Reportase Webinar
Residen : Peserta Didik ataukah Tenaga Profesional
Pembukaan | Sesi 1 | Sesi 2 | Sesi 3 | Sesi 4 | Kesimpulan & Penutup
16 April 2014
Reportase oleh: Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Sesi III: Pertanggung-jawaban Hukum Residen dan DPJP
Pada sesi ini membahas tentang pertanggung jawaban hukum residen dan DPJP yang berthema pertanggungjawaban hukum pidana-perdata / medical liability system dikaitkan dengan peran residen (sebagai DPJP atau bukan), fakultas kedokteran dan RS pendidikan. Bagaimana konsep tanggung-renteng dipergunakan dalam kasus pidana dan perdata?
Sebagai moderator, Dr. dr. Sri Mulatsih Sp. A (K) memperkenalkan pembicara Rimawati, SH, M.Hum dari Fakultas Hukum UGM dan Dr. Darwito, SH, Sp.B. Sp.B(K)Onk sebagai Direktur Operasional RS Kariadi Semarang.
Rimawati, M. Hum memaparkan tanggung jawab hukum, kamus hukum liability (kesalahan yang dilakukan subjek hukum) dan responsibility. Prinsip tanggung jawab dalam hukum antara lain berdasrakan kesalahan, praduga selalu bertanggung jawab (tergugat dianggap bersalah, maka harus dibuktikan), praduga tdak selalu bertanggung jawab (hanya dikenal dalam transaksi konsumen) dan tanggung jawab mutlak (mutlak karena kewenangan yang dimiliki).
Apakah pengelolaan residen merupakan tanggung renteng atau tanggung jawab dengan pembatasan? Menurut beliau Fakultas, Residen dan DPJP dapat disebut subjek hukum yaitu yaitu personal dan badan hokum, DPJP dianggap bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan residen. Dokter yang memberi wewenang, harus tertulis dan dijelaskan di internal peraturan RS dan tanggung renteng terkait MoU yang ada diantara RS dan residen.
Sebagai pembicara kedua dr. Darwito dari RS Karyadi memberikan pembahasan bahwa terdapat dogma tidak ada tindakan hukum tanpa kesalahan jadi jika dianggap salah maka seseorang memang memahami area itu. Pertanggung jawaban mengandung arti menanggung segala sesuatu dan akibatnya dan penyertaan adalah yang diduga melakukan yang turut serta atau terlibat. Delegasi bisa dilakukan jika yang mendelegasikan tahu bahwa beban kerja dapat dilakukan oleh penerima delegasi. Akibat hukum kerugian materiil bisa dihitung tetapi kerugian immaterial yang tak terbatas seperti ketakutan, kehilangan kesenangan hidup yang sering menjadi persoalan.
Pada sesi diskusi yang hangat pertanyaan kritis dari peserta dari Universitas Malang adalah residen yang dikirim adalah chief yang setara spesialis, ketemu kasus kematian, siapa yang bertanggungjawab? Apakah PPDS yang ditugaskan mandiri setara chief bisa jadi DPJP? Dalam tanggapannya dr. Darwito dan Rimawati menyampaikan KKI memberikan STR berdasarkan kompetensi yang diberikan kolegium, jJika kolegium tidak kasih sertifikat kompetensi, maka KKI tidak akan memberikan STR-nya. Hukum itu rumit, jika taat tidak akan ada tuntutan, misal PDS yang hampir sempurna akan lulus, namun statusnya masih siswa. Hal ini terjadi karena belum ujian, maka kompetensinya full secara tanggung jawab hukum masih dilindungi DPJPnya. Apakah mungkin DPJP melakukan pengawasan jika tidak on site? Disampaikan maka RS wajib menunjuk DPJP yang ada di RS tersebut. Jika ada kasus hukum yang bertanggung jawab siapa? Tanggung jawab hukumnya, sejauh MoU yang dibuat FK dan RS tersebut. Jika di luar kompetensinya, maka DPJP harus mempertanggungjawabkan. Kemudian dr. Darwito menambahkan direktur RS wajib menyelenggarakan credential dan recredential melalui komite medik dan pengelolaan residen adalah hubungan kerjasama antara PPDS, Kementrian Kesehatan, Pemerintah Daerah dan pendidikan Nasional.
Diakhir sesi moderator menutup dengan simpulan bahwa diperlukan referensi yang sangat baik untuk menelaah UU atau peraturan yang ada dan regulasi dan pelayanan kesehatan adalah lex spesialis sehingga sebenarnya banyak kasus bisa dihindari unsur pidananya dan hanya unsur perdatanya.