Kebijakan Kartu Indonesia Sehat: Bikin RS jadi Galau?
Wawancara dengan Direktur RSD di DKI dan Pengurus ARSADA Pusat
Salah satu program strategis Joko Widodo sebagai Gubernur DKI adalah Kartu Jakarta Sehat yang diimplementasikan dalam kurun waktu 100 hari pertamanya menjabat sebagai gubernur. Dengan kartu ini, seluruh masyarakat ber-KTP DKI bisa mengakses pelayanan kesehatan meskipun mereka tidak memiliki uang.

Dalam salah satu sesi debat capres, Jokowi menyatakan bahwa Kartu Indonesia Sehat akan menjadi salah satu prioritasnya jika ia terpilih sebagai presiden RI. Ketika pada 22 Juli lalu KPU menyatakan pasangan Ir. H. Joko Widodo – Drs. H. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden, publik sektor kesehatan ramai mendiskusikan masalah KIS. Sebagian mempertanyakan apa perlunya KIS padahal sudah ada BPJS, apalagi BPJS adalah program baru yang dalam pelaksanaannya masih banyak masalah. Sebagian khawatir bahwa program KIS akan berbenturan dengan program BPJS dan petugas (pemberi pelayanan kesehatan) akan semakin bingung dengan berbagai program yang berganti-ganti. Tidak sedikit pula yang menyoroti bahwa KJS belum sepenuhnya berjalan baik di DKI sehingga menimbulkan apriori pada rencana penerapan program KIS di seluruh Indonesia.
Benarkan demikian?
Untuk memahami KIS dan bagaimana dampaknya terhadap pelayanan di RS, kita harus memahami bagaimana KJS diterapkan. Hasil wawancara website ini terhadap Dr. Kusmedi Priharto, SpOT (Direktur RSUD Tarakan) dan dr. Heru Ariyadi, MPH (Sekjen ARSADA Pusat) menunjukkan bahwa banyak hal positif dengan diterapkannya KJS. Antara lain adalah kelemahan sistem rujukan dan kapasitas pelayanan selama ini jadi telihat dengan lebih jelas.
“Angka kematian di RS meningkat. Bukan berarti pelayanan di RS buruk, namun ini akibat dari semakin terbukanya akses masyarakat terhadap pelayanan di RS. Jadi jika tadinya warga miskin yang sakit terminal meninggal di rumah, kini mereka bisa dibawa ke RS untuk mendapatkan perawatan”, katanya. Dalam hal ini, meskipun kasus terminal memiliki prognosa buruk, RS tidak mungkin menolaknya sehingga dirawat di RS hingga akhirnya meninggal. Di negara maju, layanan paliatif dikembangkan di RS maupun di rumah (homecare) agar pasien meninggal dalam kondisi layak dan terawat.
Hal yang menarik adalah fenomena tingginya jumlah pasien. Pada awal pelaksanaan KJS, jumlah pasien tiba-tiba meningkat sehingga menyebabkan RS-RS kewalahan. Lonjakan pasien menyebabkan antrian sangat panjang hingga “penolakan” pasien karena kapasitas RS sudah penuh. Salah satu penyebab diserbunya RS oleh pasien adalah karena pelayanan tingkat primer (PPK I baik di puskesmas maupun RS pratama) masih jauh dari memadai. Selama enam bulan pertama kondisi tersebut menimbulkan kesemrawutan pelayanan, yang pada akhirnya berangsur reda. Namun jumlah pasien hingga saat ini masih tetap tinggi.
Dr. Kusmedi berpendapat bahwa hal ini terjadi karena PPK I kurang optimal. Banyak kasus yang tidak perlu dirujuk, namun dirujuk ke RS menyebabkan beban pelayanan di RS tetap tinggi. “Misalnya pasien hamil (di PPK I) yang sudah bukaan lengkap, tinggal lahir, namun dikirim (ke RS). Jadi ada masalah pada keinginan untuk mengobati pasien. Sementara itu banyak RS swasta yang masih memilih-milih dalam menangani pasien. Jika sekiranya kasus tersebut bisa merugikan secara keuangan, maka akan dirujuk ke RS pemerintah. Saat ini, hanya tiga sampai empat RS swasta yang bekerjasama dengan BPJS secara penuh.” imbuhnya.
Sebagai Direktur RSUD Tarakan Jakarta, Dr. Kusmedi menganggap bahwa pelaksanaan JKN merupakan kawah candradimuka yang telah mengajarkannya untuk secara kreatif memikirkan cara-cara untuk meningkatkan efisiensi dengan tetap menjaga mutu layanan.
Menurutnya, kunci pelaksanaan KJS (maupun jaminan kesehatan lainnya) adalah pada program promotif dan preventif. Kapasitas PPK I harus diperkuat. Apalagi sejak diimplementasikannya JKN pada Januari lalu, PPK I harus menguasai penanganan 155 jenis penyakit yang tidak boleh dirujuk ke RS. Ia menambahkan, “Sekarang saatnya jika hendak memperbaiki sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Bukan hanya fasilitas kesehatan, namun Fakultas Kedokteran juga harus berubah. Dengan sistem rujukan saat ini, RS Pendidikan hanya akan menangani kasus dengan tingkat severity yang tinggi”. Mahasiswa kedokteran tidak akan dapat mempelajari kasus dengan tingkat severity rendah di RS Kelas A atau RS Kelas B Pendidikan, sehingga perlu ada perubahan dalam sistem pendidikan kedokteran.
Menanggapi masalah KJS versus JKN, menurut dr. Kusmedi baik KJS (atau KIS) maupun JKN sama-sama merupakan jaminan negara bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Hanya saja pada JKN ada partisipasi masyarakat mampu untuk membayar iur biaya. “JKN adalah asuransi paling gila di dunia karena tidak ada batasnya, sehingga asuransi asing menjadi ketakutan. Pertanyaannya adalah berapa lama negara bisa menjamin dengan cara seperti ini?” dr. Kusmedi menambahkan.
Sementara itu, menurut dr. Heru Ariyadi, MPH, Sekjen ARSADA Pusat, ada salah kaprah di masyarakat mengenai JKN, BPJS dan KIS. JKN adalah program jaminan kesehatan nasional yang mencakup seluruh masyarakat Indonesia, sedangkan BPJS adalah organisasi penyelenggaranya. Namun terjadi salah kaprah dimana masyarakat yang ter-cover JKN disebut sebagai peserta BPJS. “Salah kaprah yang kedua adalah JKN di awal terlalu fokus pada tarif INA-CBGs, peraturan, namun lupa pada identitas dasar untuk menetapkan kepesertaan. BPJS mengeluarkan kartu sehingga kemudian pemegang kartu disebut peserta BPJS”, imbuhnya. Menurut dr. Heru, yang benar seharusnya adalah peserta JKN, pengelola BPJS, penyelenggara pelayanan adalah PPK (RS, Puskesmas, dan sebagainya).
“Jadi tidak ada masalah jika JKN diganti dengan Kartu Indonesia Sehat karena itu hanya masalah labelling”. (Mengenai Kartu Indonesia Sehat, dr. Heru Ariyadi, MPH telah menyiapkan artikel khusus yang bisa Anda simak disini). Jika nantinya Kartu Indonesia Sehat benar-benar telah diimplementasikan, yang perlu dilakukan menurutnya adalah nomenklatur yang digunakan perlu ditata kembali, sedangkan sistem tidak berubah karena pada prinsipnya sudah sama. “Paling-paling yang berubah nanti hanya PBI yang lebih luas, misalnya karena ini adalah kebijakan populis maka semua masyarakat asalkan mau dirawat di Kelas III maka bisa menggunakan KIS”, katanya.
Dr. Heru mengakui bahwa saat ini program JKN masih dilematis bagi RSUD khususnya. ARSADA sejak awal menginginkan agar masyarakat dapat dilayani dengan baik, para profesional kesehatan happy karena mendapatkan imbalan yang layak, serta ada kendali mutu maupun kendali biaya oleh BPJS dan RS. Namun iuran kecil sekali, yaitu hanya Rp 19.500/orang/bulan untuk PBI dan Rp 22.500/orang/bulan untuk peserta mandiri.
Meskipun demikian, menurut dr. Heru ada harapan pada pemerintahan Jokowi bahwa anggaran kesehatan akan lebih memadai, mengingat saat ini masih lebih kecil (APBN 2,5%) dibandingkan amanat UU Kesehatan (APBN 5% dan APBD 10%). Program JKA di Aceh atau Bali Mandara di Bali bisa menjadi semacam varian bagi JKN atau Kartu Indonesia Sehat.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa implementasi KIS di seluruh Indonesia merupakan bentu dari tanggung jawab negara untuk menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu. Tentu saja ada masalah yang perlu diantisipasi. Dr. Kusmedi maupun Dr. Heru sama-sama sepakat bahwa untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka:
- Direktur RS tidak boleh seseorang dengan kemampuan “ecek-ecek”, karena harus mengetahui informasi biaya pelayanan dengan detil dan bagaimana perubahan komposisi biaya bisa mempengaruhi berbagai aspek operasional RS. Direktur juga harus menguasai strategi bagaimana melakukan efisiensi dan menggunakan berbagai data dalam melakukan advokasi pemerintah dan DPRD.
- Peran Dinas Kesehatan sebagai regulator perlu dioptimalkan dan tidak merangkap sebagai operator. Peran ini penting terkait dengan penguatan PPK I, sistem rujukan serta pengawasan terhadap mutu pelayanan kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan harus memiliki kapasitas kepemimpinan yang baik dan tidak merasa inferior terhadap RS.
- Kapasitas PPK I perlu diperkuat agar mampu menangani 155 jenis kasus yang tidak boleh dirujuk ke faskes sekunder, karena harus ditangani secara tuntas di faskes primer. Saat ini baru sedikit sekali fakses priner yang memiliki kemampuan tersebut secara lengkap, di Provinsi DKI sekalipun.
- Sistem rujukan harus diperkuat. Selama ini sistem rujukan belum pernah dievaluasi sehingga belum ada kebijakan untuk membenahi sistem tersebut. Kepala daerah wajib menetapkan regionalisasi rujukan yang disesuaikan dengan kemampuan dan geografis daerahnya masing-masing. Selain itu, komunikasi antara faskes primer (PPK I) dengan fakses sekunder dan seterusnya perlu dibangun agar tidak terjadi lagi penolakan-penolakan pasien akibat kapasitas yang sudah penuh.
- Evaluasi terhadap program-program pemerintah (pusat) secara keseluruhan juga perlu dilakukan. Banyak program besar (misalnya penanggulangan TB, bidan desa, posyandu dan sebagainya, namun belum pernah dimonitoring dan dievaluasi sehingga pengambil kebijakan tidak memiliki data yang baik dan akibatnya tidak mampu menghasilkan solusi yang efektif untuk berbagai masalah kesehatan.
- Menteri seharusnya bukan jabatan politis melainkan profesional dan memiliki konsep yang jelas. Karena harus profesional, maka perlu ada kriteria yang jelas mengenai kompetensi menteri kesehatan. Mengenai hal ini, ada diskusi menarik yang dapat diikuti di http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/2671-diskusi-calon-menteri-kesehatan.html
Masih galau dengan KIS? (pea)