Sikapi Protes Masyarakat atas Pungutan Retribusi
JAYAPURA-Ombudsman Republik IndoÂnesia (ORI) Perwakilan Papua dan Papua Barat di Jayapura menggelar sidak ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura. Mereka langsung menemui pelaksana tugas harian Direktur Umum Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura drg.Marthinus Ginting. Sidak dan klarifikasi ini dilakukan berdasarkan pemberitaan protes dari puluhan masyarakat karena harus membayar Rp 98 ribu di loket poliklinik RSUD Dok II Jayapura sebelum berobat. Penerapan pungutan biaya itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2011.
Melan Kiriho, Asisten ORI Perwakilan Papua dan Papua Barat mengawali pembicaraan saat tim ORI bertemu Pelaksana Tugas Harian Direktur RSUD Dok II Jayapura, drg.Marthinus Ginting mengatakan, tujuan pihaknya berkunjung karena membaca berita protes warga terhadap pungutan retribusi sebesar Rp. 98.000.00. “Kami ingin klarifikasi pemberitaan ini,†kata Melan, Kamis (7/3).
Menanggapi penjelasan itu, Pelaksana TuÂgas Harian Direktur RSUD Dok II Jayaura, Martinus Ginting mengatakan, mengenai Perda Nomor 5 Tahun 2011 itu, sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2012 tetapi Juklaknya belum ada sehingga tidak dilaksanakan. Juklaknya baru diterima pada November 2012, maka pelaksanaannya berlaku pada 2013. “Mengenai peraturan ini, saya sudah pernah tulis di koran, sudah pernah disiarkan di RRI tetapi sejak tiga hari, dengan demikian lewat beberapa hari saya coba membuat baliho tentang Jamkespa dan Perda,†kata Martinus.
Martinus menjelaskan, pungutan sebesar Rp 98 ribu itu terbagi dua. Â Pertama Rp 59 ribu akan digunakan untuk membiayai jasa pelayanan, sedangkan Rp 39 ribu untuk jasa sarana. Jasa sarana termasuk obat, kalau saat itu pasien yang diperiksa tetapi tidak ada obat, anggaran itu digunakan untuk membeli obat. Â Sementara, Jasa pelayanan jumlahnya Rp. 59.000. Pendapatan dari 59 ribu itu akan dikeluarkan tiap bulan untuk membayar dokter, dokter umumnya, perawat bidang, penunjang medis dan administrasi Rumah Sakit.
Penunjang medis yang dibayar yaitu mereka yang  mencuci seprai dan alat medis. Ia menambahkan, persoalan itu sudah dilaporkan ke sekda Provinsi Papua, pertelepon namun jawaban yang didapat adalah diminta untuk ditangani. Laporan juga diajukan ke Dinas Kesehatan Provinsi Papua namun, tanggapannya  sudah ada aturan.
 “Jika ada peraturan gubernur, kan paling tidak diatasnya harus ada Perdasi atau Perdasus. Sekarang ini kan banyak APBN dan APBD lalu Otsus,†kata Melan Kiriho menanggapi penjelasan Martinus. Lanjut dia, selama ini masyarakat mengeluh karena mengertinya bahwa mereka sudah ada dana Otsus. Pengertian masyarakat terhadap penggunaan dana otsus berarti gratis.
“Mekanisme penyampaian informasi kepada masyarakat soal alur anggaran itu turun sampai ke Instansi dan dipakai untuk pelayanan-pelayanan seperti ini kan tidak jelas,†tuturnya. Dia menegaskan, satu hal yang juga mesti diperhatikan adalah harus ada tempat pengaduan di Rumah Sakit sehingga mudah megajukan keluhannya. “Saya pikir ada upaya-upaya dari bapak untuk mensosialisasikan itu kepada masyarakat. Mungkin karena waktunya hanya tiga hari. Tetapi perlu harus disampaikan ulang mengenai item-item penggunaan dana tersebut. Penyampaiannya harus jelas,†kata Kepala Perwakilan ORI Papua dan Papua Barat, Sabar Iwanggin. Sebab, lanjut dia,  di luar sana banyak sekali keluhan masyarakat. Sabar mempertanyakan pengutan retribusi tersebut. “Penggunaan retribusi itu mengapa tidak plot langsung dalam dana otsus?,†tanya Sabar.
Anggaran Otsus yang diplotkan untuk kesehatan yang sebelumnya Rp 37 miliar kemudian saat ini naik Rp 47 miliar. Apakah persoalan ini tak dibicarakan bersama DPRP agar penggunaan untuk pembiyaan yang dibiayai oleh retribusi langsung dari dana otsus sehingga tak ada lagi retribusi.  “Saya harap itu bisa terjadi, hak-hak dari rumah sakit didapat tetapi kewajibannya untuk melaksanakan pelayanan juga harus benar-benar diberikan agar tidak menjadi masalah. Iwanggin menyarankan, Perda Nomor 5 Tahun 2011 kembali disosialisasikan lagi.
Dia menambahkan, mereka bertindak karena ditugaskan oleh negara untuk mengawasi penggunaan APBN dan APBD. “Tugas kita itu sebenarnya, mengawasi semua pengguna anggaran baik APBN, APBD. KPK pun diawasi,†tuturnya.
APBN dan APBD yang digunakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, baik swasta maupun Pemerintah Daerah dikontrol sehingga apa yang dicita-citakan pemerintah dalam rangka pemerintahan yang baik dan bersih dapat tercapai. Segala sesuatu harus transparansi. Â Ombudsman Republik Indonesia mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
 Lembaga ini bertugas melaporkan masalah di beberapa daerah yang ada di tanah air, termasuk Papua. Ombudsman terbentuk berÂdasarkans Undang-Undang NoÂmor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008.
Sumber: radarsorong.com