Menyongsong HKN ke 50 dan Perubahan Sistem Pelayanan Kesehatan Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
15 Oktober 2015 – 18 Oktober 2015
Hari 1 :: Hari 2 :: Hari 3 :: Hari 4
Paripurna 8 : Abuse dan Fraud dalam Pelayanan JKN di RS
Dampak implementasi JKN terhadap provider swasta menjadi topik yang diangkat pada paripurna keempat ini yang dimoderatori oleh de. Hanevi Djasri, MARS dengan narasumber Prof. dr. Budi Sampurna, SpF, SH (dewan BPJS Kesehatan), dr. Koesmedi Priharto, SpOT, MKes (Dirut RSUD Tarakan jakarta), dr. Mochmmad Syafak Hanung, SpA (Dirut RSUP Dr. Sardjito), dan Dewi Ariyani, SSc, Apt (BPJS Kesehatan).
Prof. Budi Sampurna mengemukakan isu penting yang dihadapi dalam implementasi JKN adalah kualitas layanan dan efisiensi biaya, ketersediaan obat dan alat kesehatan, pengumpulan iuran dari peserta sektor informal, kepatuhan terhadap regulasi, standar, dan protokol, serta pencegahan fraud dan abuse. Pada implementasi asuransi sosial dengan premi yang murah dapat menimbulkan pelayanan yang kurang baik bahkan dapat menimbulkan fraud. Saat ini belum jelas antara fraud dengan tindakan kriminal karena kita tidak sadar kapan kita betul-betul melakukan sebuah kriminal. Fraud yang umum dilakukan di rumah sakit seperti memperpanjang penggunaan ventilator di ICU ataupun tindakan medis yang tidak relevan. Pelakunya ada personil rumah sakit itu sendiri pada saat memberi pelayanan (diagnosis) ataupun saat memproses tagihan rumah sakit.
Gerakan mencegah fraud dapat dilakukan dengan memberi informasi secara terbuka, data dikonsolidasi, review pra pembayaran, melakukan audit, dan provider harus turut serta melakukan pencegahan dengan memberi sanksi kepada pelaku. Rumah sakit harus dapat menginvestigasi dan memberi disiplin kepada pelaku misalnya sampai pada pencabutan SIP. Masalah fraud dan abuse pada implementasi JKN tidak dapat dibebankan kepada masalah-masalah yang dihadapi karena hal tersebut juga terjadi di banyak negara.
Abuse dan fraud di rumah sakit, tanggung jawab siapa? Pertanyaan yang cukup menarik untuk dijawab. dr. Koesmedi Priharto memaparkan bahwa seperti kita ketahui bahwa penentuan tarif CBG’s diambil dari data keuangan. Namun di lapangan ditemukan bahwa masih banyak tarif BPJS yang dianggap tidak adil oleh rumah sakit. Misal penentuan tarif bedah orthopedi menjadi rendah dibanding unit cost karena selama ini plat yang dipasang untuk pasein uangnya dipegang oleh dokter dan tidak dilaporkan sehingga tidak tercatat di rekam medik rumah sakit.
Ketika CGB’s dijalankan timbul beberapa pertanyaan, seperti siapkah institusi menjalankan, siapkah profesi menjalankan, dan siapkah masyarakat menerima sistem tersebut. Selain itu, terkait mindset dokter yang harus diubah dengan kesiapan menggunakan obat generik dan mengurangi ALOS serta berkaitan dengan pembiayaan langsung. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dari 400 data pasien rawat inap ditemukan 40% under code, 7% upcode, dan 3% berpotensial menaikkan tarif. Dari semuanya ini, kita harus bertanggung jawab terhadap fraud dan abuse.
Peran direktur rumah sakit mencegah fraud dikemukakan oleh dr. Syafak Hanung. Potensi fraud di rumah sakit dapat dikatakan cukup tinggi. Kejadian upcoding, phantom billing, infated bills, service unbunding or fragmentation, self referral, type of room charges, key stroke mistake, cancelled services, no medical value, standard of care, dan unnecesary treatment dapat berpotensi terjadinya fraud. Contoh kasus yang diangkat pada diskusi ini salah satunya adalah pemasangan stent jantung. Biaya rumah sakit untuk pemasangan 3 stent dalam 1 kali pemasangan adalah Rp. 90 juta. Dengan tarif BPJS untuk satu kali pemasangan Rp. 46.327..090 dimana tarif BPJS lebih rendah dibanding klaim yang akan diajukan. Melihat kondisi tersebut maka rumah sakit melakukan pemasangan stent sebanyak tiga kali dengan pasien dirawat inap setiap bulan sebanyak tiga kali sehingga nilai klaim dapat lebih tinggi.
Pencegahan fraud dapat dilakukan dengan adanya kerja profesional dan laporan khusus INA CBG’s. Selain itu menetapkan komitmen pelayanan dengan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan kepuasan pelanggan. Rumah sakit perlu membangun sistem pencegahan dan penindakan fraud dengan membentuk tim anti fraud, pendidikan anti fraud bagi staf rumah sakit, melakukan program deteksi dan investigasi internal, melakukan program tindakan, pelaporan, dan pengembalian dana, serta melakukan penelitian mengenai potensi fraud di rumah sakit.
Untuk mencegah fraud perlu adanya peran verifikator dalam memverifikasi klaim BPJS. Hal inilah yang dipaparkan oleh Dewi Ariyani, SSc, Apt. Sistem CBG’s masih terdapat kelemahan sehingga dapat meningkatkan kasus hospitalisasi yang tidak perlu, readmisi pada kasus biaya tinggi, upcoding, pasien yang sembuh dipulangkan terlebih dulu, fasilitas kesehatan memberi layanan berlebihan di luar paket, dan pemberikan layanan yang kurang baik karena tarif tidak mencukupi. Disini peran verifikator diperlukan untuk memverifikasi sesuai dengan aplikasi verifikasi, melakukan verifikasi sesuai kaidah INA CBG’s, melakukan koordinasi dengan fasilitas kesehatan, menjaga kerahasiaan klaim, memelihara data, dan melakukan pengecekan sampai ke rekam medik jika diperlukan.
Deteksi dini fraud dan and abuse dapat dilakukan dengan mempelajari titik-titik kritis terjadinya inefisiensi, menghitung potensi kerugian biaya, dan melakukan pengecekan. BPJS sendiri telah membentuk tim anti fraud karena fraud menjadi tanggung jawab bersama.
Paripurna 9 : Kompetisi Rumah Sakit Dalam Dunia Internasional
Persaingan dalam dunia internasional sangatlah ketat sehingga rumah sakit harus siap berkompetisi. Topik inilah yang dibahas pada sesi yang dimoderatori oleh dr. Adib A. Yahya, MARS dengan narasumber Dr. dr. Hananto Andriantoro, SpJP (K), MARS, FIHA, FICA, FAsCC (Dirut RS Jantung Harapan Kita), Dr. James Riady (Kadin), dr. Ario Djatmiko, SpB (K) Onk, FICS (senior Consultant RS Onkologi), dan Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, SpA (K) (Ketua KKI).
Dr. Hananto Andriantoro memaparkan pengalaman RS Jantung Harapan Kita dalam mencegah pasien Indonesia berobat ke luar negeri. Rumah sakit menghadapi dilema hubungan antara pasien, dokter, dan rumah sakit itu sendiri. Contoh kasus yang dapat diangkat seperti pasien mengeluh sakit dada dan menginginkan diberi pelayanan pemeriksaan EKG sampai lima kali berurut-turut setiap bulan padahal hal tersebut belum tentu perlu untuk dilakukan. Di sisi lain, dokter mengijinkan hal tersebut bahkan rumah sakit memfasilitasi. Keputusan klinis medis harus etis dimana keputusan medis harus ada indikasi medis, berdasar evidence based, ada landasan bio medik, serta harus ada keputusan etik.
Rumah sakit harus memberi edukasi medis baik kepada tenaga medis maupun pasien. Dokter harus mempunyai knowledge dan hardskill serta soft skill sehingga dapat memberikan kualitas pelayanan kepada pasien. Kemampuan medis dan etika yang dimiliki oleh dokter akan menghasilkan keputusan medis yang beretika. Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan luar negeri, Di RS Harapan Kita membentuk teamwork layanan per spesialisasi, memberikan remunerasi kepada dokter, melakukan master of knowledge, mengembangkan layanan unggulan, bekerja sama dengan center-center di luar negeri, dan publish jurnal hasil kerja sama dengan pihak luar negeri.
Rumah sakit yang baik adalah rumah sakit yang mengutamakan hak pasien, mengutamakan layanan, dan mendidik rumah sakit PPK 1 dan 2 untuk berkontribusi. Selain itu jika rumah sakit ingin mendapat dokter yang baik maka rumah sakit harus mengubah paradigma setiap dokter, membuat dokter menjadi baik, dan membuat visi misi rumah sakit yang baik.
Peluang dokter asing bekerja di rumah sakit di Indonesia sangatlah mungkin. Hal tersebut dikemukakan oleh dr. Ario Djatmiko. Rumah sakit menjadi berbeda karena spirit rumah sakit itu sendiri dan sistem yang dijalankan. Sampai saat ini pemerintah belum mampu menyediakan layanan kesehatan yang memadai. Beberapa penentuan untuk SDM antara lain kecukupan dokter spesialis, kemampuan SDM, dan yang tidak kalah penting adalah WNI. Jika persayaratan tersebut tidak terpenuhi maka rumah sakit akan mengambil SDM dari luar negeri. Untuk itu diperlukan upaya meminimalisasi kekurangan spesialisasi adalah dengan meningkatkan pendidikan tenaga medis WNI, pendistribusian spesialis, maupun program shortcut.
Gap antara dokter Indonesia dengan dokter luar negeri sangat tinggi dari sisi kuantitas. Pelayanan sangat dipengaruhi oleh nilai dari rumah sakit tersebut saat ini money driven services. Peran pemerintah dibutuhkan untuk peningkatan kompetensi spesialisasi. Selain itu pemerintah perlu bekerja sama dengan bidang industri. Layanan kesehatan perlu dilihat dari sisi health security, health humanity, dan health economy. Namun yang menjadi pertanyaan adalah health economy yang ada di Indonesia segera terwujud.
Dr. James Riady sebagai praktisi dan owner salah satunya di bidang kesehatan, memaparkan Indonesia masih kekurangan dokter dimana distribusinya juga tidak merata. Kebutuhan akan layanan kesehatan sangatlah besar sedangkan kemampuan layanan kecil. Sebenarnya dengan tekad untuk melakukan dan pengalaman di berbagai kasus maka seharusnya spesialis akan semakin ahli. Masalah bukan hanya pada ketersediaan spesialis namun juga pada sistemnya. Seharusnya dengan sistem yang lebih baik akan meningkatkan produktivitas spesialis mencapai kurang lebih 30 – 40 %.
Rumah sakit milik grup Lippo sendiri telah membuka banyak rumah sakit di pelosok. Lokasi terakhir yang dibuka adalah Bau-Bau. Karakteristik kebutuhan layanan di pelosok lebih pada pelayanan emergency. Dalam menghadapi berbagai masalah di BPJS maka Rumah sakit milik grup Lippo dapat menggunakan teknologi maupun telemedicine. Konsep kerja sama dengan dokter semakin diperkuat dengan adanya doctor’s first agar kemitraan rumah sakit dengan dokter semakin nyata.
AEC Tahun 2015 dan peran dokter ASEAN di Indonesia dipaparkan oleh Prof. Bambang Supriyatno. Masyarakat harus terlindungi oleh dokter yang terstandarisasi. Pada tahun 2015, akan dibuka AEC sehingga tenaga ahli asing dapat masuk ke Indonesia dan tenaga ahli Indonesia dapat keluar untuk bekerja di luar negeri. Permasalahan yang dihadapi jika ketersediaan spesialis tidak memadai di Indonesia maka yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tidak mengambil tenaga ahli dari luar negeri? Apakah AEC 2015 merupakan ancaman ataukah peluang bagi Indonesia? Jika siap menghadapi AEC 2015 maka hal ini merupakan kesempatan, namun jika kita tidak siap maka hal ini merupakan ancaman dengan masuknya dokter asing ke Indonesia.
Kebijakan untuk menghadapi AEC 2015 diantaranya dengan memperkuat regulasi domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan pembatasan kuota, dapat berbahasa Indonesia, dapat beradaptasi, mengikuti uji kompetensi, menjadi anggota perhimpunan, bersedia didistribusikan, tidak berbisnis, dan mempunyai STR ahli. Selain itu dari internal, spesialis Indonesia perlu meningkatkan penguasaan bahasa, teknologi dan informasi, serta visioner. Menjadi dokter yang baik adalah dokter yang mempunyai kompetensi, memperbarui kemampuan dan mempunyai perilaku baik, mempunyai hubungan baik dengan pasien, jujur, dan berintegritas. JADILAH TUAN RUMAH DI NEGERI SENDIRI.
Paripurna 10 : Implementasi Robotic Surgery dan Telemedicine pada Rumah Sakit di Indonesia
Robotic surgery dan telemedicine saat ini merupakan sesuatu yang sedang mulai diterapkan di dunia kedokteran di Indonesia. Sesi ini dimoderatori oleh Dr. dr. Hanny Rono Sulistyo, SpOG, MM dengan narasumber dr. Mursyid Bustami, SpS (K), KIC, MARS (Dirut RS Pusat Otak Nasional), dan dr. Ivan Rizalsini, SpOG (RSB Bunda Jakarta).
dr. Mursyid Bustami memaparkan mengenai pengalaman RS Pusat Otak Nasional dalam menerapkan telemedicine. Dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang harus melayani 230 juta jiwa penduduk Indonesia, distirbusi dokter yang tidak merata, serta sulitnya akses di daerah terpencil, juga sarana prasarana yang kurang memadai di daerah menjadi masalah yang masih dihadapi Indonesia sampai saat ini. Untuk mengurai masalah tersebut salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan telemedicine yaitu pelayanan kesehatan jarak jauh dengan teknologi informasi untuk menegakkan diagnosis, riset, dan pendidikan berkelanjutan. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan telepon (simpel), robotic surgery (kompleks), maupun video conference.
Manfaat yang didapat dari telemedicine ini adalah meningkatnya kualitas layanan, berkurangnya biaya, berkurangnya ALOS, meningkatnya jaringan pelayanan rujukan (homecare), serta deteksi dini penyakit sehingga dapat menurunkan angka kematian. Namun di sisi lain hal ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit, membutuhkan jaringan komunikasi yang baik, pelatihan untuk staf, dan aspek mediolegal serta ketidaknyamanan pasien karena tidak tatap muka langsung. RS Pusat Otak Nasional sudah banyak melakukan telemedicine dengan berbagai rumah sakit di Indonesia untuk membantu dalam melakukan diagnosis maupun tindakan pembedahan. Dengan penggunaan telemedicine ini dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama untuk daerah terpencil yang terbatas jumlah tenaga spesialisnya.
Selain penggunaan telemedicine, hal lain yang menjadi topik bahasan adalah penggunaan robot untuk operasi yang disajikan oleh dr. Ivan Rizalsini. Perkembangan teknik bedah sudah semakin maju dan berkembang, dimulai dari bedah terbuka kemudian laparascopy dan saat ini robotic surgery. Pola kerja teknologi robotic surgery adalah tangan robot akan mengikuti tangan dokter sehingga dokter lebih cepat untuk beradaptasi terhadap teknologi ini dibanding saat menggunakan teknologi laparascopy. Dengan teknologi in,i maka presisi akan semakin baik dan membuat pekerjaan semakin mudah.
Negara yang menggunakan robotic technology seperti USA, Eropa, dan negara-negara lain seperti di benua Australia dan Asia yang menggunakan teknologi ini sudah banyak menangani kasus dengan teknologi robotic surgery. Di Indonesia, teknologi ini baru diterapkan di RS Bunda pada tahun 2012. Kasus yang sudah ditangani kurang lebih 100 kasus. Teknologi ini mempunyai nilai yang tinggi terhadap pasien namun biaya yang harus dibebankan sangatlah tinggi bisa mencapai kurang lebih Rp. 90 – 100 juta per tindakan bedah. Kasus yang banyak ditangani oleh RS Bunda adalah endometriosis. Dengan menggunakan robotic surgery dapat mengurangi resiko ovum berkurang saat pembedahan. Hal ini dibandingkan dengan open surgery ataupun laparascopy yang dapat mengurangi ketersediaan ovum sehingga kesuburan wanita dapat berkurang. Hasil yang dapat diperoleh dari teknologi robotic surgery ini adalah ALOS kurang lebih 2.2 hari, tingkat kenyerian rata-rata 2.3 dari 10, dan pasien dapat pulih dalam 1 – 2 minggu sehingga dapat kembali bekerja.
Reporter: Elisabeth Listyani
Editor: Widarti