Dalam sektor kesehatan, mengukur kinerja keuangan sangat penting untuk memastikan rumah sakit bisa terus beroperasi dan berkembang. Salah satu alat ukur yang sering digunakan adalah EBITDA, singkatan dari Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization. EBITDA populer karena bisa menunjukkan seberapa baik rumah sakit menghasilkan keuntungan dari operasionalnya tanpa terpengaruh oleh hal-hal seperti utang, pajak, atau penyusutan aset. Namun, meskipun EBITDA berguna, alat ini juga punya beberapa kekurangan, terutama ketika dipakai di rumah sakit.
EBITDA menjadi penting bagi rumah sakit karena membantu untuk melihat seberapa efisien mereka dalam menghasilkan pendapatan dari operasional sehari-hari. Dengan mengabaikan biaya bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi, EBITDA fokus pada kinerja inti rumah sakit, seperti pelayanan pasien dan pengelolaan biaya operasional. Ini membuat EBITDA berguna untuk membandingkan kinerja rumah sakit dengan rumah sakit lain, karena faktor-faktor seperti utang atau kebijakan pajak tidak memengaruhi perhitungannya.
Selain itu, EBITDA juga sering digunakan oleh investor atau pemberi pinjaman untuk menilai kemampuan rumah sakit menghasilkan uang dari operasionalnya. Ini penting karena rumah sakit butuh dana besar untuk membeli peralatan medis, membangun infrastruktur, atau mengembangkan layanan. EBITDA juga bisa membantu manajemen rumah sakit menemukan area yang bisa dihemat, seperti pengelolaan persediaan obat atau penggunaan tenaga kerja.
Meskipun EBITDA punya banyak manfaat, alat ini juga punya beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan. Pertama, EBITDA tidak memperhitungkan biaya modal, seperti penyusutan peralatan medis atau pembangunan infrastruktur. Padahal, rumah sakit adalah bisnis yang butuh investasi besar di bidang ini. Tanpa mempertimbangkan penyusutan, EBITDA bisa memberikan gambaran yang kurang lengkap tentang beban keuangan rumah sakit.
Kedua, EBITDA bukanlah ukuran arus kas. Padahal, arus kas sangat penting untuk memastikan rumah sakit bisa membayar gaji karyawan, membeli obat-obatan, atau memenuhi kewajiban jangka pendek lainnya. EBITDA juga tidak memperhitungkan biaya bunga, yang bisa menjadi beban besar bagi rumah sakit yang memiliki proporsi utang yang besar dalam struktur modal-nya.
Selain itu, EBITDA hanya fokus pada aspek keuangan dan tidak mencerminkan kualitas layanan kesehatan. Padahal, kinerja rumah sakit tidak hanya dinilai dari seberapa banyak uang yang dihasilkan, tapi juga dari kepuasan pasien, hasil pengobatan, dan kepatuhan terhadap standar medis. Terakhir, EBITDA rentan dimanipulasi karena tidak diatur oleh standar akuntansi yang ketat. Ini bisa membuat angka EBITDA terlihat lebih baik daripada kondisi sebenarnya.
Kesimpulannya, EBITDA adalah alat yang berguna untuk mengevaluasi kinerja operasional rumah sakit dan membandingkannya dengan rumah sakit lain. Namun, EBITDA punya keterbatasan, terutama karena tidak memperhitungkan biaya modal, arus kas, dan kualitas layanan. Oleh karena itu, EBITDA sebaiknya digunakan bersama dengan alat ukur lain, seperti arus kas operasional, rasio utang, atau indikator kepuasan pasien. Dengan begitu, manajemen rumah sakit bisa mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan membuat keputusan yang lebih baik untuk masa depan.