Jakarta : Pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit di Indonesia masih jauh dari kata bagus. Sakit buruknya, masyarakat bisa diibaratkan masuk ke hutan belantara saat ke rumah sakit.
Demikian disampaikan Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Wijaya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta (11/4/2013).
“Seperti masuk hutan belantara bisa ketemu malaikat, bisa ketemu setan. Kalau lagi beruntung bisa ketemu dokter dan pelayanan bagus. Kalau lagi tidak beruntung dapatnya ya setan,” kata Marius.
Menurut Marius, buruknya pelayanan yang diberikan rumah sakit dikarenakan Indonesia tidak memiliki standar pelayanan medik secara nasional. Padahal, itu menjadi semacam rambu bagi dokter dan juga rumah sakit untuk memberi pelayanan terbaik.
Di satu sisi, standar operasional prosedur (SOP) setiap rumah sakit berbeda. Dan dokter selalu merujuk pada SOP rumah sakit tempatnya bernaung.
“Jika ada kesalahan penanganan, dokter selalu berlindung pada SOP,” kata dia.
Marius menjelaskan, ketiadaan standar pelayanan medik itu pula yang menyulitkan kesalahan penanganan dokter bisa dikatakan sebagai malpraktik.
“Karena kita tidak punya standar pelayanan medik sebagai acuan dan rambu-rambu bagi dokter. Jika itu ada, bisa dijelaskan nantinya kesalahan-kesalahan seperti apa yang masuk kategori malpraktik,” ujarnya.
Marius melihat, selama tidak ada standar pelayanan medik, maka kasus-kasus seperti bayi Edwin akan terus ada ke depannya.
“Karena dokter dan rumah sakit tidak akan punya acuan selama tidak ada standar pelayanan medik. Selama tidak ada standar pelayanan medik, masyarakat masuk rumah sakit itu seperti masuk hutan belantara,” kata dia.
Untuk itu, Marius mendesak, agar Menteri Kesehatan dirasa sangat perlu membuat standar pelayanan medik itu. Menkes perlu turun tangan langsung agar pelayanan rumah sakit Indonesia bisa ditingkatkan.
“Menkes lah yang perlu turun tangan. Dia yang bs membuat standar pelayanan medik. Jika itu tidak ada, jangan harap pelayanan kesehatan di Indoensia bisa baik,” kata Marius.
Seperti diberitakan, Edwin (2,5 bulan), bayi pasangan Gonti Sihombing (34) dan Romauli Manurung (28) itu kabarnya terpaksa diamputasi pada jari telunjuk tangan kanannya lantaran bengkak dan hampir membusuk. Pembengkakan itu terjadi pascainfus saat pertama kali dirawat di RS Harapan Bunda, 20 Februari 2013.
Saat itu, Gonti dan istrinya membawa anaknya ke RS Harapan Bunda karena sakit flu. Namun, oleh Dr Lenny S Budi, diberi suntikan antikejang pada duburnya. Setelah itu Edwin dirawat 3 hari dengan infus terpasang di telapak tangan kanannya.
Karena infus itulah, pembengkakan terjadi. Bahkan, ketika dinyatakan kondisi flunya membaik dan dibolehkan pulang, pembengkakan justru makin memburuk dan hampir membusuk selama.
Gonti kemudian membawa kembali ke RS Harapan Bunda untuk mempertanyakan perihal pembengkakan itu. Pihak rumah sakit, kemudian mengambil tindakan pemotongan dengan gunting.
“Yang saya sesalkan, pemotongan itu tanpa pemberitahuan dan persetujuan dari kami selaku orangtua. Sudah gitu, pemotongan dilakukan bukan di ruang operasi, tapi di ruang rawat inap. Tanpa obat bius lagi dipotongnya,” kata Gonti.
Sumber: health.liputan6.com