DR. Dr. Ali Sungkar, SpOG dari RSCM sebagai Mitra A bagi RSUD Ruteng

Pada sesi diskusi terungkap bahwa definisi operasional untuk berbagai indikator di atas sudah disusun sejak framework ini dibuat di awal program. Namun dalam perjalanannya, beberapa definisi mengalami penyesuaian. Kedepannya hal ini akan dievaluasi kembali oleh Tim SH.  Prof. Laksono menempatkan fokus pada terjadinya perpindahan lokasi kematian dari masyarakat ke RS. Ia menanyakan mengapa hal ini terjadi; apakah karena RS tidak siap atau memang mutu pelayanannya yang harus diperbaiki. Ia berharap RS Mitra A menelusuri kembali berbagai kemungkinan penyebab dari kematian-kematian tersebut. Selain itu, pada kesempatan ini Prof. Laksono juga menyampaikan bahwa salah satu upaya advokasi ke Pemerintah Pusat (Dirjen BUK). Upaya yang dimaksud yaitu agar ada anggaran dari pemerintah pusat bagi RS-RS besar untuk melaksanakan assignment berupa pembinaan pada RS daerah terpencil dan puskesmas. 

Dr. Slamet Riyadi turut memberikan masukan bahwa 41% kematian ibu terjadi di RS pemerintah. Masalah terbesar adalah belum siapnya rumah sakit dan puskesmas. AMP menjadi semakin penting untuk menelusuri penyebab kematian tersebut dan berdasarkan hasil AMP pemerintah bisa mengambil kebijakan maupun langkah konkritnya. Dr. Slamet sepakat untuk menggunakan angka absolut (bukan rate) untuk menghitung angka kematian ibu dan bayi. Dr. Slamet juga menekankan bahwa ini merupakan masa yang sangat penting dalam exit strategy dan diharapkan bisa direplikasikan di tempat lain. 

Dr. Mulyo Hadi, SpOG dari RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang sebagai RS Mitra A bagi RSUD Soe dan RSUD Atambua

Ia sependapat dengan Dr. Stefanus sebelumnya bahwa pemerintah sudah cukup banyak melakukan intervensi pada layanan kesehatan primer. Dalam jangka pendek untuk menghadapi MDGs, maka layanan di RS yang harus dibenahi. Oleh karena itu, RS harus siap meghadapi perubahan-perubahan tersebut dan untuk itulah diperlukan exit strategy sebagai bahan untuk advokasi ke pemerintah pusat.  Selanjutnya, Dr. Slamet menggarisbawahi beberapa pointdalam pelaksanaan kegiatan SH ini, yaitu: 

1. harus ada niat yang tulus dari semua pihak yang terlibat
2. sistem informasi dikembangkan meskipun yang manual
3. upayakan agar antara Mitra A dan B setara
4. telemedicine sangat penting untuk daerah remote, tinggal bagaimana membiasakan dan menyiapkan SDMnya
5. unit cost pengiriman dokter spesialis atau PPDS perlu dihitung dengan benar
6. pendekatan pada institusi pendidikan agar lebih banyak yang terlibat sebagai “sister” 

DR. Dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTMN&H, MARS, , Dirjen Bina Upaya Gizi dan KIA, Koordinator Program MDGs

Ia menambahkan bahwa harus ada kesadaran dan kemauan dari RS Mitra A dan Fakultas Kedokteran bahwa program ini tidak semata untuk menolong RS Mitra B atau daerah, melainkan juga untuk membantu proses pendidikan dokter spesialis.  Terkait dengan hal tersebut, menurut Prof. Laksono perlu ada kemitraan yang kuat antara RS Mitra A dan RS Mitra B agar  menjadi tim yang tangguh dengan regulasi dan aspek hukum yang jelas. Artinya, tim ini harus berada pada unit yang jelas di RS, misalnya Diklat, bukan sekedar Pokja biaya yang sifatnya temporer. 

Lebih lanjut Prof. Laksono mengatakan bahwa genderang perang melawan kematian ibu dan bayi semakin kencang ditabuh. Dengan kondisi ini, semua pihak yang terlibat perlu untuk menggarisbawahi kegiatan ini bukan seperti proyek biasa yang akan dikerjakan jika dana masih banyak, dan fase terminasi ditandai dengan delivery laporan kegiatan dan keuangan, lalu tidak ada tindak lanjut. Exit strategy diharapkan bukan sekedar tutup buku. Prof. Laksono menjanjikan bahwa UGM akan terus men-support dengan model-model manajemen apa saja yang bisa diterapkan. RS Mitra A perlu secara lebih optimal memanfaatkan teknologi komunikasi jarak jauh yang telah disiapkan oleh Pusdatin untuk menggiatkan kembali support kepada RS Mitra B.

Putu Eka Andayani (PKMK FK UGM) memaparkan progress kegiatan Performance Management and Leadership

Pada laporan progress kegiatan PML yang disampaikan oleh Putu Eka Andayani., SKM., M.Kes memang terlihat bahwa baru satu dari 11 RSUD di NTT yang terlibat kegiatan ini telah ditetapkan sebagai BLUD, yaitu RSUD Ende. Namun setidaknya dibandingkan dengan pertemuan koordinasi pada bulan April lalu, saat ini sudah ada kemajuan. Beberapa dari 10 RSUD yang sedang berproses tersebut sudah mendekati titik final.Hampir seluruh RSUD tersebut menargetkan awal 2014 sudah mengimplementasikan PPK-BLUD.

Kemajuan juga ditunjukkan pada empat kegiatan wajib lainnya (akreditasi sudah diselesaikan sejak periode sebelumnya) yaitu:

1. Ijin operasional; saat ini seluruh RSUD sudah selesai dan memperoleh ijin operasional yang pada pertemuan lalu masih terkendala dengan beberapa aspek non teknis (misalnya sertifikat tanah)
2. Pemenuhan syarat sebagai RSUD Kelas C; tinggal 2 RSUD yang masih dalam proses akhir
3. Penghitungan asset; sebagian sudah selesai dan sebagian lagi pada tahap akhir
4. Regulasi internal; semua RSUD sudah melengkapi berbagai perangkat regulasi internalnya. Status saat ini adalah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai regulasi internal tersebut.

Selain program wajib tersebut, setiap RSUD bersama dengan RS Mitra A-nya masing-masing juga melaksanakan berbagai program tambahan, mulai dari gugus kendali mutu, pembenahan sistem keuangan (dimulai dengan billing system), upaya-upaya pengenalian infeksi, manajemen bangsal, komunikasi, manajemen rekam medis, budaya kerja, kepemimpinan, hingga pelatihan pencegahan penculikan bayi.

Kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan program PML (dan juga Sister Hospital) ini antara lain karena beberapa RSUD mengalami pergantian pimpinan puncak, antara lain RSUD Ende, RSUD TC Hillers dan RSUD Umbu Rara Meha. Sebelumnya, tiga RSUD lain juga telah mengalami pergantian direktur yaitu RSUD Soe, RSUD Lewoleba dan RSUD Atambua.

Melengkapi data di atas, Dr. SMJ Koamesah (Kepala P2K3 Undana) menyampaikan bahwa dari enam syarat administratif BLUD, yang sudah paling siap adalah Dokumen Pola Tata Kelola. Selanjutnya secara berturut-turut adalah Pernyataan kesanggupan meningkatkan kinerja, Rencana Strategis Bisnis, SPM, Laporan Keuangan Pokok dan Pernyataan kesanggupan untuk diaudit secara independen. Untuk selanjutnya, pertemuan-pertemuan jarak jauh untuk meningkatkan intensitas upaya persiapan ini akan dilakukan oleh RS Mitra A, P2K3 Undana maupun PKMK FK UGM.

Pembukaan: Membenahi Rumah Sakit juga Merupakan bagian dari Upaya Public Health

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD membuka pertemuan

Pembukaan ini dilakukan oleh Dr. Stefanus Brian Seran., MPH (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT) dan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Ketua tim SH-PML). Dalam pengantarnya, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD selaku ketua tim SH-PML menyampaikan bahwa saat ini program SH-PML sudah memasuki masa transisi. Artinya, peran UGM selaku koordinator program mulai ditransfer secara bertahap pada mitra lokal, yakni Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan P2K3 Undana. Untuk itu, monitoring dan evaluasi justru harus dilakukan secara lebih ketat. Tanpa monev, dana program yang sudah dialokasikan sangat banyak ini akan sia-sia, tanpa ada hasil yang terukur. Apalagi di level provinsi maupun pusat, advokasi sudah beberapa kali dilakukan dalam rangka exit strategy. Ini akan memerlukan follow up dan monev yang lebih ketat. 

Prof. Laksono berharap bahwa seluruh RS Mitra A memiliki unit pelatihan jarak jauh, karena dengan model ini akan memungkinkan kemudahan komunikasi, tanpa harus datang ke RS Mitra B. Dokter spesialis di RS Mitra A tidak perlu meluangkan waktu terlalu banyak untuk melakukan perjalanan ke pelosok, namun cukup 2-3 jam per minggu untuk melakukan telemedicine, misalnya.

Dr. Stefanus Bria Seran, MSc memberikan sambutan di awal pertemuan

Hal ini tentu saja dimungkinkan dengan telah adanya fasilitas V-Sat yang telah diadakan oleh Kemenkes untuk daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu, Prof. Laksono berharap RS Mitra A memasukkan kegiatan ini dalam perencanaan dan penganggarannya masing-masing. 

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT Dr. Stefanus Brian Seran., MPH menyampaikan bahwa kegiatan ini harus dikembalikan lagi pada misi awalnya, yaitu menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Apapun pelatihan dan perbaikan sistem yang dilakukan, harus bertujuan untuk misi tersebut, bukan sekedar memastikan bahwa K1-K4 tercapai 100%. Beliau tidak setuju dengan pendapat bahwa pelayanan dasar, bukan rumah sakit yang harus dibenahi untuk menurunkan AKI dan AKB. Menurutnya, sudah berpuluh tahun pemerintah menata pelayanan dasar, mengintensifkan antenatal care, dan seterusnya, namun angka kematian tetap tinggi. Public health menurutnya bukan sekedar memberikan tablet FE dan imunisasi di posyandu, melainkan juga meliputi pembenahan rumah sakit. Oleh karena itu, sudah saatnya RS juga dibenahi sebagai fasilitas yang sering menjadi tempat kematian ibu dan bayi. Berdasarkan data riil, angka kematian ibu di hampir semua provinsi di Indonesia naik sedangkan di NTT menurun. Kematian bayi di NTT menunjukkan pola menarik,  yaitu naik dan turun secara berselang seling.

Grafik Jumlah Kematian Ibu dan Bayi di Provinsi NTT, 2009 – Juni 2013

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi NTT

Para peserta pertemuan terdiri dari utusan dari RS Mitra A

Dalam hal ini, dr. Stefanus berpesan khusus pada semua pihak yang terlibat agar mengusahakan dengan lebih intensif, agar 11 RSUD di NTT ini ditetapkan menjadi BLU. Hal ini diyakini dapat mengurangi berbagai kendala birokrasi yang selama ini masih terjadi dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

Pertemuan Koordinasi Sister Hospital-Performance Management & Leadership Provinsi NTT

Reporter: Ni Luh Putu Eka Andayani SKM., MKes ;Editor: Agus Rahmadi, S.Si 

PKMK-Surabaya. Untuk kedua kalinya tahun ini Program Sister Hospital (SH)-Performance Management & Leadership (PML) bertemu untuk memaparkan progress yang telah dicapai sampai dengan Juli 2013 oleh RS Mitra A (9 RS pendidikan/RS besar di Indonesia) dan RS Mitra B (11 RSUD di NTT). Pertemuan ini dilaksanakan pada 1 Oktober 2013 di Surabaya dan dihadiri oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTT, AIPMNH, RS Mitra A, P2K3 Undana serta tim SH-PML PKMK FK UGM. Turut hadir pula sebagai undangan DR. Dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS, Dirjen Bina Upaya Gizi dan KIA yang sekaligus sebagai Koordinator MDGs. 

Jadwal Kegiatan

CDC study shows rate of antibotic resistance to HAIs rising faster than predicted in 2008

by Larry Beresford

Antibiotic resistance to hospital-acquired infections (HAIs) is rising at faster rates than predicted in 2008 by the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), according to an analysis of privately gathered data reported in a recent commentary in Antimicrobial Agents and Chemotherapy, concluding that resistance is “at crisis levels.”3

Antibiotic-resistant microbes infect more than 2 million Americans each year and kill more than 100,000.

“We must act to find new weapons in the global battle against deadly superbugs,” particularly three common HAIs: acinetobacter, E. coli, and klebsiella, said co-author Brad Spellberg, MD, infectious-disease specialist at Harbor-UCLA Medical Center in Los Angeles.

A recent fact sheet from the Alliance for Aging Research notes that older patients, who represent 45% of HAIs annually, carry a higher burden of illness and less favorable outcomes than younger patients.4

Meanwhile, a study of the ICUs at 43 Hospital Corporation of America hospitals, published in the New England Journal of Medicine, provides support for treating all ICU patients with universal precautions for methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).5 Washing all ICU patients with antibiotic soap and administering nasal antibiotics reduced all types of bloodstream infections by 44% and proved more effective than the common practice of screening patients for MRSA first, then treating those testing positive.

Another recent resource for HAIs is the “Eliminating Catheter-Associated Urinary Tract Infections” guide from the American Hospital Association’s Hospitals in Pursuit of Excellence unit.6 The booklet recommends an evidence-based, three-step action plan derived from AHA’s On the CUSP: Stop CAUTI project, and is available free on the AHA website. It has an accompanying webinar, which outlines the business case for eliminating catheter-associated urinary tract infections (CAUTIs) and the importance of hospital culture in achieving sustainability.

Source: the-hospitalist.org

Skalanews – Pasien kurang mampu atau miskin tetap menjadi prioritas pelayanan RSUD Banten. Hal itu tidak lain untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

“Kami menyediakan tempat ruang inap sekitar 75 persen kelas tiga yang diperuntukan bagi pasien miskin,” kata Wakil Gubernur (Wagub) Banten Rano Karno saat peresmian RSUD Banten, Kamis (3/10).

Pemerintah daerah (Pemda) Banten, menurut dia, mendorong agar masyarakat menikmati pelayanan kesehatan. Sebab kesehatan juga akan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM).

Oleh sebab itu, Rano melanjutkan, pihaknya sangat mendukung pembangunan RSUD Banten guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Ia mengungkapkan, saat ini, pelayanan kesehatan paling banyak di perkotaan, seperti Tangerang. Sedangkan, untuk wilayah Kabupaten Lebak dan Pandeglang relatif terbatas.

Pembangunan RSUD Banten ini, diharapkan kedua wilayah tersebut dapat menikmati pelayanan kesehatan.

Pelayanan RSUD Banten merupakan rumah sakit rujukan karena fasilitas dan tenaga dokter spesialis cukup memadai.

“Kami berharap dengan dibangunya RSUD Banten dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,” katanya.

Sumber: skalanews.com

In an effort to reduce hospital admissions among the elderly, Medicare has initiated a penalty program, which started in October of 2012. This program was started to pay hospitals for the quality of their services rather than the number of patients they treat.

Reducing hospital readmission rates has become a priority with U.S. policymakers because they believe that this will not only lower costs, but also improve care provided to the patient during their hospital stay. As part of the Affordable Care Act (ACA), Congress directed the Centers for Medicare and Medicaid Services (CMS) to penalize hospitals with “worse than expected” 30-day readmission rates.

Hospitals in every state but one will be fined $227 million dollars by Medicare in the second round of the government’s campaign to reduce the number of patients readmitted within a month, according to federal records released recently.

“Hospitals are being penalized for discharge patients returning to the hospital too quickly. The assumption is that the patient is being released too early or without adequate post-hospital care management,” said Matt Klinger, chief marketing officer at All Valley Home Care. “Hospitals are reimbursed according to the patient’s DRG (diagnosis and condition) and their health plan’s pre-determined number of covered days. This is known as ‘length of stay.’ ”

Hospitals need to arrange for adequate post-hospital care within the allowed ‘length of stay’ days. An average stay in the hospital is usually three to seven days. Once a patient gets past the covered length of stay days, the hospital starts losing money. The hospital must provide safe discharges and quality transitional care management, usually for 30 to 60 days.

With nonmedical home care, a care manager can be brought in before the discharge. They will conduct a free consultation with a potential client and family to educate them on the available resources to help them stay at home living as independently as possible. Having an in-home caregiver also can prevent unnecessary trips to the emergency room. In most cases, the caregiver will catch the decline in its early stages and arrange for an intervention.

“The caregiver will know if a client is losing weight or falling down,” said Klinger. “Quick detection is a big part in preventing that decline. Another key is getting to the patient before they are discharged from the hospital. All Valley is currently working on garnering contracts with hospitals to take care of newly discharged patients for the first 30 to 60 days to reduce the likelihood of hospital re-admission. In many cases, reducing 30 to 60 day re-admissions is as simple as bringing in a caregiver to help monitor and educate the patient about their disease and dietary needs. All Valley caregivers also help with daily living activities such as bathing, grooming, transportation to appointments, and reminders to take medication.”

Source: utsandiego.com

BANYUWANGI – Pasca peluncuran fasilitas E-Health pada Agustus lalu yang ditujukan untuk percepatan pelayanan pasien di RSUD Blambangan, ternyata masih ditemukan beberapa kendala dilapangan. Persoalan utama yang paling dikeluhkan pasien adalah lambannya pelayanan loket farmasi.

Salah satu pasien bernama Atminah (57), asal Desa Padang Kecamatan Singojuruh yang ditemani putranya berobat ke poli saraf mengaku sudah 3 jam mengantri di loket farmasi. Pasien pengguna jamkesmas ini, rutin berobat ke RSUD Blambangan selama 1,5 tahun terakhir. Menurutnya, selama rentang waktu itu dirasakannya belum ada perubahan dalam pelayanan farmasi.

“Dari dulu sampai sekarang ya gini, lama nunggunya. Nggak ada perubahan,” keluhnya ditemui sunriseofjava.com, Senin (1/10/2013)

Hal senada juga dikeluhkan Sutrisno (30), pasien asal Desa Wonorejo, Kecamatan Wongsorejo. Pria yang berobat ke poli THT ini baru kali pertama berobat ke RSUD Blambangan. Dia mengaku sudah menyerahkan resep ke loket farmasi sekitar pukul 10.30 Wib. Dan hingga pukul 12.30 Wib, resep dengan jumlah 4 varian obat yang diharapkannya belum diterima.

Perubahan pelayanan dirasakan pasien hanya di loket pendaftaran. Pasien mengakui jika ada kemudahan dalam registrasi. Namun, persoalan yang dikeluhkan Atminah dan Sutrisno diatas, bisa menjadi bahan evaluasi bahwa pelayanan farmasi di RSUD Blambangan masih perlu dikoreksi. Idealnya, pelayanan di loket farmasi paling lama adalah 30 menit, sesuai dengan program E-health yang sudah diterapkan.

Direktur RSUD Blambangan, dr Taufik Hidayat saat dikonfirmasi mengakui hal tersebut. Dokter murah senyum ini menjelaskan jika hingga saat ini pihaknya masih lakukan perbaikan dan evaluasi di berbagai sektor. Terutama pada bidang farmasi.

Saat ini RSUD Blambangan masih kekurangan tenaga ahli sebagai asisten apoteker. Sehingga untuk menanggulangi kekurangan personil tersebut, pihaknya lakukan jam kerja ganda bagi petugas apoteker. Dan ternyata setelah dilakukan evaluasi, cara tersebut masih belum sepenuhnya bisa mengatasi jumlah layanan yang semakin banyak.

“Tenaga Asisten Apoteker yang ada 22 orang, idealnya 25 orang, jadi masih kurang 3 orang,” ungkapnya.

Hingga kini, sambung dr Taufik, masih membuka kesempatan untuk tenaga profesional sebagai asisten apoteker. Pihaknya mengupayakan secepat mungkin untuk penuhi standart ideal jumlah asisten apoteker. Agar jumlah layanan pasien di loket farmasi yang membludak bisa seimbang dengan pelayanan cepat dan efisien dari RSUD Blambangan.

“Deadline kami paling lambat bulan November 2013 keluhan seperti ini (pelayanan farmasi lambat) tidak terjadi lagi,” tutupnya.

Sumber: sunriseofjava.com

Liputan6.com, Universitas Indonesia mendirikan Klinik Satelit yang merupakan klinik rujukan awal yang dibangun untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum maupun warga sekitar lingkungan kampus UI sebelum dirujuk ke Rumah Sakit Pendidikan.

“Letaknya selain berdekatan dengan Rumah Sakit Pendidikan, juga dekat dengan Fakultas Teknik yang menghadap ke arah Kukusan Depok,” kata Kepala Kantor Komunikasi UI Farida Haryoko di Depok, seperti dikutip dari Antara, Selasa (1/10/2013).

Ia mengatakan Rumah Sakit Pendidikan UI akan terintegrasi dengan kegiatan belajar mengajar mahasiswa di fakultas Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK), yaitu Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Keperawatan, Farmasi, Kesehatan Masyarakat (inter-professional education).

“Rumah sakit ini akan dilengkapi ruang observasi bagi para mahasiswa tanpa mengganggu kenyaman pasien. Gedung rumah sakit ini juga akan dilengkapi infrastruktur teknologi yang mendukung,” katanya.

Ia mengatakan mahasiswa memantau tindakan medis secara “live” di ruang kelas (atas izin pasien). Jembatan penghubung antara RS dengan gedung fakultas RIK juga akan dibangun untuk mendukung model integrasi tersebut.

Farida mengatakan Rumah Sakit Pendidikan merupakan fasilitas yang sangat krusial dalam pendidikan kedokteran maupun ilmu kesehatan lainnya.

Menurut dia, di Rumah Sakit Pendidikan itu mahasiswa dapat langsung terjun untuk mendapatkan pengalaman dalam menangani berbagai macam penyakit.

Diharapkan dengan adanya Rumah sakit ini dapat menjadi sarana pendidikan tenaga kesehatan secara integrasi, sarana rujukan pelayanan kesehatan prima bagi masyarakat serta menjadi sarana penelitian yang mendukung pengembangan ilmu kesehatan.

Lebih lanjut, diharapkan RS ini UI dapat menjadi model percontohan RS Pendidikan bagi universitas lain.

Bangunan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Indonesia berlantai 14 ini memiliki kapasitas 250 kamar rawat inap yang terdiri atas empat kategori kelas yaitu VIP (kelas I), kelas II dan III. RS Pendidikan UI memiliki luas 74.043 meter persegi dan dibangun secara vetikal.

Lantai 1 hingga 4 digunakan untuk ruang pelayanan umum sedangkan lantai 5 hingga ruang rawat inap. RS Pendidikan UI juga dibangun dengan konsep tahan gempa. Dengan membuat satu ruang isolator di bawah tanah dengan kedalaman hingga empat meter yang dilapisi karet dan plat baja.

Sehingga ketika terjadi gempa dan ada geseran hingga 1,2 meter maka bangunan tidak akan goyang. Bahkan, gedung itu mampu bertahan hingga kekuatan gempa mencapai 10 skala richter.

Rumah Sakit Pendidikan UI ditargetkan selesai pada Juni 2016. RS ini dibangun dengan anggaran mencapai Rp 540 miliar yang merupakan pinjaman dari JICA. RS ini mengedepankan konsep pelayanan primer, sekunder dan tersier secara komprehensif.

Sumber: liputan6.com

Duke is looking to revolutionize health care through community health homes, with the eventual goal of decreasing dependence on hospitals.

The Duke University Health System is among leaders in a national movement based on the establishment of patient-centered medical homes—centers that provide health resources for communities and bridge the gap between a local doctor’s office and a hospital. In six North Carolina counties, Duke operates community health homes that provide a network of services including social workers, dietitians and informational classes, said Dr. Lloyd Michener, chair of the department of community and family medicine. With this network, physicians anticipate that patients will have fewer unnecessary hospital visits.

“There’s a lot of hospital care that’s preventable and that we should be trying to prevent, and that’s pretty radical,” Michener said.

The initiative works to improve the patient experience through organizing care and communication, said Audrey McKinnon, health center administrator for the Division of Community Health.

“A lot of doctor’s offices are moving towards this model to make sure that patient care is more coordinated with more communication to make sure that patients don’t fall through the cracks,” McKinnon said.

The success of these health homes is starting to generate national buzz, Michener said, adding that the idea for community health homes originated in North Carolina about 15 years ago.

“We are the heart of the health home model,” Michener said. “We are now working with just about every state to see how we can do these models with other states.”

In an effort to further this goal, Duke is working with the de Beaumont Foundation on an online tool that will help public health practitioners and public care providers understand some of the strategies that would be useful for effective health care, said Brian Castrucci, program director of the foundation. The service, called Public Health and Primary Care Together: A Practical Playbook, will be universally accessible via the internet.

The idea for community health homes evolved from North Carolina’s desire to save money, Michener said. Hospitals are much more expensive than these community health homes, which are potentially cost-effective because fewer people will need to go to the hospital.

The concept of medical homes for primary care groups was proposed to North Carolina with the explicit goal of reducing preventable admissions to the hospitals—and so far it has been a success, Michener said. Savings have accelerated every year since the homes were implemented, he added.

“A lot of the work you can do on integrating primary care and public health is very cheap,” Michener said. “It’s things like calling your local health care director and working on costs together. It doesn’t cost more than the price of lunch.”

Most of the funding for the community clinics comes from the Health Resources and Services Administration—a federal agency that runs safety net provider networks—Michener said. Durham also contributes, but at a small deficit. Duke pays the difference as a supporter of the community and as a supporter of its employees, many of whom have families in these areas, Michener said.

Although hospitals will still be necessary for traumas and unpredictable diseases, the number of hospitalizations will dramatically decrease if the community health homes become widely used, Michener said. By improving communication and the availability of information, community health homes cut hospital admissions of children with asthma in a rural setting by 70 percent in one year, he added.

The community health homes also provide important information to primary care providers. A group meets quarterly to analyze data and compare Durham against other cities and counties. This allows health care providers to assess areas for improvement. For example, Durham still has a growing rate of obesity, while Chicago now reports a decreasing rate in pediatric obesity, Michener said.

Through the data acquired, Duke has recognized people with serious health conditions who are simply bouncing between community centers and Duke Hospital. One goal is to further tie these people to the medical homes for continual care, Michener said.

In Durham, clinics in Walltown and Lyon Park operate under the community health home model. There is also an initiative to implement clinics in Durham schools, said Eric Nickens, communications manager of Durham County Department of Public Health.

“The school-based clinic initiative will be based on a partnership between Duke and Durham County Department of Public Health, and the details are still being ironed out,” Nickens said.

The theory behind local clinics is that people can choose where they want to go, he added. The clinics are easy and convenient, but they also look and act differently in different communities.

The clinics must be welcoming, especially to areas with minority or disadvantaged communities because those are areas with high rates of preventable illness, Michener said, adding that it is important for the clinics to work with communities that are not based in a geographic locale—like age brackets, sexual orientation or ethnic groups.

He added that rather than opening more clinics, Duke is focusing on making these patient-centered medical homes more effective. In an aging, overweight population, chronic disease is becoming increasingly prominent. Providing longer-term coverage and specialty care is the next step toward effective health care.

The movement is extending beyond national boundaries, Michener said. adding that more than 40 countries—including Singapore, Canada and Australia—are beginning to implement this system of community health homes and more localized health care.

“We want to help form local programs that help people be healthy and build on local community resources, and Durham is our home base for doing that,” Michener said. “So what I hope is that over time Durham will become healthier and happier. We want to evolve from a city of medicine to a community of health.”

Source: dukechronicle.com