Referensi mengenai layanan unggulan:
Konsep Layanan Unggulan di Rumah Sakit dalam Konteks RS Publik
Putu Eka Andayani
Pengantar
Sejak mengelola rumah sakit dianggap sebagai mengelola sebuah lembaga usaha yang harus dapat memenuhi kebutuhan pengguna, upaya untuk meningkatkan daya saing juga semakin inovatif. Ini sesuai dengan prinsip bahwa rumah sakit seperti mahluk hidup yang secara alamiah akan berusaha untuk bertahan hidup dan berkembang. Berbagai hal dilakukan mulai dari meningkatkan kapasitas SDM, memperbaiki proses layanan, berusaha memperoleh pengakuan melalui akreditasi hingga memperbaiki kemasan layanan. Semuanya berujung pada dihasilkannya pengembalian finansial untuk kemampuan hidup dan berkembang dalam jangka panjang organisasi rumah sakit.
Namun dalam konteks RS publik yang tidak mengutamakan keuntungan, bagaimana pengembangan layanan unggulan ini sebaiknya diterapkan? Apakah layanan unggulan adalah sesuatu yang harus menghasilkan kinerja keuangan? Jika suatu layanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat (angka kesakitan tinggi dan trend menunjukkan akan angka ini akan terus meningkat), padahal kelompok masyarakat yang membutuhkan layanan tersebut sebagian besar berasal dari kalangan tidak mampu (yang artinya membutuhkan subsidi), mungkinkah layanan tersebut dikembangkan menjadi unggulan RS? Tulisan ini mencoba untuk memaparkan bagaimana konsep layanan unggulan di RS pada umumnya, dan bagaimana hal ini dapat diterapkan di RS publik.
Pengertian Layanan Unggulan
Layanan unggulan (atau dalam istilah internasional dikenal sebagai center of excellent) merupakan suatu layanan yang penuh dengan inovasi, didukung oleh teknologi terbaik dibidangnya, biasanya komprehensif pada layanan klinik yang fokus pada suatu penyakit tertentu, serta tidak dimiliki oleh pesaing. Untuk mendukung terjadinya suatu layanan unggulan, biasanya layanan ini didukung oleh fasilitas fisik, dimana suatu layanan unggulan merupakan satu unit tersendiri yang seolah-olah terpisah dari layanan lain di RS. Dengan pemisahan fisik ini, masyarakat maupun petugas kesehatan di RS lebih mudah membedakan layanan unggulan ini dibandingkan dengan yang tidak unggulan.
Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan saat akan mengembangkan layanan unggulan. Menurut Zuckerman & Markham (2006), setidaknya ada empat aspek paling penting yang harus dipikirkan, yaitu:
Dari uraian di atas, terlihat bahwa tidak mudah dalam mengembangkan suatu layanan menjadi unggulan. Tidak cukup hanya dengan suatu alat canggih tertentu, atau seorang dokter spesialis tertentu, lalu RS mengklaim sudah memiliki atau bisa segera memiliki layanan unggulan. Diperlukan teamwork (multi-disiplin), leadership, komitmen dan dukungan finansial (modal) yang tidak sedikit untuk menghasilkan suatu layanan unggulan. Oleh karenanya, biasanya layanan unggulan ini diharapkan bisa menjadi salah satu revenue center RS, agar sepadan dengan upaya yang telah dikeluarkan.
Konsep Layanan Unggulan: Kasus DeBakey Cardiovascular Research & Training Center, Texas
Pusat penelitian dan pelatihan jantung ini adalah unit yang dibangun dengan tujuan khusus untuk mengembangkan pengetahuan dan membangun teknik dan metode khusus terkaitd engan manajemen klinis dan pencegahan penyakit jantung melalui kegiatan penelitian, pendidikan dan penanganan pasien. Karena pusat ini sangat berorientasi pada kesehatan manusia dengan fokus utama ke pasien, maka pusat ini harus dilengkapi dengan semua sumber daya, fasilitas dan SDM yang diperlukan dalam hal penelitian biomedis dan untuk mampu melakukan diagnosis dan terapi yang canggih. Pusat ini akan meliputi seluruh spektrum penyakit jantung, yang solusinya kaan membutuhkan kolaborasi dari suatu tim tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari biologi, teknik, fisika dan ilmu-ilmu sosial, serta ilmu-ilmu medis. Center ini harus terletak di lokasi yang memudahkan berbagai jenis tenaga tersebut saling berinteraksi dan bekerjasama, serta menghasilkan ide-ide untuk pengembangan layanan yang terus berkembang.
Kasus Pengembangan Layanan Unggulan di sebuah RS Publik
Sebuah RS publik sedang melakukan kajian untuk menetapkan layanan mana yang akan menjadi unggulan dan bagaimana strategi pengembangannya. Dari hasil kajian tersebut, diketahui bahwa utilisasi layanan perinatologi sangat tinggi, hampir melebihi kapasitas yang ada di RS. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa pasien yang datang ke RS ini bukan saja yang dirujuk oleh puskesmas atau RS lain yang levelnya lebih rendah, melainkan juga dari RS lain yang selevel bahkan yang lebih tinggi (RS Pendidikan juga merujuk ke RS ini). Alasannya adalah karena RS ini sudah memiliki SOP yang sangat baik dalam perawatan perinatal, proses monitoring dan evaluasi pelayanan klinis berjalan sesuai prosedur dan tim klinis yang kompeten, meskipun teknologinya saat itu bukan yang tercanggih. Dengan kemampuan ini, pasien rujukan selalu datang dan berdampak pada utilisasi fasilitas. Tidak jarang pasien ditolak karena kapasitas yang sudah penuh terpakai. Kendala yang dihadapi oleh RS ini untuk mengembangkan kapasitasnya, apalagi menjadikannya sebagai unggulan, adalah biaya untuk perawatan bayi baru lahir cukup besar. Pasien yang dirujuk biasanya merupakan kasus dengan berbagai komplikasi, membutuhkan penanganan khusus dan LOS tinggi, sehingga cost pelayanan juga tinggi. Sebagai RS publik, pangsa pasar RS ini sebagian besar adalah mayarakat tidak mampu. Disamping itu, pemilik RS tidak setuju apabila tarif RS terlalu tinggi, karena akan bertentangan dengan misinya sebagai RS publik. Manajer RS berpendapat tidak mungkin menjadikan perinatologi sebagai layanan unggulan, karena pasti tidak akan mendatangkan revenue yang cukup untuk menutupi biaya operasional RS. Kepala divisi perinatologi juga merasa keberatan jika harus menjadikan aspek finansial sebagai salah satu indikator kinerjanya, karena itu akan membuatnya menolak banyak pasien miskin.
Pada kasus di atas, sebaiknya manajemen, pemilik dan klinis duduk bersama untuk mendefinisikan kembali misi RS dan sejauh mana misi ini dapat diimplementasikan pada pengembangan layanan unggulan. Jika ini adalah RS swasta not-for-profit, maka perlu dibahas kembali sejauh mana yayasan dapat mendukung pengembangan layanan tersebut dan bagaimana startegi finansialnya. Pada RS Pemerintah, perlu disadari bahwa ini mungkin merupakan RS rujukan terakhir. Jika RS ini pun menolak (karena kapasitas penuh atau karena adanya tuntutan kinerja keuangan), kemana pasien tersebut harus mencari pertolongan. Dalam hal ini kepala daerah sebagai pemilik dan decision maker tertinggi perlu memberikan subsidi kepada masyarakat yang membutuhkan layanan
RS Pemerintah perlu melihat kembali bagaimana ukuran kinerja Badan Layanan Umum Daerah. Menurut Permendagri 61/2007, ada tiga jenis kinerja BLUD, yaitu kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja manfaat. Pada kasus di atas, jelas kinerja layanan dan kinerja manfaat dapat ditingkatkan jika perinatologi dijadikan sebagai layanan unggulan. Namun bagaimana dengan kinerja keuangan?
Di negara maju, RS tidak mengalami kesulitan keuangan dalam mengembangkan layanan unggulan seperti RS-RS di Indonesia. Hal ini karena tarif layanan (paket) dibuat lebih tinggi atau minimal sama dengan unit cost pelayanan. Selain itu, hampir seluruh masyarakat terlindungi oleh asuransi yang menjamin akses ke fasilitas kesehatan tanpa memberatkan kantong. Di Indonesia, mekanisme asuransi ini belum sempurna, sedangkan tarif pelayanan seringkali masih di bawah unit cost. Jangankan untuk mengembangkan investasi, untuk menutupi biaya operasional saja seringkali tidak cukup. Seringkali RS terpaksa mengorbankan mutu layanan dan kenyamanan layanan agar dengan dana yang terbatas bisa melayani lebih banyak pasien. Jika saja subsidi diberikan berdasarkan kebutuhan layanan, maka tidak akan ada masalah dalam pengembangan layanan unggulan tersebut. Jika unit cost dihitung dengan benar (meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung), dan tarif ditetapkan lebih tinggi dari unit cost, maka tentu saja layanan perinatologi pada kasus di atas bisa menjadi unggulan. Masyarakat tidak mampu perlu mendapat subsidi dari pemerintah untuk mengakses layanan tersebut. Dengan demikian, terjadi keseimbangan: RS memperoleh pendapatan yang cukup untuk opeasional dan mempertahankan mutu, masyarakat (mampu atau tidak mampu) dapat mengakses layanan yang bermutu (tim klinis yang kompeten, teknologi tinggi, proses yang berorientasi pada patient safety dan sebagainya) di RS. Dalam jangka panjang, mekanisme pembiayaan yang lebih baik perlu dikembangkan agar layanan bermutu dapat terus diakses.
Kesimpulan
Layanan unggulan di RS publik sangat memungkinkan untuk dikembangkan, meskipun tampaknya layanan tersebut tidak dapat atau sulit untuk mendatangkan revenue bagi RS. Yang terpenting adalah adanya keseimbangan antara cost dan revenue, dimana cost adalah dampak dari mutu dan range teknologi yang digunakan, dan revenue adalah dampak dari kuantitas pelayanan yang berasal dari masyarakat (pasien) maupun sumber lain (subsidi) yang memadai untuk terjadinya pelayanan yang bermutu tersebut. Yang perlu diingat bahwa layanan unggulan harus berbeda dengan layanan biaya, dari aspek jangkauan produk, pasar, posisi dan kemampuan unik yang dimiliki oleh produk tersebut.
UU No 40 tahun 2004, bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (pasal 3). Di dalamnya, terkandung asas keadilan sosial, yaitu seluruh rakyat Indonesia akan mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan. Mau ataupun tidak, sesuai amanat UU program BPJS ini akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014. Tentunya, pelaksanaan program ini tidak serta merta langsung dapat meng-cover kebutuhan seluruh ratyat Indonesia. Namun, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, hingga pada 2019 seluruh Rakyat Indonesia telah menjadi peserta BPJS.
Pertanyaan menarik yang muncul adalah apakah seluruh peserta nantinya akan memperoleh jenis layanan yang sama? Termasuk tipe dan jenis ruang rawat inap di RS? Jawabannya, sesuai dengan pasal 23 ayat 4 dinyatakan bahwa Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
Selanjutnya muncul pertanyaan lagi yaitu, bagaimana dengan sebagian (10-20%), masyarakat kita yang “merasa” memiliki perbedaan kelas sosial? Bagaimana dengan mereka yang merasa “lebih” dari sisi materi? Jawabannya dapat ditemukan dalam pasal 32 ayat 4 dalam UU ini, yang berbunyi: Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
Sister Hospital dan Performance Management & Leadership di NTT
Kupang-PMPK. Kegiatan Sister Hospital sudah berlangsung selama lebih dari dua tahun dan PML lebih dari setahun. Selama proses tersebut banyak dinamika yang telah terjadi terkait dengan upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi yang menjadi tujuan utama kegiatan ini. Pertemuan yang dilaksanakan di Kupang pada 29 April 2013 lalu membuka pelaksanaan Monev Program SH-PML di 11 RSUD di NTT.
Berbeda dengan monev-monev sebelumnya, monev kali ini selain untuk mengevaluasi progress yang dicapai oleh RS Mitra A (Sembilan RS besar di Jawa-Bali-Sulawesi) dan RS Mitra B (11 RSUD di NTT), juga untuk mentransfer tanggung jawab dari PMPK FK UGM kepada mitra local di NTT yang telah ditunjuk, yaitu Undana, POGI dan IDAI Kupang serta Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Monev dibuka dengan memberikan pelatihan pada para evaluator yang berasal dari keempat institusi tersebut. Hari berikutnyatim dibadi menjadi tiga kelompok, yaitu:
Masing-masing kelompok terdiri dari: evaluator pelayanan maternal, evaluator pelayanan perinatal, evaluator SH, evaluator PML, serta peneliti kualitatif yang menggali pendapat stakeholder internal dan eksternal RSUD terhadap program SH dan PML ini. Tim dari UGM juga dibagi menjadi tiga kelompok dan bertugas mendampingi para evaluator tersebut.
Sampai saat tulisan ini diturunkan proses monev masih berlangsung. Hasil sementara yang didapat menunjukkan adanya variasi progress kegiatan dan pencapaian tujuannya. Sebagai contoh, beberapa RS menggunakan kontainer air kecil yang dilengkapi dengan keran sebagai pengganti wastafel untuk cuci tangan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan instalasi wastafel dan juga kekurangan air yang menjadi masalah umum di Provinsi NTT. Dengan inovasi ini, tidak ada alas an bagi petugas kesehatan di RS untuk tidak menjalankan prosedur hand hygiene untuk keselamatan pasien. Namun sayangnya fasiiltas pengering tangan masih menggunakan handung yang dipakai bersama dan berkali-kali, bukan handuk yang sekali pakai.
Pengelolaan sampah mulai dilakukan dengan baik. Tempat sampah untuk sampah medis dan non medis dipisahkan dan untuk memudahkan pengguna, kedua tempat sampah ini menggunakan kantong plastic dengan warna yang berbeda. Kantong plastik merah untuk sampah medis dan kantong plastik hitam untuk sampah non medis. Namun di beberapa lokasi masih ditemui kotak sampah yang tidak membedakan warna kantong plastik untuk sampah medis dan non medis.
Obat-obatan yang disediakan di ruang pelayanan sudah ditata menggunakan kontainer kecil dengan banyak laci dan setiap laci ditulisi nama obatnya. Namun masih ditemukan beberapa laci berisi obat yang tidak sesuai dengan label yang tertera di laci. Hal ini terkait dengan kedisiplinan petugas dalam mengembalikan sisa obat ke laci yang sesuai.
Beberapa RSUD mengalami pergantian direktur sehingga hal ini mempengaruhi tingkat kecepatan pelaksanaan program PML yang direncanakan di tahun 2013 ini. Proses hand over dari direktur lama ke direktur yang baru tampaknya kurnag berjalan dengan baik sehingga direktur baru tidak mengetahui detil kegiatan yang sudah terlaksana, hasil yang telah dicapai dan rencana yang akan dilaksanakan di tahun 2013. Pada akhirnya ini mempengaruhi pencapaian program PML secara keseluruhan. Sebagai contoh, beberapa RSUD merencanakan untuk mulai proses persiapan penerapan PPK BLUD dan mentargetkan untuk mencapai status ini pada pertengahan tahun 2013. Namun pada kenyataannya banyak yang belum memiliki rencana konkrit bagaimana untuk mencapai status tersebut.
Hasil dari monev ini akan disampaikan pada sebuah pertemuan yang rencananya akan diselenggarakan pada akhir Mei 2013 mendatang di Surabaya.
Sejarah Otonomi RS di Spanyol
Sistem Kesehatan Spanyol (SNS) telah mengatur pelaksanaan universal coverage sehingga seluruh masyarakat Spanyol dapat menggunakan pelayanan kesehatan public, yang sebagian besar dananya berasal dari pajak di level nasional. Sejak awal 1990-an pemerintah Spanyol telah mengeksplor tatakelola RS baru, yang merupakan hasil dari proses politik tingkat tinggi pasca politik Franco dan membuka jalan bagi pendakatan tatakelola yang inovatif.
Setelah kematian Franco, tahun 1978 Konstitusi Spanyol menghasilkan prinsip-prinsi yang mengubah system. Sebelumnya sistem tersebut terfragmentasi, birokratis, tersentralisasi dan dengan sumber daya yang langka dan didanai dari kontribusi asuransi social. Kini diganti dengan sumber pendanaan yang berasal dari pajak, dan mampu meng-cover seluruh penduduk secara nyaris komprehensif, terutama pada pelayanan. Spanyol memiliki 17 region dan sejak perobahan politik menjadi demoktratis, tiap region (yang disebut AC atau comunidades autónomas) memiliki otoritas untuk menjalankan system kesehatan regionalnya masing-masing. Namun ternyata AC meng-copy model nasional yang ada sebelumnya, sehingga birokrasi dan politisasi struktur administratif di level AC pun tak terhindarkan.
—-Ada perubahan sistemik yang juga terjadi di Spanyol yang melibatkan ide-ide dan praktek dari paradigm NPM, dimana paradigm ini sempat mendunia pada sekitar tahun 1980an. Manajemen public menarik perhatian para pengambil keputusan di tingkat nasional, para pegawai pemerintah dan sekelompok manajer yang kemudian ingin memodernisasi manajemen di RS dan pusat-pusat kesehatan masyarakat. Kemudian menjadi jelas bahwa modernisasi gelombang pertama tidak memiliki visi strategis dan dukungan politis, dan inovasi mendatangkan dampak yang terbatas.
—-UU Pelayanan Kesehatan Umum Tahun 1986 berusaha mengintegrasikan berbagai struktur pelayanan kesehatan dan mengkoordinasikan level pelayanan. Peluang untuk membangun kemitraan dengan sector swasta juga dipertimbangkan. Namun UU tersebut tidak mengakomodir model manajemen alternative untuk SNS dan masih mempertahankan banyak fitur lama, khususnya tetang posisi staf kesehatan yang pendapatannya tidak akan dipengaruhi oleh kinerja.
—-Beberapa instrument NPM yang relevan dimasukkan dalam system, misalnya target kesehatan sudah diterapkan di level regional bahkan sebelum UU 1986 tersebut dan meskipun di level nasional sendiri tidak ada targetnya.
—-Pada tahun 1991, hanya lima tahun setelah apa yang dianggap sebagai backbone dari UU Kesehatan di era demokratis, DPR mensponsori sebuah Komisi Analisis dan Evaluasi SNS. Komisi ini kemudian berhasil mengidentifikasi adanya masalah administrative yang rigid, sentarlisasi yang eksesif dan apatisnya staf dan menyusun 64 poin rekomendasi untuk memodernisasi SNS dengan memisahkan provider dan pembayar serta mengadopsi instrument manajemen baru untuk para provider dan pembayar tersebut. Namun ternyata usulan ini menghadapi banyak penolakan dari serikat dan kelompok-kelompok pelayanan kesehatan lainnya. Selain itu ada Consortia di beberapa bagian di Spanyol (khususnya Catalonia) yang berjalan secara agak berbeda dibandingkan dengan pusat pelayanan kesehatan publik pada umumnya.
—-Tahun 1991 diperkenalkan suatu Set Data Dasar Minimal untuk mengkodifikasi pembayaran di RS. Tahun 1994 INSALUD (gabungan AC dari regional Cataluña, País Vasco, Navarra, Galicia and Andalucía dan dibubarkan tahun 2002) mulai menerapkan “kontrak program” dengan RS sebagai sarana untuk memperkenalkan perencanaan aktivitas dan membuat hubungan yang jelas antara pendanaan dengan kinerja. Tahun 1997 sistem pembayaran RS yang retrospektif digantikan dengan anggaran prospektif berbasis DRG dan didukung oleh instrument akunting yang berbeda. Pertama kali DRG ini diterapkan di 18 RS dan setelah dievaluasi, pada tahun-tahun berikutnya program ini mendapat dukungan nasional dan otoritas kesehatan regional.
—-Kemudian muncul UU yang mengatur Consortia yang melengkapi UU sebelumnya dan membuka jalan bagi terjadinya merger sumber daya antara beberapa administrasi (satuan kerja) sehingga menjadi lebih efisien. Untuk pertamakalinya kebutuhan pengaturan pragmatis di area tatakelola RS mengemuka.
—-Pemerintah Andalucìa (yang dipimpin oleh Partai Sosialis) menerapkan tatakelola RS yang disebut Empresa Pública Sanitaria (Public Healthcare Company) tahun 1993 dan Empresa Pública Hospital Costa del Sol dibangun di Marbella (sebuah kota Turis). Tahun 1994 terjadi perkembangan penting lainnya dalam konteks mengatur “Model Yayasan”.
—-Tahun 1996, setelah 14 pemerintahan social dan Partido Popular (PP) untuk pertamakalinya duduk di level pusat, legislasi diperkenalkan secara eksplisit untuk mempromosikan model tatakelola baru RS. The Royal Law-Decree membolehkan penerapan berbagai model tatakelola di RS INSALUD, termasuk Consortia, Yayasan dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa penggunaan instrument legal Real Decreto Ley pada prinsipnya hanya direkomendasikan pada legislasi jalur cepat di DPR, dengan pengecualian-pengecualian jalur birokrasi, dijustifikasi sebagai “berdasarkan pada kebutuhan untuk menetapkan model tatakelola sebelum RS percobaan dibangun”.
Dengan tujuan yang jelas “demi mekanisme yang lebih fleksibel dalam mengelola staf RS yang PNS” pemerintah saat itu mencoba memperkenalkan Parliamentary Agreement for the Reform and Modernization of the SNS, namun gagal. Hal ini kemudian memunculkan dibentuknya model Yayasan Pelayanan Kesehatan Publik melalui penyusunan UU dengan judul paling aneh yang pernah ada, yaitu “Undang-undang untuk Mengukur Fiskal, Administratif dan Sosial”, dilampirkan pada UU Budget Umum . Ini juga merupakan gerakan yang luar biasa; UU 30/1994 tentang Yayasan sudah cukup jelas dan bisa digunakan untuk mengubah status staf menjadi non PNS, pegawai kontrak biasa, namun – mungkin ada ketakutan akan adanya konflik dengan militer, sebuah model baru diperkenalkan, dimana model ini tetap mempertahankan status staf yang telah ada.
—-Tahun 1999, AC di Valensia memberi kewenangan pada sebuah perusahaan swasta untuk menjalankan RS pemerintah di Alzira. Tahun 2000 terbit peraturan pemerintah yang mengatur tentang bentuk-bentuk pengelolaan RS, termasuk diantaranya Yayasan Publik, Consortia dan Yayasan. Tahun 2004 pemerintah yang baru menyingkirkan semua usaha untuk menyeragamkan berbagai perbedaan yang ada. Bersamaan dengan itu, tahun 2007 UU Pengadaan Sektor Publik berusaha mengurangi otonomi yang dihasilkan pemerintahan sebelumnya. Tahun 2008 debat mengenai ini di Komisi Kesehatan DPR tidak menghasilkan kesimpulan yang jelas.
—-Akhir tahun 2010 ada diskusi mengenai peluang dikembangkannya Pakta Kesehatan untuk mencari dukungan dari parlemen. Tujuan kunci meliputi jenis-jenis pelayanan yang akan disediakan oleh SNS, tinggi rendahnya budget yang dibutuhkan untuk membuat sistem yang berkesinambungan, level mutu yang diharapkan, tatakelola RS dan model manajemen baru. Jadi tidak hanya isu teknis operasional melainkan bagian dari suatu agenda politik. Kesepakatan terkait Pakta ini diundur sampai dengan Juni 2013, saat pemilihan local, regional dan nasional berakhir.
Bentuk-bentuk Pengelolaan RS di Spanyol
—-Jika disimpulkan, ada lima jenis status hukum RS di Spanyol, yang dirangkum melalui tabel berikut.
Jenis Entitas | Modalitas Pemberian Pelayanan | Modalitas Regulasi | Kerangka Hukum |
Public Healthcare Company (entitas hukum publik) | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupakan entitas publik, namun penggunaan sumber daya dan anggaran menggunakan hukum swasta |
|
Public Healthcare Foundation (yayasan milik Negara) | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupkaan entitas yang didirikan oleh public atau perorangan yang non-for-profit dengan asset sendiri yang dinisbahkan kepda kepentingan umum |
|
Yayasan | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupakan entitas yang didirikan oleh publik atau perorangan yang non-for-profit dengan asset sendiri yang dinisbahkan kepda kepentingan umum |
|
Konsorsium | Langsung (cakupan dan pemberian pelayanan sektor publik) | Merupkaan entitas yang didirikan oleh beberapa satuan kerja publik yang merupakan entitas privat namun not for profit |
|
Konsesi Administratif | Campuran, tidak langsung (cakupan sektor publik dan pemberian pelayanan sektor swasta) | RS (layanan primer dan spesialistik) dibangun dan dijalankan dengan cara konsesi |
|
Sumber: Saltman, R.B., Durán, A., dan Dubois, H.F.W., (2011), Governing Public Hospital; Reform Strategies and
————-the Movement Towards Institutional Autonomy, WHO, UK.
–
Pendahuluan
Inggris dikenal sebagai salah satu negara dengan standar pelayanan kesehatan tertinggi di dunia. Dibalik mutu keluarannya tersebut, Inggris ternyata memiliki sejarah sentralisasi pelayanan yang sangat panjang, sebelum akhirnya sistem kesehatan nasional (NHS) mengembangkan suatu model baru governance di RS yang memberikan kewenangan lebih (otonomi) pada RS tertentu (tidak semua) yang memenuhi syarat.
Inggris saat ini menerapkan sistem kesehatan nasional yang semi-pasar dengan karakteristik:
– Masyarakat harus ke pelayanan kesehatan primer dulu, baru bisa dijamin untuk dapat akses ke pelayanan spesialistik
– ada pemisahan pembeli-penyedia: Primary Care Trusts yang meng-cover 120 rb – 1 juta orang, namun tahun 2013 akan dihilangkan dan diganti dengan group of GPs (yang kemudian berperan juga sebagai pembayar)
– reimbursement di RS dilakukan dengan sistem pembayaran berbasis casemix
– training, education & research dibiayai dari dana yang terpisah dari kegiatan RS
– standar dan tujuan ditetapkan di level nasional
– pembentukan yayasan (foundation trust) RS dan mendorong pelayanan independen (misal bedah elektif)
– NHS dituntut lebih transparan dan Yayasan (Foundation Trust) diminta mempublikasi annual report dan financial statement-nya
–
National Health System sebelum 1990-an
Kondisi Health System di Inggris berbeda dengan Eropa pada umumnya, dimana sebelum 1990-an:
– pay and condition ditentukan oleh pemerintah pusat,
– otoritas regional yang mengangkat dokter spesialis, namun RS bisa mengontrol jumlah staf selain dokter dan manajemen,
– investasi yang bisa dilakukan sangat terbatas, aset milik pemerintah pusat, budget global ditetapkan oleh pemerintah lokal, biasanya history-based. Kontrak besar dengan pihak ketiga dilakukan oleh pusat atau daerah.
Tahun 1990-an dibentuk Foundation Trust (FT) yang mengelola aset dan senior medical staffs RS. FT membawahi beberapa RS dalam satu regional.
Selain itu, RS boleh mengatur pay & condition namun terbatas, ada performance management yang terpisah dari NHS, boleh membuat kontrak, boleh memutuskan investasi tapi terbatas, direktur punya kewenangan budget, boleh mendapatkan surplus, otonomi bisa dicabut kalau performance buruk, serta ada pemisahan antara pembayar dengan penyedia layanan.
–
Model Governance Baru
Tahun 2000 peran FT tidak berubah, namun kontrak untuk mendapatkan investasi, manajemen kinerja, pengangkatan CEO dan kemampuan mendapatkan surplus, berkurang. Otonomi dijadikan sebagai reward dan hanya diberikan pada RS yang menunjukkan peningkatkan kinerja, dengan cara bergabung dalam FT.
Awal tahun 2002 disadari bahwa telah terjadi kerusakan pada sistem. Politisi kemudian terpaksa ikut campur dalam hal teknis. Akhirnya diputuskan bahwa perlu ada pendekatan baru, organisasi self-governing. Inggris mengutus tim untuk mempelajari sistem di Spain & Sweden. Dari hasil pembelajaran ini Inggris kemudian melakukan reformasi dengan mengembangkan suatu model governance baru. Inti reformasi ada di insentif dan mekanisme quasi-market.
Dibentuklah FT sebagai new governance model, yang boleh mendapatkan surplus, meminjam untuk pengembangan komersial dan investasi, serta melakukan joint ventures. Pada model ini terjadi perubahan budaya mulai dari penyedia hingga pembayar pelayanan kesehatan. RS yang kinerjanya memenuhi standar boleh mengajukan diri menjadi anggota Foundation Trust. Satu FT bisa terdiri dari beberapa RS (yang memenuhi syarat) sehingga mutunya sangat tinggi. Department of Health menjadikan FT sebagai bentuk organisasi yang standar dan mengharapkan RS-RS segera mencapai status FT tersebut.
“NHS providers of hospital, mental health and ambulance services can apply to be a Foundation Trust when they are capable of demonstrating that they meet the performance, governance and other criteria.”
Sebuah Foundation Trust bisa dibentuk melalui tiga tahapan berikut:
Monitor memiliki power untuk mencabut otorisasi Trust, tapi harus konsultasi ke SHA regional dan dengan melibatkan pembayar. Yang dipertimbangkan dalam pencabutan ini adalah: kesehatan & keselamatan pasien, mutu output Trust, kondisi keuangan dan bagaimana Trust dijalankan selama ini.
–
Area otonomi RS yang tergabung dalam Foundation Trust
Manajemen Keuangan
Ada kebebasan finansial termasuk pengadaan, namun tetap harus transparan sebagaimana badan pemerintah lainnya. Monitor punya instrumen untuk mengawasi dan menilai. Depkes memiliki fungsi perbankan internal untuk memberikan fasilitas pinjaman modal pada Trust. Sebuah Trust harus memiliki license jika ingin melakukan commercial business.
Tata Kelola Operasional
Dari aspek manajemen kinerja, banyak standar yang ditentukan oleh ekstrenal RS (pembayar), misalnya kecepatan, frekuensi rujukan (keluar), waktu tunggu, angka infeksi, dan sebagainya. Syarat tertentu yang ditetapkan oleh komisi mutu pelayanan serta syarat tata kelola dan risiko keuangan yang ditetapkan oleh Monitor merupakan syarat minimum. Trust bisa menetapkan targetnya sendiri berdasarkan hal ini.
FT boleh mengangkat dan memberhentikan staf sesuai dengan kebutuhannya, namun tetap harus mengikuti sistem penggajian yang sudah dinegosiasikan secara nasional.
Pemerintah menunjuk orang-orang yang duduk di Board kemudian Board menunjuk CEO yang disetujui oleh pemerintah. Board bertanggung jawab terhadap startegi, tata kelola, pemenuhan semua syarat sesuai peraturan dan pencapaian kinerja FT secara keseluruhan. Board juga bisa jadi anggota komite di RS, misalnya komite remunerasi, komite audit dan sebagainya.
Minimal terdiri dari satu orang mewakili pembayar, satu orang mewakili pemerintah lokal, tiga orang mewakili staf RS dan satu orang mewakili universitas jika dalam Trust ada Teaching Hospital. Seluruh Pengatur ini ditunjuk oleh anggota berdasarkan konstitusi publik. Mereka (Tim Pengatur) bertemu minimal tiga kali setahun. Peran kunci pengatur adalah membentuk advisory body yang memberikan pandangan tentang bagaimana Trust ini seharusnya dijalankan, bertindak sebagai penjaga agar Trust bergerak sesuai relnya, dan memberikan nasihat untuk pengembangan jangka panjang FT. Namun belum jelas apa sebenarnya pengaruh adanya Governor/Pengatur ini.
Bertanggung jawab untuk menetapkan FT baru sampai ke membangun kapabilitas organisasi FT. Minitor bersifat independen dan bertanggung jawab langsung pada parlemen. Kadang bisa intervensi ke FT kalau ada masalah keuangan serius, misalnya.
Yang utama adalah Care Quality Comission yang menetapkan seperangkat standar dan secara legal mendaftarkan berbagai penyedia layanan kesehatan (dalam sistem NHS) dalam sebuah daftar (yang harus diawasi). Selain itu, semua RS – dalam FT atau tidak – harus memberikan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai lembaga pengatur eksternal, diantaranya: the Health & Safety Executive, Skema asuransi untuk kelalaian klinis, regulator yang terkait dengan terapi fertilisasi dan jaringan, dinas pemadam kebakaran dan lingkungan, lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dalam menerima pendidikan pasca sarjana dan pelatihan-pelatihan.
Pembayar bisa punya pengaruh terhadap FT, misalnya dalam merancang patient pathway dan lokasi pelayanan spesialistik tertentu.
Ada harapan yang meningkat bahwa lembaga public harus lebih transparan dalam mutu pelayanan dan penggunaan dana public. Setiap Ft diharuskan untuk membuat laporan tahunan yang meliputi aktifitas Trust, kinerja dibandingkan dengan tujuannya, informasi pada masyarakat local mengenai bagaimana Trust tersebut berkinerja. Laporan ini juga mencakup satu set lengkap financial account, remunerasi untuk eksekutif senior dan sejak tahun 2010 mencakup juga laporan mutu.
–
Perubahan sejak Mei 2010
Setelah pemilu tahun 2010, pemerintah koalisi yang baru mengumumkan perubahan yang signifikan terhadp Sistem Kesehatan Nasional (NHS), termasuk beberapa diantaranya sangat memperngaruhi Foundation Trust, antara lain:
– Trust akan diberi kebebasan untuk mengubah konstitusinya dengan mendapat persetujuan Board.
– Larangan bagi Trust untuk meningkatkan pendapatan dari pengobatan privat akan dihapuskan
– Ada kemungkinan bahwa penghilangan pembatasan pinjaman akan dipertimbangkan. Jika ini terjadi maka akses terhadap pendanaan investasi dari pemerintah juga akan dihilangkan khususnya untuk program investasi yang besar.
– Peran Monitor dalam mengawasi kinerja Trust sesuai dengan tupoksinya juga akan dihilangkan. Ini berdampak pada makin besarnya otonomi yang dimiliki oleh Trust. Monitor akan menjadi regulator yang bertanggung jawab terhadap penetapan tarif, regulasi ekonomi pasar kesehatan, regulasi persaingan, menetapkan perijinan untuk pelayanan kesehatan khusus.
– Untuk menjaga aset yang hingga saat ini masih dimiliki oleh pemerintah, sekaligus untuk mencitrakan ulang persepsi terhadap akuntabilitas yang berubah akibat perubahan tersebut, maka pemerintah mempertimbangkan untuk meningkatkan power Pengatur (Governors), termasuk power untuk meminta sebagian atau seluruh dorektur Trust hadir pada suatu rapat.
– Foundation Trust akan diminta untuk mengadakan rapat tahunan untuk anggotanya, dimana anggota dapat mendiskusikan laporan tahunan Trust, termasuk remunerasi direkturnya.
–
Keberhasilan dan Sustainabilitas Program
Sejauh kebijakan ini telah dilaksanakan, nampak bahwa kebijakan-kebijakan tersebut sangat mendorong pengembangan penyedia pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi pembayar/pembeli tidak dikembangkan dengan baik. Hasil analisis Monitor menghasilkan saran bahwa menjadi Foundation Trust memberi dampak yang menguntungkan dan signifikan terhadap mutu pengawasan keuangan, perencanaan stratejik dan pengaturan tata kelola organisasi. Meskipun sektor ini telah melakukan inovasi dan perubahan, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah menjadi Foundation Trustseperti yang diprediksikansebelumnya. Hasil assessment juga menunjukkan bahwa FT tidak menunjukkan pengembangan berarti yang berbeda dibandingkan dengan non-FT. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
– sudah adanya budaya yang kuat sejak tahun 1948 di NHS yang tersentralisasi dengan kuat bahwa perencanaan dan ide-ide perubahan datang dari atas.
– Fungsi pembelian/pembayar yang kurang dikembangkan menyebabkan Trust sulit mendapatkan persetujuan untuk pelayanan-pelayanan baru
– Pembayar dan penyedia pelayanan kesehatan masih memiliki daftar panjang mengenai mana yang harus dikompilasi, dan ini membutuhkan waktu.
– Kompetisi yang terjadi sangat terbatas karena pelayanan yang sudah terkonsentrasi. Penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa meningkatkan kompetisi akan lebih efektif dibandingkan dengan perubahan governance dalam meningkatkan output dan mutu.
–
Pertanyaan penting dari keberhasilan yang didapat sejauh ini adalah mengenai sustainabilitas dalam jangka panjang. Trust nampak antusias dalam mencapai target keuangan yang ditetapkan oleh Monitor, dan untuk mencapai ini salah satunya adalah dengan menurunkan mutu pelayanan. Ternyata system pemerintah gagal dalam mengawasi mutu pelayanan dan regulator yang selama ini dipercayakan pada self-certification. Keterlambatan dalam mengidentifikasi masalah dan ketidakmampuan dalam merespon sinyal-sinyal kegagalan merupakan kendala yang juga ditemui. Namun kendala ini juga terdapat pada non-FT, sehingga ini bukan akibat dari model FT melainkan lebih ke perilaku yang sudah terjadi akibat pola sentralisasi sebelumnya. Saat ini bahkan ada desakan dari Secretary of the State bahwa Monitor perlu mempertimbangkan de-authorization.
Jawab:
Ya, untuk APBD/APBN mekanisme penggunaannya seperti biasa, yaitu dengan Keppres No. 80. Yang boleh dipakai langsung oleh BLUD adalah pendapatan dari sumber non APBD/APBN, yaitu: pendapatan operasional(jasa layanan), hasil kerjasama, hibah dan pendapatan lain-lainyang sah.
2. Mengapa Kementerian Dalam Negeri tidak sekalian saja mengeluarkan juklak-juknis yang lebih operasional untuk pelaksanaan BLUD?
Jawab:
Permendagri tidak mengurusi sampai kesana, namun diserahkan pada daerah/RS-nya masing-masing, bagaimana pendekatan ke Pemda agar berjalan baik. Jika diatur oleh pusat, maka semangat fleksibilitasnya akan hilang.
3. Pemerintah Daerah saya keberatan jika RS saja jadi BLUD karena Pemda jadi tidak punya uang kas lagi, karena RS tidak lagi menyetorkan pendapatannya ke Pemda.
Jawab:
Ya benar, memang yang sering jadi masalah akhirnya adalah uang kas (fresh money). Pemda jadi tidak punya dana segar untuk membiayai macam-macam operasional Pemda. Tapi sekarang pertanyaannya begini: layakkah uang orang sakit dipakai untuk membiayai pembangunan, operasional pemda, honor DPRD, dll? Orang sakit sudah menderita karena sakitnya, harus jadi tambah miskin karena membayar biaya pelayanan kesehatan yang mahal, karena uangnya akan digunakan oleh pemda. Dimana letak keadilannya? Dimana letak janji dan sumpah jabatan yang katanya mau melindungi dan mengayomi rakyat?
4. Apakah ada kemungkinan RS saya ditolak saat mengajukan permohonan BLUD? Berdasar UU RS, semua RS harus BLUD.
Jawab:
Ya, karena berdasarkan Permendagri 61/2007 ada tiga kemungkinan dari hasil penilaian syarat administratif: BLUD penuh, BLUD bertahap, atau ditolak. Jika ditolak, berarti masih banyak dokumen administartif yang belum sesuai. RS harus membenahi dulu karena ini adalah syarat, lalu kemudian bisa mengajukan kembali. Proses ini harus ditempuh karena RSUD wajib BLUD. Jadi sebaiknya dari awal diusahakan menyusun dokumen administratif secara benar agar tidak ditolak
5. Apa bedanya Dewan Pengawas dan Tim Penilai PPK-BLUD?
Jawab:
Dewan pengawas dibentuk SETELAH BLUD ditetapkan. Tim penilai dibentuk SEBELUM BLUD ditetapkan. Dewas dibentuk bila diperlukan (tidak wajib) dan tugasnya adalah mengawasi jalannya BLUD. Ada kriteria tertentu bagi RSuntuk bisa membentuk Dewas, yaitu terkait dengan nilai omset dan aset lembaga, mengacu pada Permenkeu.
6. Saya diminta memberi masukan pada SK Dewan Pengawas RS saya. Sekda sebagai ketua Dewas.
Komentar:
Yang menjadi Dewas bukan Sekda, tapi orang yang diangkat oleh kepala daerah. Soal Dewas sudah cukup jelas disebutkan pada Permendgri Pasal 43-48.
7. Jika saya ditanya mengenai “Apakah RS akan tetap menyetorkan pendapatannya ke kas daerah setelah ditetapkan sebagai BLUD”, bagaimana saya harus menjawabnya?
Jawab:
Soal setor menyetor, Pasal 83-84 sudah mengatur dengan tegas tentang pengelolaan kas BLUD. Penerimaan operasional BLUD (dari jasa layanan, kerjasama, hibah, dll) setiap hari disetorkan SELURUHNYA pada kas BLUD dan dilaporkan kepada pejabat keuangan BLUD.
8. Akhir tahun lalu RS saya punya sisa anggaran yang kami kembalikan ke Pemda. Jika sudah BLUD, bagaimana aturan mengenai penggunaan ini?
Jawab:
Penggunaan pendapatan BLUD mengacu pada RBA BLUD yang telah dibuat untuk tahun yang bersangkutan. Sebenarnya boleh saja Pemda meminta kembali sisa pendapatan BLUD tersebut, dengan mempertimbangkan likuiditas BLUD (Pasal 109, Permendagri 61/2007). Artinya, setoran ke Pemda tersebut tidak mengganggu operasional BLUD. Jika sampai mengganggu, artinya Pemda tidak mendukung RS untuk menghasilkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. Ingat bahwaRS memiliki SPN dan untuk mencapai SPM ada program kerjanya. Program ini tertuang di dokumen RSB, yang kemudian menjadiRBA. Kalau pelaksanaan RBA terganggu, maka berpotensi untuk menghambat pencapaian SPM RS.
9. Jika sudah menerapkan PPK BLUD, maka RS harus transparan dan menggunakan sistem. Padalah selama ini, banyak juga teman-teman saya di RSUD yang memperoleh pendapatan diluar gaji dan jasa resmi, yaitu dari “ceperan”. Jika sistem di RS transparan, maka akan banyak staf RS yang pasti menolak karena akan kehilangan sumber pendapatannya tersebut.
Komentar:
Masalah ceperan itu memang sulit. Mereka melakukan itu awalnya kareba tidak percaya pada manajemen. Kerja banyak kokdapetnyas edikit. Tidak jelas kapan uang jasanya cair. Lebih baik nyeper sendiri. RS jadi seperti sebuah kapal induk yang tua, besar (susah belok kalau tiba-tiba arah angin berubah/susah menyesuaikan kalau lingkungan berubah), bocor sana sini (tidak efisien, kebocoran dimana-mana) dan karena pimpinan tidak tegas,orang-orang cenderung membiarkan dan cari selamat sendiri. Caranya nyeper sendiri-sendiri. Orang-orang yang nyeper itu seperti punya sekoci yang nyaman dan bahkan kadang lebih mewah dari kapal induk. Kalau sewaktu-waktu kapal induk tenggelam, mereka siap loncat ke sekoci masing-masing.
Akhirnya lingkaran seperti ini sambung menyambung tanpa terputus.Jika ada regenerasi pejabat atau pergantian orang, yang menggantikan kelakuannya sama.Meskipun tadinya saat mereka jadi “orang biasa” kelakuannya “lurus” dan bahkan ikut “mencela orang-orang yang memanfaatkan jabatan utk kepentingan pribadi”.
Dlm kondisi ini, mereka biasa disebut sedang terjebak sistem, tidak bisa berbuat banyak karena semua orang begitu, dan sebagainya…
Tapi sebenarnya siapa yang membuat sistem itu? Siapa yang bisa mengontrol orang-orang itu? Apakah tidak ada sama sekali? Pasti ada atasannya. Jika atasannya begitu juga, bagaimana? Ya ada atasannya yg di atasnya lagi yang ngontrol.. Jadi ujung-ujungnya balik ke pimpinan puncak. Bupati. Direktur RS. Direktur harus bisa mengontrol semua org yang ada di RS. Bupati harus bisa mengontrol semua orang di daerah. Kalau mau RSnya bagus, memberi pelayanan bermutu untuk rakyatnya Pak Bupati, maka Bupati harus mendukung Pak Direktur RS agar Pak Direktur bisa kontrol anak buahnya. Jangan sampe ada anak buah yang dekat dengan bupati, main telikung, bupatinya bukan mendukung direktur tapi malah melindungi staf yang seperti itu.
Kembali ke masalah ceperan, direktur harus bisa memimpin reformasi. Kembalikan kepercayaan staf, bahwa kalau mau maju bersama, buat sistem bersama, sepakati, dan jalankan. Ceperan hanya menguntungkan sebagian kecil pihak. RS tidak akan pernah maju kalau hanya sebagian kecil yang merasakan nikmatnya, apalagi yang sebagian kecil itu kerjanya nggak bagus-bagus amat…
Mengembalikan kepercayaan staf ini yang super sulit, tapi tetap harus dimulai, dan direktur harus bisa memberi contoh. Ajak orang-orang yang mau maju untuk ikut memberi contoh. Ibaratnya, kalau kita mau bersih-bersih, kita harus bersih dulu. Sapu yang kotor tidak bisa digunakan untuk membersihkan.
10. Mengapa dari proyeksi RSB, jumlah subsidi yang dibutuhkan RS saya setelah BLUD malah lebih banyak dibandingkan sebelum BLUD? Ini akan menyulitkan kami saat advokasi ke Pemda.
Jawab:
Subsidi tersebut dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan. Bukankah selama ini pelayanan RS anda dibawah SPMdan sering mendapat komplain dari masyarakat? Bapak dan ibu pejabatdi daerah anda juga enggan berobat ke RS anda kalau sakit? Ini menunjukkan bahwa pelayanan di RS anda masih dianggap buruk, tidak aman, dan seterusnya. Kedepan, RS anda membutukan anggaran tersebut untuk mengangkat kualitas pelayanan agar sesuai SPM. BLUD juga mewajibkan pelayanan sesuai SPM, bukan?
11. Jadi, tarif boleh naik, kan?
Jawab:
Tarif naik atau tidak itu dikembalikan pada kebijakan Pemda. Peran Pemda adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, termasuk menjamin aksesibilitas ke pelayanan kesehatan. Jadi jika rakyat tidak mampu mengakses pelayanan karena tidak memiliki cukup uang, maka Pemda yang “membelikan”.
Jika tarif saat ini sudah sesuai dengan unit cost, tidak masalah jika tidak dinaikkan. Namun pada umumnya yang terjadi adalah tarif jauh di bawah unit cost, termasuk tarif untuk pelayanan non subsidi (kelas VIP, Kelas I, dll). Jika ini terjadi, artinya pelayanan kelas non subsidi tersebut juga ikut menikmati subsidi dari pemerintah. Tentu saja ini kurang tepat karena mengakibatkan pemborosan anggaran daerah akibat terjadi salah alokasi subsidi. Apakah hal ini akan dibiarkan?
12. Apa kontribusi BLUD pada Pemda?
Jawab:
Sudah jelas bahwa dengan menerapkan PPK BLUD, RSUD bisa menekan pemborosan, mengurangi miss-allocation, berhemat di segala aspek dan perlahan-lahan bisa mengurangi subsidi APBD bila kemampuan atau daya beli masyarakatnya meningkat. Itu adalah bentuk kontribusi nyata BLUD pada pemerintah daerah.
Jika efisiensi anggaran bukan dianggap kontribusi, mungkin pemerintah daerah harus berpikir ulang mengenai keberadaan RSUD. Mungkin konsep RSUD tidak tepat, dan perlu diganti menjadi RS Swasta yang for profit, karena RSUD pada intinya adalah memberi pelayanan bukan mencari keuntungan.
Atau jika Pemda menginginkan kontribusi RS berupa pemasukan, barangkali pelayanan subsidi (misalnya layanan rawat inap kelas III) ditutup saja. RS sebaiknya sediakan Kelas VIP dan Kelas I saja sehingga ada keuntungan yang bisa didapat oleh RS untuk disetorkan pada Pemda. Dalam hal ini fungsi RSUD sudah berubah, bukan lagi menjadi lembaga yang melayani seluruh lapisan masyarakat tetapi hanya melayani kalangan yang mampu membayar.
BLUD adalah alat untuk membenahi pelayanan publik agar lebih efisien, dikelola secara transparan, menjadi lembaga yang akuntabel dan memberikan pelayanan yang efektif. BLUD bukan tujuan. Oleh karenanya, setelah ditetapkan sebagai BLUD masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk menjadi lembaga yang amanah.
13. Apa bedanya laporan keuangan dengan proyeksi keuangan yang ada di RSB?
Jawab:
Laporan Keuangan sifatnya melaporkan masa lalu, aktivitas yang sudah terjadi dalam bentuk informasi keuangan.
Proyeksi keuangan di RSB sifatnya memprediksi masa depan dari aspek posisi keuangan organisasi; ada surplus atau defisit, bagaimana perkiraan perkembangan operasional keuangan dan bagaimana posisi neraca dimasa mendatang.
Jadi laporan keuangan dan RSB adalah dua dokumen yang berbeda/terpisah.
Dalam RSB memang ada analisis internal mengenai keuangan, tapi sifatnya hanya informatif, bahwa posisi keuangan RS beberapa tahun terakhir adalah seperti yang tergambar disana. Karena hanya informatif, maka yang ditampilkan paling-paling adalah nilai akhir (berapa pendapatan per tahun dan berapa biayanya). Jadi bukan dalam bentuk laporan keuangan lengkap.
Catatan:
Konsep pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi public goods adalah lembaga tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya, khususnya yang berasal dari jasa layanan. Konsekuensi dari hal ini adalah pengurangan komposisi dana yang bersumber dari APBD, sehingga diharapkan RSUD dikemudian hari bisa mandiri (untuk pelayanan non subsidi).
Anggaran yang berasal dari APBD yang selama ini dipergunakan untuk membiayai perangkat daerah tersebut dapat dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang bersifat public goods lainnya, misalnya untuk pembangunan sekolahan, menambah kesejahteraan guru (kaitannya dengan mencerdaskan kehidupan bangsa), membangun jalan, irigasi (kaitannya dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat) dan sebagainya. Ke depan APBD hanya fokus untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat public goods.
Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Dalam Permendagri No 61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Makna dari definisi ini adalah sebagai berikut:
(1) BLUD merupakan perangkat daerah, mempunyai makna bahwa BLUD asetnya merupakan aset daerah yang tidak dipisahkan;
(2) Perangkat daerah yang dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD (sebagai Pengguna Anggaran) atau Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran);
(3) Memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau Unit Kerja tersebut memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata mencari keuntungan; dan
(4) Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD dterapkan dalam rangka efisiensi anggaran dan peningkatan pelayanan pada masyarakat.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah yang bersifat quasi public goods.
Dalam Permendagri tersebut juga dinyatakan bahwa BLUD merupakan Pola Pengelolaan Keuangan yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan diberikan fleksibilitas, yaitu berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
Untuk BLUD dengan status penuh, diberikan seluruh fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Permendagri tersebut. BLUD Bertahapdiberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan serta tidak diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa.
Dilain pihak, sampai saat ini masih ada keragu-raguan dari para pejabat di daerah tentang implementasi dari Permendagri No 61/2007 dimaksud, karena di dalam hirarki perundang-undangan Peraturan Menteri tidak termasuk di dalamnya. Sehingga sering muncul pertanyaan, “masa’ Permendagri menabrak Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah?”. Untuk itu, dapat kami jelaskan bahwa keberadaan Permendagri No 61/2007 tersebut ada karena amanat dari PP No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 150, dimana disebutkan “Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan”. Untuk itu, keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut sangat kuat. Oleh karena itu, dalam membaca Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut hendaknya bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, karena antara keduanya merupakan satu kesatuan.
Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan, tetapi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan kinerja keuangan.
Dalam hal pelayanan kesehatan, esensi penerapan PPK BLUD ini adalah agar RSUD dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan menerapkan PPK-BLUD, RSUD tidak lagi mempunyai hambatan dalam melakukan pelayanan yang di sebabkan oleh peraturan yang tidak memungkinkan untuk dapat cepat tanggap dalam memenuhi kebutuhan pasien. RSUD mendapat hak berupa beberapa fleksibilitas, antara lain pendapatan tidak disetor ke rekening kas daerah namun ke rekening kas BLUD. Hal ini akan mempermudah dan mempercepat pelayanan kepada pasien, karena pendapatan dapat langsung digunakan untuk belanja, asal bertujuan untuk peningkatan pelayanan pasien. Dengan demikian dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatannya RSUDberpedoman pada Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, yang antara lain memuat indikator mutu tertentu sesuai dengan target pemenuhannya.
Fleksibilitas lainnya adalah boleh mengangkat pegawai Non PNS asal profesional dan efisien. Hal ini akan membuat kinerja RSUD lebih produktif, karena memiliki pegawai Non PNS yang direkrut atau diangkat karena kompetensinya.
Masih banyak lagi fleksibilitas lainnya, antara lain tarif pelayanan yang dapat ditetapkan dengan Peraturan Walikota/Bupati, serta pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari pendapatan operasional bisa dikecualikan dari ketentuan Perpres 54. Dengan demikian memungkinkan untuk belanja lebih efisien, lebih hemat, lebih sesuai dengan kebutuhan RSUD utamanya untuk peningkatan pelayanan pasien.
Disamping mempunyai hak berupa beberapa flesibilitas, PPK-BLUD mempunyai kewajiban meningkatkan kinerja, meliputi kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat. Kinerja ini selalu dievaluasi oleh pemilik dalam hal ini Kepala Daerah. Hal ini menuntut RSUD untuk selalu berupaya meningkatkan kinerjanya sesuai “kontrak kerja” antara Direktur dengan Kepala Daerah, bahwa Direktur menyatakan sanggup meningkatkan kinerja sebagai salah satu persyaratan ditetapkannya PPK-BLUD oleh Kepala Daerah.
Prinsip BLUD yang transparan, akuntabel, responsible dan independen memang jauh berbeda dengan sebelum BLUD. Mindset semua SDM dituntut untuk berubah, dari birokrat menjadi entrepreneur. Selalu melakukan hal yang inovatif, efisiensi di segala bidang, responsif, cepat tanggap pada kebutuhan pasien, bukan lagi terpaku pada rutinitas belaka.
Berikut ini adalah tanya jawab terkait dengan persiapan RSUD untuk menjadi BLUD, berisi rangkuman dari hasil workshop dan konsultasi yang dilakukan oleh PKMK FK UGM dengan beberapa RSUD di Indonesia. Saat membantu sebuat RSUD dalam persiapan menerapkan PPK BLUD, tim konsultan/fasilitator seringkali dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari RSUD yang didasari pada kebutuhan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan advokasi dengan Pemda dan DPRD.
1. Mengapa setelah menjadi BLUD, anggaran yang diperlukan oleh RSUD justru lebih banyak dibandingkan dengan sebelum BLUD?
Jawab:
Anggaran tersebut diperlukan untuk peningkatan pelayanan. Jika selama ini pelayanan RSUD mutunya dibawah SPM, maka pasti RSUD mendapat banyak komplain dari masyarakat. Bapak/ibu pejabat daerah juga enggan berobat ke RSUD, dan lebih memilih ke RS swasta atau ke luar daerah. Mengapa? Karena pelayanan di RSUD dianggap buruk, tidak bermutu, apalagi bergengsi. Jadi RSUD membutuhkan anggaran tersebut untuk mengangkat kualitas pelayanan minimal agar sesuai dengan SPM.
Menjadi BLUD bukan berarti kemudian RS menjadi sebagai mesin uang (bagi Pemda). BLUD berarti menjadikan RS lebih bermutu. Jika RS bermutu, masyarakat yang sakit akan lebih cepat sehat kembali. Jika mereka sehat, mereka akan lebih produktif, bisa kerja lebih banyak, bisa membayar pajak lebih banyak. Kalau mereka sakit lebih lama, mereka akan butuh subsidi lebih banyak. Pemda pilih mana?
2. Apa untungnya BLUD bagi Pemda kalau anggaran/subsidi untuk RSUD malah tambah banyak (dari proyeksi keuangan di RSB)?
Jawab:
Permendagri 61/2007 Pasal 1 ayat 1 berbunyi: Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan pada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Dilain pihak, BLUD atau tidak BLUD, RSUD memiliki misi untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, termasuk orang miskin. Jadi sepanjang RS diwajibkan untuk melayani orang miskin maka sepanjang itulah subsidi dari pemerintah dibutuhkan. Karena fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, bukan oleh RS. Jika sudah jadi BLUD, diharapkan RSUD akan menjadi lebih efisien. Jadi untungnya bagi Pemda adalah anggaran daerah bisa dimanfaatkan secara lebih baik, tidak bocor (inefisiensi), tidak salah alokasi (subsidi untuk pelayanan yang dinikmati oleh bukan orang miskin), dan masih banyak lagi.
3. Lalu dimana letak bedanya antara yang sudah BLUD dengan yang belum?
Jawab:
Bedanya: yang sudah BLUD diharapkan tarifnya sesuai dengan unit cost. Jadi kalau tarif pelayanan untuk orang miskin lebih rendah dari unit cost, disitulah subsidi pemerintah terjadi. Pelayanan Kelas III tentunya boleh-boleh saja disubsidi. Namun jangan sampai pelayanan Kelas VIP dan Kelas I yang disubsidi oleh Pemerintah. Artinya jangan sampai tarif di kelas-kelas pelayanan tersebut lebih rendah dari unit cost karena itu berarti APBD mensubsidi orang mampu.
4. Mengapa perlu ada insentif khusus/jasa layanan untuk tenaga yang bekerja di RS? Bukankan mereka sudah mendapat gaji?
Jawab:
Kita perlu memberi insentif tersebut karena profesionalisme, karena orang-orang yang bekerja di RS merupakan profesi-profesi yang khusus. Semakin langka suatu profesi, makin tinggi insentifnya. Dan itu berlaku dimanapun di seluruh dunia. Selain itu, terkait juga dengan masalah risiko pekerjaan. Orang yang bekerja di RS menghadapi berbagai risiko, mulai dari tertular penyakit pasien sampai risiko tuntutan kalau terjadi kesalahan. Ini perlu dilindungi, salah satunya dengan memberi insentif lebih. Kemudian terkait masalah kekhususan pekerjaan. Pelayanan di SKPD lain di daerah kebanyakan tidak buka 24 jam. Jadi Pk. 14.00 para karyawannya sudah bisa pulang dengan tenang dan besoknya baru melanjutkan pekerjaannya lagi. Orang yang bekerja di RS tidak bisa seperti itu. Meskipun yang shift pagi bisa pulang ke rumah pukul 14.00, tetap saja sewaktu-waktu mereka harus ready jika ada masalah di RS, entah dia itu manajemen, apalagi kalau dia adalah seorang dokter atau perawat.
Karena keterampilannya bersifat khusus, orang-orang yang bekerja di RS saat masih bersekolah menempuh pendidikan dengan perjuangan yang sangat tidak mudah. Maka wajar jika diberi insentif yang berbeda dengan SKPD lainnya.
Untuk mendapatkan tingkat profesionalisme seperti yang dimiliki oleh staf yang bekerja di RS sangat tidak mudah. Diperlukan pengorbanan berupa tenaga, pikiran, waktu dan finansial yang tidak sedikit untuk menjadi profesi tertentu (misal dokter spesialis, perawat khusus, dan sebagainya). Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang bekerja di RS memiliki kompetensi yang memenuhi standar. Orang-orang yang datang ke RS dengan masalah kesehatan berarti menyerahkan “nasibnya” bahkan nyawanya pada tenaga kesehatan. Tentunya kita tidak ingin masyarakat ini kemudian dilayani oleh tenaga yang tidak kompeten.
5. Banyak kekhawatiran di kalangan pejabat Pemda, bahwa jika RSUD sudah dtetapkan menjadi BLUD maka tarifnya jadi mahal. Bagaimana menjelaskan hal ini?
Jawab:
Tarif naik atau tidak pasca BLUD, itu kembali pada kebijakan Pemda itu sendiri. Pemda bertanggung jawab untuk menjamin bahwa semua warganya bisa mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Jika ada warganya yang tidak mampu mengakses karena keterbatasan finansial, mana disitulah tanggung jawab Pemda untuk “membelikan” pelayanan tersebut bagi warganya yang tidak mampu dan itulah yang disebut sebagai subsidi. Untuk pelayanan di kelas-kelas lainnya, jika masih mendapat subsidi dari Pemda maka bisa saja tarifnya tidak naik atau naik sedikit, sesuai dengan selisih unit cost yang terjadi. Namun pertanyaannya adalah apakah wajar jika masyarakat yang mampu juga mendapat subsidi dari Pemda?
6. Apa saja yang harus berubah di RSUD jika telah ditetapkan sebagai BLUD?
Jawab:
Menjadi BLUD itu berarti mengubah budaya kerja. Bukan masalah uang saja, tapi mindset harus ikut berubah. Tadinya biasa dilayani, sekarang melayani. Tadinya “pasien butuh RS” sekarang “RS butuh pelanggan”. Tadinya uang disetor (ke Pemda), sekarang bisa dikelola sendiri (di rekening RSUD). Jika mindset tidak berubah, bisa dibayangkan bagaimana cara orang-orang RSUD mengelola uang yang sangat banyak tersebut.
7. Bukankan berubah menjadi BLUD prinsipnya hanya berubah dari “dulu setor, sekarang tidak”?
Jawab:
Tidak sesederhana itu. Dulu sebelum BLUD, mentalnya adalah mental “setoran” dan mental menghabiskan anggaran sebab jika anggaran tidak terserap/tidak habis, maka akan dianggap kinerjanya jelek. Sedangkan jika sudah BLUD, mentalnya kebalikan, yaitu harus berhemat, harus efisien. Jika ada dua barang yang satu seharga Rp 500 yang satubnya lagi seharga Rp 600 dengan mutu sama, mengapa harus membuang uang Rp 100 meskipun di anggaran sudah direncanakan Rp 600? Jadi tidak sesederhana “dulu setor sekarang tidak”. RS harus mulai berpikir enterpreneurship. Manajer RS dituntut untuk menjadi Manajer sungguhan, bukan sekedar Kepala RS, Kepala Keuangan, Kepala Perencanaan, Kepala Staf dan seterusnya, tapi sebagai manajer keuangan, manajer SDM, manajer operasional.
8. Banyak RS yang melaksanakan morning report. Sebenarnya morning report untuk apa? Dan berapa lama diperlukan waktu untuk melakukan morning report?
Jawab:
Morning report biasanya digunakan sebagai moment untuk berkomunikasi antara manajemen dengan fungsional sekaligus membahas berbagai masalah yang ada di RS dan menyepakati solusinya. Dari berbagai masalah yang di-morning-report-kan, baru bisa diketahui butuh berapa lama untuk melakukan morning report. Idealnya antara 30-60 menit jika dilakukan setiap hari. Jika hanya seminggu sekali, tentu lebih banyak waktu yang diperlukan karena masalah yang perlu dibahas sudah terakumulasi dalam seminggu.
Morning report ini juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengubah budaya organisasi. Jika pimpinan RS komitmen untuk melaksanakan morning report, harus on time. Misalnya saja semua sepakat MM dimulai Pk. 7.00. Jadi begitu waktu menunjukkan Pk. 7 MM harus dimulai, tidak perlu menunggu yang belum datang. Lama kelamaan yang biasa terlambat akan menyesuaikan diri. (Kebiasaan untuk datang terlambat ke sebuat pertemuan adalah karena pertemuan sering molor dari undangan.) Namun pimpinan harus memberi contoh. Pimpinan bukan hanya direktur tapi juga semua pejabat di RS. Semua atasan harus beri contoh pada bawahan masing-masing. Ini salah satu cara mengubah budaya organisasi. Jika ini berlangsung secara konsisten, maka komponen-komponen yang ada di dalam RS akan bisa kompak.
Semakin banyak staf RS yang paham tentang BLUD akan semakin baik, sebab nanti para pimpinan tidak terlalu susah menggerakkan orang-orangnya untuk mencapai tujuan bersama.
9. Mengapa permohonan RSUD untuk menjadi BLUD bisa ditolak? Bagaimana agar bisa lebih meyakinkan Pemda (dan DPRD)?
Jawab:
Jika syarat administratif (dari hasil penilaian BLUD oleh tim penilai) nilainya kurang dari 60, maka pasti harus ditolak. Namun ini masih bisa diperbaiki. RS harus melengkapi atau memperbaiki syarat administrasi tersebut sesuai dengan masukan dari tim penilai. Lalu kemudian dilakukan penilaian ulang. Jika penyebabnya bukan syarat administratif (misal karena politis) RS perlu gunakan pendekatan atau advokasi. Gunakan semua peraturan tentang BLUD dan semua referensi yang terkait sebagai amunisi. Untuk dapat menggunakannya sebagai amunisi, tentu harus menguasai dulu isi peraturan-peraturan tersebut, dan yang terpenting memahami prinsip BLUD. Jika semua peraturan sudah dibaca dan dikuasai, pasti bisa memberikan penjelasan yang logis dan berdasar kuat saat melakukan advokasi.
10. Apa contohnya bahwa RSUD akan lebih efisien jika sudah ditetapkan sebagai PPK BLUD?
Jawab:
Contoh dulu sebuah RSUD di Jawa Tengah membeli lift untuk pasien seharga Rp 400 juta dengan penunjukkan langsung. Jika belum BLUD, pengadaan dengan harga setinggi itu harus melalui lelang. Harga lift ditambah dengan biaya lelang dan sebagainya, maka anggaran yang dibutuhkan kira-kira menjadi Rp 600 juta. Dalam hal ini BLUD menghemat anggaran pemerintah sebesar Rp 200 juta. Ini baru dari pengadaan lift.
Contoh lain, BLUD menetapkan tarif berdasarkan unit cost. Jika tarif Kelas III lebih rendah dari unit cost, maka selisihnya disubsidi oleh pemda. Sedangkan tarif Kelas VIP dan Kelas I tidak boleh lebih kecil dari unit cost (diatur oleh Perbup). Dan karena ditetapkan dengan Perbup, maka tarif VIP dan Kelas I bisa dibuat menyesuaikan dengan kenaikan harga-harga, agar tidak dibawah unit cost. Jika tarif Kelas VIP masih dibawah unit cost (karena ditetapkan melalui Perda yang sulit diubah) siapa yang akan menanggung selisihnya? Secara tidak disadari, selisih ini ditutupi oleh APBD. Artinya APBD diserap oleh orang kaya. Dengan kata lain Pemda mensubsidi orang yang sebenarnya mampu membayar sendiri. Tentu saja ini jauh dari prinsip efisiensi.
Contoh lain lagi adalah di Perencanaan Tahunan. RBA bersifat fleksibel, jadi bisa mengikuti kebutuhan RS (pasien). Kalau tidak memerlukan suatu barang/jasa maka RS tidak perlu membeli, meskipun saat merencanakan hal tersebut dianggarkan. Jika perlu dan kurang, RS bisa menambah anggaran, meskipun saat perencanaan hal tersebut anggarannya kurang dibandingkan dengan kebutuhan saat implementasi. Dengan cara ini pasti RS menjadi jauh lebih efisien dibandingkan “butuh nggak butuh tetap beli, dan jika tidak terpakai barang akan numpuk di gudang sampai expired”.
Dalam hal kepegawaian, jika kompetensi seorang karyawan tidak pas dengan kebutuhan RS (apalagi jika perilakunya juga tidak sesuai dengan budaya kerja yang ingin dikembangkan), bisa saja dikembalikan staf tersebut ke pemda dengan alasan kinerja (karena BLUD punya ukuran kinerja). Atau diberhentikan (kalau pegawai yang bersangkutan diangkat oleh BLUD) dan RS bisa merekrut staf baru yang lebih sesuai. Tentunya ini akan lebih menghemat anggaran RS/Pemda dibandingkan dengan “mempekerjakan orang yang hanya makan gaji buta namun kinerjanya tidak jelas”.
Tulisan terkait:
Pertanyaan yang terkait dengan Standar Pelayanan Minimal:
Kendala dalam penyusunan SPM UPTD Pasar karena belum ada contohnya (belum ada Pasar yang sudah menjadi BLUD). Bagaimana standarnya pelayanan minimalnya?
Jawab:
Harus ada yang memulai membuat SPM Pasar. Yang penting adalah mengikuti prinsip penyusunan SPM.
Langkah penyusunan SPM:
- Menciptakan lingkungan yang menyadari perlunya mengukur kinerja
- Penyusunan indikator
- Penerapan indikator
- Review
- Evaluasi dan ongoing monitoring
Pertanyaan yang terkait dengan Kewenangan BLUD Penuh dan Bertahap:
Untuk status BLUD Bertahap, apa saja yang tidak boleh dilakukan?
Jawab:
Permendagri 61/2007, Pasal 27:
- Status BLUD bertahap diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan.
- Status BLUD bertahap tidak diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa.
Pertanyaan yang terkait dengan Pendapatan BLUD:
Sebelum BLUD, pendapatan UPTD Pasar harus disetor seluruhnya ke kas daerah. Setelah BLUD, pendapatan dari sewa kios harus disetor dalam waktu 1×24 jam karena dianggap PAD sedangkan pendapatan lain boleh dikelola langsung. Pendapatan dari sewa kios digunakan untuk membayar utang ke World Bank yang dulu digunakan untuk investasi membangun pasar. Mana sebenarnya pendapatan yang dikatakan PAD dan mana yang bukan?
Jawab:
Semua pendapatan pasar tidak perlu disetor, namun tetap dilaporkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Utang pada World Bank dibayar dari pajak, bukan dari pendapatan BLUD. Pasar adalah alat pemerintah untuk melayani masyarakat, bukan untuk membayar utang. Penghematan APBD akibat dari efisiensi BLUD yang digunakan untuk membayar pajak, bukan pendapatan BLUD.
Pertanyaan yang terkait dengan Sistem dan Pengelolaan Keuangan BLUD:
Apakah sistem keuangan BLUD harus dibuat dalam 2 bentuk yaitu SAK dan SAP?
Jawab:
BLUD perlu menyusun SAK, karena BLUD dikelola dengan prinsip bisnis. SAP perlu dibuat untuk keperluan konsolidasi dengan Pemda. Jadi BLUD perlu membuat kedua-duanya. Seharusnya BLUD hanya membuat SAK sesuai dengan Permendagri 61/2007 dan PPKD yang menyusun SAP. Namun kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai BLUD membuat PPKD sering terlambat merespon kebutuhan BLUD dalam hal konsolidasi laporan keuangan. Oleh karena itu, BLUD yang bersangkutan membantu dengan cara menyusun SAP juga disamping membuat SAK sesuai kewajibannya.
Pertanyaan yang terkait dengan RKA, RBA dan Ambang Batas:
1. Pada RBA terdapat ambang batas. Apakah DPA juga ada ambang batas?
Jawab:
Baik RBA maupun DPA sama-sama memiliki ambang batas.
2. Sudah ditetapkan sebagai BLUD sejak Nov. 2011 dan baru menyusun RBA untuk anggaran tahun 2013. Namun diharuskan juga untuk membuat RKA. Bagaimana pertanggungjawabannya?
Jawab:
RBA dibuat dengan prinsip accrual basis sedangkan RKA dibuat dengan prinsip cash basis. Jadi pasti keduanya memiliki angka yang berbeda. Pertanggungjawabannya juga beda. Yang jelas BLUD hanya harus membuat RBA.
3.Awalnya PPKAD dan Bagian Hukum hanya memberi ambang batas 5% pada RBA, namun kemudian pada peraturan kepala daerah ditetapkan sebesar 10%. Karena tingkat inflasi berubah-ubah, apakah diperbolehkan mengubah peraturan kepala daerah tersebut agar BLUD tetap dapat memberikan pelayanan dengan baik kepada masyarakat?
Jawab:
Ambang batas memang bisa berubah sesuai dengan tingkat inflasi. Oleh karena itu, tidak boleh ada Perda mengenai Ambang Batas. Demikian juga dengan peraturan kepala daerah, sebaiknya tidak mengatur persentasenya (angkanya), namun mengatur mengenai persetujuan oleh kepala daerah, dimana persetujuan ini dicantumkan dalam DPA dan RBA. Ambang batas dihitung dengan membandingkan antara anggaran dengan realisasi selama dua tahun terakhir dan antara anggaran dengan prognosa tahun berjalan.
Pertanyaan yang terkait dengan Dewan Pengawas:
1. Pemendagri 61 tidak mengatur tentang honorarium Dewan Pengawas, namun di Permenkeu aturan ini ada. RS memiliki Dewan Pembina Teknis dan Dewan Pengawas yang honorariumnya diatur melalui peraturan kepala daerah. Apakah ini bisa?
Jawab:
Permendagri 61/2007 mengatur tentang honorarium Dewan Pengawas sbb:
Pasal 50 Ayat (1):
Pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan remunerasi sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.
Pasal 50 Ayat (3):
Remunerasi bagi dewan pengawas dan sekretaris dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dalam bentuk honorarium.
Pasal 52:
Honorarium dewan pengawas ditetapkan sebagai berikut:
- honorarium ketua dewan pengawas paling banyak sebesar 40% (empat puluh persen) dari gaji pemimpin BLUD;
- honorarium anggota dewan pengawas paling banyak sebesar 36% (tiga puluh enam persen) dari gaji pemimpin BLUD; dan
- honorarium sekretaris dewan pengawas paling banyak sebesar 15% (lima belas persen) dari gaji pemimpin BLUD.
2. Apa yang harus dilakukan oleh Dewan Pengawas?
Jawab:
Pasal 44 Permendagri 61/2007: Dewan pengawas bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan BLUD yang dilakukan oleh pejabat pengelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban Dewan Pengawas (Pasal 44 Ayat (2)):
- memberikan pendapat dan saran kepada kepala daerah mengenai RBA yang diusulkan oleh pejabat pengelola;
- mengikuti perkembangan kegiatan BLUD dan memberikan pendapat serta saran kepada kepala daerah mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BLUD;
- melaporkan kepada kepala daerah tentang kinerja BLUD;
- memberikan nasehat kepada pejabat pengelola dalam melaksanakan pengelolaan BLUD;
- melakukan evaluasi dan penilaian kinerja baik keuangan maupun non keuangan, serta memberikan saran dan catatan-catatan penting untuk ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola BLUD; dan
- memonitor tindak lanjut hasil evaluasi dan penilaian kinerja.
Tugas tersebut harus dilaporkan oleh Dewas kepada Kepala Daerah minimal setahun sekali, atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
3. Ada Dewan Penyantun atau Dewan Pembina (yang kini disebut Tim Pembina) yang memasukkan unsur legislatif. Ini diakui salah, namun tidak bisa diubah karena sudah terlanjur berjalan selama beberapa tahun, sehingga kemudian dibiayai dengan menggunakan biaya umum.
Jawab:
Harus segera diubah sesuai dengan aturan yang berlaku agar tidak menyalahi peraturan.
4. SK Dewan Pengawas sudah ditandatangani, namun kemudian dalam perjalanannya mengalami perubahan. Saat pengangkatan menjadi Dewas dilakukan berdasarkan nama, bukan lagi jabatan. Lalu ada salah satu anggota yang dimutasi, sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan kriteria Permendagri untuk jadi Dewan Pegawas. RS hanya bisa pasif karena semua keputusan ada di Pemda. Bagaimana menyikapi ini?
Jawab:
Permendagri 61/2007 Pasal 45 Ayat (1) menyebutkan bahwa anggota dewan pengawas dapat terdiri dari unsur-unsur:
- pejabat SKPD yang berkaitan dengan kegiatan BLUD;
- pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah; dan
- tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLUD.
Jika berdasarkan nama, menjadi tidak tepat dan tidak ada dasar hukumnya.
RS tidak bisa pasif karena sesuai Pasal 43 Ayat (4), Dewan Pengawas dibentuk dengan keputusan kepala daerah atas usulan pimpinan BLUD.
5. BLUD memiliki asset senilai Rp 30 M dan omset per Oktober 2012 sebesar Rp 21 M. BLUD ini memiliki juga Badan Pengawas sebanyak 4 orang yang terdiri dari Sekda, Inspektorat, Kepala DPPKAD dan Asisten 2. Saat ini ada Tokoh Masyarakat yang memaksa untuk menjadi anggota Dewan Pengawas.
Jawab:
BLUD tidak mengenai istilah Badan Pengawas, melainkan Dewan Pengawas yang dibentuk dengan keputusan kepala daerah atas usulan pimpinan BLUD. Unsur-unsur yang membentuk Dewan Pengawas diatur oleh Pasal 45 sebagaimana jawaban pada pertanyaan sebelumnya. Jadi Sekda, Inspektorat, Asisten 2 apalagi tokoh masyarakat tidak bisa menjadi Dewan Pengawas.
6. Honorarium Dewan Pengawas ditetapkan sebesar 40 : 36 : 15 (sesuai dengan Permendagri) yang langsung dikalikan dengan gaji pokok direktur, karena sistem remunerasi belum berjalan.
Jawab:
Pasal 52 Permendagri 61/2007:
Honorarium dewan pengawas ditetapkan sebagai berikut:
- honorarium ketua dewan pengawas paling banyak sebesar 40% (empat puluh persen) dari gaji pemimpin BLUD;
- honorarium anggota dewan pengawas paling banyak sebesar 36% (tiga puluh enam persen) dari gaji pemimpin BLUD; dan
- honorarium sekretaris dewan pengawas paling banyak sebesar 15% (lima belas persen) dari gaji pemimpin BLUD.
Jadi apa yang diterapkan tersebut sudah benar, yaitu persentasi honor dikalikan dengan gaji, bukan remunerasi. Gaji merupakan bagian dari remunerasi.
Menurut Pasal 50 Ayat (2) Permendagri 61/2007, Remunerasi merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun.
7. Sebagai RS Tipe C dengan pendapatan sebesar Rp 26 M, RS ini belum memiliki Badan Pengawas. Bagaimana komposisi Badan Pengawas ini?
Jawab:
BLUD tidak mengenal istilah Badan Pengawas. Yang ada adalah Dewan Pengawas yang komposisinya terdiri dari unsur-unsur:
- pejabat SKPD yang berkaitan dengan kegiatan BLUD;
- pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah; dan
- tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLUD.
Permendagri 61/2007, Pasal 43, Ayat (3):
Syarat minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan jumlah anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan No 9/2006, Pasal 4:
Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang untuk BLU yang memiliki:
- realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran sebesar Rp. 15.000.0000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah), dan/atau
- nilai aset menurut neraca sebesar Rp. 75.000.000.000,00 (tujuhpuluh lima miliar rupiah) sampai dengan Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Jadi RS dengan pendapatan Rp 26M tidak perlu memiliki Dewan Pengawas.
8. Semangat BLUD adalah untuk mengefisienkan anggaran daerah/negara. Namun dengan adanya Dewan Pengawas, BLUD harus menganggarkan dana untuk honor, biaya operasional dan sebagainya. Mengapa bertolak belakang dengan semangat BLUD?
Jawab:
Keberadaan Dewan Pengawas penting sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Daerah dalam mengawasi/memonitor, mengevaluasi dan membina BLUD agar kewenangan (fleksibilitas) yang telah diberikan pada BLUD benar-benar digunakan sebagaimana mestinya untuk menghasilkan kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri.
9. Apakah Dewas wajib bagi BLUD?
Jawab:
Sesuai pasal 43 Permendagri 61/2007, hanya BLUD dengan nilai omset atau aset tertentu saja yang dapat (bukan wajib) memiliki Dewan Pengawas.
10. RS belum memiliki Dewas, yang ada adalah Tim Pembina. BPKP menyarankan untuk membentuk Dewas sesuai dengan Permenkeu, yang anggotanya terdiri dari DPKAD dan Sekda. Apakah ada saran dari Subdit BLUD?
Jawab:
Sesuai pasal 43 Permendagri 61/2007, hanya BLUD dengan nilai omset atau aset tertentu saja yang dapat (bukan wajib) memiliki Dewan Pengawas. Jadi kembali pada kebutuhan RS, apakah memerlukan Dewas atau tidak.
Permendagri 61/2007 Pasal 45 Ayat (1) menyebutkan bahwa anggota dewan pengawas dapat terdiri dari unsur-unsur:
- pejabat SKPD yang berkaitan dengan kegiatan BLUD;
- pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah; dan
- tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLUD.
Sekda tidak bisa menjadi Dewan Pengawas.
Jangan lupa bahwa anggota Dewas harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pada Pasal 45 Ayat (3), yaitu:
- memiliki dedikasi dan memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan BLUD, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;
- mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi anggota direksi atau komisaris, atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu badan usaha pailit atau orang yang tidak pernah melakukan tindak pidana yang merugikan daerah; dan
- mempunyai kompetensi dalam bidang manajemen keuangan, sumber daya manusia dan mempunyai komitmen terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pertanyaan yang terkait dengan Sistem Remunerasi:
1. Apakah ada kewajiban BLUD untuk membuat sistem remunerasi? Seberapa jauh bisa diimplementasikan? Seberapa lama setelah ditetapkan sebagai BLUD?
Jawab:
Yang diatur hanyalah remunerasi untuk Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola BLUD. Namun pola remunerasi ini akan menjadi salah satu faktor pendorong yang penting dalam upaya mengembangkan budaya profesionalisme dikalangan SDM BLUD. Sehingga sistem ini penting untuk diimplementasikan segera setelah BLUD menunjukkan kinerja yang meningkat.
2. Bagaimana jika peraturan kepala daerah mengenai remunerasi belum rampung dibuat?
Jawab:
BLUD jadi tidak punya dasar untuk memberikan remunerasi. Dalam jangka tidak terlalu lama, ini akan menghambat upaya perubahan bidaya organisasi kearah yang lebih profesional sesuai dengan spirit BLUD.
3. Bagaimana seharusnya sistem remunerasi RS?
Jawab:
Berbasis kinerja, dan memperhitungkan juga kekhususan dari kerja yang dilakukan, misalnya faktor risiko, tingkat kesulitan dan sebagainya. Yang terpenting adalah membuat konsensus di internal RS, sehingga rumusan manapun yang digunakan bisa diterapkan dan memuaskan.
Pertanyaan yang terkait dengan Pengadaan Barang dan Jasa:
1. Sebelum BLUD, ada peraturan daerah bahwa pengadaan barang dan jasa boleh dilakukan secara langsung jika nilainya kurang dari Rp 10 juta. Saat itu, ada pembelian senilai Rp 25 juta. Kemudian ada Keppres No 70 yang membolehkan pembelian senilai di atas Rp 200 juta. Bagaimana cara membayar utang dari pembelian sebelumnya yang dilakukan sebelum adanya Kepres No 70 tersebut?
Jawab:
Ditunda sampai kapanpun utang tersebut tetap harus dibayar. Mekanismenya menggunakan mekanisme BLUD, karena aturan keuangan tidak berlaku mundur.
2. Dengan adanya Kepres No 70, pembelian sudah boleh dilakukan secara langsung dengan nilai pengadaan maksimal Rp 200 juta. Bagaimana dengan pengadaan yang sifatnya operasional, misalnya baju dinas? Jumlah perawat lebih dari 750 orang x Rp 250 ribu per baju maka nilainya sudah melebihi pagu sehingga harus tender. Apakah pengadaan ini boleh dikelompokkan per profesi untuk menghindari lelang?
Jawab:
Bisa, dengan cara diadakan sesuai kebutuhan dan bisa dibuktikan bahwa dengan cara tersebut RS menjadi lebih efisien.
Pertanyaan yang terkait dengan Masalah Lainnya:
1. Sebelum ditetapkan sebagai BLUD, ada sejumlah obat yang dibeli dengan dana APBD. Setelah menjadi BLUD, masih ada cukup banyak sisa obat dari pembelian dengan dana APBD tersebut, apakah bisa dijual? Bagaimana payung hukumnya?
Jawab:
Gunakan prinsip efisiensi. Obat yang disimpan terus menerus lama kelamaan akan expired sehingga tidak efisien lagi bagi RSUD. Selain itu ada biaya penyimpanan logistik. Oleh karenanya, tentu saja obat tersebut dijual kepada masyarakat, dalam arti masyarakat mengganti biaya pembeliannya dimana kemudian pendapatan dari penjualan obat ini digunakan untuk pengadaan selanjutnya.
2. RS sudah pernah diperiksa oleh BPK, namun RS lebih paham mengenai BLUD daripada BPK. Lalu RS bisa bertanya kepada siapa?
Jawab:
Bisa bertanya ke RS lain yang lebih dulu BLUD dan menjalankannya secara benar, ke Subdit BLUD melalui email atau telepon, atau sumber lain yang bisa dipertanggungjawabkan.
3. Jumlah masyarakat miskin di daerah ini lebih besar dari kuota, sehingga hanya 60% dari total masyarakat miskin yang ditanggung oleh asuransi. Sisanya yang 40% kebanyakan juga tidak memiliki kartu sehingga ini menjadi piutang di RSUD (dengan nilai total saat ini mencapai Rp 300 juta).
Jawab:
RSUD harus punya kebijakan penghapusan piutang untuk piutang-piutang yang jelas tidak bisa tertagih. Disisi lain, RSUD harus memperkuat upaya advokasi agar masyarakat miskin ditanggung pemerintah/negara, karena itu adalah kewajiban pemerintah, bukan kewajiban RSUD.
4. Kantor Penanaman, Penguatan dan Penyertaan Modal (KP3M) ditetapkan sebagai BLUD Bertahap, dimana yang di-BLUD-kan hanya fungsi Penguatan Modal. Padahal ada dua kegiatan lain yang secara substansi saling berbeda. Bagaimana tanggapan Subdit BLUD?
Jawab:
Bentuk organisasinya tidak pas.
5. Tadinya ada keraguan Pemda terkait perubahan regulasi tarif dari Perda menjadi Peraturan Kepala Daerah. Namun dengan adanya surat dari Subdit BLUD kepada Gubernur, maka masalah tersebut saat ini sudah selesai, tarif sudah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. Masalah baru yang muncul adalah BLUD tidak diperbolehkan membagi jasa pelayanan kalau belum mendapatkan untung.
Jawab:
BLUD tidak akan pernah untung, dan secara prinsip, BLUD bukan untuk mencari keuntungan. Jadi larangan tersebut tidak ada dasarnya.
6. RS belum memiliki SPI, minta penjelasan lebih lanjut dari Subdit BLUD, bagaimana sebaiknya.
Jawab:
Sama dengan Dewan Pengawas, SPI tidak wajib. Jadi kalau tidak ada, secara peraturan sebenarnya tidak masalah.
7. Di daerah kami ada RS yang mensubsidi Pemda karena sudah surplus. Apakah memang harus seperti itu?
Jawab:
BLUD mengemban fungsi sosial (quasi public goods) dimana sebagian (atau sebagian besar) layanannya ditujukan untuk masyarakat tidak mampu. Jika BLUD mensubsidi Pemda, sama artinya Pemda memperoleh pendapatan dari orang miskin. Padahal sebalikya, BLUD adalah alat Pemda untuk melayani orang miskin, bukan untuk memperoleh pendapatan dari menjual barang atau jasa kepada orang miskin.
8. Masalah yang masih terjadi di daerah adalah pemahaman DPRD mengenai BLUD yang masih sangat minim.
Jawab:
Perlu sosialisasi secara terus menerus.
9. Siapakah auditor independen BLUD selain inspektorat?
Jawab:
BPK. BLUD tidak perlu mengalokasikan anggaran khusus utuk diaudit, sebab Permendagri 61 menyebutkan bahwa BLUD “bersedia diaudit oleh auditor independen”. Jadi pernyataan “bersedia” ini berarti pasif, jika pemerintah menghendaki maka BLUD bersedia membuka diri (bukan menyediakan anggaran) untuk diaudit. Jika BPK tidak mampu mengaudit BLUD, atau merasa perlu mendatangkan auditor eksternal, maka BPK dapat meminta KAP untuk mengaudit BLUD menggunakan anggaran dari BPK sendiri.
10. Persepsi kejaksaan dan Tipikor berbeda dimana KSO ini dilihat dari nilai barangnya. Misalnya jika RS akan melakukan KSO untuk layanan CT Scan, harga alat mencapai Rp 4 M sedangkan kewenangan RS hanya sampai dengan maksimal Rp 1 M. Bagaimana ketentuan KSO sebenarnya?
Jawab:
Yang diatur dalam kewenangan tersebut adalah pengadaan barang dan jasa. Contoh dalam kasus KSO CT Scan, RSUD tidak mengadakan (membeli) alat CT Scan. RSUD juga tidak membayar jasa pihak ketiga untuk memberikan layanan CT Scan, sehingga tidak ada pengeluaran berupa pengadaan barang maupun membayar jasa pihak ketiga. Yang ada justru RSUD mendapatkan hasil dari kerjasama tersebut.
Pertanyaan yang terkait dengan Laporan Keuangan:
1. SKPD A telah ditetapkan menjadi BLUD dan diwajibkan memberikan laporan keuangan secara triwulan ke PPKAD. SKPD B yang lebih dulu ditetapkan sebagai BLUD memberikan laporan setiap bulan ke PPKAD setiap bulan, sehingga SKPD A juga diminta untuk menyerahkan laporan bulanan. Mana yang benar?
Jawab:
Laporan pertanggungjawaban dibuat dalam bentuk triwulanan dan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab (SPTJ) sesuai dengan Lampiran 5 Permendagri 61/2007.
2. Mekanisme pertanggunggjawaban di PPKAD belum seragam. Ada yang minta SPJ, ada yang cukup dengan surat pertanggungjawaban sedangkan SPJ disimpan di RS. Bagaimana sebenarnya?
Jawab:
Semua bukti pengeluaran diganti dengan selembar kertas SPTJ, sedangkan bukti berupa kuitansi, invoice dan sebagainya disimpan di BLUD yang bersangkutan.
3. Karena tidak semua fungsi di KP3M menjadi BLUD, maka ada masalah dalam kelembagaan, yaitu kesulitan dalam mengkompilasi laporan keuangan. Jadi, bentuk organisasi apa yang tepat? Di tempat lain bentuknya UPTD yang juga menangani koperasi dan UMKM, sedangkan KP3M membawahi pertanian, pasar, dan sebagainya. Saat ini KP3M lebih berfungsi sebagai kasir atau pusat administrasi untuk dana-dana yang ada.
Jawab:
Secara kelembagaan, implementasi BLUD untuk KP3M kurang tepat.
4. Laporan keuangan belum sesuai ketentuan. Kebijakan Kepala Daerah mengenai akuntansi di RS belum dijabarkan oleh Direktur.
Jawab:
Aturan teknis harus dibuat sebagai dasar hukum melakukan tindakan/implementasi BLUD.
Pertanyaan terkait dengan Utang dan Piutang BLUD:
1. Apakah pembayaran utang BLUD yang berupa belanja modal dan jasa pelayanan bisa diakomodir? BLUD ditetapkan pada tahun 2011, namun baru terlaksana tahun 2012. Ada kekurangan pembayaran jasa sehingga BLUD utang pada karyawan. Bisakah hal ini direncanakan dalam RBA untuk dibayarkan tahun depan, sehingga tidak perlu menunggu perubahan?
Jawab:
Tidak ada RBA Perubahan dalam BLUD. Jika ada SILPA tahun sebelumnya yang sudah dimasukkan pada RBA tahun berjalan, seharusnya prediksi surplus ini direncanakan dan digunakan untuk apa di awal tahun berjalan.
2. Terkait hasil audt oleh Pemda, tahun 2011ada utang yang baru dapat dibayar pada bulan Meil 2012. Namun pembayaran ini tidak disahkan karena seharusnya dibayar pada bulan Januari-Februari. Akibatnya, laporan keuangan Pemda dan RS tidak balance. Bagaimana seharusnya?
Jawab:
Utang tetap harus dibayar. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mensahkan pembayaran utang tersebut.
Pertanyaan terkait dengan Tarif Layanan BLUD:
1. Retribusi layanan RS ditetapkan dengan Perda, sesuai dengan hasil konsultasi Bagian Hukum ke Kementerian Keuangan. Padahal selama ini diketahui bahwa cukup dengan Peraturan Kepala Daerah, kecuali layanan kelas 3 bisa dengan Perda. Bagaimana menyikapi hal ini?
Jawab:
RS dan BLUD lain tidak mengenal istilah retribusi. Yang ada adalah jasa layanan.
2. Standarisasi harga BLUD, menganut pola SKPD atau membuat sendiri?
Jawab:
Harga BLUD = Tarif Pelayanan.
Sesuai dengan Permendagri 61/2007, Pasal
3. Tarif masih menggunakan Perda tahun 2006. Apakah perlu dilakukan pencabutan Perda sebelum menetapkan pola tarif baru?
Jawab:
Jika telah ditetapkan menjadi BLUD, semua aturan yang tidak sesuai dengan BLUD secara otomatis menjadi gugur atau tidak berlaku, jadi tidak pelru pencabutan peraturan. Dalam memandang aturan mengenai BLUD, kita harus melihat mulai dari UU sampai Permendagri sebagai satu kesatuan, jadi bukan hanya melihat pada Permendagri 61 saja.
Pertanyaan terkait dengan Belanja BLUD:
RS memperkirakan akan ada surplus sebesar Rp 3 M di akhir tahun ini. Sebagai BLUD Bertahap, apakah boleh digunakan untuk membeli makanan dan minuman pasien untuk bulan Desember tahun ini?
Jawab:
Selama untuk kepentingan pelayanan dan tidak bisa ditunda, maka dana tersebut bisa digunakan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk BLUD Bertahap.
Pertanyaan terkait dengan Pengelolaan Investasi:
Direktur berniat untuk memanfaatkan surplus untuk investasi jangka pendek. Hasil konsultasi ke Bank diketahui bahwa dengan dana sebesar Rp 2 M akan ada bunga sebesar 2,1%. Investasi akan dilakukan untuk tahun anggaran baru. Apakah ada saran dari Subdit BLUD?
Jawab:
Apakah RSUD ini masih membutuhkan subsidi dari pemerintah (pusat dan daerah)? Jika masih, maka tidak ada alasan untuk melakukan investasi seperti itu. Jika akan investasi jangka pendek, gunakan dana yang benar-benar sedang tidak terpakai. Misalnya pada bulan November, surplus yang sudah terkumpul bisa didepositokan selama sebulan karena tidak akan dipakai belanja pada bulan Desember.
Kotter pada artikel sebelumnya telah memaparkan mengenai delapan penyebab paling besar mengapa transformasi di sebuah organisasi gagal. Diantaranya adalah karena organisasi tersebut tidak matang pada fase sense of urgency, kurang meluangkan waktu untuk mengkomunikasikan visi perubahan, atau terlalu cepat mendeklarasikan pencapaian yang didapat. Sependapat dengan Kotter, Michael Beer dan Nitin Nohria dalam artikelnya bertajuk Cracking the Code of Change menuliskan bahwa alasan kegagalan berbagai organisasi tersebut adalah karena mereka terlalu terburu-buru dalam proses perubahan, terpana dengan berbagai saran yang tersedia di berbagai referensi dan menerapkannya secara “urut kacang”.
Berdasarkan pengalaman mereka selama lebih dari 40 tahun, Beer dan Nohria menyimpulkan bahwa ada dua pola dasar atau teori perubahan. Keduanya sangat berbeda, dimana Teori E merupakan perubahan yang berbasis pada nilai ekonomis sedangkan Teori O adalah perubahan berbasis pada kapabilitas organisasi. Kedua teori ini diterapkan secara sadar maupun tidak sadar oleh banyak eksekutif organisasi. Perbedaan kedua teori tersebut diuraikan secara lebih detil berikut ini.
Dimensi Perubahan | Teori E | Teori O |
Tujuan | Memaksimalkan nilai-nilai pemegang saham | Membangun kapabilitas organisasi |
Kepemimpinan | Mengelola perubahan secara top down | Menggalang partisipasi dari bottom up |
Fokus | Menekankan pada struktur dan sistem | Membangun budaya organisasi: perilaku dan sikap karyawan |
Proses | Merencanakan dan membangun program-program | Eksperimen dan berkembang |
Reward system | Memotivasi melalui insentif finansial | Memotivasi melalui komitmen |
Penggunaan konsultan | Konsultan menganalisis masalah dan memberi solusi | Konsultan mendukung manajemen dalam menemukan solusi mereka sendiri. |
Beer dan Nohria menggunakan dua perusahaan produsen kertas untuk membandingkan aplikasi kedua teori ini. Contoh perusahaan yang menerapkan Teori E adalah Scott Paper saat dipimpin oleh Al Dunlap. Pada waktu itu 11 ribu karyawan diberhentikan dan beberapa bisnis ditutup. Yang tidak mampu memberikan perannya untuk meningkatkan shareholders value atau tidak sejalan dengan gaya kepemimpinannya langsung diminta keluar dari perusahaan. Dunlap sama sekali tidak melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan. Dalam waktu 20 bulan ia berhasil menaikkan keuntungan perusahaan tiga kali lipat. Dari USD 3M di tahun 1994 menjadi USD 9M pada akhir tahun 1995.
Para manajer yang menggunakan Teori O memberi kan nilai yang tinggi pada kontrak antara perusahaan dengan karyawan yang berbasis pada komitmen psikologis jangka panjang. Contoh perusahaan yang menerapkan Teori O adalah Hewlett-Packard saat Andrew Sigler sebagai CEO di tahun 1980-an. Siglers dan para manajer lainnya meluncurkan program jangka panjang untuk merestrukturisasi budaya organisasi dengan visi baru Champion Way, dimana seperangkat nilai-nilai dan prinsip-prinsip baru didesain untuk membangun kapabilitas SDM, misalnya pada area komunikasi dan teamwork. Kaya kepemimpinannya adalah partisipatif dimana seluruh SDM secara emosinal memiliki komitmen utuk meningkatkan kinerja perusahaan. Fokus diletakkan pada membangun “software” organisasi. Pada reformasi satu dekade tidak ada pemecatan, para manajer dan karyawan didorong untuk mengevaluasi kinerja mereka masing-masing dan bagaimana mereka bisa menjadi lebih baik. Tidak ada single person yang dianggap sebagai pembawa perubahan. Insetif finansial hanya digunakan sebagai suplemen, untuk itu ada sistem pemberian insentif berbasis skill. Namun secara keseluruhan aspek finansial ini tidak terlalu banyak mendorong pencapaian tujuan.
Sebenarnya tidak banyak perusahaan yang menggunakan Teori E saja, atau Teori O saja. Yang mengkombinasikan antara Teori E dan O jauh lebih banyak. Namun banyak sekali yang gagal, karena banyak manajer yang sekedar menggabungkan kedua teori ini tanpa berusaha untuk mencairkan ketegangan yang ada diantara keduanya. Karyawan sulit mempercayai pemimpin yang disatu pihak memupuk budaya organisasi namun disisi lain berlaku kejam melalui pemecatan. Mengkombinasikan kedua teori ini merupakan ide bagus, namun harus ada solusi untuk membuat dua kutub ekstrim ini – hard dan soft approach – dapat diterapkan secara mulus di satu perusahaan.
ASDA merupakan jaringan took kelontong di UK yang menghadapi kebangkrutan di tahun 1991. Archie Norman adalah CEO yang berhasil mengkombinasikan Teori E dan O dengan hasil yang spektakuler: kepercayaan dan keterbukaan karyawan – dan meningkatnya keuntungan shareholder delapan kali lipat.
Dimensi Perubahan | Bagaimana mengkombinasikan Teori O dan E | Contoh dari ASDA |
Tujuan | Merangkul paradox antara nilai ekonomis dengan kapabilitas organisasi | Norman memulai masa jabatannya dengan mengatakan “tujuan kita yang pertama adalah untuk memastikan keuntungan para pemegang saham kita” dan “Kita membutuhkan budaya yang dibangun diseputar gagasan umum…..dan mendengarkan, belajar, dan kecepatanrespon, dari took ke atas” |
Kepemimpinan | Tetapkan tujuan dari atas dan motivasi karyawan dari bawah | Norman secara sepihak menetapkan strategi tariff yang baru dan memindahkan kekuasaan dari kantor pusat ke took-toko. Program “Berterus Terang pada Archie” –nya mendorong terjadinya dialog pada seluruh karyawan. Ia menyewa konsultan yang hangat dan mudah diakses – Allan Leighton – untuk melengkapi gaya kepemimpinannya yang cenderung ke Teori O dan untuk menguatkan komitmen emosional di ASDA. |
Fokus | Fokus pada sisi hard dan soft organisasi | Norman mengupayakan untuk memenangkan hati dan juga pikiran. Ia memacu pertumbuhan nilai ekonomis melalui perubahan kuat pada struktur, misalnya memindahkan orang-orang pada lapisan atas hirarki organisasi dan membekukan semua gaji. Dia menaruh perhatian yang tinggi pada sisi soft dengan menghabiskan 75% bulan-bulan pertamanya sebagai manajer SDM untuk menciptakan organisasi yang lebih transparan dan egaliter – “sebuah tempat bekerja yang hebat untuk semua orang” |
Proses | Berencana untuk spontanitas | Norman mendorong terjadinya eksperimentasi, menetapkan tiga took “bebas risiko” dimana karyawan bisa melakukan kesalahan tanpa terkena penalty. Para manajer bereksperimen dengan lay out toko, variasi produk, peran karyawan. Sebuah tim cross-functional meredesain ASDA secara keseluruhan dan menghasilkan inovasi yang signifikan. |
Reward System | Menggunakan insentif untuk memperkuat, bukan untuk mendorong perubahan | ASDA menerapkan insentif Teori E dengan cara O. Perusahaan ini mendorong partisipasi aktif seluruh karyawan untuk mengubah ASDA. Dan perusahaan ini memberi reward bagi komitmen mereka berupa kepemilikan stock dan variasi pembayaran berbasis pada kinerja perusahaan dan kinerja toko. |
ASDA telah mampu membangun keunggulan kompetitif berkesinambungan, sesuatu yang dulu tidak mampu dibangun oleh Dunlap di Scott Paper dan Sigler dengan Champion-nya. Hasil seperti yang didapat oleh ASDA juga mungkin didapat oleh organisasi lain pada jaman sekarang yang ingin membangun keunggulan kompetitifnya masing-masing. Namun keunggulan tersebut hanya dating dari kemauan yang konstan dan kemampuan untuk membangun organisasi untuk jangka panjang, dikombinasikan dengan monitoring secara konstan terhadap shareholder value. E dan O menari secara harmonis tanpa akhir.
Tulisan terkait: