Dampak Tekanan Berbagai Pihak terhadap Pelayanan di Rumah Sakit di Era BPJS
Swiss Belhotel, 3 – 6 September 2013
Putu Eka Andayani[i]
Dampak Tekanan Berbagai Pihak terhadap Pelayanan di Rumah Sakit di Era BPJS
Swiss Belhotel, 3 – 6 September 2013
Putu Eka Andayani[i]
Dampak Tekanan Berbagai Pihak terhadap Pelayanan di Rumah Sakit di Era BPJS
Swiss Belhotel, 3 – 6 September 2013
Putu Eka Andayani[i]
Hari 2: Seminar Munas
Rabu, 4 September 2013
Pengantar Munas
Ketua Umum ARSADA Pusat, Dr. Kuntjoro A. Purjanti, M.Kes menyampaikan pengantarnya dalam pembukaan Munas ARSADA. Salah satu yang disampaikan adalah mengenai pentingnya memanfaatkan teknologi informasi. Saat ini ARSADA telah memiliki portal yang harus dapat dimaksimalkan untuk peningkatan kapasitas SDM di RS. Ada 500-an RSUD yang akan diberikan bandwidth dalam salah satu program Kementerian Kesehatan. RS yang aktif menggunakan bandwidth ini dan mengajukan permintaan ke Kemkes akan diberi tambahan. Point penting lain yang menjadi titip perhatian adalah akan berlakunya UU BPJS yang menyebabkan dibutuhkannya perubahan mendasar. Oleh karena itu, Dr. Kuntjoro berharap pengurus baru ARSADA yang nantinya terpilih akan dapat lebih memfasilitasi dan membantu RSUD-RSUD dalam meningkatkan kinerjanya.
Menurut Dr. Kuntjoro, ada tiga isu besar terkait dengan hal tersebut, yaitu mutu pelayanan, disparitas dan keaktivan RSUD dalam menyukseskan universal health coverage. Diharapkan pada tahun 2019 mutu dan biaya dapat dikendalikan. Sementara itu, ada dua hal yang dapat membantu keberhasilan pencapaian tujuan RS dalam meningkatkan kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat, yaitu menjadi PPK BLUD dan akreditasi. Jika telah menjalankan kedua hal ini, Dr. Kuntjoro yakin RSUD akan dicintai oleh customer-nya.
Munas Dibuka Secara Resmi
Munas ini menghadirkan DR. Yuswandi Tumengung dari Kementerian Dalam Negeri untuk membuka Munas ARSADA VI secara resmi. Dalam pidatonya, Yuswandi menyampaikan bahwa munas ini menjadi momentum pentig ditandai dengan tema yang diangkat yang memang sedang menjadi sorotan nasional. Bagi beberapa daerah bahkan pelaksanaan JKN tinggal menghitung hari karena RAPBD 2014 segera akan disahkan.
Yuswandi menekankan bahwa ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
– regulasi yang berlaku harus dipahami dengan benar dan detil, karena regulasi ini yang akan memayungi implementasinya
– pada tatanan implementasi, kebijakan ini sudah tidak bisa ditunda pelaksanaannya. Oleh karenna itu RSUD harus mengikuti dan menyesuaikan.
Lebih jauh Yuswandi menambahkan bahwa jaminan kesehatan sebenarnya bukan hal baru. Banyak daerah yang telah melaksanakannya lebih dulu. Tidak ada calon kepala daerah yang tidak menjanjikan masalah kesehatan pada masyarakat dalam kampanye politiknya. Ini saatnya untuk meng-up date visi dan misi mereka dikaitkan dengan pelaksanaan JKN ini.
Aceh dan Babel telah mengalokasikan 12% dari APBD merekauntuk kesehatan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana upaya alokasi anggaran tersebut sesuai norma, sebab yang pemting adalah kualitas belanja yang bisa menjawab tantangan.
Yuswandi juga menyoroti banyaknya kepala daerah yang berlomba-lomba mendirikan RS, apakah ini untuk memenuhi fungsi bidang kesehatan? Suatu saat hal ini tidak bisa dibatasi. Jadi hal-hal seperti itu menurut Yuswandi harus dibarengi dengan kualitas belanja. Kadang tim anggaran daerah (Bappeda, Biro Keuangan dan sebagainya) tidak paham masalah teknis. Yuswandi meminta RS berdiskusi dengan Dinas Kesehatan agar bisa memberi pemahaman yang utuh pada stakeholder kunci tersebut.
Pada prinsipnya, pelayanan yang perlu quick cash seperti RS perlu ditetapkan sebagai PPK BLUD. Namun saat ini dari 638 RSUD di seluruh Indonesia, hanya 225 yang telah ditetapkan sebagai PPK BLUD. Untuk Puskesmas ada 150-an yang telah ditetapkan.
Pembukaan Munas ditandai oleh pemukulan gong oleh DR. Yuswandi Tumenggung yang dilanjutkan dengan membuka secara resmi pameran alat-alat kesehatan. Menurut Dr. Kuntjoro, pameran alkes ini penting untuk meng-update pada pengelola pelayanan kesehatan mengenai perkembangan teknologi kedokteran saat ini.
Kuliah Umum
Nilai pluas pada penyelenggaraan Munas ARSADA kali ini bertambah dengan dilaksanakannya kuliah umum mengenai Pelaksanaan SJSN sebagai Amanat Konstitusi. Kuliah ini diberikan oleh Irman Gusman (Ketua DPD RI). Gusman memaparkan bahwa daya yaing bangsa Indonesia saat ini mencapai urutan ke 50 namun daya saing SDM ada di urutan ke 121. Hal ini pelru mendapat perhatian bersama, karena salah satu ukuran dari daya saing tersebut adalah sektor kesehatan (antara lain kesiapan teknologi dan inovasi). Artinya, sektor kesehatan ikut pula memberi kontribusi terhadap tinggi rendahnya daya saing. Jadi seharusnya menurut Gusman kesehatan jangan dipandang sebagai cost center melainkan sebagai investasi.
Indonesia mengalami anomali, dimana disatu sisi pertumbuhan ekonomi membaik namun disisi lain kesenjangan antara the have dengan the poor semakin lebar. Untuk mengatasi hal ini, DPD RI telah berhasil memperjuangkan dana otsus sebesar Rp20T bagi Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT agar bisa mengejar ketertinggalan pembangunan.
Menurut Gusman, ARSADA, IDI dan lainnya merupakan stakeholders kesehatan. Yang membuat exciting adalah Gusman menantang ARSADA untuk membuat tim untuk memperjuangkan agar pajak alat kesehatan dihapuskan untuk menekan biaya kesehatan. Diakui bahwa ini menajdi persoalan berat bagi negara, namun disisi lain kesehatan merupakan hal rakyat. AS yang sudah memperjuangkan JKN selama puluhan tahun, baru disahkan pada era Presiden Obama setahun yang lalu, karena layanan kesehatan yang sangat mahal disana.
Pada kesempatan tersebut, Gusman menyampaian harapannya bahwa profesionalisme RS Daerah tidak kalah dengan RS Pusat, dan keberadaanya tidak diasosiasikan sebagai sesuatu yang sifatnya inferior. Untuk menunjukkan komitmennya dalam membantu RS Daerah, Gusman mengumumkan nomor telepon selulernya kepada seluruh peserta Munas, agar bisa menghubungi jika membutuhkan bantuan DPD.
Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dalam Melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS
Sesi selanjutnya diisi dengan pemaparan dari legislatif (Komisi IX DPR RI) dan pemerintah pusat (Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan). Dr. Nova Rianti Yusuf (Wakil Ketua Komisi IX) menyatakan bahwa dalam injury time ini menurutnya masukan-masukan dari ARSADA masih bisa diakomodir untuk perbaikan. Ia menyampaikan bahwa fungsi Komisi IX adalah untuk pengawasan. Ada Rp9T yang dialokasikan untuk BPJS, sehingga yang menjadi fokus perhatiannya adalah memperkuat pelayanan kesehatan primer.
Dari 14 peraturan pelaksanaan UU BPJS yang harus dibuat, pemerintah baru menyelesaikan dua diantaranya, yaitu PP No 101/2011 tentang PBI dan Perpres tentang Jaminan Kesehatan. Dr. Nova menilai Kemenkes terlalu berhati-hati sehingga terkesan lambat.
Yang penting bagi ARSADA menurut Dr. Nova adalah rancangan Kemenkes tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, yang meliputi:
– syarat fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta yang boleh kerjasama dengan BPJS Kesehatan
– prosedur pendaftaran, verifikasi, perubahan data kepesertaan PBI (dari 96,4 juta menjadi 86,4 juta jiwa)
– Berkaca dari kasus Kartu Jakarta Sehat, jumlah pasien meningkat sangat drastis namun fasilitas kesehatan dan SDM tidak ditambah
Ia juga menyoroti masih banyaknya dokter yang tidak lulus uji kompetensi dasar.
Pada akhir presentasinya Dr. Nova menyimpulkan bahwa ada setidaknya empat hal yang harus diperhatikan dalam implementasi JKN ini, yaitu:
Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa kewajiban pemerintah yang telah dilaksanakan antara lain: telah mengalokasikan @ Rp 500M pada setiap BPJS sebagai saldo awal untuk melaksanakan kegiatan, telah mengalokasikan dana untuk PBI sebesar Rp19.225,-/jiwa/bulan untuk 86,4 juta jiwa penduduk, atau sebesar Rp19,93T untuk PBI. Selain itu pemerintah juga telah mengalokasikan dana untuk membayar iuran PNS, TNI, Polri, Penerima Pensiun, Veteran dan Pejuang Perintis Kemerdekaan, serta menyediakan dana untuk fasilitas pelayanan kesehatan tertentu terkait dengan fungsi Kemenham.
Menurutnya, APBN merupakan proses politik. Daerah, sebagamana juga pemerintah pusat, harus melakukan negosiasi dan advokasi yang kuat agar dapat memperoleh anggaran lebih. Negosiasi kuat ini maksudnya adalah memberikan data dan argumentasi yang kuat untuk mendukung proposal pengajuan dana dari APBN tersebut untuk daerahnya masing-masing.
Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Dr. Dyah Setya Utami (Direktur Direktorat Kesehatan Jiwa sekaligus PLT Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan) memamparkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah sama-sama bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dari sisi mutu maupun kapasitas untuk melayani masyarakat di era JKN. Namun jika hanya dibebankan pada pemerintah, seluruh kebutuhan tersebut tidak akan terpenuhi mengingat kemampuan pemerintah yang terbatas. Oleh karena itu menurutnya peran swasta harus lebih ditingkatkan.
Dr. Dyah menyoroti masalah pengajuan bantuan APBN untuk pengadaan alat kesehatan di daerah. Pengajuan itu seharusnya bertujuan untuk melengkapi kekurangan ynag masih ada di daerah dalam memenuhi standar pelayanan minimal. Sehingga, yang diajukan adalah kekurangannya, bukan keseluruhan kebutuhan (termasuk alat yang sudah ada diajukan lagi).
Peserta Munas menanggapi para pembicara ini dengan menyoroti bahwa banyak pekerja informal yang minta dijamin oleh pemerintah. Ini kedepannya akan menjadi masalah bagi RS, sebab di PBI para pekerja sektor informal ini tidak ter-cover, padahal sebelum era JKN mereka ditanggung oleh Jamkesda. Jika mereka sakit dan mendapat pelayanan di RS, siapa yang akan menanggung? Masalah lain adalah mengenai adanya perubahan sistem. Ada RS yang telah melakukan exercise dengan tarif INA-CBGs, namun masih skala kecil (kabupaten). Tahun 2014 akan dilakukan dalam skala nasional. Dalam hal ini, RS akan dipaksa untuk bisa cepat dalam memproses klaim, padahal dilain pihak sistem ini masih menggunakan multi–entry.
Terhadap berbagai pertanyaan tersebut, dr. Novi menjelaskan bahwa banyak yayasan di Indonesia yang menangani pasien ganggung jiwa dengan cara-cara yang kurang tepat, misalnya memasung, mengobati dengan cambuk, tidak diberikan penutup tubuh dan sebagainya. Hal ini sering menjadi sasaran empuk media asing untuk diberitakan secara internasional.
Penanya lain mengangkat masalah pelayanan kesehatan jiwa di RSUD Duren Sawit. RSUD DS saat ini masih bertahan dengan pelayanan rawat inap dan sering melakukan visite bagi pasien-pasien yang dirawat di panti laras. Dulu kegiatan ini didanai oleh APBD, namun jika tarif INA-CBGs diterapkan, kegiatan ini tidak lagi di-cover. Risikonya pasien-pasien tersebut tidak akan mendapatkan penanganan oleh dokter spesialis.
Untuk menanggapi hal tersebut, itu dr. Dyah menyampaikan bahwa pemerintah dan Dinkes DKI telah menyediakan dana namun ternyata tidak terserap untuk mengatasi berbagai pemasungan. Pemerintah bahkan tidak yakin apakah di DKI tidak ada pemasungan pasien ganggungan jiwa. Ada perubahan sistem rujukan dimana pelayanan kesehatan jiwa di RS merupakan layanan tersier, yaitu hanya menangani kasus-kasus yang tidak mampu ditangani oleh layanan kesehatan primer dan sekunder. Kini banyak dokte rumum di Puskesmas telah dilatih untuk menangani pasien gangguan jiwa berat yang telah melalui fase penanganan di RSJ. Dr. Dyah juga meminta RSJ duduk bersama dengan Dinas Sosial membahas mengenai penanganan kasus gangguan kejiwaan di masyarakat. Dirjen BUK telah menandatangani MOU dengan Dirjen Paska Psikotik di Kemsos. Kegiatan pelayanan ekstra mural yang dilakukan leh yayasan-yayasan sosial harus dilakukan secara bekerjasama dengan Puskesmas agar dapat di-klain jke BPJS.
Ada juga peserta yang fokus pada anggaran kesehatan yang baru terpenuhi 3% dari 5% yang wajib disediakan. Jika PBI direalisasikan, maka pagu 5% ini akan terpenuhi. Kewajiban Kementerian Kesehatan untuk menyediakan fasilitas jadi berkurang.
Menurut Fajar (Kementerian Keuangan), dana 3% tersebut tidak semuanya ada di Kementerian Kesehatan, namun tersebar di beberapa kementerian lain yang juga menyelenggarakan fungsi kesehatan.
[i] Konsultan dan Peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
Link Terkait:
Dampak Tekanan Berbagai Pihak terhadap Pelayanan di Rumah Sakit di Era BPJS
Swiss Belhotel, 3 – 6 September 2013
Putu Eka Andayani[i]
Hari 1: Seminar Pra-Munas
Selasa, 3 September 2013
Sesi pertama seminar ini diisi dengan materi-materi yang terkait dengan pengaruh tekanan pemerintah, masyarakat dan media massa terhadap pelaksanaan etika dan keselamatan pasien.
Pembicara pada sesi pertama seminar antara lain Prof. Dr. Herkutanto ((Ketua KKPRS) dan Dr. Priyo Sidi Pratomo, SpR (Ketua MKEK PB IDI).
Pada sesi ini, pembicara sangat mengapresiasi acara ini karena menempatkan etika sebagai tema pertama yang harus dibahas. Hal ini karena semua yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit harus berlandaskan pada etika. Pada diskusi juga dibahas mengenai biaya mutu dan tata kelola RS. Dalam hal ini, pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan hak setiap warna Negara. Jika RS menerapkan tata kelola yang baik, maka masyarakat miskin pun akan mendapatkan akses yang sama terhadap pelayanan yang bermutu.
Dalam kaitannya dengan implementasi tarif berdasarkan INA-DRGs, respon yang harus dilakukan oleh RS adalah mengkalkulasi setiap biaya. Akan terjadi pergeseran jika pada mekanisme fee for service terjadi hubungan yang fokus pada dokter-pasien, dengan universal coverage hubungan ini akan bergeser ke RS-dokter, RS-pasien dan RS-media massa. Jadi RS yang akan melakukan kredensial terhadap dokter mana saja yang boleh direkrut untuk bekerja di RS tersebut. Jika terjadi masalah, maka yang bertanggung jawab (di pengadilan) adalah RS, bukan dokter. Di AS, pasien tidak boleh memilih dokter melainkan memilih RS.
Proteksi terhadap dokter disebut sebagai medical liability system. Ada negara yang menerapkan hukum dimana adverse event di RS merupakan beban negara. Hal ini misalnya terjadi di Perancis dan Swedia. Menurut para pembicara, Indonesia sudah mulai harus memikirkan hal tersebut, agar para tenaga kesehatan (dokter, perawat dan sebagainya (dapat bekerja dengan tenang tanpa terbebani oleh masalah-masalah hukum atau keharusan membuat incidence report.
Dilain pihak, biaya mutu menjadi sangat tinggi karena tingginya biaya mendatangkan pakar Patient Safety ke RS. Untuk mengatasi hal ini, Kemenkes akan mengadakan TOT Patient Safety untuk membuat upaya peningkatan patient safety menjadi lebih terjangkau.
Kesimpulan yang dapat ditulis dari sesi ini antara lain:
Sesi kedua menghadirkan parapraktisi sebagai pembicara, antara lain ketua komite medis dan direktur RSUD Pasar Rebo Jakarta, serta kepala Instalasi Gawat Darurat RSUD Koja. Sesi ini mengangkat tema dampak tekanan masyarakat dan media massa tehadap pelaksana pelayanan kesehatan akibat kebijakan JKN, dilihat dari perspektif pelaksana.
Ketua Komite Medis RSUD Pasar Rebo Dr. Yudi Amiarno, SpU memaparkan hasil penelitiannya terhadap 73 orang dokter yang bekerja di RS. Menurut Dr. Yudi, dokter adalah profesi yang terikat sumpah. Bahkan IDI Jakarta Timur menerapkan kebijakan bagi setiap dokter yang akan memperpanjang ijin prakteknya untuk mengucapkan kembali sumpah dokter, dengan tujuan agar selalu teringat akan isi dan makna sumpah tersebut.
Di RSUD Pasar Rebo, Komite Medis memiliki kegiatan rutin untuk membahas morbiditas, mortalitas dan lain-lain, mulai dari pertemuan Reboan, pertemuan siang klinik, audit medis hingga diskusi ilmiah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sejak berlakunya program Kartu Jakarta Sehat pada November 2012, hampir 60% dokter mengaku semakin sedikit waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini karena semakin banyaknya jumlah pasien yang harus ditangani padahal jumlah tenaga tidak ditambah.
Sebagai gambaran, kunjungan pasien rawat jalan sejak dilaksanakannya Program KJS meningkat hampir dua kali lipat. Sebanyak 63% dokter harus melayani lebih dari 100 pasien rawat jalan per hari dan 30% melayani 50-100 pasien per hari. Sebanyak 55% dokter menggunakan 5-6 menit waktu untuk bertemu pasien (anamnese dan sebagainya). Hanya 27% yang mengaku berbicara dengan pasien selama 30 menit. Padahal menurut Kepmenkes No. 81/2004, ada standar baku yang diatur untuk itu. Sebagai contoh, dokter spesialis penyakit dalam berdasarkan Kepmenkes tersebut harus menggunakan setidaknya 8 menit per pasien lama dan 9 menit per pasien baru di poliklinik. Alokasi waktu ini belum termasuk waktu untuk melakukan tindakan, misalnya pemasangan kateter. Ini menyebabkan 69% dokter merasa ada peningkatan beban kerja yang melebihi kewajaran dan 60% dokter merasa mudah lelah.
Banyaknya kunjungan pasien menyebabkan masyarakat datang ke RS lebih pagi (pukul 4-5 pagi) untuk mendapatkan nomor antrian awal. Karena ada jeda waktu beberapa jam dengan jam buka pelayanan, pasien semakin menumpuk di ruang tunggu sehingga banyak yang lesehan di lantai karena tidak kebagian tempat duduk. Bahkan banyak yang membawa bekal untuk sarapan karena akan menunggu sangat lama. Dilain pihak, pertambahan bean kerja ini tidak berdampak pada peningkatan pendapatan dokter. Setidaknya, hal ini diakui oleh 60% responden yang terlibat dalam penelitian ini. Dampak lebih jauh, 70% dokter merasa mutu pelayanan menurun, dimana layanan disini diartikan sebagai layanan RS (antrian pendaftaran, obat, parkir dan lainnya) serta layanan klinis.
Dr. Yuda menutup presentasinya dengan memaparkan harapan para dokter, bahwa program KJS perlu dilanjutkan (78%) karena jelas mendatangkan manfaat bagi masyarakat tidak mampu, namun harus dievaluasi terlebih dahulu (70%) khususnya mengenai tarif, kesejahteraan dokter, mutu yang harus dijaga, serta sistem rujukan.
Dari seluruh unit pelayanan di RS, Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu unit yang paling menunjukkan adanya peningkatan beban kerja secara kasat mata. Menurut Dr. Deddy, Kepala IGD RSUD Koja, sejak diterapkanny aprogram KJS ia menerima 150-200 pasien per hari. Untuk melayani pasien-pasien ini, IGD-nya diperkuat oleh 14 orang dokter umum, 30 perawat, 5 petugas entri, 1 petugas pos dan 14 orang petugas call center. IGD memiliki fasilitas OK cito, radiologi dan laboratorium.
Pada Januari 2011, terdapat 2400-an kunjungan pasien dan pada bulan Desember 2700-an. Pada tahun ini kunjungan terbanyak adalah 2900-an pasien sebulan. Pada tahun 2012 kunjungan tertinggi dalam satu bulan mencapai angka 4959 pasien.
Dampak tekanan pemerintah terhadap pelayanan di IGD menurut Dr. Deddy antara lain:
Dr. Deddy menutup presentasinya dengan menyimpulkan bahwa tenaga kesehatan di IGD terganggu dengan adanya berbagai tekanan tersebut. Tidak jarang terjadi konflik antara petugas dengan pengunjung yang berakhir pada adu fisik. Untuk itu, saran yang diajukan adalah adanya sosialisasi yang lebih intensif kepada seluruh pihak tersebut agar terjadi pengertian yang seimbang terhadap fungsi pelayanan dan pembiayaa.
Pembicara selanjutnya yaitu Ahyar, SKep, NERS, MKes, yang memaparkan megenai dampak tekanan pemerintah dan media massa terhadap motivasi dan kinerja perawat. Senada dengan yang disampaikan oleh pembicara-pembicara sebelumnya, tekanan yang muncul menyebabkan stress yang tinggi dan menurunkan motivasi serta kinerja perawat. Bahkan, pemberitaan yang tidak berimbang oleh media massa menimbulkan rasa trauma dalam melayani. Pemberitaan yang tidak imbang seringkali disebabkan oleh karena pasien tidak diberi hak sebagai pasien KJS karena tidak dapat melengkapi dokumen identitas sesuai prosedur dan kondisi kapasitas yang sudah penuh padahal ada kebijakan RS tidak boleh menolak pasien.
Banyak juga “calo” administrasi yang dimanfaatkan oleh keluarga pasien (32,02%) dan kemudian mengacaukan alur pelayanan. Untuk itu, perlu ada pengawasan yang ketat, termasuk dari pihak luar RS.
Dengan beban kerja yang meningkat tersebut, angka kesakitan perawat menjadi lebih tinggi sehingga produktivitasnya menurun. Masalah lain yang dikemukakan adalah bahwa BPJS tidak mengakomodir perawat dalam kapitas, hanya dokter dan bidan.
Untuk mengatasi berbagai masalah yang sudah maupun akan muncul, Dr. Trinovianti, MARS (Direktur RSUD Pasar Rebo) memaparkan bahwa RSUD PR telah membuat SPM dan SOP sampai dengan penulisan resep untuk obat generik atau obat terendah dan di-cross-check dengan DPHO. Hal ini karena saat itu manlak KJS belum ada. RSUD PR juga mengalami peningkatan jumlah pasien, dimana tahun 2011 ada 264.971 kunjungan pasien (24.923 diantaranya gakin) dan tahun 2012 meningkat meniadi 272.711 kunjungan (33.502 diantaranya gakin). Tahun 2013 hingga bulan Juli sudah terdapat 177.704 kunjungan (53.455 diantaranya gakin).
Jumlah kunjungan rawat inap juga tidak kalah fantastis. Tahun 2011 terdapat 16.811 kunjungan (2.439 diantaranya gakin), tahun 2012 terdapat 16.195 kunjungan (3.954 diantaranya KJS) dan 2013 (hingga Juli) terdapat 9.035 kunjungan (3.997 diantaranya KJS). Hal ini berdampak pada jam pelayanan yang menjadi lebih panjang, dimana jam buka poliklinik lebih panjang satu jam dan jam pelayanan farmasi lebih panjang 3,5 jam dari jam kerja resmi.
Jumlah kunjungan pasien yang meningkat tidak diimbangi oleh penambahan jumlah SDM, sarana yang memadai serta ketersediaan tenaga pengganti (jika ada petugas yang sakit karena kelelahan).
Dari aspek keuangan, program KJS menimbulkan selisih antara piutang dengan realisasi pembayaran yang semakin meningkat. Tahun 2011, RSUD PR memiliki piutang sebesar Rp8,7 M dan dibayar (oleh Dinkes) sebesar Rp8,5M sehingga terdapat selisih Rp197 juta yang belum terbayar. Tahun 2012, piutang RS berjumlah Rp17,9M dan yang dibayar adalah sebesar Rp17,9M (selisih Rp1,1M). Tahun 2013 (sampai dengan Juni) piutang RS telah mencapai Rp20M dan yang telah dibayar sebesar Rp10,6M (selisih Rp9,4M). Tentunya ini mengganggu cash flow RS yang mengakibatkan RS tidak bisa membayar supplier secara tepat waktu. Dampaknya, supplier menghentikan pasokan bahan habis pakai sehingga akhirnya pelayanan jadi terganggu.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Dr. Trinovianti melakukan upaya yang intinya adalah untuk mengendalikan mutu dan biaya. Upaya-upaya tersebut antara lain membuat clinical pathway sebagai acuan (namun diakui bahwa hal ini tidak mudah), disiplin dalam menggunakan BHP dan obat serta sosialisasi penulisan diagnosis secara lengkap untuk melengkapi rekam medis.
Harapan yang disampaikan dari perspektif pengelola pelayanan antara lain menyangkut evaluasi prgram KJS terutama dari sisi tarif, ketersediaan SDM, tarif INA-DRGs berdasarkan unit cost tiap RS/regional, jangan ada perbedaan terlalu besar antara tarif kelas bawah dengan kelas atas, penyederhanaan administrasi, pemahaman masyarakat terhadap kebijakan, syarat dan alur pelayanan yang harus ditingkatkan serta peran media massa untuk bekerjasama dengan RS dalam mensosialisasikan kebijakan tersebut dengan informasi yang lebih detil. Selain itu juga ada saran yang disampaikan antara lain jumlah petugas verifikasi disesuaikan dengan jumlah pasien (beban kerja), pengendali dilapangan serta adanya SIM RS yang online.
Pada sesi diskusi, Prof. Dr. Sujudi mencoba memberikan pencerahan bahwa pertemuan ini harus menghasilkan solusi. Misalnya untuk mengatasi kekurangan dokter, RS bisa merekrut dokter PTT. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat DKI memiliki kemampuan anggaran yang besar. Juga perlu ada kerjasama antar-RS, misalnya dengan membuat sistem online, memanfaatkan teknologi (tele) yang didkung dengan SOP-SOP yang dimodernisasi, dan sebagainya. Prof. Sujudi juga menyarankan agar menggunakan istilah dan bahasa yang lebih sederhana dalam menjelaskan masalah ini kepada gubernur.
Terhadap pertanyaan peserta mengenai bagaimana membuat dokter spesialis mau meresepkan obat generik, pembicara menerangkan bahwa harus ada strategi yang tepat, misalnya dengan menjelaskan bahwa jika RS tidak efisien maka yang akan menjadi korban adalah jasa medis yang dipotong. Untuk mengatasi melonjaknya beban kerja dokter spesialis, triase adalah kuncinya.
Sesi ketiga seminar pra-munas ini menghadirkan pembicara dari kalangan non-praktisi pelayanan kesehatan. Dengan demikian, diharapkan ada perspektif lain yang dapat didiskusikan untuk memperbaiki kondisi pelayanan di RS terkait dengan pelaksanaan kebiajakan BPJS. Pembicara yang hadir antara lain Walujani Atika (Wartawan Harian Kompas), Asep Iwan Iriawan, SH (Pakar Hukum) dan Dr. Marius Wijayakarta (Ketua YKKI).
Atika mengaku bahwa media massa sebenarnya ikut nervous menghadapi akan berlakunya UU SJSN dan BPJS. Dia juga dpaat memahami kegamangan yang dialami oleh pelaku pelayanan kesehatan karena ini tidak hanya menyangkut perubahan administratif melainkan juga perubahan terhadap SDM dan sebagainya. Dalam hal ini ia menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap semua proses yang terjadi.
Atika mengakui bahwa sebagian pemberitaan media memang bersifat negatif. Namun demikian, ada juga pemberitaan yang positif maupun netral dalam mengadvokasi dan sosialisasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Menurutnya, RS mengalami kekurangan infrastruktur dan dana operasional. Dilain pihak, masyarakat banyak yang kurang mampu dan meletakkan harapan yang terlalu tinggi. Masalah yang dihadapi oleh RS antara lain: tidak efisien, minim dana dan masalah dalam hubungan RS-dokter, dokter-pasien dan RS-pasien serta RS-media. Ia juga mengaku tidak semua wartawan memahami masalah secara komprehensif. Yang terjadi adalah RS sibuk melayani wartawan dan wartawan membutuhkan berita. Solusi yang ditawarkan yaktu RS harus lebih komunikatif. Unit atau personal yang ditunjuk sebagai humas harus bisa menjelaskan secara detil sampai ke aspek teknis kepada masyarakat/wartawan, sehingga media tidak “mengganggu” dan menyita waktu dokter untuk memberikan penjelasan-penjelasan.
Saran Atika terhadap RS yaitu membenahi RS, transparansi pengelolaan RS, transparansi perawatan (termasuk tarif), pemahaman yang detil terhadap skema BPJS, meningkatkan kemampuan komunikasi tenaga kesehatan, internalisasi customer service pada pasien, keterbukaan informasi (misalnya dengan memanfaatkan website RS untuk informasi umum dan customer service desk untuk informasi yang lebih spesifik), meningkatkan kemampuan humas dalam memfasilitasi media dalam mendapatkan informasi, serta menyederhanakan birokrasi dalam memperoleh informasi bagi awak media (misalnya sediakan waktu untuk konferensi press jika terjadi masalah).
Yang menarik adalah bahwa pemberitaan yang tidak proporsional dapat balas oleh RS dengan hak jawab. Ada aturan bahwa dalam menulis berita, media harus melakukan cross-check agar berita yang dipublikasi lebih obyektif. Namun kenyataannya tidak selalu seperti itu. Oleh karenanya, jika RS merasa berita yang dimuat tidak berimbang, RS dapat menggunakan hak jawab yang sama banyaknya dengan dengan luas area berita tersebut. Caranya RS bisa datang langsung ke kantor media atau menulis sendiri surat untuk dimuat di media tersebut pada edisi berikutnya. Dilain pihak, menurut Atika sebenarnya masalah tersebut dapat dibicarakan secara lebih bijak. Namun jika media yang bersangkutan “bandel”, maka dapat disomasi. Pad aumumnya hak jawab ini ditanggapi baik oleh media. Dewan pers juga bisa menjadi sarana untuk menyalurkan hak jawab tersebut.
Asep menekankan pada hak atas kesehatan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Oleh karena itu, RS harus waspada terhadap berbagai gugatan perdata maupun pidana yang mungkin muncul atas kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak ini. Dengan kata lain, RS harus benar-benar memahami berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bekerja sesuai dengan prosedur (standar profesi) serta sesuai dengan informasi yang diberikan pada pasien.
Marius menyoroti mengenai penilaian konsumen terhadap kinerja RS. Menurutnya, konsumen bukan raja karena posisinya sejajar dengan RS. Ia juga tidak setuju dengan istilah gratis, karena pada hakekatnya pasien miskin dibayari oleh pemerintah. Dari pengaduan yang masuk, ada sebanyak 66,7% pengaduan terhadap dokter dan 16,7% pegaduan terhadap RS. Agar menjadi lebih baik dan RS/tenaga kesehatan tidak menjadi “bulan-bulanan” masyarakat dan media, Marius menyarankan dibuatnya Standar Pelayanan Medis, yang nantinya juga bisa menjadi dasar perhitungan pembiayaan pelayanan kesehatan. Terhadap hal ini, peserta seminar menanggapi bahwa SPM ini sedang dalam proses penyusunan dan akan segera diujicobakan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Terkait dengan kisruh yang sering terjadi antara media dengan penyelenggara pelayanan kesehatan, Marius mengangkat isu UU Keterbukaan dan Informasi Publik (KIP). UU ini mengatur bahwa setiap pejabat publik harus siap memberikan informasi publik, sepanjang informasi itu tidak menyangkut rahasia pasien (karena itu diatu tersendiri oleh UU lain). RS harus siap memberikan jawaban atau penjelasan, dan oleh karenanya Marius sepakat dengan Atika bahwa staf RS harus dilatih untuk itu. (pea)
[i] Konsultan dan Peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
Link Terkait:
Entrepreneur-Government di RSUD melalui Penerapan BLUD
Ada 5 karakteristik RS menurut dr. Narto, Wadir Pelayanan Medis RSUD Provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang. Kelima karakteristik itu adalah 1) memberikan pelayanan langsung pada masyarakat, 2) menarik bayaran atas layanan yang diberikan, 3) memiliki “lingkungan persaingan” yang berbeda dengan SKPD biasa, 4) pendapatan dari jasa yang diberikan cukup signifikan dan 5) adanya spesialisasi dalam hal keahlian karyawannya. Atas karakteristik ini, RSUD membutuhkan cara-cara pengelolaan tertentu yang berbeda dengan SKPD lain dilingkungan pemerintah daerah.
Hal tersebut diungkapkan pada acara Sosialisasi PPK BLUD di RSUD Prov. Kepri Tanjungpinang, 28 Agustus yang lalu. Acara ini dihadiri oleh stakeholder eksternal terkait dan manajemen serta staf RSUD. Diantara undangan juga Nampak utusan dari RSUD Tanjunguban yang juga milik Pemerintah Provinsi Kepri dan RSUD Tanjungpinang milik Pemerintah Kota Tanjungpinang.
Menanggapi kebutuhan perubahan di RSUD, Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Iskandarsyah, mengatakan bahwa dirinya senang sekali jika banyak SKPD yang menjadi BLUD. Sebab instansi pemerintah harus menerapkan Entrepreneur-Government. Dukungan tersebut tentu saja merupakan hal yang sangat positif bagi pengembangan kinerja layanan, keuangan dan manfaat RSUD Provinsi Kepri dalam menjalankan misinya.
Sebelumnya, Asisten Sekretaris Daerah, Dra. Reni Yusneli, M.TP yang mewakili Sekda saat membuka acara mengatakan bahwa RSUD harus menjadi lebih baik. APBD murni memang akan dipercepat untuk meningkatkan pelayanan. Namun dengan BLUD, RSUD akan mendapatkan peluang untuk menggali sumber-sumber pendanaan non pemerintah.
Herrysan Putra, SE, Ak, dari BPKKD Prov. Kepri bahkan secara tegas menyatakan harapannya bahwa RSUD Prov. Kepri Tanjung Pinang dan RSUD Tanjunguban yang juga merupakan RS milik Provinsi Kepri dapat ditetapkan sebagai BLUD penuh tahun ini agar kinerja bisa segera ditingkatkan. Herry berharap kedua RS tersebut memiliki standar output yang sama. Oleh karena itu, dia juga meminta agar seluruh staf RS dilibatkan untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan kinerja RSUD.
Kondisi ini menunjukkan dukungan yang kuat bagi RSUD Prov. Kepri Tanjungpinang dan RSUD Tanjunguban untk bisa menerapkan PPK-BLUD. Ini juga menunjukkan pemahaman stakeholder eksternal terhadap pengelolaan RS pemerintah sudah sangat baik. Tentu saja hal ini harus dapat dimanfaatkan secara baik oleh kedua RSUD tersebut.
Harapan untuk bisa ditetapkan sebagai BLUD penuh juga datang dari PJS Direktur RSUD Prov. Kepri, Dr. Supartini. Apalagi dalam waktu dekat Indonesia akan menerapkan UU SJSN dan BPJS, maka penerapan PPK-BLUD merupakan hal yang mutlak di RS pemerintah agar dapat melayani pasien yang ter-cover oleh jaminan kesehatan sosial tersebut.
Namun penetapan RSUD menjadi PPK-BLUD sesungguhnya baru merupakan tahap awal dari suatu perubahan besar. Pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai PPK-BLUD dapat diibaratkan sebagai “pemberian kunci ruangan” oleh pemerintah/pemilik pada pengelola RSUD. Kerja besar sesungguhnya sudah menanti dalam ruangan tersebut, yaitu mengembangkan sistem-sistem operasional pendukung agar RS dapat menjadi lembaga yang transparan, akuntabel dan profesional sesuai dengan filosofi BLUD. Oleh karena itu, BLUD jangan pernah dijadikan sebagai tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan. Mengenai tujuan ini, Iskandarsyah maupun Herrysan sepakat bahwa pengelola dan staf RSUD harus sangat memahami makna BLUD agar nantinya bisa melaksanakan dengan benar.
Pada acara sosialisasi ini hadir pula Wisnu Saputra, SE, narasumber dari Subdit BLUD Kementerian Dalam Negeri dan Putu Eka Andayani, SKM, MKes, narasumber dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Pada sesi diskusi, Wisnu menegaskan bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus memiliki persepsi yang sama mengenai konsep dasar dan esensi BLUD. Masyarakat memiliki kebutuhan yang tidak dapat ditunda, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak jarang berkaitan dengan keselamatan jiwa atau pencegahan dari kecacatan. Jika mengikuti aturan yang berlaku umum, maka instansi pemerintah tidak akan bisa memberikan layanan pada masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, muncullah berbagai regulasi setingkat UU hingga Permendagri untuk memfasilitasi instansi pemerintah dalam merespon kebutuhan masyarakat.
Wisnu juga menjelaskan bahwa saat ini bukan hanya pelayanan kesehatan, melainkan pendidikan juga akan menerapkan PPK-BLUD. Sudah ada beberapa universitas besar yang menjadi BLUD. Dalam waktu mendatang seluruh sekolah dasar dan menengah juga akan menerapkan PPK-BLUD.
Disisi lain, ada hal penting yang juga perlu mendapat perhatian. BLUD bukan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan. Atas dasar ini maka RSUD yang BLUD harus memiliki dasar mengukur keberhasilan. Tujuan BLUD adalah meningkatkan kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat. Kinerja pelayanan dan manfaat dapat diukur dari pencapaian indikator-indikator pada SPM.
Namun sering didapati bahwa RSUD disatu sisi dituntut untuk bermutu tinggi, disisi lain kebutuhan anggaran tidak dipenuhi. Padahal rencana anggaran dengan mutu sangat terkait erat. Hal ini terungkap pada penyajian Putu Eka Andayani. Putu mengatakan bahwa target pencapaian SPM harus termuat dalam RSB dan kemudian dituangkan dalam RBA. Sehingga dengan demikian, semakin tinggi target pencapaian SPM maka biasanya semakin tinggi pula anggaran yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Seluruh pembicara sepakat bahwa diperlukan pemahaman yang mendasar dan kerjasama tim yang baik untuk mewujudkan implementasi BLUD di RSUD Tanjungpinang. Dukungan dari stakeholder eksternal merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh RSUD untuk menjadi lembaga yang menerapkan prinsip-prinsip entrepreneurship dalam mengelola sumber daya dan melayani masyarakat. (pea)
Materi Presentasi:
1. Peningkatan Pelayanan Masyarakat dengan Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah – Wisnu Saputro (Kementerian Dalam Negeri)
2. Sosialisasi Rencana Penerapan Badan Layanan Umum Daerah – Putu Eka Andayani (PKMK FK UGM)
Materi Private Sector in Health Symposium di Sydney
It’s hard to believe, but it’s been nearly one month since we held the Private Sector in Health Symposium in Sydney. As such, we wanted to take the opportunity to share resources with you from the day.
Spurred on by the keynote presentations, a key question to emerge from the day is ‘what exactly do we mean by the private sector’? People often limit the definition to ‘for-profit organisations’, but from the day we saw a large number of non-state actors operating in health systems around the world. There were also questions of separating out private provision of services from private financing for health services. These are some of the questions we hope to take to the next Symposium.
On that note, David Bishai and Gerry Bloom, the co-organisers of this year’s Symposium are pleased to announce that they will be passing the torch to Freddie Ssengooba and Kara Hanson. They’ll be working with the Scientific Committee to determine the most appropriate shape, format and location for that — so watch this space.
In the meanwhile, we’ll continue to keep you updated on our processes of institutionalising the Private Sector in Health group.
We’re sorry that you couldn’t join us in Sydney, but do take a moment to find out what you’ve missed.
Overview of the day
The day started off with a thoughtful welcome to the country by Millie Ingram, followed by a keynote from Bruce Bonyhady on the recent introduction of the National Disability Insurance Scheme in Australia. In his inspiring keynote, Bruce noted the strong role that the private sector had in reframing the debate around disability in Australia. Instead of focusing on disability solely as a rights issue, he worked with others to reframe it as an economic — one focused on insurance and risk. He said it sprang from a recognition that: “there are only two types of people in this world, those with a disability, and those who have yet to get a disability”. He also noted the reality of changing demographics: disabled children often rely heavily on their parents for care, but are starting to outlive their own parents. From an economic standpoint, he noted that a 1% decrease in informal care from friends and relatives led to a 4% increase in seeking formal care supported by the government, which he argued as unsustainable in the longterm. And so, after being reframed as an economic issue, it quickly became a political one. The government introduced the scheme at the beginning of July, and it is funded by a mill levy on health services that is likely one of the most popular tax rises in Australian history, with over 80% supporting the move. The keynote was a good reminder to us that the role of the private sector in health can be diverse — it’s not always about service provision or financing, but can also be about shifting the discourse and reframing policy debates.
Following the opening keynote, the participants broke out into three rounds of parallel sessions covering a diverse range of issues, such as regulation, influencing quality of care, health financing and a focus on equity. These presentations are available for download on the right side of this email.
In the afternoon, a closing plenary session was delivered by Mushtaque Chowdhury from BRAC, an NGO from Bangladesh that has quickly become one of the world’s largest. Mushtaque attempted to explain the Bangladesh health ‘miracle’ — that the country has strong health indicators despite limited investment in health from the government. He noted that Bangladesh has the highest life expectancy in the region, as the lowest infant and maternal mortality, but it also spends the least per capita on health. He attributed this ‘miracle’ to the strong innovation in the non-state sector in Bangladesh. He also focused on the role of entities like BRAC, which view poverty as a complex issue that must be tackled through a number of different initiatives. For example, BRAC runs micro-credit schemes, education programmes, health promotion schemes, and agricultural extension work. His presentation challenged those present at the symposium to rethink the nature of the private sector. BRAC is nearly impossible to categorise — is it an NGO, a social enterprise, a business, a bank? — and yet we understand that it has a critical role to play in the Bangladesh health market system and it’s not the public sector.
Following Mushtaque’s presentation, participants had a constructive discussion to share their reflections from the day as well as chart a way forward. Many were struck by the diversity of the participants, but noted that there were not many representatives of the for-profit private sector at the meeting, and they felt that their contribution would have added significantly to the day. There were also calls to have a clearer definition of what is understood by the term ‘the private sector’, and to focus on a few core themes in future research. In particular, there was a feeling that not enough was being done on assuring quality of private sector providers and on regulating health markets. There was also a call to separate out two distinct potential roles for the private sector: health service delivery and health financing.
The event concluded with a drinks reception sponsored by HANSHEP and CHMI, who will soon be re-launching its website cataloguing health market innovations — a valuable resource for all those working on the private sector in health in low- and middle-income countries.
Storify
View the social story — Tweets, pictures and videos — of the Symposium. Pictures Commentary and reactions
|
Keynotes View Bruce Bonyhady’s keynote address on the establishment of the Australian National Health Disability Insurance Scheme Presentations Download presentations from the day |
Mayo Clinic Visit Program under the framework of Continuing Medical Education (CME FK UGM)
Kampus FK UGM, Selasa, 30 Juli 2013
Tim dari Mayo Clinic Hospital USA berkunjung ke Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta pada Rabu (30/7/2013). Kunjungan tersebut bertujuan untuk menjajaki peluang kerjasama sekaligus melakukan diskusi ilmiah dengan civitas academica FK UGM dengan topik Continuing Medical Education for Doctor and Other Health Professionals. Diskusi yang bertempat di ruang senat lantai 2 FK UGM ini dibuka oleh Dekan FK UGM, Prof. DR. Dr. Teguh Aryandono, SpB(K)Onk dan dimoderatori oleh Dr. Firdaus Hafidz As Shiddieq, MPH, AAK (KPMAK FK UGM). Partisipan dalam pertemuan ini adalah para praktisi kesehatan (internist, dokter anak, perawat) dari FK UGM, RSUP Dr. Sadjito, RSA UGM, mahasiswa S2 FK UGM dan para residen FK UGM.
Diskusi menjadi menarik dan interaktif, karena dua topik utama yang diangkat dalam diskusi ini juga merupakan topik yang sedang hangat dibicarakan dikalangan pendidik di fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia. Peserta yang hadir mengajukan beberapa pertanyaan seputar pendidikan dokter dan pengalaman Mayo Clinic dalam manajemen rumah sakit mereka. Sebagaimana diketahui, Mayo Clinic pertama kali didirikan pada tahun 1889 di Rochester, Minnesota, dengan misi sebagai RS not-for-profit. Mayo Clinic dikenal sebagai praktek kelompok medis not-for-profit terintegrasi pertama dan terbesar di dunia. Hingga saat ini para penerus Mayo Clinic masih menjalankan misi tersebut dan beroperasi sebagai RS pendidikan. Kini Mayo Clinic telah memiliki dua cabang, yaitu di Jacksonville (Florida) dan Phoenix (Arizona), dan mempekerjakan 3.800 dokter dan peneliti serta 50.900 tenaga kesehatan lainnya.
Sesi pertama diskusi yang membahas mengenai Continuing Medical Education: “Educating and Training Healthcare Providers in the 21st-Century” menghadirkan David Rosenman, MD (Mayo Clinic Hospital and Department of Internal Medicine, USA) sebagai pembicara. Dr. David memaparkan pekerjaan dokter pertama kali dilakukan dari rumah ke rumah dengan berkendaraan kuda dan menggunakan peralatan kedokteran seadanya. Dalam praktek kedokterannya saat itu, dokter dari Mayo Clinic memberi penjelasan serta analisa berdasarkan pengalaman. Saat itu, dokter mengumpulkan semua pengetahuan dan pengalaman di kepalanya, dan memanfaatkan hal tersebut dalam mengobati pasien. Pasien menganggap dokter dapat menjawab semua pertanyaan tentang kondisinya dan percaya bahwa dokter dapat memperbaiki (kondisinya). Hal serupa masih terjadi hingga saat ini.
Namun ada banyak hal yang berbeda dengan zaman sekarang. Kini semua dapat dilakukan dengan lebih cepat karena adanya bantuan komputer (computer as a sophisticated connection to the world). Doctor is a sophisticated connection to the world. Kemajuan teknologi yang pesat, memudahkan dokter menggunakan beberapa perangkat komputer untuk menunjang pengetahuan kedokteran mereka.
Zaman bisa berubah, namun salah satu prinsip pendidikan kedokteran adalah dapat mengetahui apa yang terjadi di lapangan dan apa yang diharapkan oleh pasien. Selain itu, perubahan zaman menuntut seluruh tindakan dokter harus didasarkan bukti-bukti ilmiah dan bukan hanya berdasarkan pengalaman (seperti dokter zaman dulu). Singkatnya dokter sekarang harus selalu up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dengan pesatnya perkembangan ilmu-ilmu biomedical dan terus meningkatnya jumlah pasien di RS dengan keinginan yang semakin bervariasi.
Up to date dengan perkembangan ilmu pengetahuan berarti tidak hanya dalam hal menemukan metode terapi canggih. Lebih dari itu, dokter harus mempertimbangkan kemungkinan dampak buruk yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan teknologi tersebut. Misalnya: efek samping yang dapat ditimbulkan dengan kemoterapi. Dr. David mengatakan bahwa “terjadi tren medical education dan pilar utamanya adalah: humility, collaboration, prevention, communication dan continuous improvement.
Dr. Rossi Sanusi (IKM FK UGM) menanyakan tentang pilar utama dalam medical education tersebut. Mengapa medical ethic tidak menjadi salah satu dari pilar tersebut. Menanggapi pertanyaan ini Dr. David menjawab bahwa ethic tetap diperhatikan. Salah satu yang telah dilakukan adalah primary care provider bekerjasama dengan pasien dan keluarganya untuk memutuskan terapi terbaik dalam penanganan mereka.
Namun pada kenyataannya (di Indonesia) kerap terjadi bahwa dokter melakukan tindakan diluar wewenangnya atau meresepkan obat-obatan di luar terapi. Misalnya karena berorientasi bisnis sehingga kemungkinan terjadi over medication/over treatment. Terhadap hal ini, Dr. David menanggapi bahwa sistem pembayaran di US mencegah hal tersebut. Third party (pihak ketiga/asuransi) yaitu pihak pembayar (asuransi) hanya membayar obat-obatan sesuai dengan indikasi penyakit. Dokter telah mendapat gaji yang tetap, berapapun jumlah pasiennya, dan tidak ada hubungannya dengan jenis dan harga obat yang diresepkan. Selain itu, RS mengharuskan setiap dokter meresepkan obat generik. Bagi pasien yang menginginkan obat-obatan branded, obat tersebut dapat diresepkan namun dokter akan menjelaskan selisih biaya yang mungkin ditanggung oleh pasien akibat penggunaan obat-obatan bukan generik. Mengenai audit RS, Dr. David menjelaskan bahwa RS mengutamakan safety, quality improvement serta kepuasan pasien.
Salah satu perbedaan sistem pendidikan di Indonesia dengan di USA menurut Dr. Titi Savitri P.,MA.,M.Med.Ed.,Ph.D (Continuous Medical Education, FK UGM) yang menjadi peserta pada diskusi ini adalah bahwa pre-rounds di Indonesia berada pada level under graduate sedangkan di USA levelnya post graduate. Di Indonesia masing-masing spesialis memliki sekolahnya sendiri yang terpisah satu dengan lainnya. Tapi sistem hospitalist (hospital spesialist) ini membutuhkan kerjasama/kolaborasi dari semuanya untuk bekerja dalam satu bidang. Dr. Titi menanyakan mengenai bagaimana sistem edukasi/kurikulum tersebut harus dibangun. Terhadap hal ini, Dr. David menanggapi bahwa di Harvard University ada pendidikan khusus yang mempelajari tentang kurikulum ini yang merupakan gabungan antara Harvard Medical School dengan Medical Education, dan Bussiness Administration.
Sesi kedua membahas tentang Site Specific Generalists: Caring for the Hospitalized Patient. Pembicara pada sesi ini adalah Jane Rosenman, MD (Department of Pediatric and Adolescent Medicine General Pediatric Hospital Service). Dr. Jane mengungkapkan bahwa pelayanan pasien di USA dilakukan secara komprehensif, termasuk melibatkan diskusi (care team) keluarga pasien, ahli gizi, perawat, farmasi dan semua pihak terkait. Setiap orang dalam care team memiliki keahlian masing-masing dan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan keahliannya.
Komunikasi antara dokter/tim dengan pasien/keluarga pasien amat penting. Dalam komunikasi antara dokter dengan pasien atau keluarga pasien, salah satu yang dibicarakan adalah diskusi tentang pemilihan jenis terapi yang paling baik termasuk estimasi beberapa dampak yang mungkin ditimbulkan. Jenis komunikasi lainnya adalah komunikasi antar dokter di tiap shift. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh informasi terapi pasien yang komprehensif. Saat pertukaran shift, pertemuan tidak hanya antara dokter dengan dokter, namun pertemuan juga dilakukan dengan displin ilmu lain. Selanjutnya, tim mendiskusikan apa yang telah dilakukan shift sebelumnya dan merencanakan apa yg akan dilakukan selanjutnya. Misalnya pada pergantian shift malam ke shift pagi, pertanyaan yang harus dijawab adalah “Apa yg terjadi tadi malam?” Topik lain yang didiskusikan adalah pertanyaan keluarga pasien, seperti “Bagaimana keadaan saya/keluarga saya sekarang?” dan “Kapan saya diperbolehkan pulang?”
Salah satu upaya sederhana yang dilakukan tim adalah menyiapkan whiteboard di ruang diskusi. Mereka menulis segala sesuatu yang telah dikerjakan dan menulis juga segala sesuatu yang akan dikerjakan nantinya. Hal ini dilakukan agar diperoleh seluruh informasi perkembangan pasien. Selanjutnya, Jane mengatakan bahwa “komunikasi adalah kunci utama”.
Menurut pemaparan Dr. Jane, ada sistem week on dan week off yang menjadi agenda tahunan, dimana para dokter dimungkinkan untuk membagi waktu. Pada week on dokter melakukan tanggung jawab klinisinya secara penuh, sedangkan pada week off dokter dapat melakukan aktivitas lain misalnya penelitian dan beberapa aktivitas lainnya. Hal ini sepertinya tidak mungkin diterapkan di Indonesia yang jumlah spesialisnya masih sedikit. Untuk mengatasi keterbatasan ini Dr. Jane menyarankan bahwa pada saat seorang dokter week off, tugas-tugas klinisnya dapat digantikan oleh dokter lain. Waktu off-nya dapat ditentukan hanya tiga hari, bukan satu minggu penuh.
Hasil dari penelitian yang dilakukan selama week-off harus didiseminasi ke pihak lain yang terkait (sejawat, mahasiswa, dan sebagainya). Dalam melaksanakan kegiatan ini menurut Dr. Jane banyak media yang bisa digunakan, misalnya melalui email maupun tatap muka secara langsung.
Dengan sistem rujukan yang sudah berjalan baik di Amerika, pasien diharuskan untuk ke layanan primer lebih dulu. Sebagai dokter keluarga, dokter dilayanan primer telah sangat memahami keadaan pasiennya dengan baik. Jika dibutuhkan, maka pasien akan dirujuk ke dokter spesialis yang sesuai. Namun, komunikasi antara dokter keluarga dengan dokter spesialis terus dilakukan. (Bustanul Arifin)
LAPORAN SEMINAR DAN DISKUSI
TEKNOLOGI TELEMATIKA SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA RUMAH SAKIT DAN MEMPERKUAT PELAYANAN KESEHATAN DI DAERAH SULIT DAN TERPENCIL
Kampus FK UGM Yogyakarta, 17 Juli 2013
Diskusi Panel 1 Pengalaman dan Kebutuhan
Tujuan dilaksanakannya seminar ini adalah membahas potensi dan pengelolaan system IT untuk mengembangkan RS di daerah sulit dan melebarkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Secara khusus, seminar ini membahas: (1) Pengalaman PKMK FK UGM menggunakan teknologi telekomunikasi di Papua dan NTT, (2) Memahami teknologi VSAT dan sistem jaringan PUSDATIN dan TELKOM untuk pengembangan, (3) Sistem teletraining dan telemedicine yang membutuhkan struktur, dana, tenaga ahli, dan kegiatan yang terkoordinasi, serta (4) mengembangkan telehealth dan telemedicine lebih lanjut untuk RS di daerah sulit. Salah satu bagian menarik dalam seminar ini adalah selain pemaparan materi terkait, juga dilakukan diskusi (baik face to face antara peserta seminar dengan pembicara, maupun diskusi peserta dengan pembicara dari NTT dan Papua melalui skype dan telepon).
Pengalaman dan Kebutuhan
Pengalaman FK UGM bekerjasama dengan NTT dan Papua dipaparkan oleh dr. Sitti Noor Zaenab, MKes. Pengalaman dan kendala yang di hadapi selama melaksanakan sistem pembelajaran jarak jauh dengan 11 RS NTT. Banyak suka dan dukanya, salah satu sukanya adalah keunggulan menggunakan teknologi jarak jauh adalah murah dan hemat. Secara umum, telehealth telah berjalan namun masih ada beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain: kapasitas jaringan yang belum memadai, sehingga pada beberapa kegiatan teleconference terpaksa menggunakan jaringan telepon agar komunikasi tetap berjalan. Kendala lainnya adalah kedua belah pihak harus menemukan waktu yang tepat, sehingga perjanjian kegiatan harus dilakukan jauh-jauh hari. Menurut Zaenab, “kata “sabar”, merupakan salah satu kunci agar program ini akan terus berjalan.”
Pada sesi penyusunan manual rujukan dengan menggunakan telemedicine, Ign. Praptorahardjo memaparkan bahwa sistem alert menggunakan sms dan email gateway dapat digunakan untuk menyampaikan pesan misalnya mengingatkan jadwal pembelajaran jarak jauh. Berdasarkan pengalaman dari pemanfaatan sistem alert ini, salah satu dampak yang diperoleh adalah proses pelaporan keadaan KIA menjadi lebih baik.
Dari sisi ekonomi pembelajaran jarak jauh sangat murah dibandingkan dengan pola pembelajaran klasik yang sudah biasa dilakukan. Berdasarkan pengalaman, biaya pembelajaran tatap muka hampir 700 juta (selama 2 minggu), sedangkan dengan metode pembejaran jarak jauh hanya dengan 24 juta (selama 6 minggu). Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran jarak jauh (teleconference) merupakan metode pembelajaran yang sangat baik dan lebih murah.
Selanjutnya, dikatakan juga bahwa beberapa kelemahan yang dihadapi, antara lain perangkat teknologi (SDM dan fasilitas) yang masih terbatas dan belum merata di seluruh daerah terpencil. Pembicara juga menuturkan bahwa, Prof. Laksono sangat berperan dalam memberikan motivasi dan membuka wawasan agar penggunaan fasilitas yang telah diberikan KEMENKES lebih dioptimalkan.
Secara lebih praktis pengalaman dalam menggunakan teknologi telematika ini disampaikan oleh Unice Pricilla S. mengenai Pengalaman FK UGM melakukan teletraining di 4 (empat) kabupaten/ kota di Papua menggunakan VSAT PUSDATIN dan speedy serta oleh Dr. Sutikno, SpOG mengenai Pengalaman RS Harapan Kita dengan RSUD Kefamenanu, Kabupaten Kefamenanu NTT. Kebutuhan tenaga ahli dikarenakan kemampuan kinerja daerah terpencil, sering tidak mencapai target kinerja yang disyaratkan oleh KEMENKES. Dalam kondisi ini telemedicine merupakan sarana alternatif untuk berbagi ilmu saling asah, asih dan asuh pusat dan daerah terpencil. Pada Maret 2013, RSUD Kefamenanu memperoleh bantuan V-Sat dari KEMENKES. Dengan adanya sarana ini, RSUD Kefamenanu dapat melakukan konsultasi medis jarak jauh (telemedicine) dengan RS Harapan Kita, Jakarta. Tim ahli RS Harapan kita menggunakan media video jarak jauh dalam memandu jalannya SC, yang dilakukan di RSUD Kefamenanu. Beberapa menfaat yang diperoleh dengan telemedicine adalah memudahkan beberapa pekerjaan dokter misalnya saat pelaksanaan operasi sesar (SC). Manfaat lain adalah bimbingan teknis, sarana diskusi, bantuan diagnosis, transfer ilmu. Dr. Sutikno SpOG mengatakan bahwa “melalui telemedicine akan tercipta kondisi asah, asih dan asuh antara pusat dan daerah terpencil. Hal ini dapat terjadi asalkan partner kerja memiliki komitmen dan didukung oleh kemampuan personal (mental, pengetahuan anatomi (pengetahuan teknis), dan kemampuan lainnya yang memadai). Pada akhir sesi ditambahkan bahwa dengan kemajuan teknologi, saat ini telemedicine telah dapat dilaksanakan di seluruh wilayah NKRI.
Dari sudut pandang RSD yang berada di daerah sulit, Drg. Mercy (Direktur RSUD Bajawa, Kab. Ngada, NTT) menyampaikan mengenai Kebutuhan RS di daerah sulit untuk menggunakan telehealth dan telemedicine dari aspek klinis dan nonklinis. Teleconference sebagai pemicu tenaga kesehatan untuk terus belajar (mempersiapkan diri minimal 1 hari sebelumnya untuk teleconference). Dampak lainnya adalah hal ini menjadi salah satu cara untuk menarik minat dokter untuk bertahan lebih lama mengabdi di daerah terpencil. Namun masih ada bambatan yang ditemui dalam menggunakan teknologi ini, yaitu masih lemahnya signal serta kompetensi SDM dalam mengoperasikan peralatan Teleconference yang belum memadai.
Aspek Teknologi
Berbicara teknologi telematika jelas melibatkan topic-topik yang terkait dengan teknologi yang digunakan dan SDM sebagai operator teknologi tersebut. Oleh karena itu, pada sesi selanjutnya, Drg. Vensya memaparkan mengenai Jaringan PUSDATIN KEMENKES dalam membangun budaya keselamatan pasien di RS. Menurutnya, hal penting yang harus menjadi perhatian adalah pemanfaatan dan pengembangan telehealth tidak hanya dibutuhkan hardware dan software namun juga harus didukung oleh brainware penggunanya.
Nasrun Hadi yang menjadi pembicara selanjutnya tidak dapat hadir namun dapat memberikan materinya melalui teleconference. Menurut Nasrun, untuk menggunakan VSAT daerah harus mempersiapkan seluruh perangkat keras dan perangkat lunak, serta beberapa skenario pendukung lain. Misalnya penggunaan fasilitas/jaringan telepon jika proses telehealth dengan menggunakan jaringan internet bermasalah.
Pendapat Nasrun di atas dilengkapi oleh Aryanto Nugroho yang menyajikan secara rinci mengenai Perlengkapan di RS dan pusat pembelajaran yang akan menggunakan telehealth dan telemedicine. Menurut pengalamannya sebagai teknisi dan operator hubungan komunikasi antara Tim UGM dengan pihak lain melalui teleconference, ada beberapa perangkat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Bahkan dia juga menggunakan beberapa perangkat elektronik yang merupakan hasil modifikasi. Perangkat dimaksud, tidak dapat ditemukan di toko-toko elektronik atau hargany aynag terlalu mahal. Modifikasi alat dilakukan untuk tujuan efisiensi biaya. Misalnya modifikasi speaker, membuat biaya jauh lebih hemat dibandingkan dengan membeli speaker jadi. Aryanto, juga memaparkan cara penggunaan skype, sebagai salah satu media pembelajaran jarak jauh.
Pada sesi diskusi trelihat bahwa umumnya peserta menyambut antusias era telehealth ini. Pertimbangan utamanya adalah letak topografi Indonesia yang tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis. Telehealth dapat menjadi salah satu solusi. Seminar ini membuka wawasan, bahwa dengan perkembangan teknologi, “jarak dan waktu” bukan menjadi masalah. Sudah jelas bahwa kedepannya, pengembangan website RS, Perguruan Tinggi dan berbagai instutusi terkait dapat digunakan sebagai platform pengembangan sistem teletraining dan telemedicine.
Disamping berbagai hal-hal positif yang dapat diambil melalui teknologi telemedicine, beberapa hal yang masih menjadi kendala berdasarkan pengalaman beberapa pembicara, antara lain masalah signal telekomunikasi yang masih menjadi kendala utama sebagaimana diutarakan oleh penyaji dan kebutuhan SDM ditiap daerah yang dapat mengoperasikan teknis pelaksanaan telemedicine. Diharapkan KEMENKES, selain memberikan bantuan fasilitas VSAT, juga mempertimbangkan masalah SDM yang akan membantu teknis pelaksanaannya. Ibaratnya, apalah artinya memiliki “jalan tol” dan mobil, namun tidak ada “supir” yang dapat menjalankan mobil tersebut untuk sampai ketujuan. (Bustanul Arifin)
Tulisan Terkait:
Aplikasi Telemedicine di Seluruh Dunia
Telemedicine Indonesia Terhambat Biaya Mahal
Telemedicine: Harapan baru untuk meningkatkan kapasitas RS daerah terpencil
Seminar Nasional tentang SJSN Kesehatan
Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta, 26-27 Juni 2013
Daya tarik utama dalam seminar ini adalah materi dan pembicara yang diundang dalam seminar tersebut. Peserta seminar umumnya berasal dari praktisi kesehatan, manajemen rumah sakit, dinas kesehatan, industri farmasi dan perusahaan asuransi. Semua peserta yang hadir Nampak antusias dengan materi yang disampaikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan peserta pada sesi tanya jawab.
Sisi lain dalam seminar ini, sebagian peserta mengeluhkan adanya pergantian pembicara pada saat seminar. Sebagian pembicara yang telah dinantikan kehadirannya, justru diwakilkan. Hal ini dikarenakan, adanya tugas mendadak yang harus segera diselesaikan. Menurut panitia pelaksana, mereka sudah berusaha agar seluruh pembicara yang telah dituliskan dalam undangan dapat hadir, namun karena satu dan lain hal, sehingga hal tersebut tidak terlaksana.
Seluruh peserta yang hadir berharap, bahwa mereka akan lebih paham tentang pelaksanaan BPJS yang tinggal menghitung hari (kurang dari 180 hari). Sejalan dengan hal tersebut, sebagian pihak merasa pesimis dan menilai bahwa pelaksanaan BPJS dapat membuat masalah baru dibidang kesehatan (bercermin dari program KJS oleh Pemerintah Jakarta). Namun, tidak sedikit dari peserta dan pemateri yang terus menerus mengajak kita semua agar selalu optimis akan keberhasilan program ini.
Dua topik utama yang dibahas dalam seminar 2 (dua) hari ini, yaitu:
Berikut adalah beberapa pertanyaan peserta seminar dan jawaban dari narasumber. Pertanyaan ini ditanyakan pada sesi Jaminan Kesehatan Nasional, dengan nara sumber: dr. Gede Subawa, M.Kes.
Pernyataan klasik bahwa “orang miskin dilarang sakit”. Kenyataan saat ini, akses ke pelayanan kesehatan dapat dikatakan meningkat, namun apakah dibarengi dengan mutu layanan kesehatan yang diberikan? Sepertinya tidak!
Pertanyaannya:
Mengapa BPJS tidak melakukan analisis mutu layanan kesehatan dulu, dengan demikian akan semakin jelas dimensi mutu yang diharapkan dalam program ini. Logikanya, saat ini merencanakan untuk membeli suatu barang, secara otomatis kita menentukan spesifikasi barang, bahkan melalukan analisa dan estimasi saat barang tersebut dating dan akan digunakan. Bagaimana dengan program BPJS? Jangan sampai perubahan Askes menjadi BPJS hanya perubahan nama saja bukan perubahan Mutu (kenyataan sekarang: terjadi perbedaan layanan kesehatan pasien Askes dengan pasien non Askes).
Jawaban:
Masukan bagi pemerintah bahwa harus menetapkan indicator/ dimensi mutu layanan kesehatan, agar dapat dipestikan bahwa peserta BPJS memperoleh layanan yang bermutu.
Masalah perbedaan layanan pasien Askes dengan non Askes, sebenarnya PT. Askes selalu melakukan survey secara berkala. Survei ini dengan melibatkan 3 (tiga) lembaga sesuai dengan bidang mereka masing-masing. PT. Askes terus menampung berbagai masukan dan terus melakukan upaya perbaikan.
Bimbingan Teknis Rumah Sakit Khusus dalam Rangka Pengembangan RS Khusus
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, telah mengadakan pertemuan bimbingan teknis untuk RS khusus daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur di Hotel Mutiara, Yogyakarta pada 3-5 Juli 2013. Acara ini diadakan di daerah Yogyakarta karena mengingat 30 persen RS khusus di Indonesia berlokasi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertemuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan usaha pengembangan RS khusus di Indonesia dan mendiskusikan isu-isu seputar RS khusus. Agenda pertemuan ini juga akan membahas sistem pembiayaan RS khusus di era SJSN pada 2014 mendatang.
Beberapa isu menarik yang disajiikan di awal pertemuan termasuk sistem coverage SJSN yang belum memuat beberapa layanan kesehatan seperti layanan untuk korban bencana alam dan penanganan pasien ketergantungan obat/narkotika. Perwakilan dari Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa sistem pembiayaan jenis layanan yang di-cover ini masih akan (dan perlu) dihitung ulang. Isu lain termasuk keberadaan Jamkesda yang akan secara bertahap dihilangkan dari sistem pembiayaan kesehatan daerah, karena akan terleburnya dengan SJSN dalam pengelolaan oleh BPJS.
Kekhawatiran terhadap RS Khusus adalah begitu mudahnya pendirian rumah sakit ini di Indonesia. Total ada 19 jenis RS Khusus di Indonesia, dibandingkan dengan hanya enam di Filipina atau lebih sedikit di negara-negara lainnya. Persyaratan pendirian RS Khusus memang di bawah RS Umum tipe D, yaitu hanya 25 tempat tidur (dibandingkan dengan minimal 50 tempat tidur untuk RSU Tipe D). Salah satu efek yang terjadi adalah, RS Khusus dijadikan celah untuk mendirikan rumah sakit yang pada faktanya memberikan pelayanan umum, tidak hanya pelayanan khusus penyakit atau organ tertentu.
Masih dalam pembukaannya, perwakilan BUK Kementerian Kesehatan menyatakan berbagai kekhawatiran lainnya, termasuk clinical pathway dan sistem rekam medis terstandardisasi yang belum dimiliki seluruh rumah sakit. Isu lainnya yang dikritisi termasuk mudahnya dinas kesehatan provinsi mengeluarkan perizinan pendirian rumah sakit, yang berefek pada banyak rumah sakit tanpa akreditasi di Indonesia.
Dalam hal kebijakan dan peraturan seputar rumah sakit, walaupun mengakui beberapa gap di dalam peraturan Kementerian yang ada (seperti tidak adanya klausul yang melarang Klinik Utama untuk melakukan operasi mayor), Kementerian Kesehatan tetap menghimbau agar rumah sakit di Indonesia tidak mencari celah di peraturan yang ada. Pertemuan ini akan sangat menarik untuk diikuti dan ditindaklanjuti, karena isu-isu menarik seputar manajemen dan pengembangan RS Khusus yang diangkat. Terlebih lagi adalah hubungan bimbingan teknis ini dengan kesiapan layanan di tingkat rumah sakit dalam era SJSN mendatang.
Jadwal Acara:
Waktu | Uraian Kegiatan | Pembicara |
Rabu, 3 Juli 2013 16.00 – 20.45 |
Registrasi | |
Makan malam | ||
Pembukaan– Laporan ketua panitia – Sambutan Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta – Arahan dan pembukaan acara |
Kasubdit Bina Yankes Rujukan di RS Khusus dan Fasyankes lainnya Kadinkes Provinsi DIY Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan |
|
Kamis, 4 Juli 2013 08.00 – 19.00 |
Panel I – Mekanisme tarif BPJS – Health Technology Assessment (HTA) – Clinical pathway |
Direktur PT Askes dr. Dody Firmanda, SpA, MA |
Panel II – Standar Pelayanan Minimal dan Mediko Legal di RS Khusus – Indeks Pengelolaan Pelayanan Keperawatan Prima di RS – Regionalisasi Sistem Rujukan |
Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP Direktur Bina Pelayanan Keperawatan dan Ketenisan Medis Kasubdit Bina Yankes Rujukan di RSU Publik |
|
Diskusi | ||
Panel III – Akreditasi Nasional Versi 2012 – Patient safety – Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) |
Kasubdit Bina Akreditasi RS dan Fasyankes Lain Kasubdit Bina Akreditasi RS dan Fasyankes Lain PERDALIN |
|
Diskusi | ||
Panel IV– SPGDT – Medical tourism – Green Hospital – Pengelolaan limbah |
Kasubdit Bina Yankes Rujukan di RSU Privat Kasubdit Bina Yankes Rujukan di RSU Privat Konsil Gedung Hijau Kasubdit Bina Sarana dan Prasana Kesehatan Dit. Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan |
|
Diskusi | ||
RTL dan Rangkuman | Kasubdit Bina Yankes Rujukan di RS Khusus dan Fasyankes Lainnya | |
Penutupan dan makan malam | ||
Jumat, 5 Juli 2013 | Kepulangan Peserta Luar Kota |