PEKANBARU – Dokter spesialis menumpuk di ibukota provinsi, MA batalkan Perpres Program Wajib Kerja Dokter Spesialis atau WKDS, RSUD bakal kehilangan dokter spesialis?
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir pada Senin (4/11/2019) kepada Tribunpekanbaru.com mengakui bahwa ia belum bisa memastikan dampak dari putusan MA yang mencoret kebijakan presiden Jokowi menyebar para dokter spesialis hingga ke daerah.
Sebab sejauh ini sudah ada perjanjian antara dokter yang akan melakukan pendidikan spesialis dengan pemerintah.
Bahwa jika sudah selesai pendidikan, dokter spesialis tersebut harus mengabdi di rumah sakit daerahnya masing-masing yang masih membutuhkan dokter spesialis.
“Kalau rumah sakit di daerah itu merasa membutuhkan bisa mengusulkan ke kementrian kesehatan, karena biasanya dokter-dokter yang melaksanakan pendidikan itu ada rekomendasi dan harus balik ke daerah asal. Kalau tidak balik ini tentu akan menjadi tanggungjawab kementerian kesehatan,” kata Mimi.
Saat disinggung apakah kebijakan ini nantinya akan berdampak terhadap tidak meratanya penyebaran dokter spesialis ke daerah-daerah, Mimi mengungkapkan, jika kondisi ini tergantung dari hati nurani dan tanggungjawab sosial dari masing-masing dokter.
“Itu kembali ke komitmen mereka masing-masing. Jangan sampai begitu sudah selesai pendidikan dokter spesialisnya tidak mau di tempatkan didaerah. Kalau dulu wajib, sekarang sifatnya pendayagunaan, ini aturan yang harus dilaksanakan. Kalau sudah selesai, harus bersedia ditempatkan di rumah sakit yang memberikan rekomendasinya,” katanya.
Sementara terkait kondisi penyebaran dokter spesialis yang ada di kabupaten kota di Provinsi Riau, Mimi tidak menampik adanya ketimpangan antara salah satu daerah dengan daerah lain.
Mimi mengungkapkan, selama ini memang untuk dokter spesialis menumpuk di ibu kota provinsi.
Sedang di beberapa kabupaten ada yang masih kekurangan dokter spesialis.
“Memang belum merata, ada beberapa kabupatan kota yang kekurangan. Mereka (dokter spesialis) menumpuk di ibu kota provinsi. Ini lah yang diharapkan agar mereka bisa kembali lagi ke kabupaten kota, melalui program pendayagunaan. Caranya kabupaten kota bisa mengusulkan ke kementrian kesehatan, apa saja kebutuhan dokter spesialis yang dibutuhkan,” kata Mimi.
Dinas Kesehatan Bengkalis belum bisa memastikan dampak dari keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 31 tahun 2019 tentang pemberdayagunan dokter spesialis ke daerah pelosok dan perbatasan, karena putusan tersebut baru diterbitkan MA dan tentu pemerintah pusat punya rancangan baru untuk program pemberdayaan dokter spesalis di daerah pelosok.
Hal ini diungkap Kadis Kesehatan Bengkalis Ersan Saputra kepada tribun, Senin (4/11)siang.
Menurut program kontrak Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) merupakan program pemerintah pusat.
Dengan dianulirnya Perpres terkait penempatan dokter spesialis di daerah terpencil, terpelosok dengan Program WKDS sepenuhnya tangung jawab pusat.
Mereka tentu menyiapkan rancangan baru untuk kedepannya.
“Kalau WKDS ini kita ngikut pusat saja, karena sudah dianulir MA tentu pusat punya rancangan lain nantinya, kita tunggu saja,” jelas Ersan.
Untuk program WKDS ini Ersan mengatakan, sebelumnya Bengkalis mendapat kontrak WKDS dokter spesialis THT di tempatkan d RSUD Bengkalis.
Namun pada tahun 2019 ini beberapa waktu lalu sudah berakhir masa kontraknya.
Keberadan dokter dengan program WKDS ini sangat dirasakan membantu kebutuhan dokter di rumah sakit, karena pemempatan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit.
“Kemarin sudah berakhir masa kontraknya, sampai saat ini belum datang lagi untuk pengisian WKDS di RSUD Bengkalis,” tambah Ersan.
Meskipun nantinya tanpa program WKDS, pihak rumah sakit akan tetap melakukan pegisian kebutuhan Dokter spesialis di RSUD Bengkalis.
“Bagaimanapun keberadaan dokter spesialis disebuah rumah sakit wajib, dan inib sepenuhnya tangung jawab rumah sakit untuk menghadirkan kebutuhan dokter spesialis,” tandasnya.
Pelalawan Tanpa Dokter Spesialis Program WKDS
Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 31 tahun 2019 tentang pemberdayagunan dokte spesialis ke daerah pelosok dan perbatasan.
Menurut Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Pelalawan, Asril M.Kes, putusan MA menganulir Perpres yang diterbitkan Presiden Joko Widodo itu tidak berpengaruh kepada pemda Pelalawan.
Pasalnya, hingga kini Diskes tidak ada menempatkan dokter spesiali ke daerah perbatas, terpencil, maupun pelosok seperti Kecamatan Kuala Kampar dan Teluk Meranti.
“Kalau di Pelalawan memang tak ada dokter spesialis yang ditugaskan ke wilayah-wilayah tersebut selama ini, karena keterbatasan,” kata Asril kepada tribunpelalawan.com, Senin (4/11/2019).
Asril menyatakan dari 14 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Pelalawan sama sekali belum ada dokter spesialis yang ditugaskan.
Semua dokter spesialis dipusatkan di Rumah Sakit Umum (RSUD) Selasih Pangkalan Kerinci.
Masyarakat yang ingin berkonsultasi atau berobat langsung mendatangi RSUD sesuai dengan penanganan penyakit yang diderita.
Hanya saja, lanjut Asril, pihaknya membawa dokter spesialis ke daerah-daerah pada momentum tertentu.
Seperti program Pelalawan Sehat yang digelar di daerah terpencil yang dibarengi pengobatan atau pemeriksaan kesehatan gratis.
Termasuk pada acara-acara besar yang mengundang masyarakat banyak juga dihadirkan dokter spesialis.
“Berdasarkan aturannya dokter spesialis bisa ditempatkan di rumah sakit tipe D. Di Pelalawan belum ada rumah sakit seperti itu,” tandasnya.
Dokter spesialis yang bekerja dengan sukarela di daerah pelosok dan wilayah perbatasan hingga kini belum ada di Pelalawan.
Penjelasan IDI Riau Terkaiat MA Batalkan Perpres Program WKDS
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Riau, dr. Zul Asdi, SpB, M.Kes angkat suara soal putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencoret kebijakan presiden Jokowi menyebar para dokter spesialis hingga ke daerah.
Menurut dr. Zul Asdi, dokter memang harus tersebar ke seluruh pelosok Indonesia.
“Karena kalau tidak begitu siapa yang akan menangani pasien-pasien di daerah terpencil,” katanya saat diwawancarai Tribun, Senin (4/11/2019) malam.
Hanya saja disebutkannya, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa memberi perhatian lebih kepada para dokter yang sudah bersedia dikirim ke pelosok daerah.
“Ketersediaan alat, obat-obatan, keamanan bekerja, transportasi, tempat tinggal. Semua fasilitas disiapkan. Lalu ada semacam insentif tambahan mereka,” ungkapnya.
“Pada dasarnya, seluruh dokter punya jiwa pengabdian yang tinggi. Tapi jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, maka mereka akan kesulitan juga,” sambung dia.
Lebih jauh kata dr. Zul Asdi, ke daerah pedalaman itu, yang dikirim harus yang memang sudah ahli dan punya segudang pengalaman serta punya keilmuan yang mumpuni.
Karena masalah kesehatan di daerah pelosok, tentunya butuh penanganan dan usaha yang ekstra.
“Jadi intinya, para dokter mau saja dikirim ke mana pun, tapi pertimbangkan juga nasib mereka. Kalau mereka merasa nyaman, maka mereka mau saja secara, itu sudah otomatis. Jadi pemerintah tidak pusing,” ucapnya.
Sementara itu, disinggung soal dokter spesialis atau ahli yang masih banyak terkonsentrasi di perkotaan, Zul Asdi tidak menampiknya.
“Memang di kota semua tersedia. Dokter ahli dan spesialis tentunya banyak menggunakan peralatan dan fasilitas yang lebih untuk mendukung keahliannya, dan selama ini baru tersedianya di kota,” pungkasnya.
Sumber: tribunnews.com