Penanggung Jawab : Ni Luh Putu Eka Putri Andayani,SKM,.M.Kes
–
Contact Person:
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Email : [email protected]
Phone : +62 812 276 433 2
Penanggung Jawab : Ni Luh Putu Eka Putri Andayani,SKM,.M.Kes
–
Contact Person:
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Email : [email protected]
Phone : +62 812 276 433 2
dalam rangka mempersiapkan tenaga ahli lokal sebagai tenaga pendamping pengembangan RSUD di Provinsi NTT
Kupang. Kegiatan Sister Hospital dan Performance Management & Leadership untuk 11 RSUD di Provinsi NTT terus berlanjut. Memasuki Bulan Mei 2013 ini, tim UGM bersama dengan Undana, POGI dan IDAI Kupang (yang sebagian besar merupakan tenaga medis di RSUD Prof. Yohannes), Dinas Kesehatan Provinsi NTT serta Bapelkes Kupang melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui progress yang telah dicapai oleh 11 RSUD tersebut bersama dengan Mitra A-nya masing-masing. Selain Monev, kegiatan yang juga diagendakan pada bulan Mei ini adalah pelatihan RBA untuk Manajer Keuangan RSUD serta capacity building untuk tim Monev.
Sejak awal program SH-PML ini didesain untuk menjamin sustainabilitasnya dengan cara melibatkan mitra lokal. Pada tahun 2012 keterlibatan mitra lokal dilakukan dengan merekrut para mentor lokal (widyaiswara atau tenaga lain yang dianggap kompeten) yang akan berperan sebagai koordinator dan komunikator antara RS Mitra B dengan RS Mitra A, UGM, Dinkes Provinsi dan AIPMNH. Mentor Lokal ini ditempatkan di setiap RSUD.
Pada tahun 2013 ini, peran mentor lokal hilang dan digantikan oleh koordinator yang ada di masing-masing RSUD (staf internal RSUD). Selain itu, peran tim Undana, organisasi profesi dan Dinkes Provinsi juga ditingkatkan dengan melibatkan mereka pada proses monev di 11 RSUD. Tentunya sebelum melakukan monev ada proses brainstorming untuk menjelaskan program, progress yang telah dicapai pada 2011 dan bagaimana rencana kegiatan di tahun 2013 yang akan dimonitoring dan dievaluasi.
Masih di Bulan Mei dilakukan juga capacity building untuk melatih tim monev tersebut lebih lanjut sehingga pada kegiatan berikutnya tim lokal akan memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya, dan tim UGM bisa secara bertahap menyerahkan tanggung jawab kepada tim lokal. Capacity Building yang berlangsung tiga hari ini juga bertujuan untuk membentuk tim pendamping persiapan BLUD bagi RSUD-RSUD di NTT. Diharapkan nantinya RSUD di Provinsi NTT yang membutuhkan pendampingan dapat memanfaatkan sumber daya lokal sehingga bisa menghemat anggaran rumah sakit, dibandingkan jika mengambil tenaga dari luar NTT. Selain itu, penguasaan tenaga ahli lokal terhadap akar masalah dan budaya di NTT tentunya lebih baik dibandingkan dengan penguasaan konsultan dari luar NTT, dimana pemahaman ini nantinya menuntun pada alternatif solusi, strategi dan program kegiatan untuk meningkatkan kinerja RSUD.
Kegiatan capacity building ini dihadiri oleh kurang lebih 30 peserta yang berasal dari P2K3 (Pusat Penelitian Kebijakan Kedokteran dan Kesehatan) yang berada di bawah Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang, pengurus dan anggota POGI dan IDAI ynag juga merupakan staf medis di RSUD Prof. Yohannes Kupang, serta tim dari PKMK FK UGM. Kegiatan ini menghasilkan suatu kesepakatan mengenai:
ENDE-Ratusan karyawan RSUD Ende yang terdiri dari para perawat, bidan dan tenaga penunjang non medik melakukan aksi mogok. Akibat aksi tersebut pelayanan medis di rumah sakit itu lumpuh sekitar dua jam. Aksi mogok kerja itu dipicu jasa medik yang belum dibayar pihak manajemen sejak Januari 2013.
Disaksikan Pos Kupang, Kamis (16/5/2013) sekitar pukul 08.00 Wita, puluhan karyawan RSUD Ende hanya duduk-duduk di depan Kamar Unit Gawat Darurat (UGD), ruangan koperasi dan kantin maupun apotek. Para karyawan enggan masuk ke ruang kerja mereka yang berada di bagian dalam rumah sakit.
Melihat para karyawan rumah sakit belum juga masuk ke ruangan kerja, Direktur RSUD Ende, dr. Yayik Prawitra Gati menemui para karyawan. Namun, tidak ada pembicaraan serius yang disampaikan oleh para karyawan. Para karyawan terlihat enggan berbicara ketika ditanya tentang alasan mereka tidak segera masuk kerja.
Aksi mogok yang dilakukan para karyawan membuat sebagian pelayanan di rumah sakit sempat mengalami gangguan. Di beberapa poli seperti poli anak, poli penyakit dalam, poli laktasi dan poli kandungan tidak terlihat satupun tenaga medis yang melayani pasien. Meski di beberapa ruangan masih terlihat ada tenaga medis yang melayani pasien.
Para tenaga medis dan non medis yang melakukan aksi mogok enggan melakukan dialog meskipun beberapa kali diajak oleh pihak manajemen untuk berdialog di dalam ruangan atau di Aula RSUD Ende. Mereka memilih tetap bertahan di depan RSUD Ende.
Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif, Direktur RSUD Ende yang telah masuk ke dalam ruangan kerjanya kembali mendatangi para karyawan yang bertahan di depan UGD. Setelah beberapa kali diminta Direktur RSUD Ende, dr. Yayik Prawitra Gati, para karyawan akhirnya mau membuka suara tentang alasan mereka melakukan aksi mogok.
Menurut Natalia Y Demu, aksi mogok yang mereka lakukan, Kamis (16/5/2013), merupakan akumulasi ketidakpuasan mereka terhadap pihak manajemen yang belum merealisasikan jasa medik bagi para karyawan. Sebab, setiap kali ditanya hanya janji-janji segera dibayar tapi tidak ada ralisasinya.
Karena itu, kata Natalia, dia dan rekan-rekannya berharap agar pihak manajemen segera merealisasikan pembayaran jasa medik yang telah tertunggak sejak Januari 2013 lalu.
Karyawan lainnya, Aji Sare meminta agar pihak manajemen mempertimbangkan kembali pembayaran jasa medik yang dinilainya sangat tidak seimbang antara para karyawan medik dan non medik. Para karyawan medik pembayarannya sangat besar, sedangkan non medik sangat sedikit.
“Ada karyawan medik yang dibayar hingga Rp 400.000 bahkan jutaan rupiah. Tapi karyawan sukarela hanya dibayar Rp 75.000. Perbedaannya sangat jauh,” keluhnya. *
Keluarga Pasien Mengamuk
SAAT para karyawan sedang berdialog dengan Direktur RSUD Ende, tiba-tiba datang sejumlah keluarga pasien. Mereka mengamuk lantaran keluarga mereka yang sakit tidak segera mendapatkan pelayanan medis.
“Soal gaji atau apa, itu urusan kalian. Yang kami tahu bahwa kami datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan. Tapi kenapa keluarga kami tidak segera mendapatkan pelayanan,” kata salah seorang keluarga pasien yang mengaku bernama Lius Raga.
Lius mengatakan, apabila terjadi hal-hal negatif menimpa keluarga mereka maka pihak rumah sakit yang harus bertanggungjawab.
Keluarga pasien lainnya, Maria Y Osram, mengatakan, sejak pagi keluarganya tidak mendapatkan pelayanan medis. “Saya sangat kecewa karena ketika saya datang diarahkan ke lantai dua. Namun setelah di lantai dua kami tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.
Direktur RSUD Ende, dr. Yayik Prawitra Gati mengatakan, jasa medik bagi para karyawan akan segera dibayar. Mengenai belum dibayarnya jasa medik dari Januari hingga Mei 2013, Yayik mengatakan, itu disebabkan masih dalam perhitungan yang lebih cermat menggunakan sistem kerja sebelumnya menggunakan cara manual.
Khusus untuk bulan Januari akan segera dibayar pada hari yang sama. “Kita terkendala secara teknis dengan pihak BRI. Namun saya memastikan bahwa hari ini (Kamis, Red) akan segera dibayar,” kata dr. Yayik.
Setelah memberikan penjelasan, seorang pegawai BRI datang. Ia menjelaskan, uang jasa medik bagi para karyawan telah ditransfer ke rekening masing-masing karyawan 30 menit sebelumnya. Mendengar penjelasan itu, para karyawan menyambutnya dengan tepuk tangan lalu kembali masuk kerja.
Mengenai permintaan para karyawan khususnya non medik, dr Yayik mengatakan, hal itu akan ditinjau kembali. Ia mengajak sejumlah karyawan masuk dalam tim untuk membahas soal jasa medik.
Sumber: tribunnews.com
Maluku – Pembangunan rumah sakit umum (RSU) Tipe C di Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, Maluku, terus berjalan. RSU Tipe C itu dibutuhkan sebagai pusat rujukan dari puskesmas dan puskemas pembantu di kabupaten Buru. Pembangunan itu telah menyedot anggaran APBD Buru 2012 sebesar Rp6,5 miliar pada 2012 dan Rp7,5 miliar pada tahun ini.
RSU ini, kata Bupati Buru Ramly Umasugi, sangat dibutuhkan untuk melayani lebih dari 100.000 jiwa penduduk yang tersebar di lima kecamatan dengan 81 desa.
Ramly mengaku telah berdiskusi dengan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada rapat koordinasi kesehatan daerah Maluku di Ambon pada 13 Mei lalu. Ramly meminta bnatuan berupa alokasi dana APBN untuk menyelesaikan RSU tersebut.
“Pada prinsipnya Menkes setuju karena ibu kota kabupaten harus memiliki minimal satu unit RSU sebagai pusat rujukan dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa,” ujar Ramly.
Pemkab Buru juga berupaya meningkatkan kualitas tenaga kesehatan dengan menyekolahkan perawat maupun dokter, salah satunya bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto. Sedangkan untuk pendidikan dokter,bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin(Unhas) Makassar serta Universitas Pattimura Ambon.
“Ada enam dokter spesialis yang kami dukung pendidikannya, karena memang dibutuhkan untuk melayani di RSU Tipe C nantinya bila rampung nanti,” kata Ramly.
Sumber: pdpersi.co.id
KARAWANG – Forum Perlindungan Konsumen Kabupaten Karawang Jawa Barat mengingatkan Dinas Kesehatan setempat untuk meningkatkan pengawasan persediaan obat di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang agar tidak terjadi peredaran obat kadaluarsa.
“Persediaan obat di RSUD Karawang harus benar-benar terjamin. Jangan sampai obat kadaluarsa beredar di rumah sakit, karena bisa membahayakan pasien,” kata Ketua Forum Perlindungan Konsumen Karawang Eddy Djunaedy di Karawang, Kamis.
Hal itu disampaikan Eddy menyusul ditemukannya obat kadaluarsa yang sempat beredar di RSUD Karawang, sesuai dengan catatan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.
Peredaran obat kadaluarsa itu sendiri melanggar Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika terdapat bukti kuat terkait peredaran obat kadaluarsa itu, maka pihak RSUD bisa dilaporkan.
“Dalam pasal 8 ayat (1) butir a Undang Undang Perlindungan Konsumen disebutkan, memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan itu merupakan bagian dari pelanggaran,” kata dia.
Ia mengingatkan agar Dinas Kesehatan setempat lebih meningkatkan pengawasan terkait dilaporkannya peredaran obat kadaluarsa di RSUD Karawang. Sehingga ke depan tidak ada lagi laporan mengenai hal tersebut.
Sumber: republika.co.id
Jember – Pegawai rumah sakit daerah di Kabupaten Jember perlu meningkatkan keramahtamahan dalam melayani pasien. Urusan keramahtamahan, rumah sakit milik pemerintah daerah masih kalah dibandingkan rumah sakit swasta.
“DPRD Jember merekomendasikan agar Bupati MZA Djalal melatih pegawai ‘untuk tersenyum dan bersikap ramah’ kepada pasien dan pengunjung Rumah Sakit Daerah. Perlu ada upata pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia dan meningkatkan anggaran pelatihan,” kata Evi Lestari, Wakil Ketua Komisi A Bidang Pemerintahan dan Hukum.
Menurut Evi, petugas rumah sakit daerah irit senyum dan kurang ramah terhadap pasien. “Ini berbeda dengan petugas rumah sakit swasta. Padahal dari sisi kelengkapan fasilitas, Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi lebih lengkap dibandingkan rumah sakit swasta,” katanya. Namun karena minimnya keramahan, warga memilih berobat ke rumah sakit swasta.
Evi mengingatkan, kesehatan adalah kebutuhan dasar dalam kehidupan yang memerlukan perhatian khusus. Layanan kesehatan seyogyanya tidak diskriminatif. “Artinya, tidak hanya memprioritaskan orang mampu, tapi juga memberikan pelayanan setara bagi masyarakat tidak mampu melalui layanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin,” katanya.
Terkait pelayanan, Evi menilai, masih banyak keluhan terhadap layanan di puskesmas. Puskemas bukan lagi dianggap akronim dari pusat kesehatan masyarakat, tapi akronim dari pusing keseleo dan masuk angin. Layanan kesehatan belum maksimal dimanfaatkan warga miskin, karena minimnya informasi dan rumitnya persyaratan administrasi untuk memperoleh pelayanan. “Muncul percaloan karena rumitnya administrasi,” katanya.
Sumber: beritajatim.com
Sumber: beritasore.com
Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Hardionomengatakan, saat ini ada 25 rumah sakit, baik di dalam maupun luar Kota Depok yang telah bekerja sama dengan Pemerintah Kota Depok dalam melayani pasien Jamkesda.
“Kita bekerja sama dengan semua rumah sakit yang ada di Kota Depok, namun tetap harus bekerja sama dengan rumah sakit di luar Depok karena sarana dan prasarana di Kota Depok yang kurang,” tuturnya kepada wartawan di Balai Kota Depok, Selasa (14/5/2013).
Menurut Hardiono, saat ini Depok hanya memiliki tiga rumah sakit B, yaitu Rumah Sakit Puri Cinere, Rumah Sakit Meilia, dan Rumah Sakit Sentra Medik. Sementara rumah sakit lainnya masih tipe C dengan kapasitas tempat tidur tidak lebih dari seratus. Tipe rumah sakit tersebut dilihat dari jumlah rumah sakit, jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya, serta sarana dan prasana rumah sakit.
“Rumah sakit tipe B di Kota Depok pun semuanya masih B minus, jadi sebenarnya harus perlu ditingkatkan lagi sarana dan prasarananya, sehingga bisa memenuhi persyaratan sebagai rumah sakit tipe B,” katanya.
Sementara itu, saat ini rumah sakit di Depok juga masih kekurangan 72 tempat tidur di ruangan perawatan intensif. Saat ini sudah ada 113 tempat tidur intensif care yang ada di semua rumah sakit yang ada di Kota Depok, yaitu 36 tempat tidur Intensive Care Unit (ICU), empat tempat tidur Intensive Coronary Care Unit (ICCU), empat tempat tidur High Care Unit (HCU), 31 tempat tidur Neonatal Intensive Care Unit (NICU), dan 15 tempat tidur Pedriatic Intensive Care Unit (PICU).
Jumlah tempat tidur intensive care masih kurang 16 tempat tidur ICU, enam tempat tidur ICCU, delapan tempat tidur HCU, 18 tempat tidur NICU, dan 24 tempat tidur PICU.
“Dinas Kesehatan Kota Depok berupaya terus meningkatkan kualitas rumah sakit di Kota Depok. Salah satunya, menghimbau setiap rumah sakit untuk menyediakan sarana intensive care,” tandasnya.
Sumber: health.okezone.com
Di Australia, sebuah laporan baru mengungkap 45 persen wanita di rumah-rumah sakit jiwa negara bagian Victoria mengalami serangan seksual selama perawatan.
Statistik baru telah membongkar suatu kenyataan pahit tentang pengalaman para wanita yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Sebuah laporan oleh Victorian Mental Illness Awareness Council (VMIAC) mengungkapkan, 45 persen wanita di rumah-rumah sakit jiwa negara bagian itu mengalami serangan seksual selama dalam perawatan.
Laporan itu menemukan 70 persen wanita yang dirawat di rumah-rumah sakit jiwa menjadi korban gangguan seksual. Malahan bagi banyak wanita, itu menjadi penyebab penyakit mental mereka.
Meskipun telah dilakukan perombakan belakangan ini, termasuk ruangan-ruangan khusus wanita, para korban mengatakan, sistem yang diterapkan untuk melindungi mereka dan respon pihak rumah sakit sangat tidak memadai.
Direktur Victorian Mental Illness Awareness Council (VMIAC), Isabell Collins, mengatakan kepada program 7.30 ABC, kultur pelecehan seksual tidak dapat lagi ditolerir.
“Kita tidak boleh punya sikap bahwa hal-hal seperti itu memang bisa terjadi di RS Jiwa,” katanya.
“Insiden-insiden itu terjadi karena situasinya memungkinkan, karena sistem kita memungkinkannya terjadi dan respon kita memungkinkannya terus terjadi.”
Laporan itu merekomendasikan antara lain, keharusan melaporkan kepada kepala rumah sakit, pintu yang dapat dikunci untuk pasien wanita – yang hanya dapat dibuka dengan kunci perawat dan rencana perawatan yang mempertimbangkan trauma seksual sebelumnya.
Sumber: radioaustralia.net.au