Indonesia memulai mengimplementasikan kebijakan desentralisasi antar sektor pada 2001. Dengan negara terbesar di Asia Tenggara, komposisi geografis, adat dan etnis yang beragam, desentralisasi dapat memudahkan pemerintah pusat dalam mengatur negara secara keseluruhan, dan membuat kebijakan sesuai dengan kebutuhan spesifik untuk setiap daerah. Desentralisasi telah memberikan perbaikan pada segi ekonomi, kemiskinan, dan edukasi, tetapi permasalahan masih ditemukan pada segi sistem kesehatan di Indonesia (Flynn 2014).
Rakmati et al (2019) melakukan systematic review mengenai dampak desentralisasi pada sistem kesehatan di Indonesia dilihat dari tingkat kabupaten. Jurnal tersebut mengumpulkan 29 artikel yang berkaitan, dan menelusuri permasalahan menggunakan komponen sistem kesehatan yang dibentuk oleh WHO sebagai 6 blok bangunan sistem kesehatan (6 building blocks of health system). Enam blok bangunan sistem kesehatan menyangkut hal berikut pelayanan kesehatan (service delivery); tenaga kesehatan (health workforce); sistem informasi (health information system); aksesibilitas obat esensial (access to essential medicines); pembiayaan kesehatan (financing); dan tata kelola pemerintahan (leadership/governance). Jurnal tersebut menjelajah permasalahan di setiap blok tersebut, dan mengusulkan solusi untuk mengatasinya. Artikel kali ini akan membahas permasalahan dan solusi yang diusulkan oleh jurnal tersebut.
Pelayanan Kesehatan
Permasalahan yang Didapati
Dari pelayanan kesehatan, permasalahan yang ditemukan adalah variasi imunisasi anak antar di kabupaten dan pelayanan kesehatan ibu hamil yang kurang memuaskan. Persentase imunisasi anak yang lengkap di sebagian besar kabupaten di Indonesia masih di bawah batas yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 80%. Populasi anak dengan imunisasi lengkap meningkat dengan berjalannya waktu, dimana pada 2002, Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai persentase 51%, tetapi pada 2007, angka tersebut meningkat, terutama di kapupaten Cilacap, Ngawi, dan Trenggalek dimana melewati batas 80%. Namun, jika dilihat secara keseluruhan, hasil itu masih kurang memuaskan. Pada artikel yang dilaporkan 2011, hanya 57 dari 497 kabupaten memenuhi presentase imunisasi anak yang lengkap yang direkomendasikan oleh WHO.
Di sisi lain, terdapat permasalahan kualitas pelayanan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional di kabupaten Serang dan Pandeglang, dimana persalinan yang didampingi oleh tenaga kesehatan profesional akan dua kali lipat lebih cenderung untuk berakhir pada kematian ibu hamil. Persentase ibu hamil yang melahirkan yang berakhir pada kematian mencakup 31 – 34% pada kabupaten Serang dan Pandeglang pada periode 2005 sampai 2013. Hasil tersebut dikarenakan kurangnya keterampilan tenaga kesehatan, tidak adanya alat kesehatan dan terbatasnya anggaran kesehatan.
Solusi yang Diusulkan
Rakmati et al (2019) mengusulkan penggunaan layanan kesehatan dasar digunakan sebagai indikator untuk evaluasi pelayanan kesehatan. Indikator tersebut dapat digunakan oleh menteri kesehatan sebagai indikator performa untuk meningkatkan pelyanan kesehatan.
Tenaga Kesehatan
Permasalahan yang Didapati
Pada jurnal ini, penelitian yang ditemui hanya mencakup pulauJawa. Permasalahan yang ditemukan di bagian tenaga kesehatan adalah rendahnya densitas serta maldistribusi tenaga kerja kesehatan, kurangnya minat untuk memasuki sektor publik, retensi bidan yang rendah pada pendesaan dan kurangnya keterampilan bidan.
Berdasarkan standar WHO, 23 tenaga kesehatan diperlukan untuk 10.000 populasi di suatu area. Dalam konteks ini, tenaga kesehatan yang dimaksudkan adalah dokter umum, bidan dan perawat yang berperan sebagai tenaga kesehatan utama untuk menyalurkan pelayanan kesehatan. Heywood et al. (2009) melakukan penilitian pada 15 kabupaten di Jawa, dan semua jatuh dibawah batas WHO, dimana yang tertinggi adalah 14 per 10.000 populasi dan 11 dari 15 kabupaten memiliki densitas kurang dari 10.
Antara 2006 hingga 2008, densitas tenaga kesehatan di kabupaten Ciamis, Garut dan Sukabumi menaiki peningkatan, dikarenakan mereka adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dimana pemerintah dapat menempatkan mereka di lokasi pendalaman atau tempat lain yang membutuhkan. Akan tetapi, setelah kabupaten tersebut diteliti lebih lanjut, retensi bidan di lokasi tersebut rendah dikarenakan mereka pindah ke fasilitas kesehatan yang lain atau desa lain, telah di promosi atau mengambil kualifikasi yang lebih tinggi.
Maldistribusi tenaga kesehatan dapat terjadi antar perdesaan dan perkotaan, seperti yang didapati pada kabupaten Serang dan Pandeglang, dimana setengah dari tenaga kesehatan berada pada bagian kota dari kabupaten tersebut, yang menyebabkan densitas 4.8 per 10.000, 2.5 dan 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan densitas di perdesaan. Hal yang menarik adalah maldistribusi juga bisa terjadi oleh karena inisiatif pemerintah untuk mendukung daerah yang membutuhkan. Dikarenakan insentif diberikan untuk bekerja di daerah terpencil, daerah yang padat populasinya akan sebaliknya hanya akan ada sedikit tenaga kesehatan. Maldistribusi juga dapat terjadi antar sektor publik dan swasta. Dikarenakan 90% fasilitas kesehatan di penjuru kabupaten adalah milik swasta, mayoritas tenaga kesehatan bekerja di sektor swasta, atau bekerja paruh waktu di sektor swasta.
Keterampilan tenaga kesehatan yang tidak memadai juga dilaporkan di penelitian. Mayoritas bidan di kabupaten Ciamis (83%), Garut (64%) dan Sukabumi (55%) mempunyai pendidikan diploma 1 (D1) selama 1 tahun sebelum penempatan di tempat kerja mereka. Akan tetapi dikarenakan mereka berada di tempat kerja lebih dari 10 tahun, mereka mendapatkan pengalaman yang memadai dengan berjalannya waktu.
Solusi yang Diusulkan
Jurnal ini mengusulkan untuk membuat kebijakan untuk mewajibkan dokter umum, perawat dan bidan untuk ditempatkan di pedesaan. Penempatan dokter umum, perawat dan bidan secara sukarela di tempat yang terpencil tidak menghasilkan densitas tenaga keshatan sesuai standar WHO.
Selain itu juga pihak yang berwenang dapat memperluas cakupan lokasi yang disalurkan program Nusantara Sehat. Nusantara Sehat mendukung tenaga kesehatan untuk mendaftar kontrak 2 tahun pada daerah pedalaman dan terpencil. Durasi kontrak tersebut memberikan waktu yang cukup untuk berpartisipasi dan memperbaharui ilmu dan keterampilan pada tenaga kesehatan setempat.
Sistem Informasi
Permasalahan yang Didapati
Untuk review ini tidak banyak data yang diperoleh dari segi sistem informasi di sistem kesehatan di Indonesia. Secara garis besar permasalahan yang didapati adalah adanya pembatasan anggaran untuk melakukan program penagawasan malaria dan tingginya angka kasus Tuberkulosis yang tidak dilaporkan. Di Kabupaten Purworejo, terdapat kasus malaria yang tidak dilaporkan karena terbatasnya alat diagnostik maupun fasilitas, pembatasan anggaran, dan fasilitas transportasi yang buruk untuk melakukan validasi diagnosis mikroskopis dari tenaga kesehatan desa ke rumah sakit daerah. Walaupun di desa asal tenaga kesehatan tersebut dilakukan uji hapusan darah tepi, validasi silang di rumah sakit daerah perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.
Di sisi lain, kasus tuberkulosis yang tidak dilaporkan didapati signifikan pada delapan kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Banjarmasin dan Jayapura, dimana terkumpulnya mayoritas populasi di Indonesia. Lebih dari 80% kasus Tuberkulosis yang ditangani oleh dokter umum swasta pada kota tersebut tidak dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/ kota setempat atau pada kantor pencegahan Tuberkulosis nasional (National Tuberculosis Prevention). Laporan tertinggi yang ditemukan adalah di Semarang, tetapi angka tersebut hanya 17% dari semua kasus yang ada, dan yang terendah didapati di Jayapura, dengan angka laporan 3%.
Solusi yang Diusulkan
Penelitian ini mengusulkan untuk mengundang partisipasi dari warga lokal untuk pengamatan TB dan malaria. Keterlibatan komunitas bisa mengatasi kekurangan tenaga kesehatan dan juga menyingkap kasus yang terselubungi dikarenakan kekurangan tenaga kesehatan.Organisasi komunitas, seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang terdapat di tingkat pendesaan bisa dipergunakan sebagai wahana menggerakkan masyarakat untuk melaporkan gejala malaria dan TB, yang akan seterusnya di periksa untuk penegakkan diagnosis. Hal tersebut akan mengurangi insidensi yang tidak dilaporkan, dan alhasil akan membuat pelaporan kasus yang lebih akurat dimana kondisi tersebut akan ditangani sebagai mestinya.
Aksesibilitas Obat Esensial
Permasalahan yang Didapati
Permasalahan yang didapati yang berkaitan dengan aksesibilitas obat esensial adalah pengedaran bebas, harga antibiotik yang beragam, pandemik, dan kekurangan obat. Di Surabaya, antibiotik sangat mudah diperolehi karena tempat penyediaan obat yang resmi seperti farmasi maupun yang tidak resmi seperti kiosks dan toko obat mengedar obat kepada pasien tanpa preskripsi. Selain itu, harga obat juga beragam antar tempat penyediaan obat, dimana harga tertinggi dapat 2 sampai 20 kali lipat lebih mahal dibanding dengan yang termurah.
Di Bali, dilakukan model percobaan pandemik di sembilan kabupaten, dan diprediksi kebutuhan amoksisilin, pengobatan antiviral, dan kontrimoksazol akan cukup untuk menghadapi pandemik rendah tetapi akan kekurangan pada pandemik tinggi. Akses pada obat antimalaria juga ditemukan terbatas pada kabupaten Purworejo. Permasalahan tersebut didasari oleh kebijakan yang menempatkan obat antimalaria hanya pada bagian fasilitas kesehatan publik, tanpa melibatkan sektor swasta. Pembelian obat antimalaria diwajibkan datang dari gudang farmasi, yang seterusnya disalurkan ke rumah sakit primer oleh pejabat kesehatan daerah. Akan tetapi, fasilitas kesehatan primer tidak diperbolehkan untuk menyimpan lebih obat tersebut, yang menyebabkan kekurangan obat.
Solusi yang Diusulkan
Untuk meningkatkan aksesibilitas obat esensial, kebijakan yang mendukung pengelolaan logistik perlu diterapkan untuk memastikan ketersediaan dan juga kemudahan untuk memperoleh obat. Kerjasama antar sektor publik dan swasta dalam segi distribusi dan penjualan obat juga dapat mendukung aksesbilitas. Farmasi dan toko obat adalah tempat penyediaan obat dibagian sektor privat dimana mereka berada dekat dengan lingkungan masyarakat yang akan membuat sistem kesehatan yang lebih responsif. Selain itu, memperluas kapasitas logistik obat dan manajemen rantai persediaan akan mencegah kekurangan komoditas. Pemerintahan lokal setempat juga dapat memonitor harga eceran tertinggi (HET) untuk mengendalikan variasi harga jenis yang antar distributor. Mengendalikan harga akan meningkatkan ekuitas pada aksesibiltas obat.
Pembiayaan Kesehatan
Permasalahan yang Didapati
Terbatasnya anggaran, penggunaan anggaran untuk publik yang tidak efektif, dan asuransi publik yang tidak optimal adalah permasalahan yang di bahas dalam artikel ini. Setelah desentralisasi, mayoritas kabupaten di Indonesia mendapatkan kebebasan fiskal untuk mengatur pengeluaran menyesuaikan kebutuhan di tempat masing – masing. Akan tetapi, di Kabupaten Bantul, Kutai Kartanegara, Ngada, dan Kota Mataram lebih sering didapati pembatasan anggaran dibanding sebelumnya karena penurunan anggaran kesehatan publik. Contoh dari permasalahan penggunaan anggaran untuk publik adalah alokasi pengunaan pelayanan maternal untuk kaum berkemampuan rendah pada Kabupaten Serang dan Pandeglang, dimana seringnya digunakan oleh wanita dengan sosioekonomi tinggi. Selain itu, hanya 43% dari 497 kabupaten di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan anggaran yang diberikan di tingkat kabupaten. Di sisi lain, asuransi publik juga tidak optimal dalam penggunaan di tingkat kabupaten.
Solusi yang Diusulkan
Solusi yang dapat dipertimbangkan adalah dengan mempersingkat proses di sistem kesehatan dengan membuang prosedur yang mubazir dan mempercepat proses verifikasi untuk menurunkan ukuran dan frekuensi pembatasan anggaran pada tingkat kabupaten. Selain itu, pihak yang berwenang juga dapat mewajibkan penggunaan jaminan kesehatan.
Tata Kelola Pemerintahan
Permasalahan yang Didapati
Isu terkait tata kelola pemerintahan yang diidentifikasi oleh WHO, antara lain isu transparansi, akuntabilitas, strategi kesehatan, implementasi pedoman, dan desain sistem pada kabupaten di Jawa, NTB, Kalimantan, dan Bali. Kurangnya transparensi dan akuntabilitas pada anggaran kesehatan dan penggunaan telah ditemukan di Kabupaten Bantul, Kutai Kertanegara, Ngada, dan Kota Mataram. Tingkat penggunaan anggaran kesehatan yang sebenarnya tidak dapat ditemukan pada kabupaten tersebut, yang ada hanya jumlah anggaranya saja, menunjukkan perlunya transparansi dan akuntabilitas.
Pelaporan penyakit pada tingkat kabupaten belum di implementasikan sesuai yang direncanakan bahkan untuk penyakit prioritas misalnya kasus tuberkulosis. Walaupun mayoritas dokter umum di Indonesia mempunyai pengalaman kerja yang lama, mereka tidak familiar dengan Standar Internasional untuk Penanganan Tuberkulosis (International Standards for Tuberculosis Care – ISTC). Hal ini mengakibatkan uji diagnostik tuberkulosis yang jarang digunakan, pemberian obat yang tidak sesuai dan tingginya kasus tuberkulosis yang tidak dilaporkan terutama pada tingkat kabupaten.
Solusi yang Diusulkan
Pemerintah harus berkomitmen untuk mendukung penerapan kebijakan dan sistem yang memastikan transparansi dan akuntabilitas pada pengeluaran kesehatan. Selain itu, memperkuat elemen kepemimpinan dan pemerintahan di pusat agar mereka dapat memberikan dukungan untuk kesehatan yang berkualitas pada tingkat kabupaten.
Penutup
Tidak diragukan lagi, desentralisasi telah membawa sistem kesehatan di Indonesia yang lebih baik. Akan tetapi, masih banyak permasalahan yang perlu ditangani akibat desentralisasi itu sendiri ataupun yang tidak dapat di atasi oleh desentralisasi tersebut. Sebuah sistem perlu diperbaharui secara kontinu, termasuk sistem kesehatan. Permasalahan yang identifikasikan oleh Rakmawati et al (2019) dengan usul – usulnya dapat digunakan untuk membuat perubahan untuk menghasilkan sistem kesehatan yang lebih baik. (Eugeu Yasmin)
Referensi
- Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Available from: https://kbbi.web.id/desentralisasi (Accessed Febuary 2020).
- F. J., Legge. D. J., Wolters. W. O., Adam. W. A., Mohamed. S. G., Leinbach. R. T., (2020). Indonesia. Brittanica. Available from: https://www.britannica.com/place/Indonesia (Accessed Febuary 2020)
- Flynn N, Krishna R. (2014) Decentralization and governance in health care. In: Decentralizing Health Services: A Global Perspective. New York: Springer; 63‐78.
- T., Hinchcliff. R., Pardosi. F. J., (2019) District-level impacts of health system decentralization in Indonesia: A systematic review. International Jounal of Health Planning and Management. pp. 1-28
- Heywood PF, Harahap NP. (2009) Human resources for health at the district level in Indonesia: the smoke and mirrors of decentralization. Human Resource Health. 7(1):6.