Jika berbicara Covid-19, kesadaran akan kesehatan seperti cuci tangan, tetap di rumah jika sakit, tutup mulut saat batuk atau bersin, karantina mandiri, social distancing, menjadi hal yang sangat dipertimbangkan saat ini. Namun, apakah kita juga mempertimbangkan masyarakat rentan? Disparitas terpapar, seperti di transportasi publik, pemukiman padat penduduk, ataupun kondisi pekerjaan menjadi determinan sosial tersendiri. Social distancing menjadi absurd bagi masyarakat yang bekerja menggunakan transportasi umum, seperti diberitakan penuhnya halte bus atau MRT karena diberlakukan pengurangan jam dan rute operasional sehingga terjadi antrean dan kerumunan padat yang dapat meningkatkan resiko terpapar virus tersebut. Hal yang sama juga menjadi tantangan bagi para petugas kesehatan yang merupakan garda terdepan untuk penanggulangan pandemik ini.
Disparitas kerawanan setelah terpapar, seperti informasi pribadi orang yang bersangkutan termasuk status nutrisi, usia, maupun kondisi penyakit yang telah diderita sebelumnya. Dalam kasus Covid-19 ini, kelompok lansia menjadi kelompok yang paling rentan, bahkan lansia miskin lebih beresiko. Kemudian disparitas pelayanan, yaitu sistem pelayanan kesehatan, akankah masyarakat miskin mendapatkan akses pelayanan yang baik? Akankah mereka dapat mendatangi rumah sakit, mendapatkan bantuan finansial saat sakit, atau bantuan logistik? Hambatan budaya tentunya juga berperan terhadap disparitas tersebut.
Kelompok rentan lainnya seperti pekerja bergaji rendah tidak memiliki cuti sakit dibayar atau cuti keluarga dan cuti medis lalu tidak dapat tinggal di rumah jika mereka sakit atau jika mereka perlu merawat anggota keluarga yang sakit. Selain itu, rasisme implisit dan eksplisit telah menstigma orang kulit “berwarna” sebagai “infeksi”. Di tengah pandemik Covid-19, sekaranglah saatnya untuk menyerukan keadilan kesehatan yang lebih besar dan lebih setara dengan melawan bahasa ketakutan dan mengadopsi bahasa inklusi, pemberdayaan, dan keadilan. Advokasi diperlukan untuk masyarakat rentan, tidak hanya lansia, namun juga komunitas kulit berwarna, komunitas imigran, komunitas yang dipenjara, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Nilai, Masalah, Solusi, Tindakan merupakan upaya pemberdayaan dan mewujudkan keadilan sosial di tengan krisis coronavirus ini. Nilai, mengunggah nilai ketenangan dalam menghadapi krisis agar bermanfaat bagi semua orang. Masalah, menciptakan budaya ketakutan, pesan rasis, xenophobia, dan tidak ilmiah selama wabah beredar akan menghalangi upaya menahan dan menghentikan virus ini. Solusi, dengan ketenangan melawan ketakutan dan stigma seputar Covid-19 melalui bahasa inklusi, didasarkan pada keadilan dan kesetaraan. Tindakan, bekerja sama dan kolaboratif untuk memastikan bahwa masyarakat rentan perlu menerima perhatian dan layanan yang layak. Di saat kondisi yang luar biasa ini, diperlukan kepemimpinan koheren yang dapat memprioritaskan kesehatan untuk semua orang terutama masyarakat yang terpapar Covid-19. Bersama – sama, kita bisa bangkit menghadapi tantangan. (Elisabeth Listyani, Eugeu Yasmin)
Referensi :
Elizabeth Johnsen, Talking About COVID-19: A Call for Racial, Economic, and Health Equity, https://www.opportunityagenda.org/, March 9, 2020.
Gideon Lasco, COVID-19 : Protecting the Most Vulnerable, Second Opinion, https://opinion.inquirer.net/, March 12, 2020.