JAKARTA – Peran rumah sakit dalam melakukan sosialisasi dan upaya pencegahan penyakit masih belum optimal. Akibatnya, anggaran untuk pengobatan penyakit-penyakit katastropik terus membengkak dalam pembiayaan jaminan kesehatan.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Hadi Pratomo menyesalkan, hanya 20 rumah sakit (RS) dari sekitar 2.000 RS di Indonesia yang telah menjalankan fungsinya di bidang sosialisasi kesehatan dan pencegahan ala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di antaranya RS Borromeus Bandung, RS Syamsuddin Sukabumi dan RS Sardjito Yogyakarta. Selebihnya, lanjut dia, masih banyak RS yang hanya fokus untuk pengobatan. “Padahal masyarakat membutuhkan rumah sakit tidak sekadar mengobati melainkan juga mencegah melalui sosialisasi kesehatan,” ujar Hadi, dalam seminar kesehatan internasional di kampus Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, di Jakarta, Senin (1/8).
Peran RS dalam melakukan sosialisasi kesehatan dan upaya pencegahan lainnya sangat penting untuk menekan tingginya potensi penyakit katastropik seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke dan sebagainya. Tingginya resiko penyakit katastropik terlihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam membiayai jaminan kesehatan untuk penyakit tersebut Pada 2015 misalnya, sebanyak 16.9 triliun rupiah atau 29.67 persen dana jaminan kesehatan terserap untuk membiayai penyakit katastropik. Penyakit katastropik sebenarnya dapat dicegah jika menerapkan gaya hidup yang sehat.
“Karena penyakit seperti jantung, kanker, ginjal, stroke terjadi karena faktor kebiasaan perilaku hidup tidak sehat, seperti merokok, makanan tidak sehat, kurang olahraga,” sebutnya. Hadi mengingatkan, kondisi ini dapat membawa dampak buruk bagi kualitas kesehatan penduduk Indonesia maupun keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional jika terus menerus dibiarkan.
Menurutnya, pemerintah harus mampu mendorong lebih berperannya RS terhadap upaya promotif dibanding hanya fokus pada pengobatan. “Masih fokusnya terhadap pengobatan menunjukkan RS masih komersial,” jelasnya. Ia mengungkapkan Indonesia sangat tertinggal dalam bidang pengelolaan RS berbasis promosi kesehatan, meskipun hal tersebut sudah banyak berkembang di Asia.
Bahkan Indonesia berada di bawah Malaysia yang meraih medali emas dari WHO karena sudah memenuhi 152 indikator RS berbasis promosi kesehatan pada 2014 lalu. Program promosi ini juga sudah berjalan baik di Thailand, Taiwan dan Korea Selatan. Di Taiwan dari 650 rumah sakit yang beroperasi sudah ada 150 rumah sakit yang menerapkan promosi kesehatan.
“Bahkan pemerintah disana pun sudah membentuk direktorat jenderal yang mengurus khusus bidang tersebut,” paparnya. Sementara di Indonesia hanya ada peraturan menteri yang berisi tentang penyuluhan dan bukan sosialisasi preventif yang bisa menghindari masyarakat untuk ke rumah sakit. Sistem promosi kesehatan yang dijalankan RS sudah berkembang di Eropa sejak 1998 lalu.
“Lalu menjalar ke Asia sejak 2012,” imbuhnya. Ia memaparkan, indikator utama yang wajib ada disetiap rumah sakit terlihat dari struktur dan anggaran rumah sakit untuk mendanai sosialisasi dan pendidikan kesehatan bagi pasien.
Lingkup internal rumah sakit juga harus memberi contoh gaya hidup sehat. “Pegawai rumah sakit juga harus memberi contoh untuk tidak mengidap penyakit kronis” papar dia.
Siap Mendukung
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Kesehatan Uhamka, Emma Rachmawati mengatakan, pihaknya sangat mendukung konsep tersebut (sosialisasi kesehatan dan pencegahan) diimplementasikan di berbagai RS di Indonesia, khususnya di jaringan RS Muhammadiyah.
“Karena itulah kami menjalin kerja sama dengan Jepang dan Taiwan. Muhammadiyah berkeinginan memiliki RS-RS dengan kualitas seperti ini,” ujar Emma sambil menambahkan bahwa organisasi Muhammadiyah saat ini memiliki 112 rumah sakit. cit/E-3
Sumber: koran-jakarta.com