Perspektif Akademisi dan Pakar Perumahsakitan terhadap Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS
Panel pertama diisi oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD melalui teleconference, karena tidak dapat hadir di Jakarta. Pada sesi ini Prof. Laksono mejelaskan bahwa ada segmentasi pelayanan yang tidak dapat dihindari. Segmentasi ini terjadi akibat adanya strata sosial-ekonomi masyarakat. Yang kaya dan mampu akan memilih layanan yang lebih baik meskipun lebih mahal, atau meskipun ada di luar negeri. Yang tidak mampu akan ke RS yang ada meskipun layanannya buruk. Segmentasi ini berdampak lebih lanjut pada pilihan tenaga kesehatan, khususnya dokter dan dokter spesialis. Dokter lebih senang melayani pasien yang mampu dan oleh karenanya lebih senang tinggal di daerah perkotaan yang memberi kesempatan untuk berpenghasilan lebih. Data menunjukkan bahwa rasio dokter dengan masyarakat di DKI adlaah 1:3000 sedangkan di provinsi lain di luar Jawa 1: 48ribu.
Di era BPJS hal tersebut akan mengakibatkan tersedotnya sumber daya ke daerah-daerah yang memiliki akses lebih baik ke fasilitas kesehatan, yaitu daera di Jawa dan Bali atau di kota-kota besar daerah lain. Masyarakat di daerah terpencil yang membutuhkan rujukan ke daerah lain harus diberi kompensasi oleh BPJS (Pasal 23 (3) UU SJSN). Sebanyak apa dan sejauh mana masyarakat akan diberikan kompensasi?
Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Prof. Laksono solusinya adalah menambah jumlah dokter spesialis melalui pendidikan dan “impor” tenaga dari luar negeri, mengembangkan distribusi dari barat ke timur misalnya melalui program sister hospital serta memanfaatkan teknologi telemedicine.
Sebagian pengalaman dalam pengelola kegiatan Sister Hospital di NTT, yang beberapa kegiatannya dilakukan dengan memanfaatkan teknologi teleconference/telemedicine. Sebagai contoh dokter Obsgyn di RSAB Harapan Kita memandu proses operasi sesar bagi dokter umum terlatih di RSUD Kefamenanu, NTT, melalui videoconference. Sebelumnya, OK di RSUD Kefamenanu telah dilengkapi dengan fasilitas komputer, kamera video dan sambungan internet agar mudah diikuti oleh dokter obsgyn di RSAB HK. Kedepannya kebutuhan seperti ini akan semakin meningkat sehingga perlu disiapkan berbagai perangkat regulasi, SOP, hingga tarif yang secara legal bisa melindungi seluruh pekerja kesehatan yang terlibat.
Pada panel ini Prof. Hasbullah Thabrany dari FKM UI memaparkan tentang Pelaksanaan JKN dari Perspektif Kewajiban Pendanaan melalui APBN dan APBD. Prof. Hasbullah mengakui bahya premi yang ditetapkan saat ini masih rendah. Menurut UU SJSN/BPJS, hanya ada satu BPJS yang beroperasi secara nasional. Menurut Thabrany, pemda tidak dapat membentuk BPJS karena bertentangan dengan UU 1945, meskipun menurut Permenkeu Pemda dapat membentuk BPJS berdasarkan pada koridor UU SJSN/BPJS. Masalahnya adalah keehatan merupakan hak seluruh warga negara dan kewajiban pemerintah adalah memenuhi hal tersebut menurut Prof. Hasbullah pemda mempunyai peran untuk menyediakan fasilitas kesehatan sesuai standar disamping juga membuka peluang bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan swasta, melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan diwilayahnya, serta mendanai dan mengelola program kesehatan masyarakat.
Konsep CBG diterapkan dalam pendanaan kesehatan karena sudah terbukti menjadi metode yang terbaik. Metode yang selama ini digunakan relatif boros dan membuka peluang terhadinya moral hazard, dimana biaya akibat kesalahan tenaga kesehatan atau fasilitas dibebankan kepada pasien. Namun sayangnya, menurut Prof. Hasbullan INA-CBG tidak dikembangkan berdasarkan metode yang benar (biaya rata-rata), sehingga masih banyak masalah. Misalnya INA CBG untuk terapi kanker dan penyakit lain yang membutuhkan teknologi belum realistis, biaya untuk RS pemerintah dan RS swasta disamakan padahal swasta tidak mendapat subsidi gaji dan sebagainya dari pemerintah, dan masih banyak masalah lain terkait penetapan tarif. Oleh karena ini, masih diperlukan masukan dari ARSADA maupun organisasi perumahsakitan dan asosiasi profesi kesehatan untuk menyusun standar atau protokol agar besaran tarif sesuai dengan kebutuhan rata-rata yang pelaksanaan pelayanan.
Lebih lanjut Prof. Hasbullah menyampaikan pendapatnya bahwa kunci keberhasilan pelaksanaan JKN ada empat. 1) harga menjadi kesepakatan bersama, satu harga untuk semua RS untuk kasus dan keseriusan penyakit yang sama, 2) besaran CBG untuk RS pemerintah dan RS swasta tidak sama, 3) harga CBG direvisi setidaknya dua tahun sekali, dan 4) Direktur RS memiliki kendali dan berani menetapkan take home income dokter, bukan dokter spesialis yang menentukan hal tersebut.
Pembicara selanjutnya pada sesi ini adalah Dr. Achmad Harjadi, MSc yang merupakan pernah menjadi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI, Kepala Bappeda DKI dan Deputy Gubernur DKI. Dr. Harjadi memamaparkan topik Pelaksanaan JKN dari Perspektif Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Bagaimanapun juga, sukses tidaknya pelaksanaan JKN salah satunya ditentukan oleh berjalan atau tidaknya sistem rujukan dan Puskesmas ada di garda pertama sistem tersebut. Oleh karenanya, RSUD memiliki kewajiban untuk memahami sistem ini dan posisi setiap pihak yang terlibat. UU SJSN dan BPJS telah mengatur bahwa penyediaan fasilitas kesehatan merupakan tanggung jawab Pemerintah pusat dan daerah. Namun tidak semua faskes tersebut dapat bekerjasama dengan BPJS. Ada proses credentialing dan bagi RS Pemerintah yang telah memenuhi syarat wajib hukumnya untuk bekerjasama dengan BPJS. RS Swasta yang memenuhi syarat boleh bekerjasama atau tidak bekerjasama dengan BPJS. Puskemas wajib bekerjasama dengan BPJS.
Pelaksanaan kerjasama tersebut – termasuk dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama – harus melalui kontrak tertulis. Dalam perjalanannya ada proses evaluasi fasilitas kesehatan dari aspek mutu, keamanan pasien, tindakan efektif, kesesuaian dengan kebutuhan pasien serta efisiensi. BPJS berhak membuat kontrak atau menghentikan kerjasama jika hasil evaluasi menunjukkan kinerja faskes yang buruk. Besaran tarif kapitasi di pelayanan kesehatan primer ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian menurut Dr. Harjadi terjadi monopoli BPJS atas layanan kesehatan primer dan ini menjadikan Puskesmas berada pada posisi yang lemah. Hal yang sama terjadi pada dokter praktek pelayanan kesehatan primer.
Dr. Harjadi berpendapat bahwa dana kapitasi cukup. Jika RS telah dibayar oleh BPJS, maka dana Pemda sebagian bisa digeser ke pelayanan kesehatan primer. Jika puskesmasnya telah ditetapkan sebagai PPK BLUD, maka tarifnya harus ditetapkan berdasarkan unit cost. Untuk itu harus ada negosiasi lebih lanjut yang kesemuanya harus dituangkan dalam kontrak, termasuk tarif layanan.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, Panitia Munas juga mengundang Dr. Hanna Permana, MARS – mantan Direktur RSUD Karawang dan mantan Ketua ASRSADA Pusat – untuk berbicara tentang Strategi RS dalam Menghadapi JKN. Dr. Hanna mengangkat isu besarnya biaya pelayanan kesehatan di RS sebagai akibat dari berbagai faktor membuat RS dan dokter cenderung bergerak ke ideologi neoliberal. Oleh karena itu, menurut Dr. Hanna, RS harus menerapkan strategi cost containment agar dapat bertahan di era JKN. Biaya harus benar-benar dihitung dan dikendalikan. Sudah bukan jamannya lagi merencanakan pengadaan alat (karena ada anggarannya) yang kemudian tidak digunakan karena tidak ada tenaga yang mampu mengoperasikannya. Dr. Hanna juga menyarakan bagi RS untuk memiliki setidaknya empat orang apoteker yang akan mengelola BHP Medis di RS di pos yang berbeda (Instalasi Farmasi, Logistik, Apotek, Buffer Stock) sebagai salah satu bentuk pengendalian. Hal ini karena BHP Medis merupakan salah satu komponen biaya – dan juga pendapatan – terbesar di RS. Jadi dalam sebuah RS menurutnya cukup ada 800 item obat. Kenyataannya saat ini banyak RS yang menyimpan sampai ribuan jenis obat.
Penggunaan dan pemeliharaan fasilitas dengan benar juga akan dapat menghindari pemborosan. Kita sudah mengenal pameo doing the right thing right. Kini kita juga harus mengenal doing the right thing better and cheaper. Yang menjadi masalah besar bagi direktur RS nantinya menurut Dr. Hanna adalah bagaimana menentukan jasa dokter. Permenkes yang mengatur besaran jasa pelayanan adalah sebesar 44% sudah tidak berlaku lagi. Sebaliknya, nantinya pembagian jasa itu akan diserahkan pada direktur RS masing-masing. Masalahnya adalah direktur tidak punya dasar yang kuat untuk menentukan besarnya jasa yang akan dibagikan sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
Ini agak berbeda dengan pendapat Prof. Hasbullah yang mengatakan bahwa pembagian jasa tersebut ada pedomannya. Juga telah ada pedoman remunerasi BLUD yang dikeluarkan oleh Kemenkeu. Namun demikian, menurut Prof. Hasbullah peran ARSADA dan asosiasi RS lainnya untuk membuat rekomendasi-rekomendasi pada pemerintah mengenai hal ini.