Pelatihan Konsultan Manajemen RS Pendidikan – Fakultas Kedokteran
9 Desember 2020
13.00 – 15.00 WIB
Pada Rabu, 9 Desember 2020, telah berlangsung Pelatihan Konsultan Manajemen Rumah Sakit Pendidikan-Fakultas Kedokteran secara daring, yang diselenggarakan oleh PKMK FK – KMK UGM. Pelatihan ini merupakan pertemuan pertama dari rangkaian acara Forum Konsultan Manajemen RS Pendidikan – FK. Narasumber dalam pertemuan ini disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD. Tercatat 30 peserta yang mengikuti pelatihan ini.
Keadilan Sosial dalam Pemenuhan Akses dan Distribusi Vaksin
COVID-19 di Indonesia
CoP for Health Equity
Selasa, 20 Oktober 2020
Sampai saat ini, belum ada negara yang mampu memproduksi jumlah vaksin yang dibutuhkan secara individu, sedangkan penyediaan vaksin tidak akan mengakhiri pandemi dengan cepat kecuali jika didistribusikan secara adil. Kondisi ini menyebabkan timbulnya persaingan antar negara untuk mendapatkan stok vaksin saat tersedia nanti. Maka dari itu, GAVI meluncurkan program Covax dan Indonesia telah menjadi bagian dari negara menengah ke bawah yang akan mendapatkan subsidi dari COVAX. Namun, Indonesia tetap memerlukan strategi jangka panjang dalam pengembangan dan pengadaan vaksin COVID-19. Webinar yang diadakan pada 20 Oktober 2020 mengundang tiga panelis untuk mendiskusikan bagaimana pemenuhan dan skema distribusi vaksin COVID-19 secara ekuitabel serta pentingnya edukasi masyarakat akan pentingnya vaksin. Ketiga panelis yang berkontribusi pada webinar kali ini ialah Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph. D, Sp. MK (K), Dr. Nihayatul Wafiroh, MA, dan Dr. dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA. Webinar ini dimoderatori oleh dr. Tiara Marthias, MPH.
Pentingnya Koordinasi Multi-Sektor Program Gizi Remaja di Masa Pandemi C-19
Community of Practice for Health Equity
2 September 2020
Masalah kelebihan dan kekurangan gizi terjadi di seluruh lapisan umur, sehingga forum mengenai gizi remaja patut ditingkatkan. Gizi remaja memiliki implikasi penting untuk kemampuan negara mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG), dan juga pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Adapun remaja putri adalah calon ibu di masa depan dan status gizi mereka memberikan dampak langsung kepada status gizi dan kesehatan generasi selanjutnya. Webinar yang diadakan pada 2 September 2020 mengundang tiga panelis untuk mendiskusikan antara lain dukungan UNICEF Indonesia dalam program gizi remaja Indonesia, pengalaman layanan gizi remaja selama pandemi, dan peran remaja dalam distribusi tablet tambah darah (TTD) di masa pandemi. Ketiga panelis yang berkontribusi pada webinar kali ini ialah Airin Roshita, Nurhandini Eka Dewi, dan Ni Komang Ayu Sumetri, serta dimoderatori oleh Blandina Rosalina Bait.
Pelayanan PCR Mandiri di Rumah Sakit sebagai Salah Satu Inovasi Pelayanan Terpadu
6 Agustus 2020
Webinar kali ini merupakan pertemuan lanjutan pembahasan mengenai PCR kerjasama PKMK FK-KMK UGM dengan National Hospital. Prof Dr. Aryati, dr. MS. Sp.PK(K) dan Prof Dr. Jusak Nugraha, dr. MS. Sp.PK(K) selaku pembicara pada pertemuan webinar kali ini. Prof Jusak sebagai pembicara pertama menyampaikan mengenai pengalaman implementasi multiplex PCR di rumah sakit dan studi kasus di National Hospital. Sejak 6 april 2020 laboratorium National Hospital sudah mengerjakan sendiri qRT-PCR SARSCov2, karena kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat maka per 1 juli 2020 mulai menggunakan PCR super kilat. Prof Aryati pembicara selanjutnya menyampaikan tentang multiplex PCR sebagai salah satu pemeriksaan yang dibutuhkkan pada saat pandemi COVID-19. Pemeriksaan idealnya tidak hanya pada yang bergejala, namun juga pada yang tidak bergejala bisa dilakukan. Disampaikan juga mengenai prosedur PCR mulai dari pengambilan sampel hingga keluar hasilnya. Jenis PCR juga bervariasi yaitu PCR Konvensional (seministed, nested, multiplex), realtime PCR (qPCR), dan lainnya (NASBA, RT-LAMP).
How COVID-19 Burdened Equity in Education and Health for Special Need Children
16 Juli 2020
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan penghentian sistem pembelajaran tatap muka pada mayoritas sekolah dan universitas di Indonesia. Perubahan sistem pembelajaran menjadi metode digital dan daring menimbulkan beberapa permasalahan bagi banyak pelajar. Namun perubahan metode pembelajaran ini memiliki dampak yang jauh lebih besar bagi para penyandang disabilitas. Webinar yang diadakan pada 16 Juli 2020 mengundang tiga panelis, diantaranya Risna Utami, Nila Tanzil, dan Abelardo Apollo Ilagan David, Jr. untuk membahas mengenai kesetaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama dan setelah pandemi COVID-19. Webinar ini dimoderatori oleh Muhammad Zulfikar Rakhmat.
Stunting Intervention in Indonesia: Leaving no child behind by 2030, Can We ?
In the Context of COVID-19 Pandemic
Community of Practice for Health Equity
18 Juni, 2020
Indonesia termasuk salah satu negara dengan peringkat angka stunting tertinggi di dunia. Untuk menangani permasalahan tersebut, pentingnya identifikasi masalah dan solusi yang berkaitan dengan penyakit tersebut, terlebih lagi permasalahan yang ditambahkan oleh adanya pandemi COVID-19. Webinar yang diadakan pada 18 Juni 2020 mengundang tiga panelis untuk membicarakan hal tersebut. Ketiganya ialah Zack Peterson, IIng Mursalin dan Sri Sukotjo.
COVID-19 pandemics had caused an uproar in all countries throughout the world. One of the challenges that had risen is to ensure fair and equitable services to the vulnerable population during the COVID-19 crisis. The webinar held this time had invited three panelists to discuss the issue.
Webinar ini diselenggarakan oleh PERSI dalam upaya peningkatan kesiapsiagaan rumah sakit dalam situasi COVID-19. Pada pembukaan ketua PERSI mengatakan dengan adanya back up dari KARS dan UGM, akan berusaha melakukan yang terbaik supaya rumah sakit mampu memberi pelayanan yang maksimal.
Social Determinants of Health (SDH), diartikan sebagai faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan dan dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Diskusi diawali oleh Dr. Leila Mona Ganiem, seorang Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, akademisi, dan pengamat kedokteran yang menyebutkan banyak penelitian menunjukkan kondisi lingkungan seseorang dapat mempengaruhi kesehatan melebihi faktor genetik orang tersebut. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi SDH dan mencari solusi untuk faktor – faktor tersebut.
Webinar kali ini diawali dengan paparan yang disampaikan oleh Dr. Kadek Tresna Adhi, dosen dari Universitas Udayana, Bali. Kadek memaparkan hasil penelitian di Kabupaten Gianyar yang menjadi lokus stunting dan mengaitkan dengan stunting di Bali secara keseluruhan. Secara garis besar, Bali sebagai daerah yang padat dengan pariwisata telah menghasilkan kondisi ekonomi yang memadai untuk warga lokal secara umum. Dengan adanya akses pada nutrisi dan pelayanan kesehatan yang relatif mudah diperoleh, faktor yang mempengaruhi stunting di Bali berpusat pada perilaku masyarakat dan pemerintah daerah. Perilaku masyarakat yang menjadi faktor risiko terhadap stunting yang disoroti pada diskusi kali ini antara lain kebiasaan merokok seorang ayah di dekat anaknya, pemilihan makanan yang kurang mengandung tinggi vitamin A dan frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan yang kurang optimal untuk pengukuran antropometri anak sebagai pemantauan pertumbuhan. Namun ada hal menarik bahwa keterlibatan ayah lebih besar dalam mengantar anak ke posyandu, sedangkan ibu lebih disibukkan oleh persiapan kegiatan upacara adat. Dari sisi pemerintah daerah, terlihat bagaimana stunting dianggap permasalahan yang hanya berpusat pada lingkup kesehatan. Tanggung jawab mengenai stunting diserahkan sepenuhnya kepada dinas kesehatan, dan kerja sama antar sektor masih belum berjalan sesuai yang diharapkan.
Diskusi dilanjutkan oleh Blandina Rosalina Bait, SeniorEquity Initiative Fellow & NutritionOfficer Unicef Indonesia. Blandina menjelajah isu bukan hanya seputar stunting, melainkan juga mendiskusikan isu gizi buruk (wasting) di Indonesia, didukung oleh data dan informasi yang diperoleh di NTT. Di Indonesia, dilaporkan angka stunting pada anak melebihi 30%, yang diklasifikasikan oleh WHO sebagai angka stunting yang sangat tinggi. Tidak jauh berbeda dengan angka gizi buruk nasional, yaitu 12%, jauh melebihi target WHO sebesar <5%. Jika dilihat berdasarkan angka, terdapat sekitar 2.1 juta kasus gizi buruk dan ditemukan hanya 20.000 dari populasi tersebut yang ditangani dengan baik. Kondisi dimana angka perawatan relatif sangat rendah dibandingkan prevalensi kasus gizi buruk, dikaitkan dengan beberapa sebab antara lain buruknya skrining penyakit, fasilitas kesehatan yang tidak mampu menampung seluruh populasi yang sakit dan juga keadaan dimana pasien anak tidak di rawat inap karena orang tua memilih bekerja untuk mencari nafkah daripada menemani anak di rumah sakit.
Dalam diskusi ini dibahas pula terkait penyebab dan masalah gizi di NTT. Dari sisi individu, faktor yang menyebabkan gizi buruk dapat diakibatkan dari asupan makanan yang tidak cukup, dimana 80% anak usia 6 – 23 bulan hanya diberikan makanan bubur saja. Selain itu, ada kecenderungan untuk anak balita mengalami diare karena akses air bersih dan sanitasi buruk, ditambah lagi imunisasi dasar yang kurang lengkap sehingga menurunkan kekebalan tubuh dan meningkatkan resiko infeksi. Dari sisi rumah tangga, ditemukan kemampuan daya beli rendah, dimana keluarga tidak mampu membeli makanan yang bergizi. Kurangnya pengasuhan oleh seorang ibu yang meninggalkan anaknya untuk bekerja juga didapati sebagai faktor penyebab masalah gizi di NTT.
Untuk memperbaiki kondisi gizi buruk, WHO dan Unicef mengusulkan perawatan yang berbasis rawat jalan. Rekomendasi tersebut mempunyai empat komponen, antara lain mobilisasi masyarakat, penemuan penyakit dini sebelum terjadinya komplikasi, perawatan sesuai kebutuhan dan integrasi dengan layanan lain. Pendekatan tersebut sudah terbukti di berbagai negara dapat memperluas cakupan penanganan dan menurunkan mortalitas dikarenakan gizi buruk.
Gizi buruk erat kaitannya dengan stunting. Dimana gizi buruk menaikkan kemungkinan terjadi stunting dan hal tersebut dibuktikan bahwa pasien stunting sering mempunyai riwayat gizi buruk sebelumnya. DItambah lagi sosial determinan gizi buruk dan stunting yang tidak jauh berbeda. Penanganan gizi buruk dapat juga mengatasi stunting secara langsung maupun tidak langsung.
Narasumber berikutnya, Sarah Lery Mboeik, ketua kelompok pokja stunting provinsi NTT, membahas permasalahan stunting yang terjadi di NTT. Isu yang didiskusikan oleh Lery yang tidak dibahas oleh pembicara sebelumnya, adalah mengenai kesetaraan gender. Mboeik menyoroti bagaimana kurangnya prioritas yang diberikan pada kaum perempuan di NTT dapat berakibat pada stunting pada anak. Faktor resiko yang berawal dari ketidaksetaraan kaum perempuan dapat terjadi sebelum, saat, dan sesudah kehamilan. Di NTT, masih banyak kecenderungan ibu hamil dengan usia muda, dikarenakan angka perkawinan usia dini masih tinggi yang diperburuk oleh penggunaan KB yang sering dibebankan kepada kaum perempuan saja. Kehamilan pada usia muda akan meningkatkan resiko anemia, komplikasi persalinan, dan kelainan lain pada seorang ibu yang berakibat buruk pada bayi dilahirkan. Selain itu, dalam kehamilan pun jam kerja disamakan dengan orang lain dan asupan gizi tidak diperhatikan di dalah rumah tangga. Melahirkan sering dilakukan di rumah sehingga meningkatkan resiko perdarahan. Setelah melahirkan, kaum perempuan perlu untuk bekerja kembali karena kebutuhan ekonomi dan sering migrasi ke tempat yang jauh sehingga menyebabkan pengasuhan anak dititipkan ke anggota keluarga lainnya. Semua faktor tersebut berkontribusi dalam kausa stunting pada anak. Hal menarik yang dikemukakan antara lain kekerasan budaya ikut mempengaruhi ketidakberdayaan perempuan, selain itu perempuan akan mengurangi komposisi makan untuk mendukung kondisi keuangan keluarga.
Akhir kata, Digna Niken Purwaningrum, peneliti PKMK FK – KMK, menambahkan bahwa banyak penelitian yang mengaitkan status sosial ekonomi dengan stunting. Seperti yang disebutkan oleh pembicara sebelumnya mengenai NTT, status sosio ekonomi yang rendah telah dibuktikan akan mempengaruhi asupan nutrisi gizi yang dapat seterusnya meningkatkan kecenderungan anak stunting. Akses pada perlindungan sosial, terutama kesejahteraan pada kelompok rentan seperti wanita dan anak, perlu diprioritaskan. Untuk mengatasi stunting perlu kerja sama dari multi sektor mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring, sampai dengan evaluasi. Aksi konvergensi dari sektor kesehatan, sektor swasta, perguruan tinggi, pemerintah, dan sektor terkait lainnya menjadi kunci untuk menanggulangi stunting.