Social Determinants of Health (SDH), diartikan sebagai faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan dan dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Diskusi diawali oleh Dr. Leila Mona Ganiem, seorang Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, akademisi, dan pengamat kedokteran yang menyebutkan banyak penelitian menunjukkan kondisi lingkungan seseorang dapat mempengaruhi kesehatan melebihi faktor genetik orang tersebut. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi SDH dan mencari solusi untuk faktor – faktor tersebut.
Reportase Webinar Bagaimana Faktor Sosial Ekonomi dan Ketidaksetaraan Mempengaruhi Stunting di Indonesia
Reportase Webinar
Bagaimana Faktor Sosial Ekonomi dan Ketidaksetaraan Mempengaruhi Stunting di Indonesia
Rabu, 27 Februari 2020
Webinar kali ini diawali dengan paparan yang disampaikan oleh Dr. Kadek Tresna Adhi, dosen dari Universitas Udayana, Bali. Kadek memaparkan hasil penelitian di Kabupaten Gianyar yang menjadi lokus stunting dan mengaitkan dengan stunting di Bali secara keseluruhan. Secara garis besar, Bali sebagai daerah yang padat dengan pariwisata telah menghasilkan kondisi ekonomi yang memadai untuk warga lokal secara umum. Dengan adanya akses pada nutrisi dan pelayanan kesehatan yang relatif mudah diperoleh, faktor yang mempengaruhi stunting di Bali berpusat pada perilaku masyarakat dan pemerintah daerah. Perilaku masyarakat yang menjadi faktor risiko terhadap stunting yang disoroti pada diskusi kali ini antara lain kebiasaan merokok seorang ayah di dekat anaknya, pemilihan makanan yang kurang mengandung tinggi vitamin A dan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan yang kurang optimal untuk pengukuran antropometri anak sebagai pemantauan pertumbuhan. Namun ada hal menarik bahwa keterlibatan ayah lebih besar dalam mengantar anak ke posyandu, sedangkan ibu lebih disibukkan oleh persiapan kegiatan upacara adat. Dari sisi pemerintah daerah, terlihat bagaimana stunting dianggap permasalahan yang hanya berpusat pada lingkup kesehatan. Tanggung jawab mengenai stunting diserahkan sepenuhnya kepada dinas kesehatan, dan kerja sama antar sektor masih belum berjalan sesuai yang diharapkan.
Diskusi dilanjutkan oleh Blandina Rosalina Bait, Senior Equity Initiative Fellow & Nutrition Officer Unicef Indonesia. Blandina menjelajah isu bukan hanya seputar stunting, melainkan juga mendiskusikan isu gizi buruk (wasting) di Indonesia, didukung oleh data dan informasi yang diperoleh di NTT. Di Indonesia, dilaporkan angka stunting pada anak melebihi 30%, yang diklasifikasikan oleh WHO sebagai angka stunting yang sangat tinggi. Tidak jauh berbeda dengan angka gizi buruk nasional, yaitu 12%, jauh melebihi target WHO sebesar <5%. Jika dilihat berdasarkan angka, terdapat sekitar 2.1 juta kasus gizi buruk dan ditemukan hanya 20.000 dari populasi tersebut yang ditangani dengan baik. Kondisi dimana angka perawatan relatif sangat rendah dibandingkan prevalensi kasus gizi buruk, dikaitkan dengan beberapa sebab antara lain buruknya skrining penyakit, fasilitas kesehatan yang tidak mampu menampung seluruh populasi yang sakit dan juga keadaan dimana pasien anak tidak di rawat inap karena orang tua memilih bekerja untuk mencari nafkah daripada menemani anak di rumah sakit.
Dalam diskusi ini dibahas pula terkait penyebab dan masalah gizi di NTT. Dari sisi individu, faktor yang menyebabkan gizi buruk dapat diakibatkan dari asupan makanan yang tidak cukup, dimana 80% anak usia 6 – 23 bulan hanya diberikan makanan bubur saja. Selain itu, ada kecenderungan untuk anak balita mengalami diare karena akses air bersih dan sanitasi buruk, ditambah lagi imunisasi dasar yang kurang lengkap sehingga menurunkan kekebalan tubuh dan meningkatkan resiko infeksi. Dari sisi rumah tangga, ditemukan kemampuan daya beli rendah, dimana keluarga tidak mampu membeli makanan yang bergizi. Kurangnya pengasuhan oleh seorang ibu yang meninggalkan anaknya untuk bekerja juga didapati sebagai faktor penyebab masalah gizi di NTT.
Untuk memperbaiki kondisi gizi buruk, WHO dan Unicef mengusulkan perawatan yang berbasis rawat jalan. Rekomendasi tersebut mempunyai empat komponen, antara lain mobilisasi masyarakat, penemuan penyakit dini sebelum terjadinya komplikasi, perawatan sesuai kebutuhan dan integrasi dengan layanan lain. Pendekatan tersebut sudah terbukti di berbagai negara dapat memperluas cakupan penanganan dan menurunkan mortalitas dikarenakan gizi buruk.
Gizi buruk erat kaitannya dengan stunting. Dimana gizi buruk menaikkan kemungkinan terjadi stunting dan hal tersebut dibuktikan bahwa pasien stunting sering mempunyai riwayat gizi buruk sebelumnya. DItambah lagi sosial determinan gizi buruk dan stunting yang tidak jauh berbeda. Penanganan gizi buruk dapat juga mengatasi stunting secara langsung maupun tidak langsung.
Narasumber berikutnya, Sarah Lery Mboeik, ketua kelompok pokja stunting provinsi NTT, membahas permasalahan stunting yang terjadi di NTT. Isu yang didiskusikan oleh Lery yang tidak dibahas oleh pembicara sebelumnya, adalah mengenai kesetaraan gender. Mboeik menyoroti bagaimana kurangnya prioritas yang diberikan pada kaum perempuan di NTT dapat berakibat pada stunting pada anak. Faktor resiko yang berawal dari ketidaksetaraan kaum perempuan dapat terjadi sebelum, saat, dan sesudah kehamilan. Di NTT, masih banyak kecenderungan ibu hamil dengan usia muda, dikarenakan angka perkawinan usia dini masih tinggi yang diperburuk oleh penggunaan KB yang sering dibebankan kepada kaum perempuan saja. Kehamilan pada usia muda akan meningkatkan resiko anemia, komplikasi persalinan, dan kelainan lain pada seorang ibu yang berakibat buruk pada bayi dilahirkan. Selain itu, dalam kehamilan pun jam kerja disamakan dengan orang lain dan asupan gizi tidak diperhatikan di dalah rumah tangga. Melahirkan sering dilakukan di rumah sehingga meningkatkan resiko perdarahan. Setelah melahirkan, kaum perempuan perlu untuk bekerja kembali karena kebutuhan ekonomi dan sering migrasi ke tempat yang jauh sehingga menyebabkan pengasuhan anak dititipkan ke anggota keluarga lainnya. Semua faktor tersebut berkontribusi dalam kausa stunting pada anak. Hal menarik yang dikemukakan antara lain kekerasan budaya ikut mempengaruhi ketidakberdayaan perempuan, selain itu perempuan akan mengurangi komposisi makan untuk mendukung kondisi keuangan keluarga.
Akhir kata, Digna Niken Purwaningrum, peneliti PKMK FK – KMK, menambahkan bahwa banyak penelitian yang mengaitkan status sosial ekonomi dengan stunting. Seperti yang disebutkan oleh pembicara sebelumnya mengenai NTT, status sosio ekonomi yang rendah telah dibuktikan akan mempengaruhi asupan nutrisi gizi yang dapat seterusnya meningkatkan kecenderungan anak stunting. Akses pada perlindungan sosial, terutama kesejahteraan pada kelompok rentan seperti wanita dan anak, perlu diprioritaskan. Untuk mengatasi stunting perlu kerja sama dari multi sektor mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, sampai dengan evaluasi. Aksi konvergensi dari sektor kesehatan, sektor swasta, perguruan tinggi, pemerintah, dan sektor terkait lainnya menjadi kunci untuk menanggulangi stunting.
Reporter : Eugeu Yasmin
Reportase Webinar Pembahasan PMK 3-2020 Kemungkinan Penerapan Single Tarif
Reportase
Webinar Pembahasan PMK 3/2020:
Kemungkinan Penerapan Single Tarif
PKMK – Lembang. PKMK menyelenggarakan webinar serial pembahasan PMK 3/2020 pada Rabu (19/2/2020) di Lembang. Sesi ini merupakan lanjutan diskusi Sistem Rujukan Pasca Terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020: Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS Dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi. Divisi manajemen rumah sakit Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan menyelenggarakan diskusi mengenai Kemungkinan tarif tunggal setelah terbitnya PMK Nomor 3/2020. Diskusi ini dimoderatori oleh Putu Eka Andayani, SKM, MKes dengan narasumber Yos Hendra, SE., MM., Ak., CA., M.Ec.Dev., MAPPI Cert (Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK UGM) dan dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, PhD Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS UNS), serta pembahas Suwanta (PERSI, Ketua Kompartemen Bina Pembiayaan Kesehatan)
Yos Hendra mengawali diskusi dengan pemaparan singkat mengenai tarif yang berlaku pada saat ini, yaitu tarif INA CBG’s. Pertanyaan ketika adanya isu tarif tunggal. Tarif mana yang tunggal? Apakah regionalisasi? Apakah status kepemilikan? Kelompok diagnosis? Kelas perawatan? Apakah berdasarkan klasifikasi kelas rumah sakit?. Regionalisasi, biaya distribusi berbeda – beda pada tiap daerah. Status kepemilikan, rumah sakit pemerintah terdapat subisidi pada biaya SDM dan aset tetap, rumah sakit swasta tanpa subsidi. Diagnosis dan kelas perawatan tentunya juga ada perbedaan pada biaya yang muncul. Dengan adanya PMK Nomor 3/2020 jumlah tempat tidur sebagai dasar klasifikasi kelas rumah sakit apakah memungkinkan apabila tarif tunggal diterapkan untuk klasifikasi kelas rumah sakit? Mungkin lebih mendekati apabila yang ditarifkan tunggal adalah klasifikasi kelas rumah sakit. Terkait dengan Perpres Nomor 82/2012 & UU SJSN bahwa BPJS dan Asosiasi mengusulkan dasar tarif mengusulkan kepada Permenkes untuk ditetapkan. Selanjutnya Yos Hendra menyatakan bahwa penghitungan unit cost untuk dasar tarif tunggal dilakukan pada rumah sakit kelas C dan D untuk kasus – kasus sederhana serta kasus – kasus kompleks dilakukan pada rumah sakit kelas A dan B.
dr Tonang Dwi Ardyanto sebagai narasumber kedua menyampaikan bahwa konsep mengenai single tarif itu awalnya belum ada. Tahun ini berharap grouping yang lebih Indonesia. PMK Nomor 3/2020, membuat perjenjangan tidak berlaku. Sustainabilitas JKN harus dipertimbangkan terlebih dahulu, dan CBG’s harus berubah. Tarif yang terjadi berarti di regional yang sama memiliki tarif yang sama. Namun prosedur canggih perlu diperhatikan juga, bagi rumah sakit pendidikan akan berat menjalaninya. Tarif tunggal akan membuat rumah sakit berpikir panjang, apakah bisa ditunda hingga Januari 2021? Agar ada masa untuk penyusunan standar pelayanan, bagaimana menilai pengembangan rumah sakit agar terjaga, juga agar rumah sakit ada waktu untuk strategi. dr Tonang menegaskan bahwa tarif tunggal harus dihitung dengan betul dan lebih akuntabel. Apabila, itu tidak dapat dikondisikan kapan penerapan tarif tunggal pertama, kapan penetapan standar kompetensi rumah sakit. Sebaiknya diupayakan menutup dulu defisit sekarang, agar rumah sakit dapat mengikuti peruabahan regulasi.
Suwanta menyatakan bahwa PERSI memiliki 50 sampel rumah sakit, masalahnya adalah bagaimana kecepatan data yang masuk ke PERSI, 10 sampel per regional. Rumah sakit yang dijadikan sampel adalah dengan rasio pendapatan dibagi aset sama dengan 1. Besaran pada distribusi ini sebarannya berapa dan menggunakan nilai tengah. Ada tim di kompartemen kami, penghitungan dengan Excel menggunakan goal seek. Pada kasus – kasus canggih akan mengundang PB IDI dan menghitung bersama dengan PERSI. Suwanta menegaskan rumah sakit yang menjadi sampel adalah yang tata kelolanya baik. Regulator harus terbuka, tarif tunggal tidak boleh mengorbankan mutu pelayanan rumah sakit, bagaimana apabila nantinya terjadi GAP. Apabila tarif tunggal belum dihitung, PERSI mengusulkan menggunakan tarif rumah sakit kelas B terlebih dahulu.
Beberapa masukan dari diskusi memperlihatkan bahwa dalam penerapan tarif tunggal harus memperhatikan perbedaan investasi dan biaya operasional rumah sakit. BPJS diuntungkan karena mudah dalam perhitungannya namun rumah sakit yang sulit (pusing). Apabila tidak ada data kemungkinan PMK – nya akan muncul ditambah 207 tindakan khusus rumah sakit kelas A dan B. Tarif tunggal bisa dilaksanakan namun harus memperhatikan beberapa aspek karena tidak semua aspek bisa dijadikan tunggal. PERSI dan BPJS harus duduk bersama untuk melakukan pengusulan tarif.
Pada akhir diskusi, Prof Laksono menyampaikan tentunya semua akan terkait dengan kompetensi. Hal yang mendasar, sebaiknya dilakukan pertemuan awal antara PERSI dengan BPJS. Poin ini yg paling penting yang terjadi selama 6 tahun ini ada data empirik dan riil. Pertama kalinya mungkin antara BPJS dan PERSI duduk bersama dan BPJS yang mempunyai data dan harus dibuka, harus dikawal IAI dan pasti akan diperiksa oleh BPKP juga. Ketika masuk ke topik ini, ada suatu ujicoba di DKI dan kita akan melihat prosesnya juga yang harusnya bagaimana. Kita lihat pricing berbasis biaya, pemerintah dan BPJS ini juga mendorong untuk efisiensi, misal katarak lensanya bermacam – macam apakah sampai bahan seperti ini masuk e – katalog sehingga akan terjadi pricing yang sangat detil sampai ke bahan habis pakainya. Kita belum pernah masuk kepada BPJS dan PERSI yang seperti ini, kita akan masuk ke situ. BPJS purchaser yang besar, UGM membuka pemikiran yang segar dan akan lebih berkembang.
Reporter: Husniawan Prasetyo
Seri Diskusi PMK No. 3/2020 Oleh PKMK dan MMR FK-KMK UGM
Seri Diskusi PMK No. 3/2020
Oleh PKMK dan MMR FK-KMK UGM
PKMK FK KMK UGM bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat minat Manajemen Rumah Sakit menyelenggarakan 3 seri webinar untuk membahas PMK No. 3/2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Seri Webinar ini dimaksudkan sebagai upaya untuk monitoring dan evaluasi kebijakan PMK No. 3/2020.
Diskusi pertama (tanggal 6 Februari 2020) mencatat perspektif pengelola RS, PMK No. 3/2020 yang cenderung memberi penilaian positif. Hal ini karena PMK membuka peluang yang lebih bagi RS kelas C dan Kelas D untuk memiliki dokter spesialis, bahkan sub spesialis. Namun ada juga pandangan yang negatif, misalnya pengelompokkan tenaga profesi yang memiliki tanggung jawab klinis namun dimasukkan dalam kelompok nonmedis. Dikhawatirkan hal ini akan menganggu upaya pemberian pelayanan yang berpusat pada pasien. Silahkan klik di sini untuk membaca laporan Webinar pertama scara lebih detil.
Selengkapnya
Sejauh mana PMK 3/2020 berdampak pada sistem rujukan, dibahas pada diskusi kedua. Walaupun ada Permenkes 01/2012, bukti empirik selama 6 tahun ini menunjukkan bahwa rujukan pelayanan kesehatan perorangan tergantung pada sistem pembayaran. Dalam hal ini, BPJS menjadi pemain kunci dan memiliki kekuatan sebagai pembeli. Kedepannya, sebagai strategic purchaser, BPJS tetap memiliki hak untuk memilih untuk bekerja sama dengan faskes mana yang menyediakan pelayanan sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karenanya, perlu ada standar kompetensi rujukan yang ditetapkan oleh pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi) berdasarkan masukan dari Asosiasi RS dan Organisasi-organisasi Profesi. Penetapan kompetensi rujukan untuk penyakit-penyakit kompleks perlu dilakukan oleh BPJS bekerjasama dengan pihak independen. Silahkan klik di sini untuk membaca laporan Webinar ke 2 secara lebih detil
Selengkapnya
Diskusi 3 membahas kemungkinan dampak PMK 3/2020 terhadap tarif pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan dan proses perubahannya. Apakah mungkin diterapkan single tariff berbasis pada kompetensi? Pihak mana yang akan memulai perubahan ini. Diskusi akan dilaksanakan pada hari Rabu, 19 Februari 2020, pk. 15.00 – 16.00 WIB. Pembicaranya adalah:
1. Dr. dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, PhD (Praktisi RS)
2. Yos Hendra, SE., MM., Ak., CA., M.Ec.Dev., MAPPI (Cert), Konsultan Manajemen RS
Akan dibahas oleh PERSI dan BPJS
Informasi selengkapnya silakan klik: Selengkapnya
Hasil dari ketiga Webinar ini akan dirangkum untuk dijadikan bahan Dialog Kebijakan dengan para pengambil keputusan.
Reportase Webinar Sistem Rujukan Pasca Terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 : Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS Dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi?
Reportase Webinar
Sistem Rujukan Pasca Terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 :
Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS Dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi?
Melanjutkan webinar diskusi PMK Nomor 3 Tahun 2020 dari perspektif pengelola rumah sakit pada 6 Februari lalu, Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK bekerja sama dengan Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan dan MMR FK – KMK UGM menyelenggarakan Seminar Outlook Arah Kebijakan Sistem Rujukan di Indonesia terkait dengan pasca terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 pada 13 Februari 2020. Seminar outlook ini melibatkan narasumber Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc., Ph. D dan dr. Sudi Indrajaya (PKMK UGM), serta pembahas Dr. dr. Yout Savithri, MARS (Kementerian Kesehatan RI), drg. Yuli Kusumastuti, M. Kes (Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes DIY), dr. Kuntjoro Adi Purwanto M. Kes (Ketua Umum PERSI), dan dr. Medianti Ellya Permatasari (Asisten Deputi Bidang Pembiyaan Manfaat Kesehatan Rujukan, BPJS Kesehatan).
Reportase Webinar Diskusi PMK Nomor 3 Tahun 2020 dari Perspektif Pengelola Rumah Sakit
Reportase Webinar
Diskusi PMK Nomor 3 Tahun 2020 dari
Perspektif Pengelola Rumah Sakit
Kamis, 6 Februari 2020
Pengantar
Diskusi ini dimoderatori oleh Putu Eka Andayani, SKM, MKes dengan narasumber tunggal Dr. dr. Beni Satria, S.Ked., M.Kes., SH, MHKes. Dr. Beni seorang pakar dan praktisi muda dari kota Medan yang sangat aktif dalam pembahasan kebijakan dan manajemen RS di Indonesia. Forum ini juga bagian dari program FK-KMK UGM untuk memberi kesempatan para pemikir muda kebijakan dan manajemen kesehatan Indonesia untuk memaparkan buah pikirannya.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD membuka diskusi dengan memaparkan bahwa setiap kebijakan memiliki siklus sebagai berikut:
Gambar 1. Siklus Kebijakan
PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini melewati fase tersebut. Diskusi ini membahas fase awal dari implementasi kebijakan tersebut. Diskusi ini memang bertujuan mengumpulkan pendapat dari perspektif praktisi RS. Dalam diskusi telah terkumpul dan pandangan para peserta webinar mengenai yang yang positif (mendukung) dan apa yang negatif dari kebijakan di atas.
Paparan
Dari paparan dr. Beni, secara umum menyatakan bahwa PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini cenderung positif bagi pelaku pelayanan, khususnya swasta. Hal ini karena PMK membuka peluang yang lebih bagi RS kelas C dan Kelas D untuk memiliki dokter spesialis, bahkan sub spesialis. Terdapat banyak masalah pada implementasi JKN yang akan sedikit banyak teratasi, misalnya terkait defisit. Dengan diperbolehkannya dokter spesialis bekerja di RS Kelas D, pasien tidak perlu dirujuk terlalu jauh ke RS rujukan provinsi atau rujukan pusat di kota besar, dan klaim ke BPJS pun sesuai dengan kelas RS tersebut. Dr. Beni menyatakan bahwa kastanisasi RS menjadi berkurang.
Gambar 2. Narasumber Dr Beni via Webinar
Diskusi ini mencatat beberapa pandangan yang terkesan negatif terhadap Permenkes ini. Beberapa instalasi dan profesi mengalami perubahan pengelompokkan dan uraian tugas yang dinilai merugikan. Misalnya Instalasi Gizi, dalam PMK Nomor 3 Tahun2020 ini tanggung jawab klinisnya tidak diuraikan lagi sehingga seolah – olah Instalasi Gizi hanya sebagai produsen makanan. Demikian juga dengan profesi farmasi, rehabilitasi medis dan sebagainya yang tidak lagi tergolong pada kelompok penunjang medis melainkan sebagai kelompok non medis.
Menurut Dr. Beni, hal – hal yang tidak diatur PMK Nomor 3 Tahun 2020 bukan berarti dihilangkan, melainkan akan diatur pada peraturan lain, termasuk tentang sistem rujukan. Prinsipnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini adalah peraturan tentang klasifikasi dan perizinan RS. Positifnya, PMK ini memberi peluang bagi RS yang belum mampu menyediakan fasilitas atau unit layanan tertentu untuk bekerjasama dengan pihak lain (perusahaan penyedia jasa atau RS lain) untuk melengkapi pelayanan di RS tersebut. Juga harus diingat bahwa ada peraturan – peraturan lain yang juga harus diacu, misalnya yang terkait dengan akreditasi. Untuk paparan lengkap dr. Beni silahkan klik di sini.
Penutup
PMK ini memang perlu dimonitoring dan dievaluasi pelaksanaannya. Diskusi ini merupakan awal dari kegiatan monitoring dan evaluasi kebijakan. Dalam diskusi ini telah dikumpulkan secara tertulis pendapat-pendapat yang ada. Pendapat tersebut akan dianalisis dan akan dibahas dalam acara Policy Dialog dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan dalam waktu beberapa minggu ke depan.
Namun sebelum Policy Dialog, akan ada kegiatan terkait dengan Permenkes 3/2020 yaitu:
Outlook Arah Kebijakan Sistem Rujukan di Indonesia dengan tema Sistem Rujukan Paska Terbitnya PMK No. 3/2020: Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi, di Hari Kamis, 13 Februari 2020.
Silahkan klik untuk mempelajari kegiatan mendatang. Sampai bertemu kembali.
Parallel Session 3.4 PMAC 2020
PMAC 2020
Parallel Session 3.4
Solidarity & UHC – Leadership for Change
Saturday, 1st February 2020
Eamonn Murphy, Ann Keeling, Ana Santos, Sabrina Rasheed, Tracey Naledi,
Justin Koonin, Tomas Reinoso Medrano
Side Meeting
Opening Session
Plenary Session 0
Plenary Session 1
Parallel Session 1.2
Parallel Session 1.4
Plenary Session 2
Parallel Session 2.1
Parallel Session 2.2
Parallel Session 2.3
Parallel Session 2.5
Parallel Session 3.2
Health is a political movement. This statement can be proven from the grassroot AIDS solidarity mass movement that occurred during the 80s and 90s in the past. Universal health coverage is no exception. For universal health coverage to work, it is necessary for multisectoral engagement with communities and civil society as the central of the movement. Active roles and leadership from civil society are needed to reach vulnerable and marginalized population such as people with HIV, drug users, sexual minority and many more.
Solidarity is an important aspect in mainstreaming the marginalized and vulnerable populations in the global UHC agenda. As mentioned in this session, lesson learned from Cuba is that no UHC can be achieved without health professionals trained on solidarity as a moral value and the role of state to provide quality services. Coordination and support of all sectors and civil society are important to address health social determinants.
Parallel Session 3.2 PMAC 2020
PMAC 2020
Parallel Session 3.2
Artificial Intelligence and Digital Health Opportunities and Risks
Saturday, 1st February 2020
Ashish Jha, John Wong, Pradeep Haldar, Parry Aftab
Side Meeting
Opening Session
Plenary Session 0
Plenary Session 1
Parallel Session 1.2
Parallel Session 1.4
Plenary Session 2
Parallel Session 2.1
Parallel Session 2.2
Parallel Session 2.3
Parallel Session 2.5
Parallel Session 3.2
New technologies and digital innovation could revolutionize health care by becoming a tool that could overcome the challenges faced for the progress toward UHC. Various evidences have proven that usage of artificial intelligence will allow improvement of the wellbeing of an individual or a population, decreasing the cost of health services, increasing the patient awareness of their own welfare with the health system, and also improving the health provider experience which will lead to better service deliveries.
However, such innovations are not without any shortcomings. For instances, there may be bias in the algorithm system due to insufficient amount of data collected, risks of breakdown of an already fragile system, the concern on equitable access, cost of the technologies and obstacle on property rights, and importantly ethical concerns and risks regarding patients’ confidentiality. This session suggested solutions, including through implementing correct data set, innovate new approach for governance and regulations, new model for thinking about ethics, and lastly start a collaboration with NGOs, co-hosts of events, medical doctors, medical students, nurses, practitioners, and providers, but leave WHO as the last one.
Artificial intelligence (AI) may be able to help with misdiagnosis and can outperform human capabilities in terms of visual identification in 5-10 years to come. On the other hand, current AI have not reached the desired optimal performance and furthermore general public have the tendencies to resist change in how they usually do things so adapting the technology will be challenging. All things considered, the innovations and artificial intelligence have their own merits and shortcomings and need to be careful on utilizing it.
Parallel Session 2.5 PMAC 2020
PMAC 2020
Parallel Session 2.5
Assessing Health Interventions for a Fair, Efficient and Sustainable UHC
Saturday, 1st February 2020
Teo Yik Ying, Chhorvann Chhea, Kenji Shibuya, Walaiporn Patcharanarumol,
Erica Di Ruggiero, Stephanie Anne Lim Co
Side Meeting
Opening Session
Plenary Session 0
Plenary Session 1
Parallel Session 1.2
Parallel Session 1.4
Plenary Session 2
Parallel Session 2.1
Parallel Session 2.2
Parallel Session 2.3
Parallel Session 2.5
Parallel Session 3.2
Universal Health Care (UHC) has two general dimensions namely multi-sectorial advocacy for health programs and efficient delivery of interventions. Assessment of health interventions for UHC quality in the context of the aforementioned dimensions is essential to ensure its sustained success. UHC assessment has to be a regular activity for governments and funding agencies to effectively design and extend dynamic health packages that are relevant to the people’s ever-changing needs.
Affordability, accessibility, quality and sustainability among key indicators in assessing UHC underscored the complexity of the decision-making processes in health assessment. UHC assessment should not only about fiscal space but also on how resources are mobilized and how effective these are on a national and international level.
Funding agencies have to proactively identify indicators that reflect not just health output which are usually the emphasis of impact assessments, but the health delivery systems and processes as well. There is a need to identify parameters that are sensitive and fair to the contexts of the local communities and using current systems and technology that measure UHC success indicators can be improved. Collaboration and transparency among all stakeholders are keys to achieve UHC’s sustainability, adequacy, fairness and efficiency.
Parallel Session 2.3 PMAC 2020
PMAC 2020
Parallel Session 2.3
Leveraging Strategic Purchasing for UHC through Strengthened Governance
Saturday, 1st February 2020
Caryn Bredenkamp, Grace Kabaniha, Loraine Hawkins, Jack Langenbrunner, Lydia DsaneSelby, Jadej Thammatch-aree, Jin Xu
Side Meeting
Opening Session
Plenary Session 0
Plenary Session 1
Parallel Session 1.2
Parallel Session 1.4
Plenary Session 2
Parallel Session 2.1
Parallel Session 2.2
Parallel Session 2.3
Parallel Session 2.5
Parallel Session 3.2
This session draw attentions to strategic purchasing as an important health financing function. The objectives of the session are to understand the issues around strategic purchasing and learn from country experiences. Strategic purchasing means actively using the allocation of funds from purchasers to healthcare providers to achieve UHC objectives by using information on provider performance and/or the population’s health needs in how purchasers’ contract, pay and monitor providers. This session identifies two factors that significantly affect strategic purchasing: governance and institutional capacities.
Governance is an overarching health systems function and is about ensuring strategic policy frameworks exist and are combined with effective oversight, coalition-building, regulation, attention to system-design and accountability. In short, it has two main tasks, setting strategic direction and ensuring accountability for use of resources and performance. It operates at system level and agency level. Countries are situated in the spectrum of health purchasing agencies as an arm of MOH and as an autonomous strategic purchaser. When health purchasing agencies are more autonomous and have higher capacity, they tend to have stronger decision authority over relevant policy levers and are able to generate better outcomes on efficiency, access, financial sustainability.
Strategic purchasing can be significantly influenced by political power. In many countries, politicians and local governments can influence what services to be purchased for whom. Therefore, matching autonomy and institutional capacities of purchasing agencies are key to improve strategic purchasing.