Pertemuan yang diinisiasi oleh ARSADA Pusat ini adalah kelanjutan dari pertemuan yang diselenggarakan pada bulan Juni lalu di Kantor Kementerian Kesehatan. Untuk mengikuti reportase dari pertemuan yang lalu, silakan klik disini. Pada saat itu sebuah tim yang menggodog konsep remunerasi untuk RS Pusat memaparkan hasil kajiannya.
Pertemuan yang diselenggarakan di Gedung F, Kementerian Dalam Negeri pada 29 Agustus 2014 ini merupakan rapat pertama yang dibuka oleh Sudaryanto, Kasubdit BLUD yang baru dilantik sehari sebelumnya, yaitu 28 Agustus 2014. Sebelumnya, Sudaryanto menjabat sebagai Kabag Perencanaan di Dirjen Penganggaran Daerah. Dalam menapaki awal karirnya, Sudaryanto ikut terlibat dalam tim yang menyusun Kemendagri No 13/2006. Ia menginginkan agar suatu ketika BPK dan pengawas lembaga publik lainnya diundang dalam satu pertemuan untuk memperoleh persepsi yang sama mengenai BLUD, termasuk remunerasi yang dapat berlaku pada BLUD tersebut.
Kemudian, pertemuan dipimpin oleh dr. Heru Ariyadi, MPH (ARSADA Pusat). Menurut dr. Heru, langkah dalam menyusun remunerasi untuk RSUD perlu dimulai dari memetakan apa saja yang terkait dalam remunerasi. Permendagri No 61/2007 dan PP terkait BLUD sudah mengatur bahwa pimpinan dan staf BLUD boleh mendapatkan remunerasi. Hal ini harus diatur secara lebih tegas agar dalam implementasinya tidak ada keraguan. Bagaimanapun juga, pemberian pelayanan publik tetap harus mengikuti aturan yang berlaku.
Dr. Heru menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
Kondisi Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang berbeda-beda. Di kawasan timur Indonesia sangat umum terjadi seorang dokter merangkap jabatan direktur sekaligus pelayanan, sedangkan di Jawa tenaga dokter melimpah.
Remunerasi merupakan satu kesatuan antara gaji, tunjangan tetap, insentif, bonus dan sebagainya. Khusus untuk RS, yang paling krusial adalah topik mengenai jasa pelayanan atau insentifnya. Dalam hal ini ARSADA Pusat meminta bantuan Dr. Hanna Permana, MARS untuk memberikan paparan mengenai filosofi remunerasi.
Bicara remunerasi artinya bicara tentang keseluruhan pendapatan, karena jika jasa pelayanan didasarkan pada klaim atau jumlah pasien maka secara logika pemerataan pelayanan di Indonesia tidak akan tercapai. Misalnya klaim satu RS di kawasan timur dalam satu tahun sama besarnya dengan besarnya klaim satu RS di Pulau Jawa dalam satu bulan. Ini akan menimbulkan ketidakadilan lebih jauh dalam hal pemerataan tenaga kesehatan, karena tidak ada yang berminat ke Indonesia Timur.
Meskipun di daerah sudah ada tunjangan daerah, namun besarnya sangat bervariasi, demikian juga dalam nomenklaturnya. Misalnya ada istilah tunjangan kelangkaan profesi, tunjangan perbaikan penghasilan dan sebagainya.
Menurut Dr. Hanna, remunerasi adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada seseorang ketika ia sudah melaksanakan pekerjaannya. Namun di PP 74/2012, sistem remunerasi adalah sistem pengupahan bagi karyawan yang dituangkan dalam satu artian yang baku dalam suatu perusahaan. Sistem ini harus berbasis pada kinerja. Remunerasi terdiri dari gaji, tunjangan, insentif, honorarium, merit/bonus. Persepsi yang berkembang di daerah saat ini adalah remunerasi merupakan pendapatan sejenis tunjangan, jadi jika sudah mendapat tunjangan tidak lagi mendapatkan remunerasi.
PP No 23/2005 Pasal 36 jelas menyebutkan bahwa pengelola, dewas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi. Permendagri No 61/2007 jelas mengacu pada hal ini. Kemudian yang perlu diatur adalah regulasi remunerasi, antara lain:
besaran jasa pelayanan yang boleh menjadi remunerasi (insentif). Dalam manlak JKN ada range antara 40-60%, sehingga Kemendagri perlu mengeluarkan acuan yang jelas, tidak lagi berupa range.
remunerasi RS khususnya pembagian jasa pelayanan merupakan hak pegawai RS
RS masih berhak mendapatkan tunjangan dari daerah, TP, TKP, tunjangan fungsional dan sebagainya.
Ada beberapa acuan yang dapat digunakan sebagai alternatif menentukan besaran jasa pelayanan dalam era JKN:
rerata nasional: total pendapatan JKN kali 32%
normatif: total klaim dikurangi biaya operasional
Permenkes No 28/2014 menyebutkan range 30-50%. Jika dalam bentuk range seperti ini, dokter pasti akan meminta angka tertinggi yaitu 50% sedangkan manajemen pasti memilih yg terendah agar masih ada sisa yang bisa digunakan untuk bahan habis pakai dan lainnya.
Untuk itu, Dr. Hanna menyarankan agar Kemendagri mengeluarkan aturan tentang jumlah maksimal yang bisa dikeluarkan sebagai jasa pelayanan.
Prinsip yang harus diingat adalah bahwa warga Indonesia yang berada di wilayah timur berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Namun para professional kesehatan masih enggan mengisi kekosongan pelayanan di daerah terpencil karena insentif yang juga kecil. Kemendagri mengusulkan adanya klaster-klaster untuk mengelompokkan daerah-daerah dengan karakteristik yang sama.
UGM mengusulkan agar mengoptimalkan keberadaan residen karena jumlah dokter yang ada di Indonesia meskipun dibagi rata ke seluruh wilayah tetap tdak akan mencukupi. Namun perlu ada aturan yang me-recognize peran residen dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, misalnya memperhitungkan residen sebagai salah satu tenaga kesehatan, bukan sekedar peserta pendidikan.
Pertemuan ini diakhiri dengan kesepakatan bahwa ARSADA Pusat akan membentuk tim kecil yang terdiri dari berbagai unsur untuk menyusun rumusan remunerasi bagi pengelola dan staf BLUD RSUD. (pea)
Telah terselenggara rapat khusus untuk membahas Renstra bersama, pada Senin (25/8/2014) di RS Soeradji. Rapat terkait Renstra ini dihadiri oleh beberapa pihak, antara lain: RS Soeradji, RS Akademik UGM, PKMK FK UGM, dan RSUP Sardjito. Beberapa hal yang dibahas antara lain, pertama menindaklanjuti pertemuan dengan Kementrian Kesehatan (Dirjen BUK) tentang pembentukan Rencana Stategis Bersama antara FK dan RS jaringan seperti halnya yang sudah dilakukan oleh UI dan RS Cipto Mangunkusumo. Kedua, tim ini akan segera membentuk Renstra Terintegrasi antara FK UGM dengan Rumah Sakit Jaringan (RS. Sardjito – RS. Soeradji Tirtonegoro – RS Akademik UGM)
Mengapa penting? Melalui penyusunan Renstra Bersama ini diharapkan ada saling keterbukaan dalam pengelolaan proses pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan bersama antara FK UGM dengan Rumah Sakit Jaringan, sehingga diperoleh kesamaan tujuan yang pada akhirnya diperoleh kualitas lulusan seperti yang diharapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara professional dan proporsional. Dalam mewujudkan hal tersebut, perlu rumusan visi bersama, sasaran strategis bersama dan peta strategis bersama.
Hasil kesimpulan dan rekomendasi rapat yaitu aAkan diawali dengan dilakukannya pertemuan substansi Renstra Bersama antara Dekanat FK UGM dengan direksi RS. Sardjto-RS. Soeradji Tirtonegoro-RS Akdemik UGM, pada hari Rabu, tanggal 27 Agustus 2014, di RS Sardjito, sebagai pertemuan awal para leader dalam rumusan Renstra Terintegrasi. Lalu akan diselenggarakan bimbingan teknis dari dirjen BUK tentang Renstra Terintegrasi pada Selasa-Rabu, 2-3 September 2014 di RS Sardjto yang akan dihadiri oleh FK UGM dan seluruh RS Jaringan dan dihadiri oleh bagian yang terkait dengan pendidikan (BAKORDIK). Kegiatan ini diharapkan menghasilkan rancangan Renstra Terintegrasi yang akan ditindak lanjuti oleh panitya sehingga diharapkan tersusun dokumen Renstra Terintegrasi paling lambat Oktober 2014 (antisipasi situasi politik yng kemungkinan besar terjadi perubahan kebijakan). PKMK diharapkan dapat menjadi mitra yang dapat memberikan arahan, saran dan masukan yang bertujuan demi sempurnanya Renstra Terintegrasi yang lebih baik.
Tanggal 25 Agustus 2014 di Hotel Flores Mandiri, Ende berlangsung sebuah seminar yang ditujukan untuk para direktur dan kepala bagian serta PPKAD RSUD. Seminar ini untuk membangkitkan kembali semangat para pengelola RSUD yang telah berjuang selama kurang lebih 1-3 tahun untuk ditetapkan sebagai BLUD. Hadirnya PPKAD dalam seminar ini menjadi peluang untuk menjelaskan tujuan pelayanan RS, business process-nya dan berbagai hal lain yang membedakannya dengan SKPD “biasa”.
Dulu RS masih bisa menggunakan cara-cara tidak efisien karena dengan sistem pembayaran fee for service, berapapun biayanya tetap akan dibebankan kepada pihak pembayar. Namun sistem BPJS menerapkan prospective payment. Artinya tarif pelayanan di RS sudah ditetapkan berdasarkan paket (prospective payment) sehingga ketidakefisienan yang terjadi di RS akan menjadi kerugian bagi RS itu sendiri.
Di sisi lain, gairah karyawan yang terendah adalah gairah (passion) terhadap uang. Artinya, jika tujuan untuk bekerja adalah uang semata, maka karyawan tersebut masih berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya. Uang bisa membeli hiburan namun tidak bisa membeli kebahagiaan. Gairah yang lebih tinggi dari uang adalah gairah terhadap tempat kerja. Hal ini dapat dipahami karena tempat kerja yang menyenangkan akan menimbulkan motivasi kerja yang tinggi. Gairah yang lebih tinggi dari itu adalah ide-ide dan yang tertinggi adalah gairah karena cinta terhadap apa yang dikerjakan.
Oleh karena itu, manajer RS harus dapat memahami tipe-tipe karyawan yang bekerja di RS agar dapat menerapkan strategi yang tepat dalam menghadapi/mengelolanya. Antara lain ada tipe pembelajar, pelancong dan dalam setiap organisasi selalu ada 2% yang bertipe teroris.
Hal yang tersulit adalah mengubah budaya organisasi. Contoh paling kecil adalah mengucapkan salam saat berpapasan dengan siapa saja di selasar RS. Hal ini dibuktikan dengan praktek saat narasumber meminta beberapa peserta mempraktekkan cara mengucapkan salam dengan gesture yang telah ditentukan.
Kemudian, umumnya pasca penetapan menjadi BLUD, masalah yang dihadapi adalah seputar remunerasi. Menurut Dr. Hanna yang disebut dengan remunerasi adalah untuk karyawan organic (PNS maupun non PNS), sedangkan dokter tamu tidak akan mendapat remunerasi. Remunerasi maupun kebutuhan lain RSUD harus dimasukkan dalam RBA. “RBA ini bukan untuk dibahas melainkan untuk disetujui oleh Kepala Daerah dan DPRD”, lanjut dr. Hanna.
Peserta terlihat sangat antusias mengikuti seminar ini berkat keterampilan dr. Hanna dalam menggunakan berbagai joke pada setiap kesempatan. Pada sesi diskusi banyak pertanyaan yang diajukan oleh peserta, antara lain oleh Vincent. Menurutnya, ada semangat baru yang bisa dibawa pulang setelah seminar ini. Namun makin besar unit pasti makin banyak masalah. Termasuk perubahan attitude atau moral dalam pelayanan, mungkinkah diterapkan reward dan punishment, yang tidak melihat pada kualitas? Reward bisa berupa pujian saja.
Terhadap hal ini, Dr. Hanna menanggapi bahwa semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpa. Demikian juga dengan organisasi, semakin besar organisasi maka semakin besar pula tantangan dan masalah yang dihadapi. Reward harus dibuat oleh RS berdasarkan accountability system. Contoh yang pernah dilakukan oleh dr. Hanna semasa menjabat sebagai Direktur RSUD Karawang adalah menerapkan sistem penghargaan berupa bintang bagi achiever. Staf yang mencapai target akan mendapat satu bintang. Jika dalam satu tahun mendapatkan 12 bintang maka akan mendapat reward, misalnya kupon menginap di hotel berbintang, umroh dan sebagainya. Reward tersebut tidak harus berupa benda yang terlihat, bisa juga berupa pujian. Sehingga jangan lelah memuji orang.
Standar untuk mendapat bintang sesuai dengan pencapaian kinerja dalam sistem akuntabilitas. Demikian juga dengan punishment, misalnya jika merokok di lingkungan RS, maka jasa pelayanan dapat dipotong 10%, dan seterusnya. Usahakan menegur karyawan dengan solusi.
Pertanyaan selanjutnya datang dari Dr. Sinaga, Maumere. Ia mengatakan bahwa tahun 2012 RSUD TC Hillers sudah BLUD penuh. Ia bertanya, saat ini akan menjajaki penerimaan pegawai non PNS, bagaimana mekanismenya? RS sedang tahap revisi Perbup khususnya mengenai proporsi (30:50, di Maumere rencananya 40) tahun ini, namun apakah obat dikeluarkan lebih dulu atau nanti saja.
Tanggapan dr. Hanna bahwa peraturan yang harus ada adalah Perbup tentang sistem rekruitmen. Setelah itu, baru RS bisa mengembangkan sistem perekrutan internal.
Kabid Penunjang RSUD Ruteng bertanya tentang jenjang nilai pengadaan barang dan jasa yang dalam Permendagri tidak dituangkan secara detil. Mengenai hal ini, memang Permendagri tidak mengatur detil, melainkan harus dibuat Perkada (peraturan kepala daerahnya). Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan pada daerah-daerah untuk berkreasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing, sehingga fleksibilitas di satu sisi tidak menimbulkan kekakuan baru disisi lain.
Salah satu hal menarik yang dijelaskan adalah bahwa setiap manusia secara alamiah menyukai comfort zone. Pertanyaan menarik dari peserta adalah bagaimana cara mengeluarkan orang (staf RS) dari comfort zone? Menurut dr. Hanna, buatlah lingkungannya menjadi tidak nyaman. Namun manajemen harus siap dengan kondisi kekacauan yang terjadi sebagai reaksi penolakan dari dipindahkannya seseorang dari zona nyaman tersebut . Zona nyaman terjadi karena rutinitas dan otomatisasi. Zona nyaman yang paling berbahaya adalah saat seseorang mengira apa yang dikerjakannya sudah benar. (pea)
Dari hasil kunjungan lapangan ini, dapat disimpulkan bahwa:
RS belum mengimplementasikan PPK-BLUD dengan benar sesuai dengan amanah Permendagri yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal:
Faktor internal: SOP keuangan masih terlalu rigid sehingga RSUD belum bisa sepenuhnya memanfaatkan fleksibilitas pengelolaan keuangan BLUD
Faktor eksternal: SIMDA belum bisa memfasilitasi kebutuhan perencanaan BLUD (RBA) dan Peraturan Kepala Daerah yang masih rigid khususnya dalam masalah jenjang nilai pengadaan.
Meskipun baru berjalan enam bulan, evaluasi terhadap pencapaian target pada kuartal pertama menunjukkan keberhasilan. Ada dua kemungkinan untuk hal ini, yaitu target ditetapkan terlalu rendah (RS kurang percaya diri saat menyusun perencanaan) atau data yang digunakan untuk memproyeksikan target belum menggambarkan pola yang sesungguhnya (data untuk perencanaan terbatas). Untuk itu, pada perencanaan tahun berikutnya (RBA tahun 2015), beberapa target pencapaian perlu mendapat koreksi.
RSUD telah melakukan pemantauan terhadap pencapaian SPM secara rutin. Pemantauan terhadap data sampai dengan April 2014 menunjukkan bahwa sebagian indikator SPM telah tercapai, antara lain jenis pelayanan, waktu tunggu pelayanan di IGD, IRJA, IRNA maupun operasi elektif, kejadian infeksi pasca operasi dan transfusi darah, dan berbagai indikator penting lainnya. Namun demikian, masih banyak hal yang membutuhkan perbaikan karena pencapaiannya masih di bawah standar. Misalnya kemampuan menangani live saving dan sertifikasi untuk petugas di IGD masih kurang dari 90%, belum ada tim penanggulangan bencana, kematian pasien > 48 jam, belum ada tim PONEK terlatih, dan belum semua penulisan resep sesuai formularium. Namun pengamatan terhadap semua instalasi pelayanan menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan diseluruh bagian RS ini masih belum mencapai target.
Hasil investigasi menunjukkan bahwa alasan ketidakpuasan pasien antara lain pelayanan yang lambat, petugas kurang ramah bahkan terkesan angkuh, ruangan kotorperawat jarang mengontrol kondisi pasien di malam hari, kamar mandi yang jorok, hingga pasien yang diminta untuk bolak balik ke pelayanan, sehingga mengesankan pelayanan yang belum efisien dan belum berorientasi pada pengguna.
RS ini merencanakan penambahan 150-200 TT lagi. Pembangunan kapasitas tambahan ini ditargetkan selesai pad apertengahan tahun depan. Jika dibandingkan dengan proyeksi pengguna pada perencanaan dengan realisasinya, maka nampak bahwa cukup banyak target yang telah melampaui 30% pada kuarter pertama ini. Hal tersebut menimbulkan optimisme bahwa target pelayanan akan tercapai bahkan terlampaui di akhir tahun 2014.
Salah satu perubahan signifikan yang terjadi dibandingkan dengan data sebelumnya adalah proporsi pasien. Tahun lalu pasien umum (fee for service) jumlahnya lebih dari 30%, saat ini proporsinya berkurang menajdi sekitar 25%. Diperkirakan hal ini juga berpengaruh terhadap tingkat penggunaan RS oleh masyarakat.
Namun sayangnya frekuensi rapat koordinasi internal RS khususnya di level direksi masih kurang. Banyak masukan termasuk dari masyarakat/pasien yang belum ditindaklanjuti karena kurangnya arahan dan supervisi dari atas. Berbagai masalah sistem maupun teknis yang wajar terjadi pada awal pelaksanaan BLUD kurang mendapat perhatian. Hal ini berdampak pada konflik antar-bagian yang terkait. RS masih membutuhkan pihak yang berperan sebagai penengah dalam konflik internal dan yang mengarahkan bagaimana respon RS terhadap berbagai masalah tersebut. Peran ini sebenarnya ada pada direktur RS.
Evaluasi ini dilakukan di salah satu RS milik pemerintah. Kunjungan lapangan dilaksanakan pada minggu kedua Agustus 2014. Saat persiapan, seluruh dokumen persyaratan BLUD sudah dipersiapkan dengan baik oleh POKJA RS, demikian juga dengan RBA. Bahkan RSUD juga telah menyiapkan draft beberapa peraturan kepala daerah yang diperlukan untuk pelaksanaan BLUD, antara lain peraturan tentang pedoman keuangan RS. Namun sebagaimana banyak terjadi di RSUD lain yang telah ditetapkan sebagai BLUD, RSUD ini juga masih menyusun RKA. Alasan yang dikemukakan adalah karena SIMDA masih menuntut entry dilakukan per rekening.
RS merasa memiliki bargaining power yang kecil, karena dari Rp 100M pendapatannya, yang merupakan pendapatan dari jasa pelayanan hanya sebesar Rp 10M atau 10%. Jika suatu saat proporsi pendapatan RS sudah lebih tinggi, misalnya di atas 50% maka RS merasa akan memiliki bargaining power yang lebih besar dan saat itulah RS akan menegosiasi aplikasi SIMDA agar sesuai dengan kebutuhan RS yang BLUD.
Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, sebab proporsi pendapatan RS tidak semata dilihat dari jasa layanan. Sebagai RS pemerintah, maka banyak biaya di RSUD yang memang merupakan kewajiban pemerintah. Contoh Dinas Kesehatan tidak melayani pasien sehingga tidak ada pendapatan. Namun Dinkes tetap menerima gaji, alkasi untuk bahan habis pakai, pemeliharaan dan sebagainya. Dalam hal ini 100% pendapatannya berasal dari APBD. Demikian juga dengan SKPD-SKPD lain yang tidak memiliki pendapatan dari jasa layanan. Dengan demikian, RSUD sebagai salah satu SKPD juga memiliki hak yang sama dengan SKPD lain, ada atau tidak ada pasien gaji PNS, bahan habis pakai, pemeliharaan dan berbagai pengeluaran rutin lainnya merupakan kewajiban pemerintah. Sehingga, yang digunakan sebagai ukuran untuk menghitung proporsi pendapatan RS bukan Rp 100 M melainkan biaya barang dan jasa. Dari Rp 100 M anggaran RS, rinciannya adalah: Rp 50M untuk bahan habis pakai, Rp 30M untuk barang dan jasa, Rp 5M untuk gaji pegawai dan 15M untuk biaya tidak langsung. Dengan demikian, yang digunakan untuk mengukur kemampuan RS dalam memperoleh pendapatan adalah biaya tidak langsung sebesar Rp 30M. Dari jumlah ini, 10M (atau 30% diantaranya) berasal dari pendapatan jasa layanan. Setelah menerapkan PPK-BLUD, diestimasikan biaya ini bisa lebih dihemat menjadi sekitar Rp 25-28M. Dengan demikian, penyamaan mindset diantara pengelola RSUD masih perlu dilakukan.
Laporan keuangan yang dibuat oleh RS ini masih berbasis SAK. Pemimpin RS harus mencari solusi mengenai masalah ini dengan membuat kesepakatan dengan Bagian Keuangan Pemda. Prinsipnya BLUD adalah untuk mempermudah birokrasi pelayanan pada masyarakat, bukan untuk membuatnya menjadi tambah rumit.
Saat ini, RSUD telah memiliki peraturan kepala daerah mengenai jenjang nilai pengadaan barang dan jasa. Selain itu, RSUD juga telah membuat SOP penatausahaan keuangan RS. Masalahnya adalah aturan ini justru lebih rigid dan rumit dibandingkan dengan sebelum BLUD. Contoh untuk pembelian obat-obatan sebesar Rp 2 juta saja SPJ yang harus disiapkan banyak sekali. Dari sini terlihat bahwa penyusunan peraturan kepala daerah dan SOP tersebut masih menggunakan mindset birokrasi yang justru menghambat kecepatan pelayanan. Oleh karena itu, revisi terhadap peraturan dan SOP tersebut mutlak segera dilakukan.
Sesuai dengan amanat UU No. 44/2009, RSUD ini ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Setelah ditetapkan, kedua RS tersebut diberikan fleksibilitas sebagai BLUD penuh. Namun sesuai dengan amanat Permendagri No. 61 Tahun 2007, fleksibilitas yang diberikan harus dibarengi dengan akuntabilitas lembaga, dimana kedua rumahsakit ini harus dapat membuktikan kinerjanya setelah ditetapkan sebagai BLUD. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa RSUD ini merupakan lembaga publik yang dalam operasional maupun pengembangannya sebagian menggunakan dana publik (APBD, APBN) yang harus dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, saat ditetapkan sebagai BLUD, RSUD ini telah dilengkapi dengan ukuran-ukuran kinerja yang dapat dievaluasi sebagai salah satu bentuk pertanggungjawabannya. Kinerja yang dimaksud meliputi kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat.
Kinerja pelayanan dapat diukur dari pencapaian volume dan mutu pelayanan klinis yang dilakukan di berbagai instalasi, dengan membandingkan antara perencanaan yang terdapat di Rencana Strategis Bisnis dengan pencapaian pada saat dilakukannya evaluasi. Selain itu, kinerja mutu juga dapat diukur dari pencapaian indikator-indikator SPM. Namun sebagai standar minimal, indikator SPM ini berfungsi untuk menjaga agar mutu pelayanan RSUD tidak berada di bawah batas toleransi yang berkaitan dengan keselamatan pasien.
Kinerja keuangan dapat diukur dari pencapaian indikator-indikator keuangan yang telah ditetapkan pada perencanaan (Rencana Strategis Bisnis). Indikator ini tidak selalu berbicara mengenai berapa pendapatan yang bisa diperoleh RS dalam melayani pasien, namun juga berapa penghematan yang berhasil dilakukan melalui proses yang lebih efisien. Selain itu, kinerja keuangan secara teknis juga dapat dilihat dari penerapan Permendagri 61/2007, antara lain penggunaan informasi unit cost pelayanan sebagai dasar penetapan tarif, penggunaan RBA untuk menyusun anggaran dan sebagainya. Jenis ukuran yang akan dievaluasi tergantung pada jenis indikator kinerja keuangan yang ditetapkan pada RSB masing-masing RS.
Kinerja manfaat dapat dilihat antara lain dari jenis-jenis pelayanan yang dikembangkan setelah menerapkan PPK-BLUD, sehingga dengan adanya jenis layanan ini masyarakat tidak perlu mencari pelayanan sejenis ke luar daerah, dan sebagainya. Selain itu, kinerja manfaat juga dapat dilihat dari trend masyarakat miskin yang dapat dilayani di RSUD ini.
Ketiga ukuran kinerja tersebut telah tertuang dalam dokumen persyaratan BLUD khususnya RSB dan SPM, sebagai janji RSUD maupun kepala daerah kepada masyarakat daerah ini untuk meningkatkan pelayanan publik, dalam hal ini pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dengan dilakukannya pengukuran atau evaluasi terhadap pencapaian dari ketiga kelompok kinerja tersebut, maka kedua RSUD akan dapat membuktikan kepada pemerintah dan masyarakat bahwa ada progress perbaikan kinerja RSUD setelah ditetapkan sebagai BLUD, meskipun mungkin belum semua target tercapai.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian kinerja RSUD setelah ditetapkan sebagai BLUD dan membandingkannya dengan perencanaan pada RSB maupun rencana pencapaian SPM.
Tahapan Kegiatan
Kegiatan evaluasi kinerja dua RS yang melaksanakan BLUD diawali dengan cara penyusunan instrument penilaian oleh tim penilai, peninjauan lapangan, diskusi hasil peninjauan lapangan dan laporan hasil evaluasi
Penyusunan instrumen penilaian
Tim menyusun instrument untuk bisa digunakan dalam penilaian kinerja RS BLUD. Penyusunan instrumen berdasarkan kinerja pelayanan, kinerja manfaat dan kinerja keuangan. Kinerja pelayanan dapat dilihat dari masing-masing Rencana Strategis Bisnis RS. Kinerja manfaat dilihat dari SPM dan kinerja keuangan menggunakan dasar Permendagri No. 61/2007 yaitu melihat penyusunan laporan keuangan berdasarkan SAK, tarif berdasarkan unit cost, penganggaran disusun menggunakan RBA dan kinerja keuangan lainnya yang terdapat pada laporan keuangan.
Peninjauan lapangan dan diskusi
Peninjauan lapangan diperlukan untuk mengisi atau mencocokkan target kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat yang ada pada perencanaan dengan pencapaian nyata RS, menggunakan instrumen yang telah disusun sebleumnya.Dari hasil peninjauan lapangan, tim melakukan diskusi internal dan dengan pihak RS, mengenai kesenjangan yang ada, serta mendiskusikan alternatif solusi yang dapat diambil untuk perbaikan atau peningkatan kinerja periode berikutnya.
Laporan hasil evaluasi
Tim menyusun laporan hasil evaluasi kinerja BLUD disertai dengan rekomendasi-rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti oleh RSUD maupun stakeholders-nya.
PERTEMUAN PENYUSUNAN PEDOMAN REMUNERASI RUMAH SAKIT DAERAH
Jakarta, 18 Juli 2014
reporter: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM,. M.Kes
Saat ini implementasi JKN telah memasuki bulan ketujuh. Kebijakan mengenai JKN merupakan reformasi pembiayaan kesehatan dari yang sebelumnya berupa sistem fee-for-service menjadi sistem paket. Dengan adanya perubahan ini, banyak masalah timbul dalam pelaksanaan tersebut mulai dari masalah teknis hingga masalah mind-set. Dinamika yang terjadi selanjutnya mendorong ARSADA untuk melakukan inisiatif menyusun sistem remunerasi bagi RSD di era JKN. Dari kegiatan yang telah dilakukan, ada beberapa kesulitan dalam penyusunan remunerasi tersebut, yaitu dalam hal 1) menentukan sumber dana untuk jasa pelayanan, menentukan persentase alokasi dana, 3) menentukan cara mendistribusikannya, 4) memperhatikan kebijakan yang ada terkait dengan remunerasi
Oleh karena itu, Asosiasi RS Daerah berinisiatif untuk melakukan pertemuan membahas masalah ini, dengan mengundang pakar dan praktisi, serta pemerintah (Kemenkes dan Kemendagri) yang terkait langsung dengan masalah ini. Pertemuan dilakukan di ruang rapat BUK Kementeria Kesehatan pada Jumat, 18 Juli 2014.
Pertemuan ini dibuka oleh Prof. Dr. Laksono Trisnantoro MSC, PhD yang dihubungi melalui sambungan Skype®. Dalam pembukaannya, Prof. Laksono menyampaikan bahwa ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sistem remunerasi bagi tenaga kesehatan di RS, yaitu 1) pendapatan bulanan yang dapat menjamin kehidupan yang wajar bagi para tenaga kesehatan, 2) produktivitas tenaga kesehatan dan 3) adanya residen yang dapat berperan sebagai tenaga kesehatan profesional. Remunerasi di RS Daerah tentunya akan berbeda antara RS pendidikan dan non pendidikan, antara RS di kota besar dengan di daerah terpencil. Komponen “SDM” dalam tarif INA-CBGs dapat dijadikan salah satu dasar untuk menentukan formula remunerasi, sehingga yang produktif mendapatkan lebih banyak dibandingkan yang kurang produktif. Intinya, sistem ini harus mampu membuat dokter spesialis betah bekerja dengan giat disuatu RS dengan sistem pembayaran bulanan.
Disadari bahwa pengembangan sistem ini akan menemui banyak tantangan, mulai dari penyusunan hingga implementasinya. Oleh karena itu, Prof. Laksono menyarankan ARSADA untuk mengadopsi teknologi webinar sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dengan RS-RS daerah di seluruh Indonesia, tanpa biaya yang terlalu besar. Teknologi ini akan memungkinkan ARSADA untuk mengumpulkan data jauh lebih mudah untuk kemudian dianalisis.
Pada pertemuan ini, Tim Remunerasi Dirjen BUK Kementerian Kesehatan yang telah melakukan studi untuk penyusunan pola remunerasi RS vertikal memaparkan bahwa RS vertikal harus memiliki tarif yang berdasarkan unit cost terlebih dahulu. Tarif ini kemudian menjadi dasar bagi Kementerian Keuangan untuk menganalisis kemampuan pendanaan RS ke depan, termasuk untuk sistem remunerasinya.
Ada tiga komponen dalam sistem remunerasi yang diusulkan, yaitu pay-for-position, pay-for-people dan pay-for-performance. Batang tubuh dari sistem ini terdiri dari grade dan kelompok jabatan. Dengan pola ini, seluruh pendapatan RS akan masuk dalam satu pot dan dibagi berdasarkan grading dan kelompok jabatan tersebut. Jadi tidak ada lagi istilah jasa pelayanan, jasa medis, jasa obat dan sebagainya. Remunerasi dibagi berdasarkan grade yang telah ditetapkan tersebut.
Kesulitan yang ditemui pada penetapan pola ini adalah karena tidak seragamnya terminologi yang digunakan oleh RS. Misalnya terminologi profesi, jabatan dan sebagainya. Oleh karena itu, tim ini menyarankan agar ARSADA menginisiasi adanya sebuah “Kamus Profesi” agar ada keseragaman istilah, demikian juga dengan keseragaman jabatan/grade.
Menurut Dr. Hanna Permana, MARS, remunerasi yang akan dibuat oleh Kemenkes tidak perlu terlalu detil, karena implementasi pola remunerasi akan sangat dipengaruhi oleh budaya, kebiasaan dan kondisi di daerah. Selain itu, perlu ditetapkan grade yang memperhatikan risiko pekerjaan, jabatan dan aspek-aspek lain. Misalnya harus ada perbedaan antara perawat yang bekerja di ICU dengan yang bertugas di poliklinik. Secara sederhana, kondisi berikut merupakan kondisi yang dapat menerima remunerasi paling tinggi: dokter pemegang pisau, bertugas di critical care, memegang jabatan sebagai ketua komite medik dan menjelang pensiun.
Lebih lanjut Dr. Hanna menyampaikan bahwa banyak RS yang masih salah memahami mengenai struktur organisasi. Direksi dan Kepala Bidang adalah jabatan struktural. Namun kepala seksi adalah lini, jabatan Kepala Instalasi tidak boleh ada di bawah Kepala Seksi. Namun kenyataannya banya RS menempatkan Kepala Instalasi di bawah Kepala Seksi.
Materi yang dipresentasikan oleh para pembicara dalam pertemuan ini dapat diunggah dengan meng-klik judul materi berikut ini.
Tahun 2007 yang lalu GIZ memulai sebuah program bernama ILT-HM (International Leadership Program on Hospital Management) yang ditujukan bagi para manajer RS pemerintah maupun swasta, konsultan maupun peneliti yang terkait dengan manajemen perumahsakitan untuk menempuh kursus mengenai manajemen RS di Jerman. Kursus berlangsung selama 4 (empat) bulan di Berlin HWR (Berlin Business School for Economics and Law) dan dilanjutkan dengan magang di RS-RS tertentu di Jerman selama 3 bulan. Sebelum menjalani kursus, peserta dipersiapkan untuk menguasai Bahasa Jerman dasar untuk memudahkan komunikasi di kelas maupun saat magang di RS. Total waktu yang digunakan oleh peserta ILT-HM selama berada di Jerman adalah 12 bulan penuh. Program ini berakhir tahun 2012, sehingga total ada 5 (lima) angkatan yang telah menjalani kursus. Tahun 2014 ini GIZ berencana untuk mengadakan Temu Alumni sebagia bagian dari upaya pemerintah Jerman untuk dalam memelihara partnership dengan Indonesia.
Universitas Gadjah Mada dipilih sebagai partner dalam penyelenggaraan kegiatan ini karena dari 18 alumni ILT-HM asal Indonesia, 2 diantaranya berasal dari UGM. Selain itu, lingkungan kampus dirasa dapat menghadirkan suasana yang tepat untuk melakukan seminar dan diskusi ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mempertemukan alumni ILT-HM dari berbagai angkatan dan mempertemukan alumni dengan ekspert dari Jerman sehingga terjalin hubungan komunikasi antar-alumni yang lebih kuat untuk peluang networking yang lebih luas dimasa mendatang. Selain itu, pertemuan ini diharapkan bisa menjadi ajang untuk meng-update perkembangan alumni, mengenai apa saja yang telah dilakukan sepulang dari training di Jerman, hasil-hasil yang didapat, hambatan dan sebagainya. Isu yang lebih spesifik dibahas pada pertemuan ini adalah hygiene di RS yang masih merupakan masalah baik di negara maju seperti Jerman, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.
Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari, yaitu tanggal 26-28 Juni 2014. Agar mendatangkan manfaat yang lebih luas, konferensi di hari kedua dibuka untuk umum sehingga dapat diikuti oleh non-alumni ILT-HM.
Hari Pertama, 26 Juni 2014
Konferensi hari pertama ini ditujukan khusus untuk alumni ILT-HM yang akan membahas tentang isu hospital hygiene dengan narasumber dari Jerman dan RSUP Dr. Sardjito. Pertemuan dibuka oleh DR. Dr. rar.med Istiti Kandarina mewakili Prof. Dr. Adi Utarini, MSc, PhD (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Kerjasama). Dalam sambutannya, Dr. Istiti menyambut gembira kegiatan ini sambil mengenang waktu selama 17 tahun yang dilewati di Stüttgart Jerman dalam rangka meneruskan pendidikan dan penelitiannya.
Pada konferensi hari pertama ini, pembicara utama, yaitu Prof. Dr.med Axel Kramer mengawali materi dengan informasi mengenai Universität Greifswald tempatnya bekerja dan Kota Greifswald yang merupakan kota kecil di Jerman. Prof. Kramer adalah seorang ahli hygiene and environmental medicine yang telah memimpin Institute for Hygiene and Environmental Medicine sejak tahun 1990. Sebagai seorang peneliti yang sangat aktif, Prof. Kramer telah menghasilkan 52 hak paten, hampir 400 tulisan di jurnal ilmiah lebih dari 200 tulisan ilmiah dalam textbooks, monograf dan serial serta 63 paragraf scientifik pada berbagai proceeding konferensi, brosur dan sebagainya. Seluruhnya dalam bidang yang digelutinya tersebut hingga sekarang. Dengan konsistensinya dalam bekerja, Prof. Kramer sangat menguasai masalah hygiene dan lingkungan medis.
Salah satu fakta mengejutkan yang diungkapkan oleh Prof. Kramer melalui presentasi materinya di konferensi ini adalah bahwa pasien dan staf RS merupakan sumber utama mikroorganisme yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial. Dalam hal ini, tangan memegang peranan sangat penting dalam mentransmisi kuman penyebab infeksi. Meskipun ada risiko dari sisi pasien yang tidak dapat dicegah, misalnya karena usia, terlalu lama dirawat di RS dan sebagainya, namun ada juga berbagai faktor non-pasien yang perlu diwaspadai, misalnya perubahan resistensi kuman.
Pada sesi ini, Prof. Kramer memaparkan berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan telah dipublikasi dalam berbagai bentuk tulisan ilmiah. Misalnya kuman MRSA yang menempel dipermukaan suatu benda menurut hasil penelitiannya ternyata dapat bertahan hidup dari 7 hari hingga 1 tahun. Jadi jika peralatan di OK dibersihkan secara kurang seksama, ada kemungkinan kuman yang tertinggal masih bisa berkembang biak jika akhirnya menempel pada organ tubuh pasien yang sedang dioperasi.
Prof. Kramer juga memaparkan mengenai peran tangan yag sangat potensial sebagai penyebar kuman. Oleh karena itu, klinisi harus membersihkan tangan secara seksama sebelum dan sesudah menyentuh pasien. Berbagai cairan pembersih memiliki tingkat efektivitas sendiri-sendiri. Memahami sifat dan kandungan senyawa pembersih akan bermanfaat dalam memutuskan penggunaannya secara efektif dan efisien.
Pada siang hari, peserta diajak untuk mengunjungi RSUP Dr. Sardjito untuk melihat langsung bagaimana praktek hospitak hygiene di RS di Indonesia. Selain karena faktor lokasinya yang berdekatan dengan kampus FK UGM, RS ini juga merupakan salah satu RS Pendidikan terbesar di Indonesia yang sedang mempersiapkan diri untuk akreditasi (JCI). Oleh karenanya, berbagai prosedur termasuk dalam implementasi hospital hygiene diharapkan sudah sesuai dengan standar yang berlaku. Setelah peserta diterima oleh direksi RSS dan disajikan informasi mengenai RS serta penanganan infeksi, peserta lalu diajak berkeliling ke beberapa unit pelayanan, antara lain perawatan TB, perawatan kanker anak, IGD dan CSSD. Pada kesempatan ini, selain menerima kunjungan peserta konferensi, RSS juga bisa mendapat masukan berupa komentar maupun tips sederhana dari Prof. Kramer untuk meningkatkan efektivitas upaya pengendalian infeksi di RS ini. Salah satu tips yag bermanfaat adalah penggunaan masker pada ruang perawatan pasien TB. Di RSS, untuk pasien MDR TB, petugas RS dan pengunjung menggunakan masker jenis N95 untuk mencegah penularan dari pasien. Menurut Prof. Kramer, hal ini kurang bermanfaat, karena kuman masih bisa menembus pori masker tersebut. Yang lebih tepat adalah menggunakan masker jenis N99, namun harganya sangat mahal. Oleh karenanya, dua layers masker bedah biasa bisa digunakan untuk menggantikan N99 yang lebih efektif dibandingkan dengan N95.
Hasil kunjungan diberbagai instalasi pelayanan klinik RSS kemudian dibahas setelah peserta kembali ke ruang konferensi di FK UGM. Diskusi menjadi lebih menarik saat para peserta secara aktif mengemukakan pendapat atau pertanyaan kepada Prof. Kramer. Sebagai contoh, salah satu yang dibahas adalah penggunaan pintu. Menurut Prof. Kramer, penggunaan udara bertekanan positif untuk mencegah infeksi memerlukan biaya tinggi. Lebih efisien jika daun pintu yang digunakan adalah pintu geser, bukan pintu dorong, untuk mencegah udara dalam ruangan bergerak terlalu banyak saat ada petugas keluar-masuk ruang perawatan.
Hari Kedua, 27 Juni 2014
Konferensi hari kedua ini diikuti oleh umum (manajer RS, tim PPI RS, dosen, peneliti, mahasiswa program S2 manajemen RS maupun pihak lain yang berminat) dengan menghadiri langsung di ruang konferensi. Selain itu, konferensi di hari kedua ini disiarkan juga secara live-streaming melalui di website www.manajemenrumahsakit.net. Pada konferensi ini, tema yang dibahas lebih umum, yaitu bagaimana good practice maupun tantangan implementasi patient safety di RS, baik di Indonesia maupun di Jerman. Hasil kunjungan ke RSUP Dr. Sardjito pada hari sebelumnya akan menjadi salah satu contoh kasus yang didiskusikan disini.
Pada sesi pagi hari, Prof. Kramer memaparkan bahwa seharusnya toleransi terhadap terjadinya infeksi nosokomial di instalasi rawat jalan adalah nol (0). Namun disisi lain ada tantangan berupa meningkatnya resistensi kuman serta meningkatnya resistensi dan imunitas penduduk. Di Jerman pun hal ini masih menjadi masalah. Oleh karenanya, yang terpenting menurut Prof. Kramer adalah mengembangkan safety culture di RS, yang akan memungkinkan setiap usaha memerangi infeksi nosokomial mendapat perhatian cukup. Disadari bahwa pengendalian infeksi di RS merupakan tugas yang berat, sehingga staf yang diberi tanggung jawab untuk hal ini harus memiliki kompetensi khusus. Kompetensi ini diperoleh melalui spesialisasi (dokter, perawat) dan training.
Sesi ini menajdi semakin menarik dengan adanya tayangan video (link ke videonya, jika memungkinkan) mengenai bagaimana penularan infeksi dapat terjadi di RS dan bagaimana mencegahnya. Pada video tersebut, Prof. Kramer dengan jelas menunjukkan potensi-potensi terjadinya infeksi khususnya pada luka operasi, dan bagaimana kekurangwaspadaan klinisi yang sedikit saja bisa berakibat fatal bagi pasien.
Selain Prof. Kramer, narasumber lain yang juga mengisi konferensi ini adalah Prof. Dr. Herkutanto, SpF, SH, LL.M yang merupakan Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien RS dan kebetulan juga sekaligus sebagai Ketua Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia. Dalam paparannya, Prof. Herkutanto menyampaikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari kondisi geografis, demografis hingga double burden of diseases, disamping juga masalah kurangnya sumber daya. Asosiasi RS Indonesia telah mendekralasikan patient safety sejak 2007, namun saat itu baru sebatas pembentukan komite, belum sampai pada terintegrasinya berbagai aktivitas lintas sektor. Oleh karena itu, dikembangkanlah strategi patient safety yang teridri dari strategi di level mikro, meso maupun level makro.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Prof. Kramer, Prof. Herkutanto juga menekankan pada pentingnya mengembangkan budaya keselamatan pasien yang didorong oleh budaya organisasi. Sementara itu, budaya organisasi bisa dibentuk dan diarahkan jika ada leadership di aspek klinis maupun manajemen RS.
Pada sesi siang hari, para alumni menyajikan hasil kegiatannya di tempat kerja masing-masing, sebagai bagian dari upaya berbagi informasi terkini mengenai alumni. Ada lima presenter yang dipilih yaitu:
1) I Ketut Suarjana (FK Unud Bali) dengan paper berjudul Performance standard as the basis of performance based payment system
2) AA. Gede Raka Dharmasemaya dengan paper berjudul Empowering hospital training unit for staff development in Sanglah Central Hospital, Bali
3) Diah Irmawati Sari Hasibuan (Eka Hospital) dengan paper berjudul Implementation of Hospital Information System
4) Fachriah Syamsuddin (Kementerian Kesehatan) dengan paper berjudul Pharmaceutical Services in Indonesia; facing Universal Health Coverage
5) Muhammad Syarif Hidayatulloh (konsultan swasta) dengan paper berjudul Implementing Quality Management System in Puskesmas X, East Kalimantan Province based on ISO 9001:2008
Hari Ketiga, 28 Juni 2014
Pada hari ketiga ini, konferensi didesain lebih spesifik untuk alumni ILT-HM. Tujuannya adalah untuk membahas mengenai bagaimana networking antar alumni ILT-HM bisa menjadi semakin erat dan berdaya guna. Ada berbagai ide yang terlontar dari alumni, antara lain mengembangkan modul-modul pelatihan bersama. Ilmu pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat selama menempuh kursus di Jerman ditambah dengan pengalaman di tempat kerja masing-masing akan diramu sedemikian rupa sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh kalangan yang lebih luas. FK UGM akan memfasilitasi berbagai kegiatan pengembangan modul dnegan infrastruktur yang telah dimiliki (sistem/website, supporting staff dan peralatan, networking). Alumni dapat memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk mengembangkan kemampuan sekaligus menyebarkan pengetahuan secara lebih luas sebagai bentuk komitmen memajukan sistem manajemen perumahsakitan di Indonesia). (pea)
INDONESIAN-GERMAN CONFERENCE ON
HOSPITAL MANAGEMENT
Gadjah Mada University, Yogyakarta
June 25- 28 2014
(Draft) Programme
Time
Activity
Remarks
Wednesday, 25.06.2014
During the day
Arrival of alumni
Arrival and transfer to hotel
18:00 – 21.00
Getting to know each other
Venue: Hotel
Dinner
Alumni of different ILT groups meet each other
Thursday, 26.06.2014
ALUMNI DAY
Venue: Faculty of Medicine, UGM
9:00 to 9:30
Welcome and Introduction
GIZ and representative(s) of alumni
UGM Representatives: Dr. rer. nat. dr. BJ. Istiti Kandarina
(Program Manager International Master Program Public Health)
9.30 – 11.00
Workshop on Hospital Hygiene with Prof. Dr. Axel Kramer, University of Greifswald
Sesi 2 dibuka oleh Johannes Kleinschmidt (Giz), memaparkan International Leadership Training (ILT), Looking Back on Human Capacity Development in Hospital Management. Target dari ILT ialah staf RS yang bertanggung jawab pada manajemen. Tujuannya untuk mencapai pengetahuan dan kompetensi yang efektif, efisien dan sesuai yang dibutuhkan manajemen. Tahapannya: peserta melakukan persiapan di negaranya, berangkat ke Jerman, pelatihan di Jerman dan melakukan diseminasi di negara asalnya. ILT diselenggarakan di Berlin School of Economic and Law. Tema yang dipelajari yaitu Hospital management issues yang mencakup, disaster management, hospital hygiene, information system, quality management, faculty management, financial, HR, management basic and principles
Jumlah pesertanya memperhatikan gender sehingga ini cukup adil, yaitu sebanding antara laki-laki dan perempuan. Pesertanya merupakan dokter, perawat, manajer, administrator, spesialis dari daerah urban-kota, privat dan umum, serta ddari kota besar dan kota kecil. Dampaknya, untuk individual, organisasi dan system yaitu meningkatkan kemampuan manajemen dan kepemimpinan, lalu further qualification and career, serta positive changes in care for patients.
Berikut merupakan beberapa paparan apa yang sudah dilakukan alumni di daerahnya masing-masing.
Pertama, Ketut Suarjana (Puri Bunda Maternal and Child Hospital. Denpasar, Bali). Performance Standar As The Basis of performance Based payment System.
Kedua, Darmasemaya (RS Sanglah). Empowering Hospital Training Unit for Staff Development.
Ketiga, Diah Irmawati (Eka Hospital), Hospital Information System Implementation. ada dua hal yang dibahas Irmawati, yaitu Electronic Medical Records (EMR) dan Hospital Information System. Electronic medical records =: shared and used inter health unit (elektronik) dan berlaku internal. Ssementara, Hospital Information System: a whole system, manage and integrated work atau mengintegrasikan banyak tugas di RS.
Keempat, Fachriah Syamsudin (Kemenkes), Manajemen Ketersediaan Obat Melalui e-catalog. Harapannya, e-catalog ini bisa berfungsi sebagai e-purchasing sehingga alur penyediaan obat bisa akuntabel dan efisien.
Kelima, Syarif Hidayatullah (Director Partners Consultant), Quality Management System in Puskesmas, East Kalimantan. Ada sekitar 9500 Puskesmas di Indonesia, dengan rasio 1:150 atau 1 Puskesmas melayani 150 orang. Quality yang baik berasal dari dalam atau dalam Puskesmas atau dari dalam tenaga kesehatan.
Diskusi;
Prof. Johanness menyampaikan paparan Syamsudin, terlalu komplit. Kemudian Hidayatullah, ada 9500 Puskesmas yang harus dikerjakan.
Aprianto (RSUD Purbalingga) mengajukan pertanyaan untuk Irma: apakah Electronic Medical Record (EMR) dapat meningkatkan jam kerja atau overtime? Kemudian, apakah ada subsistem untuk. Untuk Fachriyah, e-catalog procurement Kemkes masih bermasalah, stok obatnya banyak yang menipis/kurang. Lalu, terlalu banyak UU tentang obat di Indonesia, siapa yang bertanggung jawab atas UU ini? Formularium Nasional -> ada generic dan tidak generic. Siapa yang bertanggung jawab atas formularium ini?
Ni Luh Putu Eka, MPH menanyakan untuk master training plan di Sanglah, bagaimana cara meningkatkan kualitas mutu?. Pertanyaan ini diajukan untuk Darmasemaya.
KetutSuarjana mempertanyakan kualitis proporsi skoring pembayaran melalui skema Formularium Nasional seperti apa? Siapa yang bertanggung jawab? Untuk Darmasemaya, mungkin perlu dilakukan training yang terkoneksi satu sama lain. Pertanyaan untuk Irma, apa inovasi yang dilakukan atau digagas untuk sistem EMR?
dr. Tiara Marthias, MPH menanyakan pada Irma, e-catalog, ini barudiberlakukan 2013, saat mencoba request obat melalui e-procurement terlambat. Lalu bagaimana? Apa evidence based e-catalog ini?
Darmasemaya memaparkan, pusat pelatihan RS Sanglah merupakan mitra dari Kemenkes standar yang digunakan ialah kualitas training harus disiapkan, dengan dokumen lengkap dan akan dimintakan akreditasi. Hal-hal yang harus dipenuhi antara lain, pelatih harus teruji kemampuan dan kualitasnya, ada manajemen training yang jelas dan materi training di- upgrade secara berkala.
Irma EMR ini memudahkan alur pemeriksaan dan kebutuhan periksa antara dokter dan pasien, lalu didukung data yang up to date, jadi bisa digunakan. Selain itu, EMR: based onpatient requirement-lebih mudah digunakan.
Fachriyah menjelaskan tentang e-catalog, jika akan megirim request obat, tinggal kontak supplier. Jadi, diharapkan sistem ini akan memudahkan banyak pihak, karena alur pengadaan obat dapat dipantau, akuntabel dan efisien. E-catalog ini diharapkan akan selesai disempurnakan dan siap digunakan pada Juli 2014. E-catalog mengacu pada Surat Edaran Kemenkes No167 Tahun 2014, terkait pengadaan dalam hal obat yang dibutuhkan jika tidak terdapat dalam e-catalog, maka penyedia layanan dapat mengusahakannya secara manual. Hal ini didukung dengan regulasi, yaitu Perpres No 70 tahun 2012 tentang pengadaan obat secara manual. Kemudian untuk Fornas, sudah disusun oleh expert, core team, review team, standingcommittee, serta selalu dievaluasi tiap 3 bulan.
Aprianto menambahkan saran untuk Kemenkes, jika ingin mengubah peraturan, mohon lebih dipersiapkan, agar tidak membuat terkejut pihak-pihak terkait. Prof. Johannes menutup acara dengan kesimpulan, pertemuan ini sangat bermanfaat, semoga menambah pengetahuan dan networking para peserta.