KUDUS,suaramerdeka-muria.com – Komisi D DPRD Kudus menyoroti kondisi insenerator RSUD dr Loekmonohadi yang rusak parah. Mesin pembakar sampah medis RSUD Kudus itu kini tidak terpakai sejak dua tahun terakhir.
Karena kerusakan alat ini, RSUD Kudus harus mengeluarkan biaya besar untuk menangani limbah medis. Sebab, rumah sakit pelat merah itu harus bergantung dengan pihak ketiga.
Ketua Komisi D DPRD Kudus Ali Ihsan mengatakan, keberadaan insenerator itu diperlukan untuk mengurangi sampah medis agar tidak terbuang sembarangan.
Lokasi insinerator tersebut berada di bagian belakang ruang pemulasaraan jenazah. Kondisi mesinya tidak beroperasi. Komisi D mendesak agar insinerator tersebut bisa berfungsi kembali.
Ali menambahkan, jika memang dibutuhkan anggaran perawatan atau pengadaan baru, pihak RSUD bisa mengajukan anggaran.
Wakil rakyat dari PKB itu menambahkan, keberadaan mesin pembakarn limbah tersebut tidak melanggar Peraturan daerah Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Kudus tahun 2022-2042. Sebab di dalam aturan yang sahkan yang tidak diperbolehkan adalah proses pengolahan limbah B3.
“Jika diaktifkan ini tidak melanggar Perda RTRW yang disahkan. Hanya saja ketika nanti aktif lagi harus sesuai standar, jangan sampai warga sekitar protes lagi karena asap dari insenerator,” ujarnya.
Sebelumnya, warga Desa Ploso pernah memprotes pembakaran sampah medis yang dilakukan oleh RSUD dr Loekmonohadi Kudus. Pembakaran sampah medis itu diduga menyebakan polusi udara.
Menanggapi itu, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD dr Loekmonohadi Kudus Sugiarto mengatakan, volume sampah medis RSUD Kudus mencapai 300 kilogram per hari. Sejak insenerator rusak, pihak RSUD Kudus bergantung dengan pihak ketiga.
Dari perjanjian yang ditandatangani dengab pihak ketiga, pihak RSU harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 9 ribu per kilogram sampah. Jika dihitung, RSUD Kudus harus mengeluarkan hingga Rp 81 juta per bulan untuk penanganan sampah medis.
Sampah tersebut diangkut oleh pihak ketiga ke Semarang untuk dimusnahakan. Pengambilannya dilakukan empat kali dalam satu Minggu.
Sugiarto mengatakan, kondisi insenerator tersebut sudah rusak dua tahun terkahir. Atau bertepatan pada tingginya kasus Covid-19 di Kudus. Kerusakan itu disebabkan kondisi insenerator yang sudah usang. Ia mengataan, mesin itu dibeli sejak 2015.
“Sesuai standarnya harus ada dua alat skribel, satunya rusak sehingga partikel tidak mau turun. Itu ada batu api yang runtuh. Sudah pernah diperbaiki namun macet lagi, mungkin faktor usia,” terangnya.
Alat insinerator tersebut, sebelumnya sempat dioperasikan. Namun asap yang keluar hitam pihak RSUD kemudian menghentikannya. “Kami lihat dulu mana yang memungkinkan, bisa perawatan atau bangun baru,” katanya.
Sumber: suaramerdeka.com