tidak tercapai. Untuk meminimalkan hal tersebut maka dapat dilakukan upaya menambah jumlah dokter spesialis, menggunakan residen di daerah tertinggal, ataupun penambahan rumah sakit. Jika dilakukan penambahan fasilitas kesehatan kelas 3 maka dibutuhkan investasi yang tidak sedikit yang dapat bersumber dari APBN, kemenkes, APBD daerah dengan kemampuan fiskal tinggi. Namun apakah usaha tersebut mungkin? Hal inilah yang akan diteliti lebih lanjut.
Aspek regulasi juga perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pelayanan kesehatan. Menurut Dr. Sutoto, M.Kes, penyakit kronis saat ini harus menjadi perhatian pada anggaran kesehatan karena beban biaya yang cukup besar. Dengan adanya bonus pertumbuhan penduduk produktif sebesar 70% maka efeknya adalah pembangunan pertumbuhan ekonomi, namun hal ini akan menjadi bencana jika tidak dipersiapkan dengan baik.
Saat ini ketepatan waktu pelayanan di fasilitas kesehatan agak terganggu karena membludaknya pengguna BPJS. Dari sisi akreditasi di tahun 2015 terdapat 1,301 rumah sakit di Indonesia akan habis sertifikat akreditasinya. Program khusus yang ditawarkan untuk rumah sakit tipe C dan D yaitu hanya menjalankan 4 hal yaitu keselamatan, hak pasien, pencegahan dan pengendalian infeksi, serta kemampuan SDM.
Kita juga perlu melihat beberapa model pendanaan jaminan kesehatan nasional dimana ada 4 model pendanaan yaitu beverage model yang berbasis pada pajak dan diterapkan di Inggris, model pendanaan Bismarck yang berbasis pada premi dan diterapkan di Jerman, model national health insurance yang juga dianut di Indonesia serta model out of pocket yaitu pembiayaan yang dilakukan secara perseorangan atau pribadi. Dengan pemerintahan yang baru ini diharapkan kebijakan penerapan Kartu Indonesia Sehat akan bersinergi dengan BPJS, merujuk pada UU SJSN dan UU BPJS, menguatkan JKN, menambah anggaran PBI, dan dapat meningkatkan program preventif dan kuratif.
Aspek hukum tentunya merupakan aspek yang penting dimana saat ini di dunia mengahdai perebutan pasar. Hal tersebut yang dikemukakan oleh Prof. Hikmahanto. Kebijakan suatu negara yang menghambat harus dihilangkan. ASEAN telah menghilangkan hambatan atas barang dan jasa sejak diberlakukannya AFTA.
Pasar di Indonesia luar biasa prospektif untuk pelayanan kesehatan. Pihak luar negeri akan masuk ke Indonesia dengan menggunakan perusahaan – perusahaan yang ada di ASEAN. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah rumah sakit di Indonesia sudah siap menghadapi persaingan yang intens di negaranya sendiri? Pengelola rumah sakit belum tentu siap menghadapi hal ini dan tidak dapat berharap bahwa pemerintah akan melakukan proteksi. Pengelola rumah sakit perlu membenahi pengelolaan rumah sakit sehingga masyarakat Indonesia tetap setia menggunakan jasa rumah sakit.
Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah rumah sakit luar negeri akan beroperasional di Indonesia dengan menggunakan rumah sakit yang sudah ada di Indonesia ataupun mereka menggunakan SDM di Indonesia dengan mendirikan rumah sakit mereka sendiri. Jangan sampai yang terjadi adalah rumah sakit luar negeri membangun rumah sakit mereka sendiri dan beroperasional dengan bantuan SDM Indonesia. Hal tersebut tentunya sangat merugikan namun inilah yang terjadi jika rumah sakit di Indonesia tidak dapat menghadapi persaingan global.
Paripurna 2 : Debat Kebijakan JKN Era 2014 – 2019
Sesi selanjutnya yang masih menarik bagi peserta seminar adalah topik kebijakan JKN sektor perumahsakitan yang dimoderatori oleh dr. Wasista Budiwaluyo, MHA dengan narasumber Prof. Dr. Akmal Taher, Sp U (K) (Dirjen BUK Kemenkes RI), Dr. dr. Fahmi Idris, M. Kes, Direktur Utama BPJS Kesehatan), Prof. Dr. Hasbulah Thabrany, MPH dan Prof. Dr. dr. Paul Tahalele, Sp. B – TKV (Ketua Umum IKABI).
Isu penting yang perlu diperhatikan dalam kebijakan JKN adalah perubahan akses pelayanan kesehatan dasar. Hal ini disampaikan oleh Prof. Akmal Taher yang menggambarkan pula bahwa negara yang sudah menerapkan UHC pasti sudah kuat di pelayanan dasar. Pembangunan kesehatan mempunyai beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan seperti pengembangan JKN, kualitas layanan kesehatan, dan penekanan pada promotif dan preventif.
Di Indonesia ketersediaan kapasitas tempat tidur per kabupaten masih banyak yang belum terpenuhi. Padahal apabila akses ke layanan kesehatan baik maka kualitas kesehatan akan baik pula. Selain itu perlu diusulkan bahwa penetapan kelas rumah sakit A ditetapkan oleh Kemenkes, kelas B oleh Pemerintah Provinsi, dan Kelas C atau D oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sehingga rumah sakit tidak perlu kesulitan untuk meminta penetapan kelas ke pemerintah pusat (Kemenkes). Perlu dipertimbangkan pula bahwa persyaratan kelas rumah sakit lebih pada ketersediaan SDM bukan pada jumlah TT.
Bila berbicara sistem rujukan regional dan nasional, di tiap provinsi dibangun 1 rumah sakit rujukan regional tipe B. Direncanakan akan dibentuk 170 buah rumah sakit regional tipe B dan 12 rumah sakit rujukan nasional tipe A.
Kebijakan program JKN di sektor perumahsakitan juga menjadi topik penting dalam seminar ini. Dr. Fahmi Idris membagikan cerita bahwa ada salah satu rumah sakit di wilayah tertinggal menyatakan tidak dibayar klaimnya. Belum dibayarnya klaim tersebut karena rumah sakit tersebut belum BLUD. Jika sudah BLUD maka manajemen tentunya sudah mengatur hal tersebut.
Kembali ke peran BPJS sebagai pembayar manfaat asuransi kesehatan dan mengelola dana kesehatan masyarakat. Strategi yang diterapkan adalah pada kendali mutu dan biaya sehingga dapat tercapai efisiensi. Ketersediaan fasilitas kesehatan harus memenuhi persyaratan didukung dengan kredensial yang telah ditentukan oleh Kemenkes sehingga dapat tercapai mutu layanan kesehatan. Terobosan yang dilakukan oleh BPJS diantaranya menambah fasilitas sekehatan, sistem rujukan berjenjang, penguatan fasilitas kesehatan primer dan bridging sistem.
Rumah sakit di Indonesia semua JUALAN dan bukannya MELAYANI. Itulah yang dikemukakan oleh Prof. Hasbullah Thabrany. Hal tersebut merupakan fakta yang terjadi di Indonesia. Maka perlu dibuat sistem kesehatan nasional sehingga dapat melayani masyarakat luas. Solusi yang dapat menjamin masyarakat dapat berobat adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat melalui BPJS.
Jaminan kesehatan nasional berusaha mengoreksi beberapa hal seperti memastikan penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan, beban bersama (rumah sakit/penduduk) dan BPJS untuk layanan medis, penduduk punya hak untuk mendapat layanan kesehatan namun juga punya kewajiban yaitu membayar iuran jika ingin mendapat layanan kesehatan.
Negara yang telah menerapkan UHC memiliki pendapatan per kapita semakin meningkat dan negara tersebut tidak bangkrut. Di Indonesia, yang menjadi masalah bagi JKN dan rumah sakit saat ini adalah tarif CBG’s belum adil ke rumah sakit, banyak personil BPJS atau rumah sakit yang belum memahami esensi JKN, masih terbelenggu administrasi, mindset lama, kepentingan instansi/pribadi, bahkan “mengakali”, serta besaran iuran dan bayaran ke fasilitas kesehatan dan kendali mutu masih jauh dari memadai. Dalam hal ini masih terlihat bahwa sistem kesehatan di Indonesia sebenarnya masih dalam kondisi sakit namun BPJS berusaha melakukan koreksi dan revisi tarif berkeadilan.
Paripurna 3 : Belajar Pengalaman Tentang JKN dari Luar Negeri
Sesi terakhir dari hari pertama ini adalah belajar pengalaman tentang JKN dari UK dan peningkatan kualitas rumah sakit dari Malaysia yang dimoderator oleh dr. Wasista Budiwaluyo, MHA dengan narasumber Howard Lyons (Managing Director of Healthcare UK) dan Prof. Kadar Marikar (Chairman of MSQH).
Howard Lyons mengangkat topik mengenai apakah JKN secara finansial akan berkelanjutan. Di Inggris sejak 66 tahun lalu sudah menerapkan JKN dan sampai saat ini masih menyediakan layanan kesehatan kepada masyarakatnya. Bahkan pada 2014, sistem kesehatan nasional (NHS) menjadi yang terbaik diantara sistem layanan kesehatan yang ada. Karakteristik NHS sendiri adalah universal, terintegrasi dan terorganisir. Kekuatan NHS adalah dengan banyaknya pasien, etos kerja yang tinggi dari para profesional, kualitas layanan, ketrampilan tenaga medis dan keterikatan ke komunitas lokal.
NHS bertujuan meningkatkan layanan kesehatan menjadi yang terbaik di dunia, menempatkan pasien pada tempat yang pertama, meningkatkan hasil layanan kesehatan, serta memberikan otonomi bagi profesional dan akuntabilitas bagi pasien. Hal ini akan berefek pada berkurangnya birokrasi.
Untuk meningkatkan layanan pada pasien NHS dengan memberikan insetif kepada tenaga medis sehingga dapat memberikan layanan yang baik kepada pasiennya. NHS juga menghadapi tantangan seperti pasien mengharapkan layanan yang baik, berkaitan dengan keuangan, serta perubahan populasi dimana kasus penyakit degeneratif semakin meningkat.
Beberapa kunci agar layanan kesehatan tetap berkelanjutan adalah dengan menyediakan infrastruktur dan fasilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan public private partnership, dimana dengan kerjasama ini akan dapat merevitalisasi fasilitas publik. Hal lain yang menjadi kunci adalah pelatihan dan pengembangan yang efektif, edukasi dan pelatihan di sekolah kedokteran, sistem informasi yang kompatibel, teknologi medis termutakhir, inovasi teknologi salah satunya dengan meningkatkan kualitas sanitasi dan perumahan, serta menempatkan pasien sebagai pusat layanan. Dengan hal-hal tersebut maka layanan kesehatan akan tetap berkelanjutan.
Meningkatkan kualitas layanan ataupun menerapkan patient safety menjadi perhatian khusus bagi negara Malaysia. Menurut Prof. Kadar Marikar hal tersebut sudah dimulai sejak 1986 yang berawal dari visi dan misi Kementrian Kesehatan Malaysia. Dengan mengukur kualitas maka akan dapat meningkatkan kesehatan dan menurunkan resiko abnormal. Beberapa rencana strategis untuk peningkatan kualitas dapat dilakukan dengan corporate control, pelaporan, menekan infeksi nosokomial, maupun kontrol kualitas.
Dan yang terpenting untuk menerapkan patient safety harus ada peraturan perundangan dan regulasi serta adanya promosi dan edukasi. Selain itu perlu dibentuk patient safety committee. Di Malaysia dibentuk patient for patient safety dimana pasien yang telah melalui seleksi ketat dapat menjadi bagian dari kegiatan patient safety bagi pasien lain. Hal lain yang penting pula adalah sistem pengawasan dan akreditasi fasilitas kesehatan termasuk nursing home.
Reporter: Elisabeth Listyani
Editor: Putu Eka Andayani