[widgetkit id=33831]
SUSUNAN ACARA PERTEMUAN PEMANTAPAN PENGEMBANGAN RS RUJUKAN NASIONAL DAN RS VERTIKAL DALAM LAYANAN RUJUKAN NASIONAL
SUSUNAN ACARA
PERTEMUAN PEMANTAPAN PENGEMBANGAN RS RUJUKAN NASIONAL
DAN RS VERTIKAL DALAM LAYANAN RUJUKAN NASIONAL
Hotel Royal Kuningan Jakarta, 10 – 11 April 2017
WAKTU | DURASI | MATERI | PEMBICARA | MODERATOR | KET |
Senin, 10 April 2017 | |||||
08.00 – 08.15 | 15’ | Laporan Ketua Panitia | Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan | ||
08.15 – 08.30 | 15’ | Sambutan & Pembukaan Acara Pertemuan | Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan | Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan | |
08.30 – 09.10 | 40’ | Kebijakan Pengembangan RS Rujukan Nasional dan RS Vertikal dalam Pengembangan Layanan Rujukan Nasional | Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan | Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan | |
09.10 – 09.30 | 20’ | Laporan Survei dan Situasi Pemetaan RS Rujukan | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | Kasie Pengelolaan Rujukan | |
09.30 – 10.00 | 30’ | Diskusi Panel | Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan | ||
10.00 – 10.15 | 15’ | Coffe Break | |||
10.15 – 10.30 | 15’ | Materi “Pemetaan Layanan Rujukan berbasis Web” | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | Kasie Pengelolaan Rujukan | |
10.30 – 10.45 | 15’ | Diskusi/Tanya Jawab | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | Kasie Pengelolaan Rujukan | |
10.45 – 11.00 | 15’ | Materi “Peranan Clinical Leader dalam Pengembangan Rujukan” | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | Kasie Pengelolaan Rujukan | |
11.00 – 11.15 | 15’ | Diskusi/Tanya Jawab | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | Kasie Pengelolaan Rujukan | |
11.15 – 11.30 | 15’ | Materi “Pengisian Content Website RS Rujukan ” | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | dr. Sudi Indra Jaya | |
11.30 – 12.00 | 30’ | Diskusi/Tanya Jawab | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | dr. Sudi Indra Jaya | |
12.00 – 13.00 | 60’ | ISHOMA | |||
13.00 – 15.15 | 135’ | Diskusi Kelompok tentang Pengembangan: | Tim PKMK dan Panitia:
|
||
1. Peningkatan Fungsi Humas dalam Konteks Nasional Rujukan | |||||
2. Regionalisasi dan RS Jejaring: antara pelayanan dan pendidikan dengan RS Rujukan Provinsi dan RS Rujukan Regional | |||||
3. Pengembangan Telemedicine dan teleradiologi | |||||
4. Pengorganisasian Layanan Rujukan untuk Penyakit Katastropik | |||||
5. Pengembangan Kepemimpinan Direksi dan Kepemimpinan Klinik untuk pengembangan Rujukan | |||||
6. Kebutuhan Pendampingan Konsultan dalam Rujukan Nasional | |||||
15.15 – 15.30 | 15’ | Coffe Break | |||
15.30 – 17.30 | 120’ | Paparan Diskusi Kelompok | Tim PKMK dan Panitia | ||
17.30 – 19.00 | 90’ | ISHOMA | |||
19.00 – 20.30 | 90’ | Kesimpulan dan Rencana Tindak Lanjut | Tim PKMK dan Panitia | ||
Selasa, 11 April 2017 | |||||
08.00 – 08.30 | 30’ | Diskusi dengan topik:“Identifikasi Rujukan Unggulan dan Layanan Rujukan Nasional” | Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD | ||
08.30 – 10.00 | 90’ | Lokakarya”Perbaikan Grafis Web dan Pembuatan Script Video” | Tim PKMK FK UGM | ||
10.00 – 10.15 | 15’ | Coffe Break | |||
10.15 – 10.45 | 30’ | Materi “Pengembangan Kemampuan Telekonferens” | Tim PKMK FK UGM | ||
10.45 – 11.30 | 15’ | Penyusunan Plan of Action | Tim PKMK FK UGM |
Reportase
—— | ![]()
|
![]() |
![]() |
Reportase Berbagai Kendala Progress Kegiatan SH-PML 2012 dan Alternatif Solusinya
1. RSUP Dr. Ciptomangunkusumo
Meningkatnya angka kematian bayi baru lahir tidak terlepas dari meningkatnya upaya penemuan kasus, kesulitan memperbaiki kondisi bayi terutama yang lahir prematur ditambah dengan keterbatasan sarana penunjang pelayanan perinatology dan keterampilan penanganan BBLR yang masih rendah. Masalah lain ada dalam lingkup teknis pelayanan yaitu: Rasio pasien dibanding tenaga kesehatan belum sesuai, kurangnya sosialisasi obat resusitasi dan rentang waktu keputusan operasi s/d waktu pembedahan cukup lama.
Untuk mengatasi masalah tersebut, tim RSCM mengusulkan beberapa hal berikut sebagai solusinya:
- Penambahan tenaga bidan & perawat kamar operasi
- pelatihan Basic Life Support ( BHD )
- penambahan tenaga medis
- Peningkatan standar RSUD dengan standar PONEK
Dari aspek manajemen, RSUD Ruteng saat ini masih dalam proses mempersiapkan penerapan PPK BLUD dan melengkapi berbagai regulasi internal yang dibutuhkan agar sistem pelayanan menjadi lebih baik.
2. RSAB Harapan Kita
Pembagian tugas manajemen (klinik) antar dokter dan sistem DPJP belum terlaksana dengan baik antaralain merupakan kendala yang masih dihadapi di RSUD Kefa. Selain itu AMP juga belum dapat dilakukan karena kurangnya tenaga SpA dan sebab lain. Selain itu, banyaknya kasus kematian neonatal juga disebabkan karena secara teknologi RSUD Kefa belum siap untuk menerapkan kardiorespiratori untuk kegawatdaruratan janin/bayi. Belum memadainya fasilitas air bersih menyebabkan hand hygiene dan sterilisasi penyediaan susu bayi belum dapat dilakukan dengan benar sehingga sulit untuk menurunkan angka infeksi nosokomial.
Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut RSAB HArkit mengusulkan kegiatan peningkatan kompetensi layanan maternal perinatan (medis, perawat), perbaikan sistem AMP dan DPJP, serta memperbaiki sistem rujukan yang perlu dipimpin oleh Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kabupaten.
Dari aspek manajemen RSUD Kefamenanu masih harus memenuhi syarat sebagai RSUD Kelas C dan segera dipersiapan untuk menerapkan PPK BLUD.
3. RSUP Dr. Kariyadi
Beberapa kendala yang ditemui pada proses SH-PML di RSUD URM dapat dikelompokkan pada masalah kapasitas SDM (masih memerlukan bedside teaching di UGD, Dr. SpA masih memerlukan peningkatan kapasitas), ketersediaan/kecukupan fasilitas (ada alat yang rusak, ruang laktasi belum ada, dll), dan masalah komitmen (antara lain menurunnya minat terhadap pelatihan-pelatihan dan fungsi manajemen sebagai motor penggerak belum optimal).
Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, tim RSUP Dr. Kariyadi mengusulkan kegiatan berupa peningkatan kapasitas klinis SDM di RSUD, meningkatkan kapasitas SDM Puskesmas dan bidan serta mengidentifikasi SDM di RSUD yang memiliki potensi sebagai instruktur klinis untuk kegiatan magang Puskesmas.
Selain itu, juga diusulkan kegiatan pelatihan pengendalian infeksi, PPGD, resusitasi neonatus, patient safety, memfasilitas manajemen RS dalam hal penyusunan perencanaan dan sebagainya untuk mendukung PONEK, memperbaiki budaya kerja dan mengidentifikasi agent of change, serta persiapan BLUD.
Dari aspek manajemen, RSUD URM sedang melanjutkan proses persiapkan menerapkan PPK BLUD. Namun RS ini belum memenuhi syarat kelas C dan juga belum mendapatkan ijin operasional. RSUD Dr. Kariyadi masih harus bekerja keras agar kedua hal ini dapat dicapai, sehingga RSUD URM dapat berada pada kondisi yang kurang lebih sama dengan RSUD-RSUD lainnya di NTT.
4. RS Panti Rapih
Kendala yang dihadapi di RSUD Ende terkait dengan pelaksanaan program SH-PML antara lain karena faktor pre-hospital yang berpengaruh pada kondisi ibu dan bayi, sulit dalam menginstitusionalisasi budaya kerja 5R (Resik, Rapi, Ringkas, Rajin dan Rawat), kepedulian dan disiplin dari SDM di RSUD Ende yang masih perlu ditingkatkan, selain masalah teknis yaitu kompetensi SDM dan kecukupan fasilitas.
Untuk mengatasi kendala tersebut RSPR mengusulkan untuk melakukan kegiatan berprinsip continuum of care dan mengembangkan definisi “Tenaga Ahli” agar tidak hanya sebatas pada “dokter spesialis”, pembuatan formulir AMP baru dan manual, serta analisis semua IUFD. Selain itu juga akan dilakukan AMP capacity building, monev dan revisi POA agar lebih berfokus pada AMP.
Dari aspek manajemen RSUD Ende masih akan diperkuat kemampuan pengelolaan keuanganya, mengingat RSUD ini sudah ditetapkan sebagai BLUD pada 2012 lalu.
5. RSUD Dr. Saiful Anwar
Solusi yang diusulkan | RSUD Atambua | RSUD Lewoleba |
Untuk mengatasi kematian ibu | ANC di puskesmas perlu kolaborasi dokter & bidan, optimalisasi penanganan malaria, menambah tenaga SpPD, kunjungan ke SpOG minimal 2x, optimalisasi rujukan dini dari ibu-ibu dengan kelainan medis. | ANC di puskesmas perlu kolaborasi dokter & bidan, optimalisasi penanganan malaria, menambah tenaga SpPD, kunjungan ke SpOG minimal 2x, optimalisasi rujukan dini dari ibu-ibu dengan kelainan medis. |
Untuk mengatasi kematian neonatus | Pemberian micronutrient pada fase konsepsi dan kehamilan, deteksi dini kelainan, serta penanganan kehamilan dengan komplikasi.
Meningkatkan kemampuan paramedik untuk melakukan resusitasi , pendampingan oleh SpA pada persalinan berisiko. Kangaroo mother care, inisiasi menyusui dini, pengendalian infeksi, meningkatkan fasilitas penunjang medis. |
Perbaikan fasilitas cuci tangan, disesuaikan dengan standar ponek, budaya cuci tangan sebelum dan sesudah menangani bayi sakit. |
Dari aspek manajemen, RSUD Atambua dan RSUD Lewoleba akan segera dipersiapkan untuk menerapkan PPK-BLUD. Namun untuk RSUD Lewoleba masih agak sulit dilakukan mengingat belum ada persamaan persepsi diantara para stakeholders.
6. RSUP Sanglah
Beberapa masalah yang telah teridentifikasi antara lain adalah: peningkatan volume kegiatan yang tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas SDM RS dan logistik yang memadai, pasien dirujuk dalam kondisi terlambat, AMP yang dilakukan oleh RS belum melibatkan Dinkes dan fasilitas/tenaga perujuk sehingga tim AMP kabupaten belum dapat berfungsi optimal. Selain itu masalah juga sudah terjadi sejak prehospital, dimana tenaga di puskesmas belum terlatih untuk mengetahui peta bumil berisiko tinggi dan Dinkes belum terlibat dalam kegiatan SH-PML sehingga motivasi antara Dinkes dengan RS belum sama.
Usulan dari RSUP Sanglah untuk mengatasi kendala tersebut antara lain perlunya peningkatan peran Dinas Kesehatan yang terutama penting untuk memperbaiki sistem rujukan, perbaikan fasilitas (obat, pemeriksaan penunjang, pencegahan infeksi, ventilator, ruang operasi, air bersih), perbaikan SDM (kemampuan teknis mulai dari memotivasi ibu hamil untuk melakukan ANC secara teratur, deteksi dini factor risiko hingga kemampuan penanganan kasus).
Dari aspek manajemen, RSUD EP sedang dalam proses persiapan untuk menerapkan PPK BLUD.
7. RSUP Dr. Sardjito
Berdasarkan pengamatan terhadap data dan kejadian di lapangan, berbagai masalah juga masih terjadi antara lain belum optimalnya sistem rujukan, masalah jaminan kesehatan sosial serta kinerja klinis yang masih perlu ditingkatkan serta kolabirasi antar berbagai pihak yang masih harus dikuatkan.
Kedepannya RSS mengusulkan suatu bentuk kolaborasi antara RSUD, Dinkes, AIPMNH, BPKD dan pihak lain yang terkait untuk menyusun regulasi dan kebijakan yang dibutuhkan, perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan kegiatan hingga monev bersama, dalam rangka meningkatkan status kesehatan penduduk. Selain itu RSS juga mengusulkan beberapa kegiatan yang fokus untuk SH dan PML untuk memperbaiki pencapaian kinerja klinis dan manajemen RSUD Bajawa.
Dari aspek manajemen di RSUD Bajawa masih perlu dilakukan perbaikan kerjasama antara dokter PONEK dengan dokter SH, perbaikan peralatan kesehatan, alokasi anggaran kesehatan khususnya untuk di RS, kemampuan komunikasi internal dan eksternal, penyediaan darah, serta perbaikan manajemen obat dan perbekalan kesehatan.
8. RSUD Dr. Soetomo
Masalah yang dihadapi oleh RSUD TC Hillers dan RSUD Soe serupa, yang dimulai dari tingkat keluarga dan lingkungan tempat tinggal, layanan di Polindes/Poskesdes/BPS, layanan di puskesmas, proses rujukan, hingga layanan di RSUD Kelas C dan Kelas B/A. PONED dan PONEK belum optimal.
Usulan yang diajukan untuk memperbaiki kondisi tersebut antara lain membentuk tim AMP yang akan selalu melakukan kajian terhadap kasus untuk menemukan penyebabnya, meningkatkan peran Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab yang akan menjaga bekerjanya sistem rujukan, meningkatkan komitmen Pemda (termasuk anggaran untuk pengadaan obat-obatan, memfasilitasi masalah kekurangan SDM), serta meningkatkan keterampilan petugas terkait rujukan, kegawatdaruratan, deteksi dini di hulu.
Dari aspek manajemen, RSUD Soe dan RSUD TC Hillers sedang dalam persiapan untuk menerapkan PPK BLUD.
9. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Meningkatnya angka kunjungan dan rujukan maternal perinatal ke RSUD Larantuka menyebabkan beban RSUD semakin meningkat. Peningkatan beban ini tidak diimabngi dengan peningkatan kapasitas RS, baik dari aspek SDM maupun fasilitasnya, misalnya tidak adanya ICU yang sesuai standar, resusitator, kemampuan perawat perinatologi yang masih kurang.
Kendala lain yang juga dihadapi adalah masih banyaknya kasus yang terlambat dirujuk terkait dengan budaya dan kurang pahamnya masyarakat terhadap risiko persalinan. Proses AMP juga belum berjalan optimal.
Untuk membenahi keadaan ini, RSWS mengusulkan agar ada pertemuan rutin dan terencana untuk mengoptimalkan proses AMP dan untuk itu diperlukan dukungan penuh dari manajemen RSUD. Selain itu juga diusulkan perbaikan sistem rujukan, yang melibatkan Dinas Kesehatan.
RSUD Larantuka juga perlu meningkatkan sumber daya pendukung: keterampilan/kompetensi SDM dalam hal teknis, mengembangkan dukungan jarak jauh dengan membangun system konsultasi online dan teleconference untuk surveilanse respon cepat serta sistem pelaporan tepat waktu melalui email. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya perbaikan fasilitas antara lain ventilator, kesiapan ruang operasi dan pengadaan ICU, serta logistik medis yang memadai.
Dari aspek manajemen, RSUD Larantuka masih dalam proses persiapan untuk memenuhi syarat RSUD Kelas C. Kedepannya RSUD ini juga harus mulai dipersiapkan untuk menerapkan PPK BLUD.
Tulisan terkait:
1. Kontinuitas Program Tanpa Anggaran: Mungkinkah?
Course Development Workshop, Public-Private-Partnership in Hospital
Bangkok, 7-10 Maret 2013. Pada akhir minggu lalu PKMK FK UGM diundang untuk menghadiri workshop persiapan Kursus PPP di Hongkong, yang akan diselenggarakan pada akhir Mei mendatang. Penyelenggaraan kursus ini merupakan bagian dari aktivitas Kluster PPP di World Bank Institute, dimana tahun ini sudah memasuki kursus keempat kalinya. Kursus sebelumnya dilaksanakan pada tahun 2010 (Bali, Indonesia), 2011 (Bangkok), 2012 (Manila, Philippine). Pada setiap kursus, Indonesia yang diwakili oleh PKMK UGM biasanya diberi slot untuk menjadi pembicara terkait dengan tema-tema yang disajikan. Namun pada tahun 2013 nanti, Indonesia akan diberi kesempatan menjadi chairman pada beberapa sesi pertama.
Pertemuan di Bangkok pada 7-10 Maret lalu bertempat di Faculty of Economics, Chulalngkorn University. Tujuannya adalah untuk mematangkan rencana workshop PPP di Hong Kong, topik-topik yang akan dibahas, pembicaranya, dan keterkaitan antar sesi maupun keterkaitan setiap sesi dengan tema besar PPP. Sebagai workhshop yang akan diselenggarakan untuk keempat kalinya, workshop kali ini akan meneruskan hasil-hasil yang telah didapat pada workshop-worshop sebelumnya. Pertemuan ini dihadiri oleh Dominic Montagu, DrPH, MBA, MPH (Associate Professor of Epidemiology and Biostatistic, Global Health Group), Prof. Eng Kiong Yeoh (The Chinese University of Hong Kong), Francisco Roman Jr., DBA (Asian Institute of Management, Joseph R McKing Campus, Philipines), Xiaohui Hou (Senior Economist, World Banks Institute), A Venkat Raman, PhD (Faculty of Management Studies, University of Delhi), Siripen Supakakunti, PhD (Faculty of Economics, Chulalongkorn University Thailand), Chantal Herberholz (Chulalongkorn University, Thailand) dan Putu Eka Andayani (PKMK FK UGM, Indonesia).
Workshop PPP di Hong Kong akan dilaksanakan dalam waktu 6 hari dimana dua hari pertama ditujukan untuk para pengambil keputusan di level nasional dan empat hari berikutnya untuk staf yang lebih teknis yang akan merumuskan kebijakan-kebijakan menjadi suatu yang lebih operasional. Workshop tersebut mengikuti kerangka pikir berikut ini.
Berdasarkan framework tersebut, tujuan PPP adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan, efisiensi dan distribusi pelayanan. Assessment di Provincial Health Service Authority dilakukan dari aspek delivery dan financing. Di level intermediaries, assessment dilakukan pada asosiasi fasilitas dan profesi, perusahaan asuransi, NGO dan dalam kaitannya dengan pemerintah. Sedangkan dari kapasitas Pemerintah, assessment dilakukan pada aspek leadership, staf yang berdedikasi pada PPP dan pengalaman.
Strategi yang dapat ditempuh adalah dengan Grow, Harness, Convert dan Restrict. Instrumen yang dapat digunakan untuk PPP antara lain informasi/recognition, External Quality Assurance/Akreditasi, Pajak-Kepemilikan-Subsidi, Kontrak, PPP dan Regulasi.
Pada setiap akhir blok peserta akan diminta untuk bekerja dalam grup mendiskusikan materi yang telah diberikan dari perspektif negaranya masing-masing dan bagaimana nanti implementasinya. Setiap working group diminta untuk menyajikan hasil diskusinya dalam bentuk poster yang akan dipresentasikan pada hari terakhir. Presenter terbaik akan mendapatkan penghargaan dari panitia.
Pada forum tersebut Indonesia yang akan diwakili oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD dari UGM akan mengangkat isu tentang e-learning pada diskusi di hari pertama. E-learning ini menjadi isu penting untuk banyak negara di Asia yang memiliki gap cukup lebar antara pelayanan kesehatan di kota besar dengan di pelosok. Thailand juga sudah mulai mengembangkan e-learning selama beberapa tahun terakhir, namun belum menunjukkan hasil. Beberapa negara berharap dapat belajar dari pengalaman Indonesia dalam menerapkan metode e-learning tersebut.
Mengingat pentingnya issue yang akan dibahas pada workshop tersebut, maka diharapkan peserta berasal dari seluruh negara anggota PPP Cluster di World Bank Institute.
Sampai bertemu di Hong Kong!
Laporan Lokakarya Menuju Praktik Terbaik di Provinsi Nusa Tenggara Timur Merayakan dan Berbagi Pembelajaran
Oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani
Hotel JW Marriott, 15 Maret 2012. Lokakarya Menuju Praktik Terbaik di Provinsi Nusa Tenggara Timur diselenggarakan dengan maksud untuk merayakan hasil-hasil pencapaian sementara yang tampaknya cukup memberikan harapan terhadap menurunnya jumlah absolut kematian ibu dan bayi serta meningkatnya angga pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh masyarakat NTT. Pengalaman ini akan dibagikan juga kepada daerah lain khususnya yang mengalami masalah yang sama, yaitu tingginya jumlah kematian ibu dan bayi. Dengan berbagi pengalaman diharapkan daerah lain dapat mengadopsi strategi yang telah dikembangkan di NTT, baik melalui kebijakan di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Oleh karena itu, Lokakarya ini mengundang dan dihadiri oleh seluruh pihak yang terkait antara lain Direktorat Jenderal BUK, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, Gubernur Jawa Timur (diwakili oleh Asisten Bidang Pengembangan dan Administrasi Umum) dan Gubernur NTT, Bappeda Provinsi NTT, para bupati, DPRD Komisi C, dan direktur RSUD se-NTT, beberapa perwakilan dari Dinkes di Kab. Situbondo, Sambapng, Bondowoso dan Bangkalan, Direktur dan Koordinator Program Sister Hospital dari RSUD Dr. Soetomo, RSUP Dr. Sardjito, RSUP Sanglah, RSUD Dr. Saiful Anwar, RSU Panti Rapih, RSUP Dr. Kariyadi, PMPK FK UGM dan AIPMNH selaku sponsor program secara keseluruhan.
Pembukaan
Pembukaan dilakukan pada malam tanggal 14 Maret 2012. Pada acara pembukaan ini sambutan dari Gubernur Jatim disampaikan oleh Asisten Bidang Pengembangan dan Administrasi Umum. Di Jawa Timur, kesehatan sebagaimana juga pendidikan merupakan hak dasar masyarakat, sehingga sektor ini menjadi prioritas pembangunan. Angka kematian ibu dan bayi di beberapa kabupaten di jatim masih cukup tinggi, antara lain di Kab. Situbondo, Kab. Bondowoso, Kab. Sampan dan Kab. Bangkalan. Masih banyak penyakit menular antara lain HIV/AIDS, Difteri dan TB, serta masih banyak juga kasus kurang gizi. Berbagai masalah ini disebabkan oleh karena factor pemerataan pelayanan kesehatan yang belum optimal, fasilitas yang belum memadai serta masalah SDM.
Lebih lanjut disampaikan bahwa pembiayaan kesehatan belum menjamin penurunan angka kesakitan khususnya pada masyarakat tidak mampu. Untuk itu Jawa Timur melakukan terobosan berupa penerbitan Perda mengenai universal coverage, Pomkesdes, peningkatan pelayanan Puskesmas dan jaringannya yang dilakukan dengan visitasi oleh dokter spesialis, pengembangan puskesmas dengan rawat inap dan juga puskesmas pembantu.
Terobosan lain yang dilakukan adalah mengangkat bidan desa sebagai tenaga tidak tetap dengan memanfaatkan UU Kepegawaian, karena telah ada PP No 48 yang melarang pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer. Ini menunjukkan bahwa apapun akan ditempuh oleh Pemprov Jatim asalkan untuk kepentingan rakyat miskin.
Dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi Prov. Jatim juga berpartisipasi pada kegiatan PONED dan PONEK. Klinik VCT dikembangkan untuk menekan penyebaran HIV. Seluruh upaya ini dilakuakn dengan melibatkan juga dunia usaha, dukungan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta APBN. Namun itu saja tidak cukup. Peran serta masyarakat dibutuhkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
Pemerintah Provinsi Jatim berharap bahwa lokakarya ini akan menjadi pembelajaran terhadap best practices di NTT bagi kabupaten-kabupaten di Jatim khususnya Kab. Situbondo, Bondowoso, Sampang dan Bangkalan.
Dirjen Bina Gizi dan KIA dalam sambutanya menyatakan bahwa revolusi KIA di NTT ini adalah satu-satunya revolusi di Indonesia yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Jika dengan cara-cara biasa terjadi 162 kematian per 1000 kelahiran hidup, maka dengan cara luar biasa ini diharapkan angka penurunan akan lebih drastis.
Salah satu penyebab tingginya angka kematian adalah disparitas tenaga kesehatan yang tidak merata. Sementara ini pemerintah sedang menyiapkan peraturannya. Sambil menunggu peraturan tersebut siap diundangkan, program Sistem Hospital mengisi kekosongan tenaga spesialis di beberapa daerah. Hasil evaluasi sementara program ini menunjukkan hasil yang cukup baik, sehingga program ini perlu ditularkan ke daerah lain, khususnya Kabupaten Bangkalan, Situbondo, Sampang dan Bondowoso yang saat ini hadir untuk proses pembelajaran.
Kemenkes tengah melakukan perombakan strategi, dimana seluruh pejabat eselon I diberi tanggung jawab melakukan pembinaan wilayah. Tugas membina wilayah NTT jatuh ke tangan Dirjen Bina Gizi dan KIA, oleh karenanya minggu depan akan dilakukan kunjungan kerja kesana.
Sebelum membuka pertemuan secara resmi, Gubernur NTT memberikan sambutan dengan menekankan bahwa meskipun program ini sudah menunjukkan hasil yang baik, namun belum dapat memenuhi harapan semua orang. Kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemitraan banyak sekali pihak, mulai dari Puskesmas hingga ke tingkat pusat ini, sudah dilakukan sejak tahun 2008 dan meliputi 14 dari 21 kabupaten/kota di NTT. Sejak tahun 2009 ada Pergub yang berjudul Revolusi KIA dan menetapkan bahwa semua ibu hamil harus melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai dari sisi:
– SDM (jumlah, kompetensi dan penyebarannya),
– Peralatan untuk membantu proses persalinan,
– Perbekalan kesehatan
– Bangunan
Masalah lain adalah keterjangkauan, sehingga sektor transportasi juga perlu mendapat perhatian.
Gubernur berharap bahwa lokakarya ini akan member gagasan baru atas hasil positif yang telah dicapai dari kemitraan dengan AIPMNH. Dalam bidang perencanaan sudah ada mekanisme penguatan perencanaan tingkat kabupaten, perencanaan dan penganggaran kesehaan terpadu yang partisipatif dan responsif, penguatan desa siaga, pengembangan peran Musrenbang desa yang pro kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak, RPJM Desa yang memasukkan program KIA , penyusunan Perda tentang KIA, pemberdayaan puskesmas, pemberdayaan dan penyantunan puskesmas serta bidang pemberdayaan masyarakat.
Keberhasilan ini mash bersifat local di NTT. AIPMNH merasa proses di NTT dapat ditularkan di daerah lain sehingga lokakarya ini disebut sebagai pembelajaran praktek-praktek terbaik. Ini memerlukan dukungan dari semua pihak.
Lokakarya
Dr. Slamet Riyadi, Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa penanganan KIA saat ini tidak lagi dilakukan dari hulu (Puskesmas, bidan desa dan komunitas) melainkan dari RS (PONEK). Pendekatan baru ini yang disebut sebagai revolusi KIA. Pengalaman saat dulu mengelola RSUD Dr. Soetomo, ada 400 orang calon dokter spesialis per tahun tahun sedangkan saat ini sudah lebih dari 1000 orang. Semuanya membutukan tempat untuk praktek dan mendapatkan pengalaman. Dengan adanya kerjasama dalam kerangka sister hospital, para calon spesialis ini dapat di kirim ke RSUD di NTT. Sehingga dalam proses pendidikan pun mereka sudah memberikan manfaat bagi masyarakat. Model ini dijalankan sambil menunggu proses penyusunan kebijakan persebaran SDM spesialis di Indonesia yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah. Dr. Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan saat ini memiliki tugas untuk mendesain peraturan tersebut disamping tugas untuk mempersiapkan universal coverage.
Pada pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan MOU antara:
– FK UGM, RSUP Dr. Sardjito dengan Pemda Kab Ngada dan RSUD Bajawa
– FK Unibraw, RSUD Dr. Saiful Anwar dengan Pemda Kab. Lembata dan RSUD Lewoleba
Talkshow
Lokakarya ini diisi dengan acara talkshow pada 2 sesi yang berbeda. Talkshow pertama menampilkan Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, Dr. John McComb (Former Partnership Director), Dr. Stefanus Brian Sera (Kadinkes Provinsi NTT), Ir. Wayan Darmawan (Kepala Bappeda NTT).
Kesempatan pertama diberikan kepada Prof. Laksono untuk memaparkan ide awal mengenai program ini. Pada tahun 2008-2009 UGM melakukan kontak dengan AIPMNH (Angela Taggart, Advisor) mengenai bagaimana menghadapi masalah KIA. Bertahun-tahun berbagai program sudah diterapkan namun jumlah kematian ibu dan bayi tetap tinggi. Beberapa tahun terakhir dengan diterpkannya program Jampersal justru jumlah kematian meningkat di beberapa daerah khususnya di Pulau Jawa. Untuk kedepannya, UGM hanya mau terlibat jika program yang akan dilaksanakan benar-benar menyentuh ibu dan bayi bermasalah, bukan hanya sekedar penelitian. Jadi harus ada kegiatan yang action oriented, bukan hanya survey. Pada saat itu ditemukan masalah pada distribusi tenaga spesialis; bagaimana mengurangi kematian ibu dan anak jika di daerah terpencil khususnya NTT tidak ada tenaga Spesialis Obsgyn dan Spesialis Kesehatan Anak, sedangkan di Pulau Jawa numpuk. Proses mempertimbangkan hal ini memakan waktu satu tahun.
Menurut Prof. Laksono, prinsipnya adalah bagaimana membagi tenaga yang menumpuk di Jawa didistribusikan ke NTT untuk mengurangi angka kematian. Banyak yang pesimis dengan ide ini, namun jika tidak dicoba kita tidak akan pernah tahu apakah strategi ini akan berhasil atau tidak. Tidak mungkin kematian ibu dan anak berkurang jika intervensi hanya dilakukan di Puskesmas dan Bidan Desa, sedangkan RS tidak dibenahi. UGM hanya berani menjalankan ide ini jika dibantu oleh RS-RS besar di Jawa dan Bali, antara lain oleh Dr. Slamet Riyadi (saat itu direktur RSUD Dr. Soetomo), Dr. Mulyono (RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang), Dr. Andi (Makassar), RSUP Dr. Sardjito, RSUP Sanglah, dan RSU Pantirapih Jogjakarta. Setelah semua bersedia lalu kegiatan mulai dirancang. Disadari bahwa program ini adalah action dengan risiko tinggi. Jika tenaga spesialis yang dikirim ke NTT melakukan kesalahan bisa mendapat ancaman terhadap keselamatan jiwanya, termasuk risiko perjalanan (transportasi darat, laut, udara).
Setelah program ini berjalan beberapa tahun, terlihat bahwa AKI menurun dari 250 jadi 208. DIY yang dianggap terbaik justru mengalami kenaikan angka kematian absolut dari 36 menjadi 54. Tahun 2010 angka ini naik dari 44 menjadi 56. DIY merupakan daerah dengan angka kematian absolut terendah di Indonesia, namun kenyataannya angkanya meningkat. Demikian juga dengan provinsi dan kabupaten lain di Jawa. NTB juga mengalami peningkatan. Artinya menurut Prof. Laksono adalah mungkin saja revolusi KIA berhasil. Namun ini masih harus dipastikan apakah strategi ini baik dan memang tepat atau tidak.
Setelah 3 tahun revolusi KIA angka kematian absolut di NTT menurun terus. Namun 3 tahun revolusi KIA ini masih awal. Pembangunan sistem kesehatan tidak cukup hanya 3-5 thn, mungkin membutuhkan waktu 10-20 tahun. Jadi hari ini hanya kita hanya merayakan pencapaian sementara.
Menurut Dr. John McComb (AIPMNH) yang diberikan kesempatan berikutnya untuk berbicara, program ini telah berjalan 4 tahun dan sejak awal telah di-setting sebagai program kemitraan, bukan proyek. Peran AIPMNH hanya bekerjasama dengan mitra-mitra, antara lain RS, universitas dan masyarakat. Ada 3 aspek dari program ini:
- Kematian Ibu dan anak tinggi, dalam 3-4 tahun menurun drastis. Tetapi ini tergantung pada denominator: berapa banyak jumlah persalinan dalam waktu tersebut. Jika denominator rendah, artinya angka kematian bisa tinggi. Jadi dampak program ini cukup besar.
- Desain untuk fokus pada peningkatan demand masyarakat ke fasilitas kesehatan: pelatihan untuk bidan desa dan sebagainya, termasuk pada health system. Jadi tidak hanya demand melainkan juga memuat sistem dalam mendukung pelayanan.
- Bagaimana kinerja dan akuntabilitas bisa mendukung misalnya bagamana pajak bisa membiayai program-program kesehatan.
Desain yang dibuat oleh AUSAid dan Kementerian Kesehatan ini prinsipnya harus kuat dan fleksibel. Dana cukup banyak tersedia, namun tergantung pada bottle neck di provinsi atau tempat kerja. Saat itu ada kesempatan untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang masalah ini serta membuat perencanaan. Jadi dalam hal ini desain sangat penting.
Program ini tidak dimulai dengan konteks yang kosong. Di NTT ada visi dan strategi, yaitu strategi revolusi KIA. Ini yang memudahkan proses perencanaan dan pelaksanaan program. Dalam hal ini seluruh komponen yang terlibat dan berkepentingan harus bekerja dalam konteks aktif.
Program ini adalah program kemitraan, bukan kerja sebagai proyek dan berjalan sendiri. Program ini harus sesuai dengan sistem pemerintah. Jadi AIPMNH juga banyak belajar mengenai berbagai peraturan daerah dan sektor lain di luar kesehatan. Itulah sebabnya, tahun pertama dan kedua program kemitraan ini bukan hanya dilakukan dengan Dinas Kesehatan melainkan juga dengan Biro Perempuan dan instansi pemeirntah lainnya, Universitas, LSM, RS dan lembaga lokal lainnya.
Dr. Stefanus Brian Sera menyatakan bahwa NTT selalu mendapat rapor merah dan saat ini merasa sudah cukup dengan segala predikat kurang baik: daerah miskin, terpencil, angka kematian tinggi. Sehingga NTT melakukan pemberontakan agar tidak dipandang rendah oleh provinsi lain, melalui revolusi KIA. NTT melakukan pendekatan adat istiadat, dengan menggunakan prinsip bersaudara dimana (daerah) yang besar dan kuat membantu (daerah) yang lemah dan kecil.
Ada tiga prinsip dalam melakukan revolusi KIA:
1) Beri kepercayaan pada rakyat. Semua ibu yang akan melahirkan harus ke fasilitas kesehatan yang memadai, yang dibatasi pada puskesmas dan RS. RS harus dapat bertindak seperti Mahkamah Agung: jika ada kasus RS harus bisa memutuskan dan melakukan tindakan, tidak lagi merujuk ke RS lain. Agar mampu seperti itu, maka RS harus punya Spesialis Obsgyn, Spesialis kesehatan Anak dan Spesialis Anestesi serta perawat yang mampu merawat bayi baru lahir, dan didampingi oleh teknisi untuk melakukan troubleshoot jika ada masalah teknis.
2) Pada saat yang bersamaan pemerintah harus mencari pintu agar putra-putra NTT bisa menempuh pendidikan dokter dan dokter spesialis, agar bisa kembali ke NTT dan membangun sektor kesehatan di NTT. Handicap yang selama ini dimiliki adalah kurangnya daya saing lulusan SMA NTT. Dari 70-80 orang yang mendaftar di fakultas kedokteran, kurang dari 10 orang yang diterima.
3) RS dikelola bersama-sama dengan baik sehingga akan mendatangkan manfaat langsung pada masyarakat. Pengelolaan RS ini dilakukan bersama antara RS-RS mitra yang ada di Jawa dan Bali, serta didukung oleh seluruh pihak yang terkait.
Lebih jauh Dr. Stefanus menekankan bahwa bantuan harus diberikan kepada NTT dapat berakhir apabila kondisi di NTT sama dengan RS yang membantu.
Ada 4 progam utama yang dilakukan dalam rangka revolusi KIA ini, yaitu:
1) Sister hospital
2) PML (Performance Management and Leadership), yaitu melatih orang-orang yang berada di posisi sebagai manajer dan pemimpin, serta mencari calon pemimpin bidang kesehatan
3) Sistem rujukan
4) Sikda (sistem kesehatan daerah), dimana seorang pemimpin harus modern dan bersifat seperti ilmuwan. Dalam hal ini pengambilan keputusan harus dilakukan berdasarkan data, sehingga perlu didukung sistem informasi yang baik.
Kesempatan terakhir pada Talkshow ini diberikan kepada Ir. Wayan Darmawan, MT (Kepala Bappeda Provinsi NTT) untuk menyampaikan pendapatnya.
Menurut Ir. Wayan Darmawan, rencana yang baik dan sudah didukung secara politis harus ditindaklanjuti dengan rencana teknokratik dan partisipatif. Jadi melalui kemitraan AIPMNH ini ada 4 strategi besar yang dilakukan:
- Membangun cara baru yang lebih elegan dengan mengedepankan aspek sinergitas. Penurunan AKI dan AKB hanya dapat dilakukan jika ada kerjasama dengan sektor lain dan pembangunan di sektor lain.
- Perencanaan berkualitas hanya bisa dilakukan melalui data yang berkualitas. Jadi harus membangun basis data yang kuat.
- Pendekatan pembangunan di NTT adalah pendekatan berbasis desa dan kelurahan. Ini akan mengarahkan program yang berdasar pada masalah yang ada di desa dan kelurahan. Tidak insidental seperti program-program yang berbasis pada lokus program, dan akibatnya tidak ada kontinuitas.
- Diharapkan ada peningkatan partisipasi, upaya peningkatan pemahaman masyarakat dan elemen pembangunan yang lain.
Diharapkan adanya komitmen pemerintah pusat dalam progam ini. Dalam RPJMN, perencanaan alokasi anggaran pembangunan untuk NTT rendah sekali, sehingga tidak mungkin mampu mengurangi gap dengan provinsi lain. Dan kemudian ada kebijakan percepatan pembangunan sehingga proporsi anggaran pembangunan meningkat.
Diskusi
Pada sesi diskusi beberapa peserta diberi kesempatan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Kesempatan pertama diberikan kepada Ibu Budi Rahayu dari Dinas kesehatan Prov. Jatim. Budi Rahayu menanyakan pendapat narasumber bahwa ada reformasi alokasi pembangunan, dimana 50% dialihkan dari program yang tadinya tidak menyentuh ke program lain yang lebih menyentuh langsung kepentingan masyarakat NTT. Apakah ini dialihkan dari semua sumber dana, atau hanya yang dikendalikan oleh provinsi saja? Bagaimana dengan legislatif, dan bagaimana sektor lain apakah “iklas” dengan pengalihan itu?
Oleh Wayan Darmawan pertanyaan ini ditanggapi bahwa pada APBD provinsi telah dilakukan analisis pembiayaan. Fakta menunjukkan terlalu banyak program yang justru menyulitkan pimpinan SKPD. Dengan program yang kecil-kecil, tidak terintegrasi dan tersebar, menyebabkan terlalu banyak (laporan) pertanggungjawaban yang harus dibuat.
Hampir Rp 200 Milyar dapat dihemat dari pengurangan rapat dan perjalanan dinas, dan dana ini dialihkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Rp 250 juta untuk ekonomi produktif dan Rp 50 juta untuk pembangunan perumahan. Kabupaten/kota juga melakukan hal yang sama, karena ini dibangun melalui komitmen untuk pembangunan yang sama.
Program yang tidak membawa daya ungkit akan ditolak. Berdasarkan Peraturan Gubernur No 4/2004 dibentuk suatu sekretariat yang akan memverifikasi program-program yang diusulkan SKPD. Kegiatan/program yang tidak produktif dihilangkan. RPJMD sebagai acuan dan aspek teknokratis dikedepankan. Dalam hal ini, diskusi dari aspek teknokratis dilakukan dulu sebelum dibahas di aspek politik. Karena pengalokasian berdasarkan analisis maalah (data), sektor besar yang mendapat alokasi dana adalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata). Infrastruktur juga dapat alokasi besar namun dari apsek prioritas lebih rendah dari ekonomi, hal ini karena infrastruktur merupakan urat nadi ekonomi.
APBD Provinsi NTT adalah sebesar Rp 1,3 trilyun yang harus dimanfaatkan untuk melayani 21 kabupaten/kota se-NTT yang berpulau-pulau. Dengan dana terbatas ini, diperlukan terobosan dalam pengalokasian dan pengelolaannya.
Kesempatan kedua dimanfaatkan oleh dr. Adolf Kabut, Wakil Ketua DPRD Manggarai untuk menyampaikan keluhannya. Adolf setuju dengan strategi bahwa perlu kerjasama dengan RS-RS besar di Indonesia untuk membantu menangani masalah kesehatan di NTT. Hal ini memerlukan kerjasama lintas sektor sehingga seharusnya Bappenas juga diundang dalam pertemuan seperti ini agar dapat mendengarkan langsung masalah-masalah di NTT yang memerlukan perhatian dari Bappenas.
Masalah kedua adalah secara geografis NTT merupakan daerah berbukit dan berpulau sehingga mobilisasi penduduk dari satu desa atau wilayah ke tempat lain lebih sulit. Hal ini diperparah dengan stigma NTT sebagai daerah tertinggal. Ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah pusat menganaktirikan Provinsi NTT. Di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, manggarai Timur dan dan Kabupaten Manggarai hanya ada 1 RS untuk melayani ketiga wilayah ini. Akses transportasi hanya dapat dilakukan melalui jalan darat dengan waktu tempuh sampai dengan 8 jam. Oleh karena itu jika ada usulan untuk membangun RS di daerah hendaknya diberi perhatian.
Pernyataan tersebut di atas medapat tanggapan dari seluruh narasumber. Tanggapan pertama datang dari Dr. Stefanus sebagai berikut:
- Bappenas, BKKBN, dan lain-lain telah diundang dalam pertemuan ini namun tidak hadir.
- Memang benar bahwa di Manggarai Barat dan Timur belum ada RS. Namun di Kab. Manggarai Barat pembangunan RS sudah masuk dalam agenda pembangunan. Ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan dalam merencanakan RS: gedung, peralatan, dan yang paling penting dan sulit adalah SDM. Dalam perencanaan RS, harus dipikirkan berapa orang yang sudah disekolahkan untuk nantinya bekerja di RS tersebut. Kalau mau jujur, semua RS di NTT tidak memenuhi syarat untuk melayani masyarkat.
RS adalah tempat bekerjanya para ahli. Masa pendidikan dokter spesialis total 14 tahun. Dr. Stefanus menanyakan, berapa orang yang telah dikirim oleh daerah untuk menempuh pendidikan dokter maupun dokter spesialis? Jawabnya: tidak ada.
Pasien di RS adalah pasien yang membutuhkan penegakkan diagnosa dan tindakan medis. Bukan sekedar diare dan malaria yang sudah jelas diagnosis dan tindakannya, seperti kasus di puskesmas. Handicap yang ada sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya antara lain: kurangnya jumlah candidate, sulitnya masuk universitas, dan bagaimana membuat kebijakan agar dokter spesialis yang sudah ada di NTT betah bekerja disana dan tidak kembali ke Pulau Jawa atau Bali. Semangat membangun bagus, namun semangat untuk menata yang sangat dibutuhkan.
Tanggapan berikutnya dating dari Prof. Laksono yang menyatakan bahwa di Indonesia sedang terjadi ketidakadilan yang jika dibiarkan akan semakin memburuk. Contohnya adalah kebijakan Jampersal, yang datanya berasal dari pusat. Agar bisa diklaim ke Jampersal, maka pelayanan diberikan oleh tenaga dokter dan fasilitas di RS sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Yang terjadi saat ini fasilitas RS dan dokter spesialis tidak seimbang antara Jawa dan luar Jawa. Akibatnya dana-dana Jampersal terserap kembali ke Jawa. UGM sangat peduli dengan keadilan, sehingga merasa ini perlu diseimbangkan. Ini yang dikerjakan oleh sister hospital, yaitu menyeimbangkan persebaran tenaga spesialis. Dokter spesialis yang sudah di NTT harus dibuat agar kerasan di daerah. Perlu dilakukan lobby yang lebih intensif ke Bappenas dan instansi terkait lainnya agar alokasi anggaran pembangunan ke NTT lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain yang sudah kaya. Sebagai contoh di Kalimantan Timur ada satu kabupaten dengan PAD Rp 2,4 trilyun, sedangkan NTT, PAD Provinsi hanya Rp 1,4 trilyun.
Tanggapan selanjutnya diberikan oleh Dr. John McComb yang menegaskan kembali bahwa Bappenas sudah diundang via Bappeda, demikian juga dengan DPR.
Menurut Wayan Darmawan selanjutnya adalah sesuai dengan prioritas pembangunan nasional 2011-2014, ada dua syarat untuk mendapatkan alokasi pembangunan infrastruktur: 1) daerah yang bersangkutan termasuk dalam daftar provinsi prioritas, dan 2) jika membutuhkan lahan daerah harus membebaskan, dan desain yang dikembangkan harus didukung oleh APBD II.
Pameran Poster
Selain diskusi dalam bentuk talkshow, juga ada pameran poster. Setiap program dibawah koordinasi AIPMNH membuat poster yang kemudian dipamerkan di lobby menuju ruang lokakarya. Khusus untuk kegiatan sister hospitak dan PML, UGM diberi kesempatan menjelaskan mekanismenya. Desain awal dibuat oleh UGM (dalam hal ini PMPK), namun selanjutnya ada para pelaku utama yaitu RS-RS besar di Jakarta, Jawa dan Bali yang kemudian disebut sebagai RS Mitra A. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengirim dokter spesialis (atau calon dokter spesialis) sementara untuk bertugas di NTT dan mengirim dokter umum dari NTT untuk dididik menjadi dokter spesialis di Jawa dan Bali. Dokter-dokter yang ditugaskan sementara di NTT bertugas selain memberikan pelayanan juga membangun sistem rujukan. Dengan ini upaya melibatkan rumah sakit dalam membangun sistem rujukan (PONED-PONEK) diharakan akan menjadi lebih efektif.
Lesson Learnt
Pelajaran yang dapat diperoleh dari program-program di NTT antara lain:
- Revolusi KIA sudah berada di jalur yang benar. Kebijakan lebih jelas dan kontinyu, sistem kontrak tenaga dokter spesialis dapat berjalan.
- Ini adalah proyek pertama di Indonesia yang mengintervensi dari hulu sampai hilir, dari bidan sampai kamar operasi di RS.
- Dalam sistem rujukan masih ada masalah, namun terjadi penurunan jumlah kematian dan jumlah persalinan di non fasilitas kesehatan. Pola kematian berubah, lebih banyak terjadi di fasilitas kesehatan dibandingkan non fasilitas kesehatan.
- Artinya, masih ada sesuatu yang menyumbat di pola rujukan, karena kematian masih banyak terjadi di puskesmas.
Contoh kasus dari Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)
Kebijakan dan strategi:
- Instruksi-instruksi Bupati TTS tentang ASI ekslusif dll, dan kebijakan lain yang mengatur di RS, Puskesmas, Dinkes dll.
- Kebijakan dinkes tentang Puskesmas PONED
- Kemitraan dengan AIPMNH
- Peningkatan alokasi anggaran kesehatan
- Peningkatan peran serta masyarakat
- Rancanangan peraturan tentang KIA.
Dari berbagai kebijakan ini ada perubahan yang terjadi di TTS. Ada peraturan desa jika tidak ke fasilitas kesehatan akan dikenakan denda dan uangnya masuk kas desa. Juga ada kegiatan menabung untuk keperluan ibu melahirkan dan bayi/anak. Selain itu juga ada keputusan desa bahwa wajib menggunakan fasilitas kesehatan. Ada himbauan-himbauan yang dilaksanakan tidak saja lewat Dinas Kesehatan namun juga melalui tokoh adat dan tokoh agama.
Reportase Kemajuan Program SH-PML Periode Juli–Desember 2012
Pada pertemuan ini sembilan RS Mitra A diberi kesempatan untuk melaporkan progress kegiatannya masing-masing yang kemudian menjadi basis untuk menentukan strategi pelaksanaan berikutnya.
1. RSUP Dr. Ciptomangunkusumo
RSCM melakukan kegiatan pengiriman residen senior untuk memberikan pelayanan di RSUD Ruteng, meningkatkan kapasitas RSUD Ruteng dan juga membantu RSUD Ruteng untuk membangun sistem pelayananannya. Selama periode kegiatan SH-PML telah terjadi peningkatan jumlah persalinan spontan maupun dengan penyulit dan kasus SC. Hal ini diakibatkan oleh adanya peningkatan jumlah rujukan dari Puskesmas dan terakreditasinya RSUD Ruteng sebagai RS Kelas C dengan pelayanan PONEK 24 jam. Angka kematian maternal sedikit menurun, namun kematian neonatal mengalami peningkatan.
Penyebab kematian ibu antara lain preeclampsia dan emboli air ketuban, sedangkan kematian bayi disebabkan karena kelahiran prematur ditambah dengan keterbatasan sarana penunjang pelayanan perinatology dan keterampilan penanganan BBLR yang masih rendah.
RSCM telah melakukan capacity building terhadap SDM di kebidanan, pelayanan neonatal, IGD dan Anestesi/OK/ICU untuk meningkatkan kemampuan SDM RSUD Ruteng. Selain itu juga dilakukan pelatihan, magang dan studi banding di luar RSUD Ruteng. Selain pelatihan yang terkait langsung dengan kegiatan klinis, juga dilakukan pelatihan untuk meninkatkan kemampuan manajerial, antara lain analisis beban kerja, manajemen keuangan dan persiapan untuk menerapkan PPK-BLUD.
2. RSAB Harapan Kita
RS yang mendampingi RSUD Kefamenanu ini merupakan satu dari dua RS non pendidikan yang dilibatkan sebagai RS Mitra A. Oleh karena itu, RSAB Harkit tidak melakukan kegiatan pemberian pelayanan klinis pada pasien. Kegiatannya berupa capacity building yang dilakukan langsung oleh dokter spesialis (konsultan) dari RSAB, memfasilitasi RSUD Kefa untuk ditetapkan sebagai RS Kelas C dan mempersiapkan pelaksanaan BLUD. Sebelumnya RSAB Harkit sudah membantu dalam mencapai status akreditasi.
Secara umum terjadi peningkatan kasus rujukan ibu melahirkan ke RSUD Kefa, yang secara proporsional juga berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu. Jumlah operasi SC tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan sebelum dan sesudah program SH meskipun angka komplikasi meningkat tajam. Penyebab utama kematian diketahui adalah perdarahan ante partum, partus lama dan eklampsia. Lebih jauh lagi angka kematian neonatal juga mengalami peningkatan dari meningkatnya kasus rujukan ibu dan neonates dengan komplikasi. Penyebab utama kematian neonatus adalah asfiksia, BBLR/Prematur, Infeksi dan sebab lain.
Hasil kegiatan di RSUD Kefa menunjukkan mulai adanya layanan maternal dan neonatal yang terstruktur, ditunjukkan dengan meningkatnya kasus rujukan dari puskesmas dan menurunnya kasus rujukan ke RS Provinsi sehingga kasus berat dan kematian ada di RSUD Kefa (tidak lagi di puskesmas apalagi di rumah).
3. RSUP Dr. Kariyadi
RS ini mendamping RSUD Umbu Rara Meha, Waingapu, dengan mengirimkan tenaga residen senior untuk memberikan pelayanan sekaligus membangun sistem manajemen klinik. Jumlah persalinan secara keseluruhan sedikit meningkat, demikian juga dengan jumlah rujukan ibu dan bayi. Terjadi satu kematian maternal menjelang akhir tahun yang disebabkan karena perdarahan antepartum dengan faktor risiko grande multipara. Kematian neonatal menunjukkan trend meningkat sepanjang tahun 2012 dengan penyebab asfiksia (35%), prematur (27%) dan sepsis (26%).
Sebelumnya RSUD URM telah mendapatkan status terakreditasi setelah dibimbing oleh RSUP Dr. Kariyadi.
4. RS Panti Rapih
Ini adalah satu-satunya RS swasta yang terlibat dalam program SH-PML di NTT. RSPR berperan dalam melakukan pendampingan bagi RSUD Ende yang terletak di Pulau Flores. Sepanjang tahun 2012 telah terjadi peningkatan angka kematian ibu dan bayi di RSUD Ende, secara jumlah absolut maupun secara persentase. Sebanyak 50% kematian ibu disebabkan karena penyebab langsung, yaitu hipertensi dan 22% karena peradahan. Sisanya disebabkan karena infeksi, langsung maupun tidak langsung. Sedangkan kematian bayi disebabkan karena asfiksia (57%), faktor spesifik lain (23%) dan prematur (16%). Dari hasil analisis mendapal terhadap berbagai akar penyebab masalah kematian ibu dan bayi di RSUD Ende, RSPR menemukan bahwa faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi manajemen dan kepemimpinan di RSUD Ende, fasilitas, budaya kerja, SDM (dari aspek kompetensi dan jumlah). Data juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram faktor prehospital juga memiliki andil terhadap tingginya faktor risiko kematian ibu dan bayi.
5. RSUD Dr. Saiful Anwar
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang memberikan pendampingan pada dua RSUD di NTT, yaitu RSUD Atambua (Kabupaten Belu) dan RSUD Lewoleba (Kabupaten Lembata). Untuk memudahkan melihat hasil pada kedua RS ini, maka penyajiannya akan disampaikan dalam bentuk table perbandingan sebagai berikut.
Variabel | RSUD Atambua | RSUD Lewoleba |
Jumlah persalinan | Jumlah kunjungan langsung maupun rujukan meningkat | Kunjungan langsung maupun rujukan mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat |
Kematian maternal | Menurun dari 10 di tahun 2011 menjadi 5 di tahun 2012 | Sedikit meningkat selama periode sister hospital (2 di tahun 2011 dan 4 di tahun 2012) |
Penyebab kematian maternal | 50% oleh penyebab tidak langsung (malaria, hepatitis, jantung), sepsis puerpurium dan eklampsi/preeklampsi masing-masing 20%, sisanya karena abortus septik/abortus provokatus | 67% kematian karena penyebab tidak langsung (malaria, hepatitis, jantung), 16% karena preeclampsia/eklampsia, 16% karena ruptur uteri |
Jumlah kunjungan neonatal | Meningkat, baik pada pasien rawat inap yang datang sendiri maupun dengan rujukan | Menunjukkan trend yang meningkat |
Kematian neonatal | Meningkat | Meningkat |
Penyebab kematian neonatal | Jumlah kasus dan rujukan yang meningkat, SDM dan fasilitas di RSUD belum memadai. 31 kematian disebabkan karena asfiksia, 29% karena sepsis, 23% karena prematur dan sisanya karena sebab lain. | Sepsis (21 kasus, prematur/BBLR (17 kasus), asfiksia (14 kasus), penyebab lain (5 kasus) |
6. RSUP Sanglah
Data dari tahun 2010-2013 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah persalinan dan rujukan maternal perinatal di RSUD Eka Pata, Waikabubak Hal ini tentu tidak terlepas dari adanya dokter spesialis Obsgyn dan Anak dari RSUP Sanglah yang memberikan pelayanan di RSUD EP. Meningkatnya jumlah persalinan dan angka rujukan ini belum dibarengi dengan peningkatan kompetensi dan kecukupan logistik di RSUD EP sehingga meningkatkan jumlah kematian. Ini berarti telah terkadi pergeseran lokasi kematian ibu dan anak, dari yang tadinya di luar RS menjadi di dalam RS.
Penyebab kematian ibu antara lain penyebab langsung (eklampsia/edema paru 1-2 kasus per tahun, emboli cairan ketuban (1 kasus di tahun 2011) dan penyebab tidak langsung (jantung, 2 kasus per tahun), hepatitis (1 kasus di tahun 2011), sepsis serta malaria serebral (masing-masing 1 kasus di tahun 2012).
7. RSUP Dr. Sardjito
Sebagaimana RSUD-RSUD lainnya di NTT, RSUD Bajawa Kab. Ngada juga mengalami peningkatan jumlah persalinan, rujukan ibu bersalin dan rujukan neonatus. Namun demikian jumlah persalinan per vaginam dengan tindakan dan jumlah SC mengalami penurunan. Yang menggembirakan adalah menurunnya jumlah kematian ibu bersalin, jumlah kematian neonatus dan jumlah neonatus bermasalah.
Sebagian besar bayi yang meninggal disebabkan oleh asfiksia, BBLR/premature dan sepsis.
8. RSUD. Dr. Soetomo
Sebagaimana RSUD Dr. Saiful Anwar, RSUD Dr. Soetomo juga menangani dua RSUD Di NTT yaitu RSUD TC Hillers Kab. Maumere dan RSUD Soe Kab. Soe.
Variabel | RSUD TC Hillers | RSUD Soe |
Jumlah persalinan | Angka persalinan meningkat dan angka rujukan maternal meningkat hingga 3x lipat dari tahun 2011 ke 2012 | Tidak tercatat |
Kematian maternal | Meningkat dari 4 ke 7 pada periode 2011-2012 | Meningkat dari 2 ke 6 pada periode 2011-2012 |
Penyebab kematian maternal | Pasien datang dalam kondisi jelek, tidak ada yang dapat dilakukan di RS untuk menolong ibu, sehingga terjadi pemindahan tempat kematian
Rujukan terlambat, rujukan estafet, penatalaksanaan awal tidak adekuat Pelayanan di RSUD tidak memadai |
|
Jumlah kunjungan neonatal | Angka kunjungan neonatal meningkat dan angka rujukan meningkat hingga 6x lipat dari tahun 2011 ke 2012 | Tidak tercatat |
Kematian neonatal | Meningkat dari 42 ke 59 pada periode 2011-2012 | Tidak tercatat |
9. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
RSWS melakukan pendampingan di RSUD Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Selama periode kegiatan SH-PML terjadi peningkatan angka kunjungan maternal perinatal maupun angka rujukannya. Seiiring dengan hal tersebut, terjadi pula kenaikan jumlah kematian ibu dan neonatus. Penyebab kematian ibu antara lain pre-eklampsia/eklampsia, SC a/I gawat janin & RUI, serta perdarahan. Sedangkan penyebab kematian neonatus adalah prematuritas/BBLR, Sepsis neonatorum, dan asfiksia neonatus.
Dapat dikatakan bahwa telah terjadi pergeseran tempat kematian dari luar RSUD ke dalam RSUD Larantuka.
Tulisan terkait:
1. Kontinuitas Program Tanpa Anggaran: Mungkinkah?
Reportase Pertemuan Koordinasi Program SH-PML 5 Maret 2013
Surabaya. Program SH-PML sudah memasuki awal kegiatan tahun ketiga saat ini. Setelah dua tahun pelaksanaan, telah ada beberapa kemajuan yang diperoleh, namun banyak juga kendala yang belum dapat diatasi. Pertemuan ini dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Prov. NTT dan staf AIPMNH, UGM, serta RS-RS Mitra A akan membahas mengenai hasil tersebut dan solusi yang dapat dilaksanakan di tahun 2013. Angka kematian ibu mengalami penurunan namun angka kematian bayi justru meningkat. Data ini diperoleh dari Audit Maternal dan Perinatal (AMP) yang dilakukan oleh PKMK FK UGM
AMP dilakukan untuk menganalisis problem utama kematian ibu dan bayi, dan dengan demikian kedepannya dapat direncanakan upaya untuk mengatasi hal tersebut. Dr. Rukmono Siswishanto, Koordinator SH-PML RSUP Dr. Sardjito, menjelaskan bahwa perlu ada kesepakatan mengenai indikator dan penetapan standar yang akan digunakan. Keduanya harus ditetapkan oleh Kadinkes Provinsi agar dilaksanakan diseluruh kabupaten dan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Sebagai contoh, bila data menunjukkan bahwa Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) tinggi (> 15 persen) sedangkan fasilitas NICU kurang, maka bisa diprediksi Angka Kematian Neonatal (AKN) akan tinggi. Oleh karena itu, salah satu intervensinya adalah mengadakan fasilitas NICU, sambil mengatasi masalah di bagian hulu (kondisi pra kehamilan, Ante Natal Care hingga sistem rujukan). Rukmono juga menegaskan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan berdasarkan data yang mungkin ada kekurangannya.
Data menunjukkan bahwa lima dari 11 RSUD mengalami penurunan jumlah kematian maternal dan hanya dua RSUD yang mengalami penurunan jumlah kematian neonatal. Sebagian besar kematian bayi tersebut bisa dicegah, dengan cara membenahi fasilitas (50 persen), SDM (33 persen) dan sistem rujukan (17 persen). Hal ini dipaparkan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS sebagai koordinator kegiatan SH. Hasil AMP telah memberikan rekomendasi mengenai hal ini, namun sayangnya belum semua rekomendasi (dapat) dilaksanakan dengan segera. Rekomendasi ini terkait dengan upaya untuk membenahi aspek klinis maupun manajemen dari RSUD di NTT.
Menurut Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, ada banyak faktor yang menyebabkan kenaikan jumlah kematian bayi yang meliputi faktor teknis (di hulu dan hilir pelayanan) dan faktor non teknis (adanya konflik internal maupun eksternal RS, faktor kejenuhan melakukan proses perubahan, kepemimpinan yang masih kurang, dan sebagainya). Dr. Stefanus Brian Sera selaku Kadinkes Provinsi NTT menambahkan bahwa program SH-PML ini memang belum bergerak untuk mengintervensi masalah kematian bayi, karena masih fokus pada penanganan kematian ibu.
Melalui hasil monitoring dan evaluasi kegiatan PML, Putu Eka Andayani, SKM, MKes sebagai koordinator melaporkan bahwa baru satu dari sebelas RSUD yang ditetapkan sebagai BLUD. Sebenarnya banyak kendala yang dapat diatasi jika BLUD telah diterapkan. Sebagai contoh, hasil evaluasi SH menunjukkan bahwa kelengkapan obat, pemeriksaan penunjang untuk diagnostik dan ketersediaan oksigen menjadi kendala dalam bidang fasilitas. RSUD akan selalu mengalami kesulitan dalam memenuhi hal ini, karena harus mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003. Jika RSUD telah ditetapkan sebagai BLUD, banyak kebutuhan operasional yang boleh dipenuhi/diadakan sendiri oleh RSUD tanpa harus menunggu mekanisme penganggaran dari Pemda, sehingga banyak kendala operasional pelayanan yang akan dapat diatasi. RS Mitra A bersama dengan RS Mitra B perlu bekerja lebih keras agar hal ini bisa terwujud di tahun 2013.
Selain itu telah terjadi banyak kegiatan perbaikan manajemen yang dilakukan di 11 RSUD, namun belum banyak yang menyentuh masalah kepemimpinan. Faktanya leadership merupakan kunci keberhasilan dari perubahan budaya dan internalisasi prosedur baru di RSUD. Hal senada disampaikan juga oleh Dr. Triharnoto, SpPD, Koordinator Tim RS Panti Rapih, bahwa faktor kepemimpinan ini harus mendapat perhatian lebih. Program apapun yang direncanakan akan sulit dijamin keberlangsungannya jika tidak melibatkan upaya perubahan budaya kerja. Sementara perubahan budaya kerja memerlukan kompetensi leadership yang baik.
Tulisan terkait:
1. Kontinuitas Program Tanpa Anggaran: Mungkinkah?
Liputan Penyusunan Pedoman Akuntansi BLUD
Jakarta. Pada Hari Rabu–Jumat, 13-15 Februari 2013 yang lalu, Ditjen Keuangan Daerah Kementrian Dalam Negeri RI menyelenggarakan suatu pertemuan untuk menyusun pedoman penyelenggaraan akuntansi bagi SKPD yang telah ditetapkan menjadi BLUD. Pertemuan ini dipimpin oleh Kasie BLUD, Ir. Bejo Mulyono, MML dan dihadiri oleh para pakar dari berbagai instansi, seperti perguruan tinggi (UGM, Unair), RS/ARSADA dan praktisi akuntansi RS. Pertemuan ini sebenarnya merupakan lanjutan dari pertemuan yang telah diselenggarakan sebelumnya. Pada pertemuan kali ini, proses penyusunan pedoman sampai pada bagian yang antara lain membahas mengenai aset (bergerak dan tidak bergerak), inventory dan investasi. Aset BLUD merupakan aset yang tidak dipisahkan dari aset pemerintah daerah. Namun demikian, BLUD harus mengetahui berasa besar aset yang dikelolanya, sebagai dasar untuk melakukan pertanggungjawaban. RS merupakan salah satu BLUD yang mengelola aset sangat besar, mulai dari gedung hingga peralatan kedokteran yang berharga miliaran rupiah. Aset ini dapat diperoleh melalui APBN/D, hibah, maupun kerjasama dengan pihak ketiga. Yang diatur oleh pedoman ini adalah pengelolaan aset yang diperoleh bukan dari APBN/D, karena sudah ada mekanisme tersendiri untuk asset-aset yang berasal dari dana pemerintah. Demikian juga dengan pengadaan inventory dan pengelolaan investasi. Jika berasal dari APBD, maka BLUD harus tetap menggunakan mekanisme yang telah diatur oleh Keppres No. 80 tentnag pengadaan barang dan jasa, dan aturan lainnya yang terkait. Namun jika diperoleh dari pendapatan opeasional RS, kerjasama, hibah atau pendapatan lain-lain yang sah, maka dapat dikelola berdasarkan pedoman yang terkait dengan BLUD. Melihat pada isi dari pedoman ini, maka memang selayaknya BLUD memiliki tenaga akuntan, agar bisa menjalankan prosedur-prosedur akuntansi yang baik dan benar sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku. Hal ini juga akan memudahkan penerapan prinsip akuntabilitas pada BLUD yang bersangkutan. Terkait dengan hal tersebut, ini masih akan menjadi kendala pengelolaan RS pemerintah selama beberapa tahun kedepan karena masih banyak yang tidak memiliki tenaga akuntan.
Belum lagi jika hal ini dikaitkan dengan akan berlakunya UU BPJS, dimana biaya penanganan kesehatan seluruh masyarakat akan berasal dari pusat. Dengan demikian, dana yang selama ini dialokasikan oleh Pemda (misalnya untuk asuransi kesehatan daerah) akan kelola oleh pusat, melalui mekanisme hibah ke BPJS. Baru kemudian BPJS menyalurkan ke RS setelah ada klaim dari RS yang bersangkutan mengenai besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk menangani pasien. Tanpa adanya sistem akuntansi yang baik dan didukung oleh teknologi informasi, maka proses klaim ini akan memakan waktu yang lebih panjang karena dilakukan secara manual dan multi-entry. Oleh karena itu, RS sebaiknya mulai memikirkan pengembangan sistem informasi akuntansi, tidak sekedar berhenti di Billing System sebagaimana yang selama ini banyak diterapkan di RS-RS di Indonesia. |
———————————————– ———————————————– > Penyusunan Rencana Strategis untuk RS > Pelatihan Sistem Akuntansi Rumah Sakit berbasis SAK > Aplikasi Sistem Billing dan Rekam Medis Berbasis Open System
|
Laporan Kegiatan Sebelumnya: ——————– Workshop Penyusunan Laporan Keuangan Rumah Sakit BLUD —————————————————- Sharing hasil kegiatan AIPMNH di Kupang Liputan Seminar Harapan Direktur terhadap Perilaku Dokter Spesialis dan Dokter di RS Puri Indah dalam Konteks Sistem Kontrak Kerja Transferworkshop Beijing-Bericht Liputan Seminar Tahunan VI Pateint Safety Kongres XII PERSI |
|
Aktivitas Mutu Klinis —– Aktivitas Mutu Keperawatan —- Manajemen SDM —– Manajemen Keuangan —- Manajemen Fisik —– Hukum Kesehatan
Manajemen Teknologi Informasi —– Asuransi Kesehatan —– Manajemen Pemasaran —– Strategi, Struktur & Budaya Organisasi |
Workshop Penyusunan Laporan Keuangan Rumah Sakit BLUD
———-Maumere-PKMK. Setelah sukses mengadakan workshop penyusunan laporan keuangan rumah sakit BLUD tahap I di Hotel T-More Kupang pada 28 Januari 2013 sampai dengan 30 Januari 2013 yang lalu, PKMK FK UGM kembali mengadakan workshop penyusunan laporan keuangan rumah sakit BLUD tahap II. Workshop ini memberikan materi yang serupa dengan workshop sebelumnya, tetapi diadakan di tempat yang berbeda dan peserta yang berbeda pula. ———-Workshop tahap II ini diselenggarakan pada 7 Februari 2013 sampai dengan 30 Februari 2013 di Hotel Pelita Maumere. Workshop dihadiri oleh 10 peserta dari lima rumah sakit daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berlokasi di Pulau Flores. Para peserta antara lain berasal dari RSUD TC Hillers Maumere, RSUD Larantuka, RSUD Ende, RSUD Ruteng dan RSUD Bajawa. Workshop ini menghadirkan narasumber yang sama dengan workshop sebelumnya yakni Dr. Anastasia Susty Ambarriani M.Si., Akt. , Yos Hendra SE, MM, Ak. dan Barkah Wahyu Prasetyo SE, Ak.
———-Kegiatan workshop untuk mendukung kegiatan yang diharapkan dari luaran PML yaitu mempersiapkan 11 RSUD di NTT menjadi BLUD. Sesuai amanah Undang-Undang No 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit pasal 7 dan pasal 20, maka seluruh rumah sakit pemerintah harus dijalankan dengan menggunakan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Sebagai BLUD, maka RSUD diharuskan menyusun laporan keuangan berbasiskan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Sesuai dengan amanat peraturan Permendagri No. 61 Tahun 2007, Pasal 116 dan Pasal 117 yang menjelaskan Akuntansi dan pertanggungjawaban BLUD untuk keuangan. ———-BLUD sebagai sebuah badan usaha dapat dikatakan telah dikelola secara baik bila telah memenuhi prinsip-prinsip independen, responsibel, transparan dan akuntabel. Guna diperolehnya laporan pertanggungjawaban yang memenuhi standar akuntansi keuangan yang lazim tersebut, diperlukan adanya suatu penelaahan (review) terhadap sistem informasi akuntansi yang ada agar selaras dengan tujuan dan pelaporan keuangan organisasi.
———-Pada workshop kali ini, antusiasme peserta terlihat dari diskusi yang aktif, baik antar peserta maupun dengan narasumber. Workshop diisi dengan konsep-konsep dasar disertai latihan penyusunan laporan keuangan yang memberikan pada peserta kesempatan untuk memahami secara praktek. Dikarenakan sudah terbiasa menggunakan standar akuntansi pemerintahan (SAP) dalam kegiatan rutinitas kerjanya, peserta sedikit mengalami kesulitan dalam latihan penyusunan laporan keuangan berbasis SAK, meskipun demikian mereka tampak bersemangat dalam berusaha memahami standar penyusunan laporan keuangan berbasis SAK. ———-Dalam workshop ini, peserta diminta untuk menyusun chart of account (COA) atau Kode Rekening masing-masing rumah sakit, dan latihan penyusunan laporan keuangan, yaitu Neraca, Laporan Operasional dan Laporan Arus Kas. Format workshop yang berbentuk diskusi dan pemaparan hasil latihan, diharapkan mampu memberikan kesan mendalam untuk peserta sehingga dapat selalu mengingat hal-hal yang tidak tepat dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dalam workshop kali ini, sehingga tidak terulang pada saat ketika benar-benar menjalankannya nanti. Harapan dari diselenggarakannya workshop ini, antara lain agar peserta dapat memahami sistem informasi akuntansi rumah sakit, peserta dapat memahami dan mampu untuk menyusun laporan keuangan berbasis SAK sesuai amanah Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Badan Layanan Umum Daerah. |
———————————————– ———————————————– > Penyusunan Rencana Strategis untuk RS > Pelatihan Sistem Akuntansi Rumah Sakit berbasis SAK > Aplikasi Sistem Billing dan Rekam Medis Berbasis Open System
|
Laporan Kegiatan Sebelumnya: ——————– Workshop Penyusunan Laporan Keuangan Rumah Sakit BLUD Sharing hasil kegiatan AIPMNH di Kupang Liputan Seminar Harapan Direktur terhadap Perilaku Dokter Spesialis dan Dokter di RS Puri Indah dalam Konteks Sistem Kontrak Kerja Transferworkshop Beijing-Bericht Liputan Seminar Tahunan VI Pateint Safety Kongres XII PERSI |
|
Aktivitas Mutu Klinis —– Aktivitas Mutu Keperawatan —- Manajemen SDM —– Manajemen Keuangan —- Manajemen Fisik —– Hukum Kesehatan
Manajemen Teknologi Informasi —– Asuransi Kesehatan —– Manajemen Pemasaran —– Strategi, Struktur & Budaya Organisasi |