SRAGEN
Harga Paket Naik, Kualitas Layanan RS Diharapkan Merata
BPJS Info Masyarakat tak perlu khawatir akan perbedaan kualitas pelayanan di rumah sakit dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meski rumah sakit dibedakan atas beberapa tipe berdasarkan kemampuan memberikan pelayanan medis, yakni tipe A, B, C, dan D, namun sistem pembiayaan dalam JKN takkan menyebabkan perbedaan kualitas layanan kepada pasien.
Direktur Pelayanan PT Askes (persero) Fadjriadinur menegaskan, paket pembiayaan untuk RS melalui sistem INA-CBG’s kini telah dinaikkan sebesar 29-54 persen. Dengan penyesuaian harga paket tersebut, kekhawatiran adanya perbedaan kualitas pelayanan semestinya tak perlu terjadi.
“Sekarang hal tersebut sudah tidak perlu dikhawatirkan,” katanya pada acara bertema ‘Pelaksanaan BPJS 2014’ Senin (6/1/2013), di Jakarta. Sebagai informasi, dalam pelaksanan proram JKN 2014 digunakan sistem INA-CBG’s 4.0 yang merupakan modifikasi program INA-CBG’s 3.1. Kenaikan harga paket hingga 29 persen berlaku untuk rumah sakit tipe A.
Sedangkan peningkatan 54 persen berlaku bagi rumah sakit tipe B, C, dan D. Dengan peningkatan ini, harga paket dalam setiap tipe rumah sakit menjadi tak terlalu jauh. Saat ini menurut Fajriadinur, perbedaan harga paket dalam tipe rumah sakit hanya berkisar 20-40 persen saja. Perbedaan harga paket dalam tipe rumah sakit didasarkan atas fasilitas dan kapasitas rumah sakit. Rumah sakit tipe A memiliki lebih banyak spesifikasi alat. Rumah sakit ini juga memiliki kapasitas lebih banyak dibanding tipe B, C, dan D.
Hal inilah yang menyebabkan harga paket untuk rumah sakit tipe A lebih tinggi. Fajriadinur menjelaskan, harga paket INA-CBG’s sudah ditentukan tim kendali mutu yang beranggotakan kalangan profesi, akademisi, pakar asuransi, pemerintah pusat dan daerah. “Dengan keanggotaan ini maka INA-CBG’s bisa dipastikan efektif dan memberikan manfaat maksimal, bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan,” kata dia.
Dengan harga paket yang tidak terlau jauh, pasien pun diharapkan tak terkonsentrasi di satu rumah sakit. Distribusi merata akan memudahkan pasien melakukan pengobatan, terutama peserta JKN 2014. Hal ini akan berefek pada tercapainya visi BPJS, untuk memasukkan semua masyarakat Indonesia dalam cakupan JKN.
“Saat ini jumlah peserta JKN 2014 per Desember 2013 adalah 116.122.065 jiwa. Sedangkan penambahan peserta sejak pembukaan pada 1 Januari 2014 jumlah peserta sudah mencapai lebih dari 30 ribu jiwa dari seluruh Indonesia. Dengan segala fasilitas yang ada jumlah ini akan terus meningkat,” kata Fajriadinur.
Sumber : kompas.com
Sosialisasi Dinilai Kurang, DPRD Kota Cirebon Bakal Panggil Tiga BUMN
CIREBON, (PRLM).- Kalangan DPRD Kota Cirebon menilai, sosialisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih sangat kurang.
Mereka khawatir kurangnya sosialisasi bakal berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan warga.
Apalagi, masih banyak warga miskin Kota Cirebon, yang belum ter-cover program tersebut.
Menurut Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Cirebon Andi Rianto Lie, dalam waktu dekat ini, DPRD Kota Cirebon melalui Komisi C bakal memanggil tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketiganya yakni Kantor Cabang PT Askes, PT Jamsostek dan PT Taspen, yang kini di-merger menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
“Selain ketiga BUMN itu, Dinas Kesehatan Kota Cirebon juga akan dipanggil, untuk mempresentasikan program jaminan tersebut dan memastikan seluruh masyarakat mengetahui serta memahaminya,” katanya.
Hal krusial yang harus disegera ditangani, katanya, adalah jangan sampai ada warga miskin yang terlewat.
Dikatakannya, seluruh instasi terkait harus siap menerapkan program pemerintah itu. “Pelaksanaan program harus disertai antisipasi adanya peningkatan pelayanan, baik oleh rumah sakit maupun puskesmas,” jelasnya.
Terkait dengan masih banyaknya warga yang belum ter-cover program BPJS, dibenarkan Kepala Dinkes Kota Cirebon Eddy Sugiarto.
Menurut Eddy, sedikitnya 84.000 warga miskin Kota Cirebon tidak terjamin BPJS. Mereka terdiri dari 46.000 orang peserta Jamkesda dan 38.000 orang pemegang Kartu Cirebon Menuju Sehat (KCMS) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
“Yang sudah ter-cover BPJS adalah mereka yang berstatus PNS, TNI/Polri, dan peserta Jamkesmas sebanyak 102.806 orang. Sementara warga miskin peserta Jamkesda, KCMS, maupun SKTM, belum masuk dalam database,” ungkapnya.
Pemkot memiliki waktu hingga 2019 untuk kewajiban membayarkan iuran peserta Jamkesda, KCMS, maupun SKTM agar menjadi peserta BPJS.
Pendataan sendiri dikatakan dia, akan dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan dana APBD Kota Cirebon.
Sementara ini, mereka menjadi tanggungan Pemkot Cirebon apabila mengalami sakit. “Pembiayaan biaya pengobatan warga yang belum ter-cover, justru lebih murah dibandingkan kalau kami harus membayar iuran BPJS, karena dilakukan hanya saat sakit,” kata Eddy. (A-92/A-89)***
Sumber: pikiran-rakyat.com
Februari, RSUD RM Reakreditasi
JAMBI – Pertengahan Februari mendatang, direncanakan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher (RM) rencananya akan melakukan akreditasi ulang (reakreditasi, red). Diharapkan nantinya, setelah reakreditasi ini dilakukan, terjadi perubahan dalam segala hal di RS plat merah tersebut.
Ali Imran, Dirut RSUD RM mengakui sendiri hal tersebut kepada harian ini.
Koordinasi Kurang, Banyak Pasien BPJS Ditolak RS
JAKARTA- Banyak warga masyarakat yang harus ditolak oleh rumah sakit akibat belum siapnya proses integrasi jaminan kesehatan di setiap daerah dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Baru-baru ini, dua kasus di Jakarta dan Surabaya menjadi sorotan karena kurangnya koordinasi tersebut.
Padahal, pihak pemerintah pusat telah sejak awal memberi peringatan agar pihak rumah sakit maupun dokter tidak menolak pasien selama proses integrasi berlangsung. Namun sayangnya, banyak rumah sakit yang masih bingung dengan data-data dan harus kembali menolak pasien karena kurang data atau persyaratan yang ada.
“Kami sudah sejak awal mengingatkan bahwa jangan ada penolakan pasien oleh pihak rumah sakit. Kalau masalah proses integrasi kan bisa diatasi dengan manual dulu,” ungkap Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat dihubungi kemarin.
Kebijakan ini bukan hanya karena belum selesainya pemindahan data atau kelengkapan yang lain, tapi sejak awal pasien dengan keadaan darurat harus diterima untuk mendapatkan pertolongan.
“Penolakan gawat darurat tidak boleh, tentu jika menolak dalam keadaan emergency ada sanksi. Sanksi tergantung kasusnya,” tegasnya.
Sementara itu, pihak BPJS Kesehatan mengatakan dua kasus yang terjadi di Jakarta dan Surabaya hanya miskomunikasi saja. Pada kasus penolakan pasien di RS Dr Soetomo misalnya, Kepala BPJS Jawa Timur Kisworo mengatakan bahwa pasien ditolak oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (BPJKD) karena hanya membawa rekomendasi dari dinas sosial saja.
Sementara, lanjut dia, data yang bersangkutan juga tidak ada dalam peserta yang masuk dalam penerima bantuan iuran (PBI) yang ada dalam master file BPJS kesehatan. Sehingga penolakan tersebut harus disayangkan terjadi.
“Bukan BPJS kesehatan yang menolak, namun BPJKD tapi sudah diselesaikan. Pasien telah dipanggil kembali,” tutur Kisworo. Pihaknya juga telah kembali melakukan koordinasi dengan pemerintah Provinsi Jawa Timur beserta Dinas Kesehatan untuk menjelaskan bahwa selama proses integrasi pasien harus tetap dilayani.
Kendati demikian, Kisworo menolak dikatakan bahwa masih banyak pasien yang harus menderita akibat lambatnya proses integrasi ini.
“Kasusnya seberapa banyak” Jika dalam sehari rumah sakit Dr Soetomo misalnya melayani hampir 2.500 pasien dan hanya ada dua kasus kan tidak masuk dalam kategori cukup banyak,” pungkasnya.
Sementara itu, dari pihak BPJS kesehatan pusat masih belum mengambil langkah tegas apa yang akan diambil jika ada hal serupa kembali terjadi. Kepala BPJS kesehatan, Fahmi Idris hanya mengemukakan bahwa pihaknya akan terus melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi agar semua peserta dapat dilayani. (mia)
Sumber: jpnn.com
5 RSUD di NTT Telah Menjadi BLUD
PKMK, Yogyakarta. Sejak pelaksanaan program Sister Hospital dan PML di Provinsi NTT, upaya untuk
Wamenkes Resmikan BPJS Center RSUD Morangan
SLEMAN (KRjogja.com) – Wamenkes RI, Ali Gufron meresmikan Gedung BPJS Center di RSUD Sleman, Senin (6/1/2014). Dengan peresmian ini BPJS RSUD Sleman siap menerima masyarakat yang ingin memiliki jaminan kesehatan.
“Kami mengapresiasi Pemkab Sleman serta masyarakat yang antusias untuk mendaftarkan BPJS untuk mendapatkan jaminan kesehatan gratis. Terbukti banyak masyarakat yang mendaftar,” ungkap Ali Gufron di sela-sela peresmian gedung BPJS RSUD Sleman.
Disebutkan, tiap hari di RSUD Sleman saja ada sekitar 800 orang mendaftarkan diri ke BPJS. Untuk itu pemerintah pusat mengajak pemda untuk terus melakukan sosialisasi ke masyarakat luas.
“Kita harus sosialisasikan ini sampai RT. Sehingga ke depan jangan sampai ada orang miskin tak bisa mendapatkan layanan kesehatan,” tegas Ali Gufron. (Usa)
Sumber: krjogja.com
Pasien KJS Ditolak RS karena Integrasi BPJS DKI belum Siap
JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka menyebut penolakan Rumah Sakit (RS) pemerintah terhadap Devannya Putri Salsabila untuk dioperasi menggunakan fasilitas Kartu Jakarta Sehat (KJS) milik orangtuanya disebabkan belum tuntasnya pengintegrasian KJS dengan Badan Penyelenggaraa Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di DKI Jakarta.
Hal ini diketahui Rieke setelah tim kesehatannya melakukan advokasi terhadap Nindita Putri, orangtua bayi usia seminggu yang menderita penyakit Atresia Esofagus sejak lahir. Padahal, Nindita pemegang KJS yang digagas Gubernur DKI Joko Widodo.
“Pasien ini merupakan peserta KJS dan sudah diintegrasikan menjadi peserta BPJS per 1 Januari 2014. Seharusnya BPJS Kesehatan berkewajiban memfasilitasi perawatan pasien tapi karena di DKI belum siap jadi ditolak dimana-mana,” kata Rieke menjawab JPNN.com, Sabtu (4/1) malam.
Karena tidak dilayani sebagai pemegang KJS di RS pemerintah, Nindita akhirnya merawat putri yang sudah dinanti selama 7 tahun ini di RS Jakarta Medica Center (JMC) Buncit, Jakarta Selatan yang tidak punya kerjasama dengan KJS, sehingga secara pembiayaan dan administrasi makin rumit.
Karena itu, supaya masalah serupa tidak terulang, Rieke mendesak BPJS menuntaskan masalah pendataan kepesertaan BPJS. Data pasien tidak mampu seperti pemegang KJS menurutnya harus divalidasi dalam proses integrasi ke BPJS. “Datanya harus akurat,” tegas politikus PDI Perjuangan itu.
Selain itu, BPJS Kesehatan harus menyiagakan 24 jam 7 hari petugasnya baik di Kantor-Kantor BPJS maupun RS tertentu yang tugas utamanya adalah menangani pasien yang ditolak rumah sakit dan mencarikan rumah sakit lain baik yang kerjasama atau tidak untuk segera menolong dan menyelamatkan pasien.
“Kejadian ini juga disebabkan Call Centre dan Hotline Service BPJS Kesehatan Pusat dan DKI tidak berfungsi,” tandasnya. (fat/jpnn)
Sumber: berita.plasa.msn.com
Delays in discharges lead to 30 beds blocked to new admissions each day
More than 30 beds at East Surrey Hospital are blocked every day due to delays in getting care for patients at home or in the community.
East Surrey Hospital in Redhill is the primary hospital for Crawley residents needing high level care. Winter statistics from NHS England show that in the week before Christmas there were on average 32 beds occupied each day by patients who no longer need hospital care. The national average was 21.
Michael Wilson, chief executive of Surrey and Sussex Healthcare NHS Trust, which runs East Surrey Hospital, said: “Our hospital is just one part of a larger health system and delays can occur when patients are moving into social care funded placements or when patients self-fund their on-going care.
“We recognise we are higher than the national average during this period and as part of our preparation for the notoriously challenging winter period, we have been working with community providers in Surrey and Sussex involved in the whole local health economy to put in place additional facilities and to help improve their processes to allow patients to move from our hospital beds as soon as they are well enough to leave our care, and into other more appropriate health care settings for their needs.”
County councils also play a role in arranging care at home, in a nursing home or community hospitals, such as in Crawley or Horsham.
West Sussex County Council has a team helping people to live independently with care and/or adaptations to the home as well as a free 13-week package of telecare support to help people to live at home using alarms, monitors, stair lifts or grab rails.
A spokesman said: “Of course the majority of patients make their own arrangements with their families but where they need additional support we call upon ‘home from hospital’ in which we provide intensive support after someone is discharged or interim beds in care homes or nursing homes for customers who are ready to leave hospital but are not ready to return home. The work we have done has meant that levels of delayed discharges attributable to social care are lower than other local authorities in the south east.
“However, with an ageing population winter will always be a challenging time for the health and care system.”
A Surrey County Council spokesman said 800 patients have already benefitted from new shift patterns meaning staff were working to discharge people in evenings and weekends.
Source: crawleyobserver.co.uk