RSUD telah melakukan pemantauan terhadap pencapaian SPM secara rutin. Pemantauan terhadap data sampai dengan April 2014 menunjukkan bahwa sebagian indikator SPM telah tercapai, antara lain jenis pelayanan, waktu tunggu pelayanan di IGD, IRJA, IRNA maupun operasi elektif, kejadian infeksi pasca operasi dan transfusi darah, dan berbagai indikator penting lainnya. Namun demikian, masih banyak hal yang membutuhkan perbaikan karena pencapaiannya masih di bawah standar. Misalnya kemampuan menangani live saving dan sertifikasi untuk petugas di IGD masih kurang dari 90%, belum ada tim penanggulangan bencana, kematian pasien > 48 jam, belum ada tim PONEK terlatih, dan belum semua penulisan resep sesuai formularium. Namun pengamatan terhadap semua instalasi pelayanan menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan diseluruh bagian RS ini masih belum mencapai target.
Hasil investigasi menunjukkan bahwa alasan ketidakpuasan pasien antara lain pelayanan yang lambat, petugas kurang ramah bahkan terkesan angkuh, ruangan kotorperawat jarang mengontrol kondisi pasien di malam hari, kamar mandi yang jorok, hingga pasien yang diminta untuk bolak balik ke pelayanan, sehingga mengesankan pelayanan yang belum efisien dan belum berorientasi pada pengguna.
RS ini merencanakan penambahan 150-200 TT lagi. Pembangunan kapasitas tambahan ini ditargetkan selesai pad apertengahan tahun depan. Jika dibandingkan dengan proyeksi pengguna pada perencanaan dengan realisasinya, maka nampak bahwa cukup banyak target yang telah melampaui 30% pada kuarter pertama ini. Hal tersebut menimbulkan optimisme bahwa target pelayanan akan tercapai bahkan terlampaui di akhir tahun 2014.
Salah satu perubahan signifikan yang terjadi dibandingkan dengan data sebelumnya adalah proporsi pasien. Tahun lalu pasien umum (fee for service) jumlahnya lebih dari 30%, saat ini proporsinya berkurang menajdi sekitar 25%. Diperkirakan hal ini juga berpengaruh terhadap tingkat penggunaan RS oleh masyarakat.
Namun sayangnya frekuensi rapat koordinasi internal RS khususnya di level direksi masih kurang. Banyak masukan termasuk dari masyarakat/pasien yang belum ditindaklanjuti karena kurangnya arahan dan supervisi dari atas. Berbagai masalah sistem maupun teknis yang wajar terjadi pada awal pelaksanaan BLUD kurang mendapat perhatian. Hal ini berdampak pada konflik antar-bagian yang terkait. RS masih membutuhkan pihak yang berperan sebagai penengah dalam konflik internal dan yang mengarahkan bagaimana respon RS terhadap berbagai masalah tersebut. Peran ini sebenarnya ada pada direktur RS.
Evaluasi ini dilakukan di salah satu RS milik pemerintah. Kunjungan lapangan dilaksanakan pada minggu kedua Agustus 2014. Saat persiapan, seluruh dokumen persyaratan BLUD sudah dipersiapkan dengan baik oleh POKJA RS, demikian juga dengan RBA. Bahkan RSUD juga telah menyiapkan draft beberapa peraturan kepala daerah yang diperlukan untuk pelaksanaan BLUD, antara lain peraturan tentang pedoman keuangan RS. Namun sebagaimana banyak terjadi di RSUD lain yang telah ditetapkan sebagai BLUD, RSUD ini juga masih menyusun RKA. Alasan yang dikemukakan adalah karena SIMDA masih menuntut entry dilakukan per rekening.
RS merasa memiliki bargaining power yang kecil, karena dari Rp 100M pendapatannya, yang merupakan pendapatan dari jasa pelayanan hanya sebesar Rp 10M atau 10%. Jika suatu saat proporsi pendapatan RS sudah lebih tinggi, misalnya di atas 50% maka RS merasa akan memiliki bargaining power yang lebih besar dan saat itulah RS akan menegosiasi aplikasi SIMDA agar sesuai dengan kebutuhan RS yang BLUD.
Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, sebab proporsi pendapatan RS tidak semata dilihat dari jasa layanan. Sebagai RS pemerintah, maka banyak biaya di RSUD yang memang merupakan kewajiban pemerintah. Contoh Dinas Kesehatan tidak melayani pasien sehingga tidak ada pendapatan. Namun Dinkes tetap menerima gaji, alkasi untuk bahan habis pakai, pemeliharaan dan sebagainya. Dalam hal ini 100% pendapatannya berasal dari APBD. Demikian juga dengan SKPD-SKPD lain yang tidak memiliki pendapatan dari jasa layanan. Dengan demikian, RSUD sebagai salah satu SKPD juga memiliki hak yang sama dengan SKPD lain, ada atau tidak ada pasien gaji PNS, bahan habis pakai, pemeliharaan dan berbagai pengeluaran rutin lainnya merupakan kewajiban pemerintah. Sehingga, yang digunakan sebagai ukuran untuk menghitung proporsi pendapatan RS bukan Rp 100 M melainkan biaya barang dan jasa. Dari Rp 100 M anggaran RS, rinciannya adalah: Rp 50M untuk bahan habis pakai, Rp 30M untuk barang dan jasa, Rp 5M untuk gaji pegawai dan 15M untuk biaya tidak langsung. Dengan demikian, yang digunakan untuk mengukur kemampuan RS dalam memperoleh pendapatan adalah biaya tidak langsung sebesar Rp 30M. Dari jumlah ini, 10M (atau 30% diantaranya) berasal dari pendapatan jasa layanan. Setelah menerapkan PPK-BLUD, diestimasikan biaya ini bisa lebih dihemat menjadi sekitar Rp 25-28M. Dengan demikian, penyamaan mindset diantara pengelola RSUD masih perlu dilakukan.
Laporan keuangan yang dibuat oleh RS ini masih berbasis SAK. Pemimpin RS harus mencari solusi mengenai masalah ini dengan membuat kesepakatan dengan Bagian Keuangan Pemda. Prinsipnya BLUD adalah untuk mempermudah birokrasi pelayanan pada masyarakat, bukan untuk membuatnya menjadi tambah rumit.
Saat ini, RSUD telah memiliki peraturan kepala daerah mengenai jenjang nilai pengadaan barang dan jasa. Selain itu, RSUD juga telah membuat SOP penatausahaan keuangan RS. Masalahnya adalah aturan ini justru lebih rigid dan rumit dibandingkan dengan sebelum BLUD. Contoh untuk pembelian obat-obatan sebesar Rp 2 juta saja SPJ yang harus disiapkan banyak sekali. Dari sini terlihat bahwa penyusunan peraturan kepala daerah dan SOP tersebut masih menggunakan mindset birokrasi yang justru menghambat kecepatan pelayanan. Oleh karena itu, revisi terhadap peraturan dan SOP tersebut mutlak segera dilakukan.
Sesuai dengan amanat UU No. 44/2009, RSUD ini ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Setelah ditetapkan, kedua RS tersebut diberikan fleksibilitas sebagai BLUD penuh. Namun sesuai dengan amanat Permendagri No. 61 Tahun 2007, fleksibilitas yang diberikan harus dibarengi dengan akuntabilitas lembaga, dimana kedua rumahsakit ini harus dapat membuktikan kinerjanya setelah ditetapkan sebagai BLUD. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa RSUD ini merupakan lembaga publik yang dalam operasional maupun pengembangannya sebagian menggunakan dana publik (APBD, APBN) yang harus dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, saat ditetapkan sebagai BLUD, RSUD ini telah dilengkapi dengan ukuran-ukuran kinerja yang dapat dievaluasi sebagai salah satu bentuk pertanggungjawabannya. Kinerja yang dimaksud meliputi kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat.
Kinerja pelayanan dapat diukur dari pencapaian volume dan mutu pelayanan klinis yang dilakukan di berbagai instalasi, dengan membandingkan antara perencanaan yang terdapat di Rencana Strategis Bisnis dengan pencapaian pada saat dilakukannya evaluasi. Selain itu, kinerja mutu juga dapat diukur dari pencapaian indikator-indikator SPM. Namun sebagai standar minimal, indikator SPM ini berfungsi untuk menjaga agar mutu pelayanan RSUD tidak berada di bawah batas toleransi yang berkaitan dengan keselamatan pasien.
Kinerja keuangan dapat diukur dari pencapaian indikator-indikator keuangan yang telah ditetapkan pada perencanaan (Rencana Strategis Bisnis). Indikator ini tidak selalu berbicara mengenai berapa pendapatan yang bisa diperoleh RS dalam melayani pasien, namun juga berapa penghematan yang berhasil dilakukan melalui proses yang lebih efisien. Selain itu, kinerja keuangan secara teknis juga dapat dilihat dari penerapan Permendagri 61/2007, antara lain penggunaan informasi unit cost pelayanan sebagai dasar penetapan tarif, penggunaan RBA untuk menyusun anggaran dan sebagainya. Jenis ukuran yang akan dievaluasi tergantung pada jenis indikator kinerja keuangan yang ditetapkan pada RSB masing-masing RS.
Kinerja manfaat dapat dilihat antara lain dari jenis-jenis pelayanan yang dikembangkan setelah menerapkan PPK-BLUD, sehingga dengan adanya jenis layanan ini masyarakat tidak perlu mencari pelayanan sejenis ke luar daerah, dan sebagainya. Selain itu, kinerja manfaat juga dapat dilihat dari trend masyarakat miskin yang dapat dilayani di RSUD ini.
Ketiga ukuran kinerja tersebut telah tertuang dalam dokumen persyaratan BLUD khususnya RSB dan SPM, sebagai janji RSUD maupun kepala daerah kepada masyarakat daerah ini untuk meningkatkan pelayanan publik, dalam hal ini pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dengan dilakukannya pengukuran atau evaluasi terhadap pencapaian dari ketiga kelompok kinerja tersebut, maka kedua RSUD akan dapat membuktikan kepada pemerintah dan masyarakat bahwa ada progress perbaikan kinerja RSUD setelah ditetapkan sebagai BLUD, meskipun mungkin belum semua target tercapai.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian kinerja RSUD setelah ditetapkan sebagai BLUD dan membandingkannya dengan perencanaan pada RSB maupun rencana pencapaian SPM.
Tahapan Kegiatan
Kegiatan evaluasi kinerja dua RS yang melaksanakan BLUD diawali dengan cara penyusunan instrument penilaian oleh tim penilai, peninjauan lapangan, diskusi hasil peninjauan lapangan dan laporan hasil evaluasi
Penyusunan instrumen penilaian
Tim menyusun instrument untuk bisa digunakan dalam penilaian kinerja RS BLUD. Penyusunan instrumen berdasarkan kinerja pelayanan, kinerja manfaat dan kinerja keuangan. Kinerja pelayanan dapat dilihat dari masing-masing Rencana Strategis Bisnis RS. Kinerja manfaat dilihat dari SPM dan kinerja keuangan menggunakan dasar Permendagri No. 61/2007 yaitu melihat penyusunan laporan keuangan berdasarkan SAK, tarif berdasarkan unit cost, penganggaran disusun menggunakan RBA dan kinerja keuangan lainnya yang terdapat pada laporan keuangan.
Peninjauan lapangan dan diskusi
Peninjauan lapangan diperlukan untuk mengisi atau mencocokkan target kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat yang ada pada perencanaan dengan pencapaian nyata RS, menggunakan instrumen yang telah disusun sebleumnya.Dari hasil peninjauan lapangan, tim melakukan diskusi internal dan dengan pihak RS, mengenai kesenjangan yang ada, serta mendiskusikan alternatif solusi yang dapat diambil untuk perbaikan atau peningkatan kinerja periode berikutnya.
Laporan hasil evaluasi
Tim menyusun laporan hasil evaluasi kinerja BLUD disertai dengan rekomendasi-rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti oleh RSUD maupun stakeholders-nya.
PERTEMUAN PENYUSUNAN PEDOMAN REMUNERASI RUMAH SAKIT DAERAH
Jakarta, 18 Juli 2014
reporter: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM,. M.Kes
Saat ini implementasi JKN telah memasuki bulan ketujuh. Kebijakan mengenai JKN merupakan reformasi pembiayaan kesehatan dari yang sebelumnya berupa sistem fee-for-service menjadi sistem paket. Dengan adanya perubahan ini, banyak masalah timbul dalam pelaksanaan tersebut mulai dari masalah teknis hingga masalah mind-set. Dinamika yang terjadi selanjutnya mendorong ARSADA untuk melakukan inisiatif menyusun sistem remunerasi bagi RSD di era JKN. Dari kegiatan yang telah dilakukan, ada beberapa kesulitan dalam penyusunan remunerasi tersebut, yaitu dalam hal 1) menentukan sumber dana untuk jasa pelayanan, menentukan persentase alokasi dana, 3) menentukan cara mendistribusikannya, 4) memperhatikan kebijakan yang ada terkait dengan remunerasi
Oleh karena itu, Asosiasi RS Daerah berinisiatif untuk melakukan pertemuan membahas masalah ini, dengan mengundang pakar dan praktisi, serta pemerintah (Kemenkes dan Kemendagri) yang terkait langsung dengan masalah ini. Pertemuan dilakukan di ruang rapat BUK Kementeria Kesehatan pada Jumat, 18 Juli 2014.
Pertemuan ini dibuka oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro MSC, PhD yang dihubungi melalui sambungan Skype®. Dalam pembukaannya, Prof. Laksono menyampaikan bahwa ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sistem remunerasi bagi tenaga kesehatan di RS, yaitu 1) pendapatan bulanan yang dapat menjamin kehidupan yang wajar bagi para tenaga kesehatan, 2) produktivitas tenaga kesehatan dan 3) adanya residen yang dapat berperan sebagai tenaga kesehatan profesional. Remunerasi di RS Daerah tentunya akan berbeda antara RS pendidikan dan non pendidikan, antara RS di kota besar dengan di daerah terpencil. Komponen “SDM” dalam tarif INA-CBGs dapat dijadikan salah satu dasar untuk menentukan formula remunerasi, sehingga yang produktif mendapatkan lebih banyak dibandingkan yang kurang produktif. Intinya, sistem ini harus mampu membuat dokter spesialis betah bekerja dengan giat disuatu RS dengan sistem pembayaran bulanan.
Disadari bahwa pengembangan sistem ini akan menemui banyak tantangan, mulai dari penyusunan hingga implementasinya. Oleh karena itu, Prof. Laksono menyarankan ARSADA untuk mengadopsi teknologi webinar sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dengan RS-RS daerah di seluruh Indonesia, tanpa biaya yang terlalu besar. Teknologi ini akan memungkinkan ARSADA untuk mengumpulkan data jauh lebih mudah untuk kemudian dianalisis.
Pada pertemuan ini, Tim Remunerasi Dirjen BUK Kementerian Kesehatan yang telah melakukan studi untuk penyusunan pola remunerasi RS vertikal memaparkan bahwa RS vertikal harus memiliki tarif yang berdasarkan unit cost terlebih dahulu. Tarif ini kemudian menjadi dasar bagi Kementerian Keuangan untuk menganalisis kemampuan pendanaan RS ke depan, termasuk untuk sistem remunerasinya.
Ada tiga komponen dalam sistem remunerasi yang diusulkan, yaitu pay-for-position, pay-for-people dan pay-for-performance. Batang tubuh dari sistem ini terdiri dari grade dan kelompok jabatan. Dengan pola ini, seluruh pendapatan RS akan masuk dalam satu pot dan dibagi berdasarkan grading dan kelompok jabatan tersebut. Jadi tidak ada lagi istilah jasa pelayanan, jasa medis, jasa obat dan sebagainya. Remunerasi dibagi berdasarkan grade yang telah ditetapkan tersebut.
Kesulitan yang ditemui pada penetapan pola ini adalah karena tidak seragamnya terminologi yang digunakan oleh RS. Misalnya terminologi profesi, jabatan dan sebagainya. Oleh karena itu, tim ini menyarankan agar ARSADA menginisiasi adanya sebuah “Kamus Profesi” agar ada keseragaman istilah, demikian juga dengan keseragaman jabatan/grade.
Menurut Dr. Hanna Permana, MARS, remunerasi yang akan dibuat oleh Kemenkes tidak perlu terlalu detil, karena implementasi pola remunerasi akan sangat dipengaruhi oleh budaya, kebiasaan dan kondisi di daerah. Selain itu, perlu ditetapkan grade yang memperhatikan risiko pekerjaan, jabatan dan aspek-aspek lain. Misalnya harus ada perbedaan antara perawat yang bekerja di ICU dengan yang bertugas di poliklinik. Secara sederhana, kondisi berikut merupakan kondisi yang dapat menerima remunerasi paling tinggi: dokter pemegang pisau, bertugas di critical care, memegang jabatan sebagai ketua komite medik dan menjelang pensiun.
Lebih lanjut Dr. Hanna menyampaikan bahwa banyak RS yang masih salah memahami mengenai struktur organisasi. Direksi dan Kepala Bidang adalah jabatan struktural. Namun kepala seksi adalah lini, jabatan Kepala Instalasi tidak boleh ada di bawah Kepala Seksi. Namun kenyataannya banya RS menempatkan Kepala Instalasi di bawah Kepala Seksi.
Materi yang dipresentasikan oleh para pembicara dalam pertemuan ini dapat diunggah dengan meng-klik judul materi berikut ini.
Tahun 2007 yang lalu GIZ memulai sebuah program bernama ILT-HM (International Leadership Program on Hospital Management) yang ditujukan bagi para manajer RS pemerintah maupun swasta, konsultan maupun peneliti yang terkait dengan manajemen perumahsakitan untuk menempuh kursus mengenai manajemen RS di Jerman. Kursus berlangsung selama 4 (empat) bulan di Berlin HWR (Berlin Business School for Economics and Law) dan dilanjutkan dengan magang di RS-RS tertentu di Jerman selama 3 bulan. Sebelum menjalani kursus, peserta dipersiapkan untuk menguasai Bahasa Jerman dasar untuk memudahkan komunikasi di kelas maupun saat magang di RS. Total waktu yang digunakan oleh peserta ILT-HM selama berada di Jerman adalah 12 bulan penuh. Program ini berakhir tahun 2012, sehingga total ada 5 (lima) angkatan yang telah menjalani kursus. Tahun 2014 ini GIZ berencana untuk mengadakan Temu Alumni sebagia bagian dari upaya pemerintah Jerman untuk dalam memelihara partnership dengan Indonesia.
Universitas Gadjah Mada dipilih sebagai partner dalam penyelenggaraan kegiatan ini karena dari 18 alumni ILT-HM asal Indonesia, 2 diantaranya berasal dari UGM. Selain itu, lingkungan kampus dirasa dapat menghadirkan suasana yang tepat untuk melakukan seminar dan diskusi ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mempertemukan alumni ILT-HM dari berbagai angkatan dan mempertemukan alumni dengan ekspert dari Jerman sehingga terjalin hubungan komunikasi antar-alumni yang lebih kuat untuk peluang networking yang lebih luas dimasa mendatang. Selain itu, pertemuan ini diharapkan bisa menjadi ajang untuk meng-update perkembangan alumni, mengenai apa saja yang telah dilakukan sepulang dari training di Jerman, hasil-hasil yang didapat, hambatan dan sebagainya. Isu yang lebih spesifik dibahas pada pertemuan ini adalah hygiene di RS yang masih merupakan masalah baik di negara maju seperti Jerman, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.
Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari, yaitu tanggal 26-28 Juni 2014. Agar mendatangkan manfaat yang lebih luas, konferensi di hari kedua dibuka untuk umum sehingga dapat diikuti oleh non-alumni ILT-HM.
Hari Pertama, 26 Juni 2014
Konferensi hari pertama ini ditujukan khusus untuk alumni ILT-HM yang akan membahas tentang isu hospital hygiene dengan narasumber dari Jerman dan RSUP Dr. Sardjito. Pertemuan dibuka oleh DR. Dr. rar.med Istiti Kandarina mewakili Prof. Dr. Adi Utarini, MSc, PhD (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Kerjasama). Dalam sambutannya, Dr. Istiti menyambut gembira kegiatan ini sambil mengenang waktu selama 17 tahun yang dilewati di Stüttgart Jerman dalam rangka meneruskan pendidikan dan penelitiannya.
Pada konferensi hari pertama ini, pembicara utama, yaitu Prof. Dr.med Axel Kramer mengawali materi dengan informasi mengenai Universität Greifswald tempatnya bekerja dan Kota Greifswald yang merupakan kota kecil di Jerman. Prof. Kramer adalah seorang ahli hygiene and environmental medicine yang telah memimpin Institute for Hygiene and Environmental Medicine sejak tahun 1990. Sebagai seorang peneliti yang sangat aktif, Prof. Kramer telah menghasilkan 52 hak paten, hampir 400 tulisan di jurnal ilmiah lebih dari 200 tulisan ilmiah dalam textbooks, monograf dan serial serta 63 paragraf scientifik pada berbagai proceeding konferensi, brosur dan sebagainya. Seluruhnya dalam bidang yang digelutinya tersebut hingga sekarang. Dengan konsistensinya dalam bekerja, Prof. Kramer sangat menguasai masalah hygiene dan lingkungan medis.
Salah satu fakta mengejutkan yang diungkapkan oleh Prof. Kramer melalui presentasi materinya di konferensi ini adalah bahwa pasien dan staf RS merupakan sumber utama mikroorganisme yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial. Dalam hal ini, tangan memegang peranan sangat penting dalam mentransmisi kuman penyebab infeksi. Meskipun ada risiko dari sisi pasien yang tidak dapat dicegah, misalnya karena usia, terlalu lama dirawat di RS dan sebagainya, namun ada juga berbagai faktor non-pasien yang perlu diwaspadai, misalnya perubahan resistensi kuman.
Pada sesi ini, Prof. Kramer memaparkan berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan telah dipublikasi dalam berbagai bentuk tulisan ilmiah. Misalnya kuman MRSA yang menempel dipermukaan suatu benda menurut hasil penelitiannya ternyata dapat bertahan hidup dari 7 hari hingga 1 tahun. Jadi jika peralatan di OK dibersihkan secara kurang seksama, ada kemungkinan kuman yang tertinggal masih bisa berkembang biak jika akhirnya menempel pada organ tubuh pasien yang sedang dioperasi.
Prof. Kramer juga memaparkan mengenai peran tangan yag sangat potensial sebagai penyebar kuman. Oleh karena itu, klinisi harus membersihkan tangan secara seksama sebelum dan sesudah menyentuh pasien. Berbagai cairan pembersih memiliki tingkat efektivitas sendiri-sendiri. Memahami sifat dan kandungan senyawa pembersih akan bermanfaat dalam memutuskan penggunaannya secara efektif dan efisien.
Pada siang hari, peserta diajak untuk mengunjungi RSUP Dr. Sardjito untuk melihat langsung bagaimana praktek hospitak hygiene di RS di Indonesia. Selain karena faktor lokasinya yang berdekatan dengan kampus FK UGM, RS ini juga merupakan salah satu RS Pendidikan terbesar di Indonesia yang sedang mempersiapkan diri untuk akreditasi (JCI). Oleh karenanya, berbagai prosedur termasuk dalam implementasi hospital hygiene diharapkan sudah sesuai dengan standar yang berlaku. Setelah peserta diterima oleh direksi RSS dan disajikan informasi mengenai RS serta penanganan infeksi, peserta lalu diajak berkeliling ke beberapa unit pelayanan, antara lain perawatan TB, perawatan kanker anak, IGD dan CSSD. Pada kesempatan ini, selain menerima kunjungan peserta konferensi, RSS juga bisa mendapat masukan berupa komentar maupun tips sederhana dari Prof. Kramer untuk meningkatkan efektivitas upaya pengendalian infeksi di RS ini. Salah satu tips yag bermanfaat adalah penggunaan masker pada ruang perawatan pasien TB. Di RSS, untuk pasien MDR TB, petugas RS dan pengunjung menggunakan masker jenis N95 untuk mencegah penularan dari pasien. Menurut Prof. Kramer, hal ini kurang bermanfaat, karena kuman masih bisa menembus pori masker tersebut. Yang lebih tepat adalah menggunakan masker jenis N99, namun harganya sangat mahal. Oleh karenanya, dua layers masker bedah biasa bisa digunakan untuk menggantikan N99 yang lebih efektif dibandingkan dengan N95.
Hasil kunjungan diberbagai instalasi pelayanan klinik RSS kemudian dibahas setelah peserta kembali ke ruang konferensi di FK UGM. Diskusi menjadi lebih menarik saat para peserta secara aktif mengemukakan pendapat atau pertanyaan kepada Prof. Kramer. Sebagai contoh, salah satu yang dibahas adalah penggunaan pintu. Menurut Prof. Kramer, penggunaan udara bertekanan positif untuk mencegah infeksi memerlukan biaya tinggi. Lebih efisien jika daun pintu yang digunakan adalah pintu geser, bukan pintu dorong, untuk mencegah udara dalam ruangan bergerak terlalu banyak saat ada petugas keluar-masuk ruang perawatan.
Hari Kedua, 27 Juni 2014
Konferensi hari kedua ini diikuti oleh umum (manajer RS, tim PPI RS, dosen, peneliti, mahasiswa program S2 manajemen RS maupun pihak lain yang berminat) dengan menghadiri langsung di ruang konferensi. Selain itu, konferensi di hari kedua ini disiarkan juga secara live-streaming melalui di website www.manajemenrumahsakit.net. Pada konferensi ini, tema yang dibahas lebih umum, yaitu bagaimana good practice maupun tantangan implementasi patient safety di RS, baik di Indonesia maupun di Jerman. Hasil kunjungan ke RSUP Dr. Sardjito pada hari sebelumnya akan menjadi salah satu contoh kasus yang didiskusikan disini.
Pada sesi pagi hari, Prof. Kramer memaparkan bahwa seharusnya toleransi terhadap terjadinya infeksi nosokomial di instalasi rawat jalan adalah nol (0). Namun disisi lain ada tantangan berupa meningkatnya resistensi kuman serta meningkatnya resistensi dan imunitas penduduk. Di Jerman pun hal ini masih menjadi masalah. Oleh karenanya, yang terpenting menurut Prof. Kramer adalah mengembangkan safety culture di RS, yang akan memungkinkan setiap usaha memerangi infeksi nosokomial mendapat perhatian cukup. Disadari bahwa pengendalian infeksi di RS merupakan tugas yang berat, sehingga staf yang diberi tanggung jawab untuk hal ini harus memiliki kompetensi khusus. Kompetensi ini diperoleh melalui spesialisasi (dokter, perawat) dan training.
Sesi ini menajdi semakin menarik dengan adanya tayangan video (link ke videonya, jika memungkinkan) mengenai bagaimana penularan infeksi dapat terjadi di RS dan bagaimana mencegahnya. Pada video tersebut, Prof. Kramer dengan jelas menunjukkan potensi-potensi terjadinya infeksi khususnya pada luka operasi, dan bagaimana kekurangwaspadaan klinisi yang sedikit saja bisa berakibat fatal bagi pasien.
Selain Prof. Kramer, narasumber lain yang juga mengisi konferensi ini adalah Prof. Dr. Herkutanto, SpF, SH, LL.M yang merupakan Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien RS dan kebetulan juga sekaligus sebagai Ketua Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia. Dalam paparannya, Prof. Herkutanto menyampaikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari kondisi geografis, demografis hingga double burden of diseases, disamping juga masalah kurangnya sumber daya. Asosiasi RS Indonesia telah mendekralasikan patient safety sejak 2007, namun saat itu baru sebatas pembentukan komite, belum sampai pada terintegrasinya berbagai aktivitas lintas sektor. Oleh karena itu, dikembangkanlah strategi patient safety yang teridri dari strategi di level mikro, meso maupun level makro.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Prof. Kramer, Prof. Herkutanto juga menekankan pada pentingnya mengembangkan budaya keselamatan pasien yang didorong oleh budaya organisasi. Sementara itu, budaya organisasi bisa dibentuk dan diarahkan jika ada leadership di aspek klinis maupun manajemen RS.
Pada sesi siang hari, para alumni menyajikan hasil kegiatannya di tempat kerja masing-masing, sebagai bagian dari upaya berbagi informasi terkini mengenai alumni. Ada lima presenter yang dipilih yaitu:
1) I Ketut Suarjana (FK Unud Bali) dengan paper berjudul Performance standard as the basis of performance based payment system
2) AA. Gede Raka Dharmasemaya dengan paper berjudul Empowering hospital training unit for staff development in Sanglah Central Hospital, Bali
3) Diah Irmawati Sari Hasibuan (Eka Hospital) dengan paper berjudul Implementation of Hospital Information System
4) Fachriah Syamsuddin (Kementerian Kesehatan) dengan paper berjudul Pharmaceutical Services in Indonesia; facing Universal Health Coverage
5) Muhammad Syarif Hidayatulloh (konsultan swasta) dengan paper berjudul Implementing Quality Management System in Puskesmas X, East Kalimantan Province based on ISO 9001:2008
Hari Ketiga, 28 Juni 2014
Pada hari ketiga ini, konferensi didesain lebih spesifik untuk alumni ILT-HM. Tujuannya adalah untuk membahas mengenai bagaimana networking antar alumni ILT-HM bisa menjadi semakin erat dan berdaya guna. Ada berbagai ide yang terlontar dari alumni, antara lain mengembangkan modul-modul pelatihan bersama. Ilmu pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat selama menempuh kursus di Jerman ditambah dengan pengalaman di tempat kerja masing-masing akan diramu sedemikian rupa sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh kalangan yang lebih luas. FK UGM akan memfasilitasi berbagai kegiatan pengembangan modul dnegan infrastruktur yang telah dimiliki (sistem/website, supporting staff dan peralatan, networking). Alumni dapat memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk mengembangkan kemampuan sekaligus menyebarkan pengetahuan secara lebih luas sebagai bentuk komitmen memajukan sistem manajemen perumahsakitan di Indonesia). (pea)
INDONESIAN-GERMAN CONFERENCE ON
HOSPITAL MANAGEMENT
Gadjah Mada University, Yogyakarta
June 25- 28 2014
(Draft) Programme
Time
Activity
Remarks
Wednesday, 25.06.2014
During the day
Arrival of alumni
Arrival and transfer to hotel
18:00 – 21.00
Getting to know each other
Venue: Hotel
Dinner
Alumni of different ILT groups meet each other
Thursday, 26.06.2014
ALUMNI DAY
Venue: Faculty of Medicine, UGM
9:00 to 9:30
Welcome and Introduction
GIZ and representative(s) of alumni
UGM Representatives: Dr. rer. nat. dr. BJ. Istiti Kandarina
(Program Manager International Master Program Public Health)
9.30 – 11.00
Workshop on Hospital Hygiene with Prof. Dr. Axel Kramer, University of Greifswald
Sesi 2 dibuka oleh Johannes Kleinschmidt (Giz), memaparkan International Leadership Training (ILT), Looking Back on Human Capacity Development in Hospital Management. Target dari ILT ialah staf RS yang bertanggung jawab pada manajemen. Tujuannya untuk mencapai pengetahuan dan kompetensi yang efektif, efisien dan sesuai yang dibutuhkan manajemen. Tahapannya: peserta melakukan persiapan di negaranya, berangkat ke Jerman, pelatihan di Jerman dan melakukan diseminasi di negara asalnya. ILT diselenggarakan di Berlin School of Economic and Law. Tema yang dipelajari yaitu Hospital management issues yang mencakup, disaster management, hospital hygiene, information system, quality management, faculty management, financial, HR, management basic and principles
Jumlah pesertanya memperhatikan gender sehingga ini cukup adil, yaitu sebanding antara laki-laki dan perempuan. Pesertanya merupakan dokter, perawat, manajer, administrator, spesialis dari daerah urban-kota, privat dan umum, serta ddari kota besar dan kota kecil. Dampaknya, untuk individual, organisasi dan system yaitu meningkatkan kemampuan manajemen dan kepemimpinan, lalu further qualification and career, serta positive changes in care for patients.
Berikut merupakan beberapa paparan apa yang sudah dilakukan alumni di daerahnya masing-masing.
Pertama, Ketut Suarjana (Puri Bunda Maternal and Child Hospital. Denpasar, Bali). Performance Standar As The Basis of performance Based payment System.
Kedua, Darmasemaya (RS Sanglah). Empowering Hospital Training Unit for Staff Development.
Ketiga, Diah Irmawati (Eka Hospital), Hospital Information System Implementation. ada dua hal yang dibahas Irmawati, yaitu Electronic Medical Records (EMR) dan Hospital Information System. Electronic medical records =: shared and used inter health unit (elektronik) dan berlaku internal. Ssementara, Hospital Information System: a whole system, manage and integrated work atau mengintegrasikan banyak tugas di RS.
Keempat, Fachriah Syamsudin (Kemenkes), Manajemen Ketersediaan Obat Melalui e-catalog. Harapannya, e-catalog ini bisa berfungsi sebagai e-purchasing sehingga alur penyediaan obat bisa akuntabel dan efisien.
Kelima, Syarif Hidayatullah (Director Partners Consultant), Quality Management System in Puskesmas, East Kalimantan. Ada sekitar 9500 Puskesmas di Indonesia, dengan rasio 1:150 atau 1 Puskesmas melayani 150 orang. Quality yang baik berasal dari dalam atau dalam Puskesmas atau dari dalam tenaga kesehatan.
Diskusi;
Prof. Johanness menyampaikan paparan Syamsudin, terlalu komplit. Kemudian Hidayatullah, ada 9500 Puskesmas yang harus dikerjakan.
Aprianto (RSUD Purbalingga) mengajukan pertanyaan untuk Irma: apakah Electronic Medical Record (EMR) dapat meningkatkan jam kerja atau overtime? Kemudian, apakah ada subsistem untuk. Untuk Fachriyah, e-catalog procurement Kemkes masih bermasalah, stok obatnya banyak yang menipis/kurang. Lalu, terlalu banyak UU tentang obat di Indonesia, siapa yang bertanggung jawab atas UU ini? Formularium Nasional -> ada generic dan tidak generic. Siapa yang bertanggung jawab atas formularium ini?
Ni Luh Putu Eka, MPH menanyakan untuk master training plan di Sanglah, bagaimana cara meningkatkan kualitas mutu?. Pertanyaan ini diajukan untuk Darmasemaya.
KetutSuarjana mempertanyakan kualitis proporsi skoring pembayaran melalui skema Formularium Nasional seperti apa? Siapa yang bertanggung jawab? Untuk Darmasemaya, mungkin perlu dilakukan training yang terkoneksi satu sama lain. Pertanyaan untuk Irma, apa inovasi yang dilakukan atau digagas untuk sistem EMR?
dr. Tiara Marthias, MPH menanyakan pada Irma, e-catalog, ini barudiberlakukan 2013, saat mencoba request obat melalui e-procurement terlambat. Lalu bagaimana? Apa evidence based e-catalog ini?
Darmasemaya memaparkan, pusat pelatihan RS Sanglah merupakan mitra dari Kemenkes standar yang digunakan ialah kualitas training harus disiapkan, dengan dokumen lengkap dan akan dimintakan akreditasi. Hal-hal yang harus dipenuhi antara lain, pelatih harus teruji kemampuan dan kualitasnya, ada manajemen training yang jelas dan materi training di- upgrade secara berkala.
Irma EMR ini memudahkan alur pemeriksaan dan kebutuhan periksa antara dokter dan pasien, lalu didukung data yang up to date, jadi bisa digunakan. Selain itu, EMR: based onpatient requirement-lebih mudah digunakan.
Fachriyah menjelaskan tentang e-catalog, jika akan megirim request obat, tinggal kontak supplier. Jadi, diharapkan sistem ini akan memudahkan banyak pihak, karena alur pengadaan obat dapat dipantau, akuntabel dan efisien. E-catalog ini diharapkan akan selesai disempurnakan dan siap digunakan pada Juli 2014. E-catalog mengacu pada Surat Edaran Kemenkes No167 Tahun 2014, terkait pengadaan dalam hal obat yang dibutuhkan jika tidak terdapat dalam e-catalog, maka penyedia layanan dapat mengusahakannya secara manual. Hal ini didukung dengan regulasi, yaitu Perpres No 70 tahun 2012 tentang pengadaan obat secara manual. Kemudian untuk Fornas, sudah disusun oleh expert, core team, review team, standingcommittee, serta selalu dievaluasi tiap 3 bulan.
Aprianto menambahkan saran untuk Kemenkes, jika ingin mengubah peraturan, mohon lebih dipersiapkan, agar tidak membuat terkejut pihak-pihak terkait. Prof. Johannes menutup acara dengan kesimpulan, pertemuan ini sangat bermanfaat, semoga menambah pengetahuan dan networking para peserta.
Seminar Hygiene di RS, merupakan kerja sama antara MMR UGM dan GIZ Jerman, PKMK FK UGM ikut mendukung terselenggaranya acara melalui streaming. Seminar ini merupakan hari kedua pertemuan para alumni yang sempat menimba ilmu ke Jerman dalam rentang waktu 2007-2014. Hari sebelumnya, yaitu Kamis (26/6/2014) telah dilakukan pertemuan khusus untuk alumni dan visit RS Sardjito untuk melihat praktek hospital hygiene di Indonesia dan Jerman, ungkap Putu Eka Andayani, MPH, Ketua penyelenggara acara. Seminar resmi dibuka oleh Wadek I FK UGM, yaitu Prof. Adi Utarini yang menyampaikan harapannya, agar para peserta dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari acara ini. Prof. Adi juga memaparkan, tahun 2009 FK UGM sempat bekerjasama dengan Giz dalam pelatihan manajemen RS di NTB dan diikuti proyek peningkatan kualitas. Program pelatihan tersebut berjalan selama tiga tahun.
Prof. Herkutanto, S.P f, SH, LLM (Komite Keselamatan Pasien Nasional) menyampaikan Kondisi Patient Safety di Indonesia. Negara Indonesia merupakan kepulauan yang memiliki populasi tinggi, daerah yang tersebar dan perbedaan budaya. Hal ini diikuti dengan kurangnya kesadaran masyarakat atas keselamatan pasien dan terbatasnya infrastruktur kesehatan. Di bidang keselamatan pasien, regulasi nasional Indonesia belum sempurna, seharusnya peraturan ini melibatkan banyak sektor dan terintegrasi.
Strategi untuk keselamatan pasien nasional diantaranya ada tiga level, makro, meso dan mikro. Makro melibatkan negara untuk menerbitkan regulasi yang mendukung, meso merangkul institusi (RS) untuk melakukan capacity building, sementara mikro (nakes) dilakukan dengan langkah capacity building untuk professional. Selain itu, hal yang belum dimiliki Indonesia ialah kurikulum dan integrasi di strategi nasional untuk keselamatan pasien.
Prof. dr. Dr. med. Axel Krammer, President of the German Association for Hospital Hygiene menyampaikan pengalaman Jerman dalam control infeksi ini. Infeksi bakteri mengancam dunia dan Jerman khususnya. Kemudian, Prof. Krammer menampilkan video menarik tentang kontrol infeksi di RS Negara Jerman. Pertama, penggunaan disinfektan untuk tangan (nakes), caranya dengan membersihkan seluruh permukaan dan telapak tangan sebelum dan sesudah kegiatan. Langkah ini dilakukan sebelum dan setelah memeriksa pasien, saat akan melakukan aktiivitas antiseptik, saat akan memasuki area resiko tinggi dan setelah terkontaminasi zat atau dari ruangan tertentu.
Bakteri yang sering ‘berkeliaran’ di udara ialah MRSA/MRSE, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Enterobacter, dan Enterococcus. Sumber infeksi ialah pasien, sumber transmisi yaitu staf RS. Namun, tangan ialah yang paling berperan dalam penyebaran bakteri pathogen ini. Sebelum operasi, tangan dokter harus dicuci dengan air, sabun dan sikat. Lalu nakes yang terlibat berganti baju khusus operasi agar bakteri pathogen tidak berpindah dari ruang lain ke ruang operasi. Baju operasi antara lain, kemeja, celana panjang, penutup kepala, masker wajah, mantel sepatu. Penggunaan disinfektan untuk operasi ialah di seluruh area tangan hingga lengan, lalu gunakan disinfektan di seluruh telapak tangan. Lalu area operasi dari tubuh pasien ditutupi obat merah. Dokter menggunakan jas operasi dan sarung tangan.
Peraturan untuk melindungi pasien dari bakteri saat operasi ialah, pertama, selalu menutup pintu operasi. Kedua, membatasi jumlah staf yang bekerja di ruang operasi. Ketiga, hindari aktivitas tidak steril yang dilakukan nakes. Keempat, produk medis yang dibutuhkan sudah disiapkan. Kelima, jaga jarak aman antara ruang operasi dan ruangan lain. Multibarrier concept tepat untuk mengurangi penyebaran bakteria/infeksi ini. Ceklist pencegahan penyebaran bakteria. Staf Kontrol Infeksi, 1:400 pasien untuk dokter dan 1:150 pasien untuk nakes lainnya. Ada pula teknisi untuk melakukan pengolahan limbah air, alat kesehatan dan lainnya.
Persyaratan training tenaga control infeksi di Jerman. Special of hygiene and environmental medicine: pengalaman 5 tahun di spesialisasi dan subspesilaisasi control infeksi. Dokter control infeksi: dokter spesialisasi tertentu dan pengalaman 2 tahun dengan subspesialisasi melalui kursus 5 minggu. Lalu diikuti beberapa tingkatan lainnya, antara lain: IC link physician, IC nurse, IC link nurse, bachelor/master of hospital hygiene.Strategi kontrol infeksi, proaktif: langkah preventif dan reaktif: analisis proses epidemologi dengan surveillance dan outbreak management. Higienitas (kebersihan) bukan apa-apa, namun tanpa higienitas semuanya bukan apa-apa.
Diskusi
Fachriyah menanyakan dua hal, pertama, UU tahun 2002 tentang resistensi antibiotik belum direvisi, bagaimana sebaiknya?. Kedua, untuk Prof. Krammer: apakah ada residual dan microbial materi dari RS, apakah di Jerman ada regulasi yang mengatur hal ini?
Nurul, manajemen RS UGM: Dokter di Indonesia menggunakan jasnya kemanapun mereka pergi, bagaimana dengan ini? Yusi, RSUD Purbalingga, bagaimana praktisi mengubah perilaku pasien di Jerman untuk peduli terhadap control infeksi ini?
Prof. Herkutanto memaparkan, sedang disusun UU yang mengatur resistensi antibiotik. Prof. Krammer menerangkan seputar strategi antibiotik, di tiap RS, ada panduan anitbiotik guideline, mikrobiologi, terhadap tim control infeksi namun hal ini dilakukan dengan melihat kondisi RS itu senidiri. Jas dokter juga menjadi masalah di Jerman, mereka memakai jas dokter kemanapun pergi (keluar masuk RS) sehingga guidance-nya tidak diikuti. Jika jas digunakan untuk status social, lupakan saja, mari kita mulai memikirkan tentang kesehatan dan keselamatan pasien. “Lalu, saya ingin menanyakan pada Prof. Herkutanto, spesialis control infeksi dilatih berapa lama di Indonesia?”, ungkap Prof. Krammer. Kemudian, Prof. Herkutanto meminta pendapat pada para peserta karena kurang mengetahui persis proses pelatihannya.
Kemudian, dr. Andaru dari Komite Kontrol Infeksi RS Sardjito memaparkan jika ada sekitar 4 minggu untuk melatih tenaga control infeksi dengan materi khusus. Serta Kemkes menyediakan pelatihan dua minggu untuk tim regular yang bertugas di RS. Prof. Herkutanto menegaskan bahwa sampai sekarang belum ada program khusus, ke depan akan kami susun untuk tema ini karena penting.
Digta Ginting (RS Wahidin S, Makassar) menanyakan kebijakan untuk penggunaan alat medis yang single use dan reuse alat medis di RS. Lalu menurut Komite Nasional untuk Keselamatan Pasien, mana yang higienitasnya paling baik? RS pemerintah, swasta atau yang lainnya?
Raka Semaya (Pelayanan Kesehatan Dinkes Bali) menanyakan menurut paparan Prof. Herkutanto, patient safety dilakukan dari atas-bawah jika tanpa koneksi, itu impossible. Strategi partner yang dipilih: makro, mikro, meso, untuk tiap strategi, mengapa tidak ada training resmi dari Kemkes/training per provinsi? Sehingga kita mampu lebih baik menjaga patient safety.
Prof. Herkutanto menjawab beberapa, yaitu kebijakan single use dan reuse alat medis, perlu dikaji ulang untuk menetapkan standar jika multi use bisa digunakan secara aman. Namun, ini kebijakan yang sulit, di sistem kita alat medis dikenakna pajak tinggi dari Kemenkeu. Kemudian, untuk RS vertical, karena dibiayai Kemenkes, maka Kemenkes berkomitmen untuk memberikan mutu dan standar tinggi. Lalu untuk RS swasta ada mekanisme control tertentu untuk standarisasi. Hal ini tidak mudah untuk mengubah budaya RS, 220 budaya yang berbeda, jadi masih dicari yang tepat. Jawaban kuncinya ialah kepemimpinan yang kuat untuk menjaga kualitas patient safety. Kemudian untuk network strategi makro-mikro-meso tadi, Komite Keselamatan Pasien akan mengusulkan patient safety masuk dalam kurikulum pendidikan dokter. Prof. Krammer menimpali, untuk training control infeksi tidak cukup jika hanya 1 minggu mati.
Heri (RS Doris Silvanus, Palangkaraya), menyampaikan pendapatnya yaitu quality health service kita mahal, kita mempunyai skema JKN, namun biayanya tidak ada untuk hospital hygiene. Jadi, seharusnya biaya untuk quality ini masuk. Arif Rahmat (RS Kariadi. Semarang), menanyakan ada beberapa komponen patient safety berapa banyak parameter untuk patient identification? Kemudian, untuk Prof. Herkutanto, hal yang harus kita harus menegaskankomunikasi efektif di RS. JKN kita ada limit budget, di sisi lain ada quality services dalam standar kita, apa saran terbaik untuk masalah ini?
Arashinta Putri Hapsari (Unair, Surabaya), untuk anti micro biomedical test: untuk tesnya hanya satu hari, namun butuh 3-7 untuk melihat hasil tesnya. Bagaimana cara mempercepat ini? Namun, test ini mahal untuk pasien, mana antibiotic yang bisa kita gunakan?
Prof. Herkutanto menjawab, jika harus memilih, akses untuk layanan atau kualitasnya? Jawabannya, seharusnya kualitas layanan diutamakan juga. Prof. Krammer:ini untuk hasil tes , perlu diketahui normal kondisi di RS, ada kekhawatiran terlambat untuk daignosisnya. Usahakan dalam 1 hari diagnosis bisa terbaca, untuk keselamatan pasien. Selain itu, harus ada kalkulasi budget untuk quality health service ini.
Reportase Rakernas Asosiasi Rumah Sakit Daerah 2014
HEBOH JKN DI RS DAERAH
Semarang, 11-13 Juni 2014
Semarang – PKMK. Tema yang diangkat dalam Rakernas ARSADA tahun ini sangat relevan dengan isu nasional, sehingga ditunggu oleh banyak pihak. Ini dibuktikan dengan padatnya ruang seminar yang dipenuhi oleh peserta dari berbagai daerah yang mengikuti seminar sejak hari pertama hingga terakhir dengan antusias. Selain materinya yang sedang menjadi trending topic dikalangan tenaga kesehatan, para pembicara merupakan tokoh-tokoh nasional yang berasal dari unsur pemerintah (pusat dan daerah), Pimpinan RS Daerah, Perguruan Tinggi hingga lembaga penegakan hukum (KPK).
Pada pembukaan Rakernas, Dr. Kuntjoro A. Purjanto selaku Ketua Umum ARSADA Pusat dalam sambutannya mengatakan bahwa seorang direktur RS memiliki peran yang berisiko tinggi. Jika tidak ada aturan yang jelas, direktur bisa merangkap sebagai calon tersangka. Menurutnya ada tiga hal kunci yang bisa menyelamatkan direktur RSUD dari jeratan hukum, yaitu: melaksanakan PPK-BLUD, menerapkan Akreditasi versi 2012 dan melaksanakan JKN. Peran ARSADA Pusat dalam hal ini sangat besar, dimana para pengurusnya juga aktif dalam berbagai kegiatan advokasi pada pemerintah. Contohnya, Dr. Heru Ariyadi, MPH yang merupakan Sekjen ARSADA Pusat aktif di PERSI untuk hal-hal yang berkaitan dengan JKN. Dr. Kusmedi yang juga merupakan Direktur RSUD Tarakan Jakarta aktif dalam memberikan advokasi mengenai revisi tarif INA-CBGs. Tantangan dari Gubernur Jawa Tengah untuk menjadikan Jateng sebagai model pelaksanaan JKN disambut baik oleh ARSADA Pusat.
Ke depannya ARSADA Pusat akan mendorong RSUD untuk lebih memanfaatkan teknologi komunikasi. Kemenkes akan memberikan fasilitas VSat utk 550 RSUD, untuk mendekatkan jarak geografis yang sangat jauh. Seminar ini juga disiarkan melalui webinar yang dapat diikuti oleh staf di RSUD melalui website arsada.org. Hal ini dapat dilakukan karena adanya kerjasama dengan PKMK FK UGM. Selain JKN, sebenarnya akan ada perubahan lain dari aspek regulasi. RSUD harus pandai menyikapi perubahan, dengan menggunakan mind set baru, dimana perubahan harus bisa menjawab kebutuhan sampai di level teknis.
Quality, service, mindset menjadi tantangan untuk mengembangkan perumahsakitan di Indonesia, menurut Wakil Gubernur Jawa Tengah, Heru Sudjatmoko, yang memberikan key note speaking. Perubahan paradigm mendasar khususnya perubahan dari fee for service ke prospective payment, dimana semua RS harus “menyesuaikan diri”. Menurut Heru, ada disparitas pelayanan antara perkotaan dan pedesaan. Kinerja pelayanaan kesehatan dinilai belum mampu menjawab sepenuhnya tuntutan masyarakat. Kualitas pelayanan medis dan layanan rujukan belum optimal khususnya yang esensial dan parpurna. Yang tidak kalah krusialnya adalah masalah keterbatasan distribusi tenaga kesehatan.
Pertanyaan pentingnya adalah: apakah mau berubah atau menjadi korban perubahan itu sendiri? Dalam proses perubahan ini, para manajer RS mengalami konflik kepentingan terkait dengan terbatasnya PBI, perubahan prosedur pelayanan dari Askes, Jamsostek dan sebagainya menjadi BPJS. Dilain pihak, imbalan yang diterima para praktisi kesehatan tidak sesuai dengan masa lampau atau tidak mendapat imbalan jasa yang layak. Ini bisa mengganggu pelaksanaan JKN khususnya di RSD ynag merupakan pelaksana terbesar. Perubahan ini harus diikuti oleh segenap hospitalia, manajer RS harus mampu mengendalikan biaya dan tetap menjaga mutu pelayanaan. Ini adalah konsekuensi logis JKN sesuai UU SJSN, UU tentang BPJS dan beberapa regulasi teknis terkait lainnya.
Untuk mengikuti video seminar, silahkan klik link sesuai dengan sesi yang ingin diikuti pada jadwal di bawah ini.
WAKTU
MATERI
PEMBICARA
MODERATOR
Rabu, 11 Juni 2014
08.00 – 10.00
Pendaftaran Peserta
10.00 – 11.00
Pembukaan
Tari Selamat Datang
Lagu Indonesia Raya
Mars ARSADA
Do’a
Laporan Ketua Panitia OC
Sambutan Ketua Umum PP ARSADA
Sambutan dan Pembukaan oleh Gubernur Jawa Tengah
11.00 – 12.00
Key Note Speaker : Peran Pemerintah Daerah dalam Penganggaran Kesehatan di era JKN
Gubernur Jawa Tengah : Bpk. Ganjar Pranowo
Lagu Bagimu Negeri
Pembukaan Pameran
12.00-13.00
ISHOMA
Seminar 1 :Heboh JKN : Sampai Kapan ?
13.00 – 13.30
Pelaksanaan JKN : Problematika dan Skenario Revisi Kebijakan
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Moderator :
DR dr Slamet Riyadi
Yuwono, DTMH, MARS
Co Moderator :
Ketua ARSADA Wilayah
13.30 – 14.00
Pengelolaan Keuangan Daerah terkait dengan Pelaksanaan JKN
Direktur Jenderal Keuda Kemendagri
14.00 – 14.30
Kewajaran Jasa Profesi pada Tarif INA CBG’s
Prof dr I. Oetama Marsis, SpOG(K) (Wakil Ketua PB IDI)
14.30 – 15.00
Keselamatan Pasien dalam Implementasi JKN
Dr. Adib A Yahya, MARS
15.00 – 16.00
Diskusi
16:00 -16:45
Strategi Transformasi Manajemen RS di era JKN
dr. Hanna Permana Subanegara, MARS (Penasehat ARSADA)
Moderator : dr. Nonot Mulyono, MKes
16.45 –
Istirahat
19.00 – 21.00
Welcome Party
Kamis, 12 Juni 2014
Seminar II :Mungkinkah JKN Membuat RS bangkrut ?
Moderator :
Dr Umar Wachid, SpP
Co Moderator :
Ketua ARSADA Wilayah
09.00 – 09.30
Penyusunan Tarif INA CBG’s : antara Konsep dan Realita
Prof dr. Syed Mohamed Aljunid, MSc, PhD
09.30 – 10.00
“Hollow” Pelaksanaan JKN
Prof dr Hasbullah Tabrany, MPH, Dr.PH
10.00 – 10.30
Kendali Mutu dan Kendali Biaya dengan Penanganan yang Tepat terhadap Infeksi dan Sepsis
dr. Oloan Tampubolon, SpAn, KIC, MHKes (PERDICI)
10.30 – 11.00
Prioritisasi Program dan Kegiatan Bidang Kesehatan di Provinsi Kaltim pada Era JKN
Dr. H. Awang Faroek Ishak
11.00 – 12.00
Diskusi
12.00 – 13.00
ISHOMA
13.00 – 14.00
Mungkinkah Rumah Sakit untung tanpa Fraud
DR. Anastasia Susty Ambarriani.,MSi.,AK.,CA
Moderator : dr. Sutirto Basuki SpKK, MKes
Seminar III :Transformasi Manajemen RSD di era JKN
14.00 – 14.30
Manajemen Mutu vs Tarif JKN
dr Andreasta Meliala, MKes, MAS, DplPH
Moderator :
Dr Nur Abadi, MM, MSi
Co Moderator :
Ketua ARSADA Wilayah
14.30 – 15.00
Strategi Akreditasi Rumah Sakit Daerah di era JKN
Dr. dr. Sutoto, MKes
15.00 – 15.30
Keputusan Manajerial RS dihadapkan pada Keputusan Medis dalam JKN di RSUD Tarakan Jakarta
dr Kusmedi Priharto, SpOT, M.Kes
15.30 – 16.00
Keputusan Manajerial RS dihadapkan pada Keputusan Medis dalam JKN di RSUD Embung Fatimah Batam
Dr. drg. Fadilah RD Malarangen
16.00 – 17.00
Diskusi
17.00 – 19.00
Istirahat
19.00 – 21.00
RapatKerja ARSADA :
Program Kerja
Revisi PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, MKes (Ketua Umum PP ARSADA)
Dr. dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTMH, MARS
Jumat, 13 Juni 2014
Seminar IV : Heboh JKN : Mencari Bentuk Hubungan Manajemen – Komite Medik – BPJS
08.00 – 08.30
Kesenjangan Proses Verifikasi vs Audit Medik
Prof dr Paul Tahalele SpBTKV (K) (Ketua IKABI)
Moderator :
Dr. Hanny Rono Sulistyo, SpOG(K), MM
Co Moderator :
Ketua ARSADA Wilayah
08.30 – 09.00
Dilema Fornas : antara Konsep dan Implementasi JKN
Prof dr Iwan Dwi Prahasto, M.MedSc, PhD
09.00 – 09.30
Koordinasi Konstruktif dalam Penyelesaian Masalah Pelayanan JKN
DirekturUtama BPJS
09.30 – 10.00
Peran Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dalam Membangun Harmonisasi Sistem Rujukan dalam Mensukseskan JKN
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
10.00 – 11.00
Diskusi
11.00 – 13.30
Ishoma
Seminar V : Pemahaman Fraud dan Moral Hazards : Sudah Samakah ?
13.30 – 14.00
Fraud dalam JKN : Kesempatan dan Pencegahannya
Prof dr Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Moderator :
Dr Heru Ariyadi, MPH
Co Moderator :
Ketua ARSADA Wilayah
14.00 – 14.30
Moral Hazards dalam JKN : Kesempatan dan Pencegahannya
Prof dr Budi Sampurna, DFM, SpF(K), SH
14.30 – 15.00
Jenis-jenis Fraud dan Pencegahannya dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Daerah pada era JKN
Komisi Pemberantasan Korupsi
15.00- 15.30
Deteksi Dini Fraud di RSD pada era JKN
Badan Pemeriksa Keuangan & Pembangunan
15.00 – 16.00
Diskusi
16.00 – 17.00
Penutupan
Ketua Umum ARSADA
Pada Rakernas ini, ARSADA Pusat juga menyelenggarakan pameran berbagai produk industri dan jasa yang mendukung pelayanan di RS. PKMK FK UGM berpartisipasi dalam pameran ini dengan membuka stand konsultasi manajemen RS yang diselenggarakan atas kerjasama dengan ARSADA Pusat. Pada stand ini, selain memberikan masukan-masukan atas masalah yang disampaikan oleh pengunjung, PKMK juga mensosialisasikan berbagai kegiatan seminar dan pelatihan bagi RS yang dilakukan melalui media internet. Kelebihan dari metode ini adalah seminar dan pelatihan dapat diikuti dari mana saja dan kapan saja, sepanjang ada sambungan internet. Oleh karena itu, program ini sangat tepat bagi para pengelola RS yang tidak memiliki waktu atau anggaran cukup untuk mengikuti pelatihan secara face-to-face di Yogyakarta.
Banyak dari seminar yang disiarkan melalui live streaming di berbagai website yang dikelola oleh PKMK (termasuk website arsada.org, manajemenrumahsakit.net dan mutupelayanankesehatan.net) yang dapat diikuti secara gratis tanpa biaya registrasi. Ini merupakan bentuk pengabdian PKMK sebagai bagian dari civitas academica UGM terhadap masyarakat.
Komitmen ini ditunjukkan dengan semakin memperbaiki sistem seminar dan pelatihan jarak jauh dan terus menerus mensosialisasikannya pada masyarakat perumahsakitan agar dapat dimanfaatkan secara optimal.
Tim reportase:
Berita & Foto : Putu Eka Andayani
Cameraman: Margono
Video Editor & Live Streaming/Webinar Technician: Lilik Haryanto
Dr. Intan Farida Yasmin
Putu Eka Andayani, SKM, MKes
Seminar diadakan di Fakultas Kedokteran UGM pada Rabu, 23 April 2014, dengan tema “Reformasi Pengorganisasian Rumah Sakit”. Seminar ini dihadiri oleh tim PKMK UGM, ARSADA, Litbangkes, Dinkes DIY, perwakilan dari beberapa RS Daerah, dan juga oleh para mahasiswa KMPK serta diikuti pleh para pemerhati kesehatan di seluruh Indonesia melalui streaming dan webinar. Seminar dibuka oleh Dekan FK UGM, Prof. Dr. Teguh Ariyandono Sp.B(Onk)K yang menyatakan apresiasinya kepada acara ini.
RS mengalami evolusi dari PNBP menjadi Swadana dan kemudian menjadi lembaga BLU. Perubahan menjadi Lembaga BLU ini bukan berarti privatisasi (memilik otonomi penuh) melainkan korporatisasi, dengan memberikan otonomi seluruhnya atau sebagian pada beberapa aspek manajemen. Namun otonomi bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, melainkan harus ada sistem pengawasan mutu pelayanan dan hukum untuk RS dikaitkan dengan tugas Dinkes dan Ditjen BUK sebagai fungsi regulator. Nantinya, diskusi-diskusi seperti ini akan dibawa ke Jakarta sebagai bahan advokasi pada pemerintah. Demikian disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantono, MSc, PhD dalam membuka pertemuan ini.
Berdasarkan PP 38 dan 41 thn, 2007, RS bukan lembaga birokrasi dan memerlukan perizinan sama seperti RS Swasta yang berorientasi terhadap mutu dan keselamatan pasien yang tetap patuh regulasi yang ada sehingga tidak bertindak seenaknya sendiri. Regulasi yang dimaksud di sini adalah Kemenkes selaku pemerintahan pusat dan juga Pemda dan Dinas Kesehatan selaku pemberi ijin RS di daerah. Definisi pengawas RS harus diperjelas agar tidak ada dualisme fungsi. Dengan adanya penerapan sistem JKN ini, peran kuat Dinkes sebagai pengawas baik RS Pemerintah dan RS swasta diperlukan untuk menjamin setiap klaim yang diajukan benar adanya dan menghindari fraud. Hal ini menjadi sulit dengan adanya BPJS yang sebenarnya bukan lembaga kesehatan tapi seakan mengatur langsung RS Pemerintah karena BPJS membiayai pelayanan kesehatan yang dilakukan RS Pemerintah. Pada akhirnya RSD diharapkan bukan sebagai UPTD Dinkes yang mandiri dalam pengelolaan namun tetap bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan. Selain peran dari Dinkes, perlu penguatan peran Ditjen BUK sebagai pengawas eksternal RS Pemerintah.
Putu Eka Andayani, SKM, Mkes kemudian menyampaikan tentang Evaluasi Pelaksanaan BLUD: Studi Kasus di 5 RSUD. RS Daerah mengalami tantangan baru dengan adanya sistem jaminan kesehatan yang baru terutama dalam memenuhi kebutuhan pengguna yang dinamis, bersaing dengan RS swasta dan RS LN serta beradaptasi dengan regulasi yang baru. Studi kasus dilakukan di 5 RS Daerah di Bantul, Yogyakarta, Sleman, Magelang, dan Banda Aceh mengenai pengelolaan RS tersebut setelah perubahan RSD menjadi BLUD. Hasil penelitiannya adalah RSD sudah mandiri dalam pengelolaan administrasi dan manajemen strategis seperti perencanaan dan penggunaan anggaran. Pengelolaan yang belum mandiri adalah SDM, pembelian dan keuangan. Studi ini juga menemukan bahwa diperlukan Dewan Pengawas (Dewas) yang bertugas memberikan masukan dan rekomendasi kepada RSD, meskipun juga ada beberapa RSD yang merasa keberadaan Dewas masih belum efektif. Untuk kedepannya diharapkan adanya sinkronisasi antara RSD dengan Pemda setempat dan juga peningkatkan kemampuan RSD dalam penerapan kebijakan sebagai BLUD.
Asoasiasi RS Daerah (ARSADA) Pusat yang diwakili oleh Dr. dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTPH, MKes membahas kedua materi tersebut. Menurutnya, desentralisasi menyebabkan restrukturisasi radikal di tingkat kabupaten yang perubahannya justru tidak mencapai target pencapaian, termasuk sektor kesehatan. Di tingkat mikro RS menjadi badan teknis daerah dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Perubahan RS menjadi BLUD, menurut beliau, menyebabkan performa RS menjadi semakin kuat karena bisa beroperasi sendiri tanpa harus tergantung suplai dari pusat. Apabila RSD akan diubah menjadi UPTD di bawah Dinkes maka fungsi Dinkes sebagai provider dan regulator akan tercampur aduk sehingga good governace susah diwujudkan. Sebaiknya peran Dinkes ini diperkuat sebagai regulator dan kordinator.
Adanya pengawas untuk pelaksanaan sistem JKN di RSD juga harus diperjelas untuk menghindari fraud. Dinkes sangat diharapkan dapat berperan dalam pengawas sistem JKN di daerah. Pengelolaan RSD harus sangat efektif dan efisien agar tetap bisa memberikan pelayanan yang bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien dengan anggaran yang terbatas.
Dalam sesi diskusi terdapat beberapa pertanyaan menarik dari peserta, yaitu bagaimana pengelolaan Dinkes jika RSD menjadi UPTD. Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Kuntjoro A. Purjanto, MKes yang juga hadir selaku Ketua ARSADA Pusat. Menurutnya, beberapa daerah merasa bahwa yang perlu dikuatkan adalah puskesmas, bukan RS. Namun dibeberapa daerah lain yang ingin dikuatkan dan diperbanyak adalah RS-nya. Hal yang perlu digarisbawahi adalah membangun RS menjadi semakin mandiri dalam membayai pengelolaannya tanpa harus tergantung Pemda.
Menurut Dr. Heru Ariyadi (Sekjen ARSADA Pusat), seharusnya tidak terjadi persaingan antara RSUD dengan swasta jika regulator dan operatornya kuat. Karena kalau bersaing dengan sesama RS dalam negeri, RS tidak akan pernah bisa fokus untuk bersaing dengan RS luar negeri. Jadi tidak ada matahari kembar (Dinkes dan RSD), namun matahari dan bulan (saling melengkapi).
Drg. Agung dari RSUD Wates mengangkat kasus di RS-nya, dimana berdasarkan pada Permendagri 61/2007, Pemda boleh untuk menggunakan surplus yang berasal dari RS. Saat ini RSUD Wates hanya menerima hampir 50% gaji pegawai karena 50% lainnya adalah SDM yang direkrut sendiri oleh RS. Dari APBD RSUD Wates hanya menerima DAK 120 juta (10%), selebihnya tidak menerima apapun. Untuk investasi sebagian besar menggunakan pendapatan BLUD. RSUD yang BLUD didorong untuk rekrut SDM sendiri karena lebih mudah dikelola. Pemahaman antara Pemda sendiri masih berbeda-beda. Terkait dengan JKN, surplus tidak ada karena ada penafsiran atas dua nilai yaitu tarif INA-CBGs dan tarif PERDA. Kalimat surplus bisa bias dan menurutnya bisa membuat “perang saudara”.
Prof. Laksono menyampaikan bahwa perlu ada perhitungan yang teliti dan detail untuk perputaran keuangan RSD terutama setelah penerapan sistem JKN ini. Apakah klaim INA-CBGc termasuk dalam investasi atau penggajian atau pengoperasian? Hal ini harus diperjelas karena pendapatan RSD yang masuk ke APBD sangat tergantung pada penggunaannya dan akan sangat disayangkan jika pendapatan RSD yang masuk APBD itu malah digunakan bukan untuk pembangunan kesehatan daerah.
Tarif Perda tidak sesuai dengan tarif dari pemberi jaminan (BPJS) menurut Putu Eka, sehingga tidak mencakup biaya investasi, dan sebagainya. Menurutnya, banyak RSD memiliki tarif Perda lebih rendah dari tarif INA-CBGs sehingga seakan-akan BPJS yang memberikan subsidi ke Pemda. Dr. Kuntjoro menambahkan bahwa cara pandang Pemda yang berbeda menjadikan kegagalan regulasi RS. Pemda seharusnya mengangkat pengawas RS yang cakap dan mengerti tentang pengelolaan RS dan tidak selaiknya Kepala daerah yang menjadi pengawas RS.
Peserta dari RS Sragen berpendapat bahwa SDM di Dinkes harus lebih menguasai tentang pengelolaan RS agar bisa meregulasi dan membina RS. Ia menambahkan bahwa harus ada kualifikasi yang jelas dari Kadinkes yang tidak tergantung dari Pemda meskipun keselarasan dari pusat dan daerah sehingga RS tetap harus dibangun. Semua ini guna menguatkan figur Dinkes agar tidak berperan sebagai kontraktor saja.
Sesi kedua seminar ini dilanjutkan oleh materi dari DR. Dra. Anastasia Susty Ambarriani, SE, AC, Ak. mengenai apakah RS akan menjadi untung dengan adanya BPJS. Opini muncul dari banyak RS pemerintah namun disangkal oleh RS swasta. Apa yang dimaksud dengan untung disini? Apakah karena tarif lebih tinggi dari tarif sebelumnya? Atau karena rekayasa/fraud? Dari data sebuah RS X, ada kesenjangan yang nyata antara klaim INA-CBGs dengan pengeluaran RS yang ternyata setelah ditelusuri lebih lanjut hanya memperhitungan pengeluaran biaya langsung saja (berdasar variabel) saja sementara biaya tidak langsung seperti pemeliharaan sarana dan prasarana RS belum diperhitungkan. Hal ini membuktikan bahwa sistem informasi akuntansi RS masih perlu dibangun untuk bisa menganalisis dengan komprehensif dalam perhitungan unit cost sehingga dapat mengitung pasti dampak penerapan INA-CBGs JKN.
Dr. Arida Utami, MKes selaku Kadinkes DIY membahas materi tersebut. Pelaksanaan JKN berdampak dalam peningkatan kualitas pelayanan medis dan juga efesiensi Rumah Sakit. Dalam menerapkan prinsip efesiensi yang harus dipenuhi adalah kesiapan SDM-nya sehingga dapat membawa keuntungan kepada RS. Sistem JKN yang terkesan ribet karena kurang kordinasi dan komunikasi antara RS – masyarakat – BPJS. Sampai saat ini Dinkes DIY belum membentuk BPRS karena kesulitan mencari SDM dengan kualifikasi pemahaman RS-penjaminan-masyarakat.
Dalam sesi diskusi kedua drg. Agung dari RSUD Wates menyampaikan bahwa RSUD Wates telah dapat menerapkan prinsip efesiensi sehingga mendapat untung yang cukup besar setelah pelaksanaan JKN. Menurutnya, yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengevaluasi tarif terlebih dahulu. Jika tarif INA-CBGs hampir sama dengan tarif yang ditetapkan RS, maka “keuntungan” juga akan kecil, namun jika tarif RS lebih rendah dari tarif INA-CBGs maka keuntungan RS bisa menjadi lebih tinggi sehingga dapat lebih mandiri dalam pengoperasian harian.
Menanggapi hal tersebut, dr. Slamet mengatakan bahwa paling mudah untuk membandingkan pendapatan RS sebelum dan setelah JKN adalah dengan membandingkan pendapatan RS saat ini sebelum dan sesudah sistem JKN. Perhitungan pendapatan ini dihubungkan dengan kelompok pasien yang ditangani RS tersebut terkait dengan penerapan sistem rujukan yang sangat berjenjang pada sistem JKN.
Robert, peserta diskusi dari NTT ikut menceritakan bahwa RS di daerah perbatasan di NTT belum menjadi BLU sehingga membingungkan untuk pembayaran biaya operasional dan SDM-nya. Untuk masalah ini, dr. Arida menyarankan RS untuk bersama-sama dengan Dinkes kabupaten/provinsi mengadvokasi pemda daerah agar segera ditetapkan sebagai BLUD.
Di akhir sesi, Dra. (Apt) Selma Siahaan, MHA dari Litbangkes menyampaikan bahwa AKI tertinggi terjadi di RS berdasarkan penelitian pada tahun 2012 setelah ada penerapan Jampersal, apakah ini memang terkait mutu RS yang kurang baik? Atau ada alasan lain seperti sistem rujukan yang terlambat? Dari hasil penelitian dapat disusun rekomendasi untuk kemajuan kebijakan kesehatan. Rekomendasi tersebut antara lain adalah:
Peningkatan infrastruktur RS baik software dan hardware
Penguatan fungsi dinkes sebagai regulator dan kordinator
Reportase oleh: Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Kesimpulan Workshop-webinar
Prof. Laksono memberikan beberapa kesimpulan antara lain dalam era BPJS siapa siap dan cepat bisa dapat banyak, program sister hospital bisa dikembangkan menjadi unit pengiriman residen, sistem konsultasi dan bimbingan PPDS dengan teknologi informasi berupa webinar, blended learning sebagai sarana pembelajaran dan agenda lanjutan setelah pertemuan ini.
Kemudian dilanjutkan oleh Dr.dr Sri Mulatsih, Sp.A(K) dan DR. dr. Dwi Handono, MKes tentang rumusan rekomendasi kebijakan mengenai fungsi DPJP dan remunerasi untuk PPDS, bahwa pembentukan unit pengiriman residen merupakan proses panjang perubahan yang menarik, tidak mudah karena terbentur politik dan kultural. Bagaimana FK Mitra A dibantu dalam pembentukan unit pengiriman residen? Lalu AIPMNH akan membantu dalam pengadaan peralatan IT untuk webinar. Ada juga dukungan tim IT dan tenaga kontrak yang mendukung Unit Pengiriman Residen ini. Jika perlu unit ini didukung dengan SK atau yang lain.
Di akhir acara, sebagai penutup, dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD, K-HOM sebagai Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia FK UGM memaparkan bahwa JKN implikasinya bisa dipetik oleh masyarakat, tidak hanya parsial residen dan kegiatan ini sebuah awal yang baik yang harus ditangkap banyak pihak sebagai usaha yang harus diteruskan.