Kurangnya kapasitas tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor kesenjangan pelayanan kesehatan selama COVID-19. Menurut data dari International Labour Organization, banyak negara telah mengalami kekurangan tenaga kesehatan selama pandemi COVID-19 karena jam kerja panjang, upah yang rendah, dan kendala keselamatan kerja dan risiko yang tinggi di lapangan.1 Terlebih lagi, faktor – faktor tersebut memiliki dampak yang lebih besar bagi wanita. Secara global, wanita menempati 70% dari tenaga kesehatan profesional.2 Adapun di Indonesia, daerah – daerah pedesaan dan pelosok sangat bergantung pada pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para bidan. Seorang bidan di daerah rural umumnya sangat dipercayai oleh masyarakat dan seringkali memberikan pemeriksaan dasar dan konseling kesehatan sebelum masyarakat pergi ke puskesmas atau fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.3 Wanita juga seringkali terlibat dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebagai sukarelawan dan pekerja sosial. Lantas, apa yang membedakan besarnya beban dan risiko yang dihadapi tenaga kesehatan wanita dan pria, terutama selama pandemi COVID-19?
Menjaga Keberlangsungan Pelayanan Kesehatan SRMNCAH Selama Pandemi COVID-19
Menjaga Keberlangsungan Pelayanan Kesehatan Seksual Reproduksi Maternal Neonatal Anak dan Remaja (SRMNCAH) Selama Pandemi COVID-19
CoP for Health Equity
Situasi pandemi COVID-19 telah mengalihkan prioritas berbagai negara. Pada sektor kesehatan, mayoritas tenaga dan sumber daya kesehatan telah dialokasikan untuk menangani kasus COVID-19. Alhasil, timbul kesenjangan pada berbagai bidang pelayanan kesehatan lain, termasuk pada pelayanan kesehatan seksual, reproduksi, maternal, neonatal, anak, dan remaja (SRMNCAH). SRMNCAH adalah salah satu aspek dari poin ketiga Sustainable Development Goals, dimana pada 2030, Angka Kematian Ibu (AKI) global harus berkurang hingga 70 per 100.000 kelahiran hidup.1 Oleh karena itu, negara – negara harus memprioritaskan layanan SRMNCAH esensial agar dapat berlanjut selama pandemi ini, terlebih lagi karena jenis layanan ini melayani perempuan, anak – anak, dan remaja yang lebih rentan terhadap gangguan kesehatan maupun pelanggaran hak asasi selama masa kedaruratan.
Tantangan pada Layanan Kesehatan Indonesia Selama COVID-19
Community of Practice for Health Equity
Sejak terjangkitnya negara Indonesia dengan COVID-19 pada 2 Maret 2020, jumlah kasus positif terus bertambah pesat. Data World of Meters per 18 Juli 2020 menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi negara dengan kasus positif COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara dan menempati urutan ke-26 total kasus tertinggi di seluruh dunia dengan 84.882 kasus.1 Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, Indonesia telah menempati peringkat ke-36 negara dengan ekonomi paling terpengaruh COVID-19.2 Pandemi ini memperlebar kesenjangan multidimensional di Indonesia, termasuk kesenjangan akses akan layanan kesehatan.
Pengobatan Simptomatik untuk Health Inequity
Pengobatan Simptomatik untuk Health Inequity :
Meningkatkan Kesadaran akan Bias Implisit pada Pelayanan Kesehatan
Community of Practice for Health Equity
“Health equity” atau pemerataan dalam kesehatan berarti idealnya, setiap orang harus mendapatkan kesempatan yang adil untuk mencapai potensi kesehatan penuh mereka dan tidak seorang pun boleh dibedakan dalam mencapai potensi ini.1 Atas dasar definisi ini, tidak boleh ada pasien yang patut menerima standar perawatan kesehatan yang lebih rendah karena “structural inequality” atau ketidakadilan struktural yang meliputi faktor sosial ekonomi, kelas, tingkat pendidikan, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, dan dimensi-dimensi lain yang melekat pada individu dan kelompok.2
Menanggulangi Kesenjangan Kesehatan Mental Selama Wabah COVID-19
CoP for Health Equity
Wabah COVID-19 berdampak pada kesehatan mental di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan swaperiksa web PDKSJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) per 14 Mei 2020, terdapat 69% dari 2.364 responden menderita masalah psikologis, antara lain cemas, depresi, dan trauma psikologis. Prevalensi penderita gangguan jiwa akan terus meningkat selama wabah COVID-19, sehingga sekarang timbul suatu urgensi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan mental. Namun, apakah Indonesia siap untuk menanggulangi masalah kesehatan mental yang muncul selama dan setelah wabah ini berlangsung?
Kesehatan Anak, Stunting, dan Pernikahan Dini
CoP for Health Equity
14% gadis di Indonesia telah menikah sebelum memasuki ulang tahun yang ke – 18 dan 1% telah menikah sebelum berumur 15 tahun. Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati peringkat 8 tertinggi populasi di dunia dengan anak perempuan menikah dini. Disisi yang sama, Indonesia adalah negara dengan salah satu negara dengan angka stunting tertinggi di dunia. Apakah tingginya prevalensi untuk kedua hal tersebut hanyalah kebetulan semata?
Pendidikan Murid dengan Disabilitas Perlu Perhatian Khusus di Masa Pandemi COVID-19
CoP for Health Equity
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan penutupan sekolah dan universitas dalam upaya mencegah penyebaran penyakit tersebut. Berbagai institusi pendidikan telah menerapkan pembelajaran jarak jauh dengan muridnya melalui teknologi daring. Zoom dan Google classroom adalah contoh metode popular yang digunakan para guru untuk mengajar maupun melakukan ujian. Tetapi apakah bisa dibayangkan murid tuna rungu, tuna netra mengikuti kelas dan ujian menggunakan Zoom atau Google classroom?
Mewujudkan Keadilan Gender dan Kesehatan Dalam Konteks Pandemi COVID-19
Mewujudkan Keadilan Gender dan Kesehatan Dalam Konteks Pandemi COVID-19
CoP for Health Equity
Ketidaksetaraan gender adalah fenomena yang tidak asing didengar di kalangan masyarakat. Walau ketidakadilan gender dapat menimpa kaum wanita maupun laki – laki, sejarah menunjukkan jika angka maupun luasnya kejadian ketidaksetaraan terlihat jelas merugikan mayoritas kaum wanita. Pandemi COVID-19 telah memulai ketidaksetaraan yang baru dan juga memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya. Walau jenis kejadian ketidaksetaraan sangat luas dan sulit untuk didaftarkan semua, secara umum krisis pandemi ini menempatkan kaum wanita sebagai kelompok rentan melalui tiga aspek; dari segi rumah tangga; dari lingkungan pelayanan kesehatan; dan secara finansial.
Menggunakan Social Determinants untuk Mempromosikan Keadilan Kesehatan Selama Krisis
Menggunakan Social Determinants untuk Mempromosikan Keadilan Kesehatan Selama Krisis
Kesenjangan kesehatan adalah hal yang sulit diatasi di kalangan masyarakat. Terlebih lagi di negara demokrasi dan berkembang seperti Indonesia, terlihat jelas disparitas sosioekonomi antara warga, yang seterusnya mempengaruhi perbedaan kondisi kesehatan mereka. Krisis pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung telah memperluas kesenjangan tersebut.
Dikutip dari HealthItAnalytics, Helen Dowling, MPH, ahli dalam ilmu kesehatan masyarakat, menyatakan bahwa ada banyak perbincangan mengenai COVID-19 sebagai equal opportunity killer, atau pembunuh dengan peluang yang sama untuk semua. Namun, faktanya tidak seperti itu. Ada sebagian komunitas yang meninggal dengan kecepatan yang lebih cepat dibanding kelompok lain, dan sangat krusial untuk melihat data epidemiologi korban yang terkena, agar kita dapat berfokus untuk meningkatkan kondisi kelompok rentan tersebut.
Pengumpulan Data
Untuk identifikasi persebaran pasien dengan penyakit, diperlukannya akses data individu. Hal ini menunjukan adanya banyak rintangan. Privasi, keamanan, dan infrastruktur yang tidak memadai adalah sebagian dari permasalahan yang dihadapi untuk pengumpulan data. Terlebih lagi, periode COVID-19 pandemi telah mempersulit pengumpulan data secara konvensional. American Heart Association (AHA) berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan mendirikan sistem dimana himpunan data COVID-19 dapat diakses oleh peneliti di penjuru dunia untuk bekerja sama menyelidiki hubungan antara COVID-19 dan disparitas kesehatan. Sistem yang didirikan oleh AHA adalah hanya salah satu dari upaya lain yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dan pemangku kepentingan untuk identifikasi kesenjangan kesehatan pandemi ini.
Jaminan Kesehatan Nasional dan Keadilan dalam Kesehatan di Masa Pandemi
Community of Practice for Health Equity
Jaminan Kesehatan Nasional dan Keadilan dalam Kesehatan di Masa Pandemi
Iuran BPJS Kesehatan akan Dinaikkan Kembali Mulai 1 Juli 2020
Pada 2019, presiden membuat kebijakan untuk menaikkan iuran BPJS dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Kenaikan tersebut terjadi tidak tanpa protes dari masyarakat. Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) adalah salah satu dari kelompok dari masyarakat yang merasa jika perubahan tersebut membebani warga secara finansial. Dalam upaya untuk menurunkan iuran BPJS, KPCDI menggugat pemerintah atas kebijakan tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Alhasil, pada 31 Maret 2020, MA menerima gugatan yang diajukan dan membatalkan Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang mendasari kenaikan iuran tersebut. Dua bulan dari pembatalan, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 64 tahun 2020 yang menaikkan kembali nominal iuran BPJS.