Reportase
Seminar Nasional PERSI XV, Seminar Tahunan Patient Safety XI, Hospital Expo XXX
Hari 1, 18 Oktober 2017
Paripurna 2
Menghadapi Universal Health Coverage (UHC) 2019 sebagai Babak Baru dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
Paripurna 2 didahului dengan topik Menghadapi Babak Baru Dalam Universal Health Coverage (UHC) 2019 yang dipaparkan oleh dr. Kalsum Komaryani, MPPM (Kepala P2JK Kemenkes RI). Seperti diketahui bahwa target UHC yang ditetapkan oleh WHO dapat tercapai pada 2030 dan saat ini Indonesia sudah mempersiapkan diri dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal tersebut didukung pula dengan tiga pilar yang terdapat pada program Indonesia sehat meliputi paradigma sehat, penguatan yankes, dan jaminan kesehatan nasional. Elemen inti dalam UHC adalah akses pelayanan yang merata, pelayanan kesehatan yang berkualitas, dan perlindungan resiko finansial ketika memerlukan pelayanan kesehatan.
Akses pelayanan yang merata ditunjukkan dengan pemenuhan target peserta JKN. Apabila dibandingkan pada 2015 dengan jumlah penduduk 255 juta jiwa, kepesertaan JKN sebanyak 136 juta jiwa dengan 88 juta jiwa adalah peserta PBI KIS). Pada 2019 nanti dengan perkiraan penduduk 268 juta jiwa maka target kepesertaan JKN sebanyak 258 juta jiwa dengan 107 juta jiwa merupakan PBI KIS. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah 30 tahun lagi Indonesia akan mendapatkan bonus penduduk usia tua. Apakah ada pembiayaan untuk hal tersebut? Mengingat saat ini belum ada pembiayaan untuk long term care.
Terkait akses dan mutu pelayanan kesehatan terdapat ketimpangan mutu pelayanan antara Indonesia bagian barat dengan timur. Hal tersebut dapat diupayakan dengan sistem rujukan untuk akses layanan dan clinical pathway untuk mutu pelayanan. Perlindungan resiko finansial ketika memerlukan pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa out of pocket masih merupakan sumber pembiayaan terbesar. Out of pocket yang tinggi menggambarkan inefisiensi dan ketidakadilan di bidang kesehatan. Proporsi out of pocket sebelum JKN sebesar 48.4% dan setelah JKN sebesar 45.3%. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi out of pocket terhadap belanja kesehatan nasional semakin mengecil. Babak baru dalam JKN dimana rumah sakit harus mempersiapkan diri dari sisi aspek manajemen klinis, budaya dan organisasi, manajemen SDM, dan manajemen keuangan agar layanan lebih efektif dan efisien.
Topik selanjutnya adalah Pembangunan Infrastruktur Serta Sistem Rujukan yang Handal Sebagai Syarat Heberhasilan UHC 2019 dipaparkan oleh dr. Bambang Wibowo, Sp. OG (K), MARS (Dirjen Pelayanan Kementerian Kesehatan RI). Tantangan pelayanan kesehatan diantaranya maldistribusi meskipun jumlah rumah sakit bertambah dari 2,228 buah (2013) menjadi 2,750 buah (2017). Perbandingan tenaga spesialis terhadap penduduk sudah tercapai pada 2016 namun penyebaran belum terdistribusi dengan baik dan jenis spesialisasi juga belum seimbang jumlahnya.
Kebutuhan penambahan tempat tidur juga masih dibutuhkan di 40 kabupaten / kota. Selain itu, dari sisi alkes juga belum merata penyebarannya. Seperti yang digambarkan bahwa alat radioterapi hanya tersedia 48 unit (32 Linac dan 16 Cobalt), jadi 1 alat akan melayani 5.2 juta penduduk. Cath lab sebanyak 199 berada di 171 rumah sakit dengan tenaga spesialis jantung dan pembuluh darah sebanyak 758 orang. Layanan bedah jantung disediakan oleh 35 rumah sakit dan banyak didominasi di Jawa.
Upaya peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan meningkatkan kompetensi klinis dan kompetensi manajerial. Salah satunya dengan dukungan teknologi informasi yang saat ini sudah berjalan. Cara ini diharapkan akan menjadi wadah transfer of knowledge. Dengan tata kelola rumah sakit yang baik akan mampu menciptakan tata kelola klinis yang baik dan pada akhirnya tata kelola asuhan pasien yang baik.
Kemudian bahasan terakhir pada paripurna 2 ini adalah Peluang Health Tourism Dalam Era JKN yang dipaparkan oleh Dr. James Riadi (KADIN Bidang Kesehatan). Digambarkan bahwa pertumbuhan global saat ini sebesar 3.5% sudah mulai membaik dibandingkan dengan beberapa waktu yang lampau sebesar 1.7%. Pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia sebesar 2.8% dari total GDP. Angka tersebut paling kecil dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia. Tantangan yang dihadapi oleh negara berkembang adalah kurangnya fasilitas kesehatan, kurangnya askes kesehatan, dan meningkatnya kasus penyakit kronik. Hal tersebut akan memicu kebutuhan medis ke luar negeri. Sebanyak US $ 50 – 100 billion pendanaan lari ke luar negeri dengan pertumbuhan sebesar 20% – 30% per tahunnya dan Indonesia merupakan salah satu pemain yang mengirimkan pasien ke luar negeri.
Melihat besarnya potensi pendanaan yang dapat lari ke luar negeri, terdapat peluang medical tourism yang dapat dikembangkan. Meskipun pada era JKN ini masih menghadapi masalah suplai terutama suplai dari sisi tenaga medis spesialis, namun masih tetap ada peluang bagi medical tourism dengan kualitas layanan yang lebih baik, SDM dengan menggunakan proses kredensialing semua profesi, biaya yang lebih efisien dan SOP berdasarkan evidence based. Namun semuanya itu membutuhkan dukungan regulasi dan birokrasi jika ke depan Indonesia ingin masuk ke international medical tourism. Selain itu perlu untuk melakukan revolusi digital baik secara administrasi dan operasional.
Reporter : Elisabeth Listyani.