Menyambung artikel bagian pertama mengenai tantangan perubahan terhadap kinerja rumah sakit dan fasilitas kesehatan di era jaminan kesehatan nasional, bahwa diperlukan dua kunci untuk melakukan pensiasatan strategis atas perubahan kontekstual yang terjadi, dua kunci tersebut adalah kunci primer dan kunci sekunder.
Kunci primer terkait dengan perubahan cara pandang, sedangkan kunci sekunder terkait tentang penselarasan kembali (re-aligning) indikator kinerja rumah sakit terhadap perubahan pola demand yang ada. Artikel bagian kedua ini akan mengupas bagaimana menjabarkan kunci sekunder agar kinerja sejalan dalam menjawab tantangan perubahan kontekstual di lingkungan rumah sakit dan fasilitas kesehatan.
Penting untuk memahami model kinerja rumah sakit atau fasilitas kesehatan karena model kinerja inilah yang menjadi target untuk dicapai (output), dan hasil capaian tersebut menjadi solusi bagi pola demand yang dibutuhkan masyarakat (outcome). Sehingga keselarasan antara model kinerja rumah sakit atau fasilitas kesehatan haruslah fit ini serta cocok dengan model demand masyarakat sekitar. Bila tidak cocok berarti akan terjadi ketidaksesuaian pelayanan dan kepuasan.
Hal ini merupakan isu internal yang sangat serius mengingat tidak sedikit rumah sakit menjadi bulan-bulanan pelanggan dan masyarakat hanya disebabkan karena pelayanan yang tidak sesuai harapan. Banyak sekali model yang digunakan oleh rumah sakit atau fasilitas kesehatan untuk mengukur maupun merencanakan kinerjanya seperti Balanced scorecard (BSC), Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA), European Foundation Quality Model for Excellent Model (EFQM), dst.
Kebanyakan model tersebut lahir dari dunia industri non kesehatan yang kemudian dijastifikasi kembali sehingga dapat digunakan oleh organisasi sektor kesehatan seperti rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Jastifikasi tersebut terlihat pada pengembangan sub indikator yang relevan dan berorientasi pada konteks pelayanan kesehatan. Buat mereka yang memiliki sense kuat terhadap fenomena kesehatan maka akan sangat mudah membuat jastifikasi tersebut, namun sebaliknya, bagi mereka yang belum memiliki sense kuat maka pastinya akan kesulitan saat menjabarkan model tersebut ke ranah rumah sakit maupun fasilitas kesehatan.
Berdasarkan riset di US, bahwa 1 dari 5 perusahaan memiliki ketidakpuasan terhadap perangkat kinerja yang ada saat itu (Niven, 2001). Hal ini dapat disebabkan karena kurang selarasnya model kinerja dengan model kebutuhan yang ada. Dalam studi disertasi, penulis mengembangkan framework kinerja dari berbagai sumber dan model, tujuannya adalah agar didapat model yang benar-benar selaras dengan pola demand layanan kesehatan masyarakat yang ada dan sesuai dengan kekhususan budaya di Indonesia.
Dari riset disertasi yang dilakukan terhadap 25 rumah sakit kelas B di seluruh Indonesia dan dengan mewawancarai lebih dari 125 orang jajaran eksekutif rumah sakit (level manajer hingga direktur) maka terciptalah sebuah model yang penulis sebut sebagai model Kinerja MATH (Mission Achievement Tools in Hospital) yaitu sebuah perangkat kinerja yang didesain untuk mencapai misi rumah sakit di Indonesia. Model kinerja MATH sesuai dengan gambar diatas terdiri atas 8 pilar dimana 7 pilar merupakan pilar inti dan 1 pilar adalah pilar pencapaian.
Pilar-pilar kinerja tersebut dapat dilakukan matching stage (penyesuaian) terhadap lima aspek tantangan eksternal, yaitu: 1) pilar Clinical Effectiveness & Efficiency atau layanan yang efektif secara klinis namun efisien, 2) Staff Orientation, Responsive Governance atau persaingan dan regulasi, 3) Design, Safety, Patient Centeredness, Mission atau perubahan demografi & perubahan lingkungan sosial. Dari proses matching tersebut maka secara jelas terlihat bahwa fungsi pilar-pilar yang ada pada model kinerja MATH dapat diselaraskan dengan model demand pada lingkungan kontekstual, hal ini menandakan bahwa model Kinerja MATH cukup adaptif dalam mengakomodir kebutuhan lingkungan atas fungsi manajerialnya.
Setelah menemukan model kinerja yang fit, tugas rumah sakit selanjutnya adalah menjabarkannya dalam bentuk indicator, misal: pilar Clinical Effectiveness memiliki indicator seperti: readmission, sectio caesaria, penggunaan propilaktik antibiotik, dan seterusnya. Demikian juga untuk masing-masing pilar kinerja lainnya. Setelah lengkap maka masing-masing indikator tersebut dibuat objektif-measurement-target dan inisiatifnya (OMTI), hal ini bertujuan untuk menyambungkan antara program kegiatan dengan tujuan-tujuannya. Disinilah scenario planning tersebut dihasilkan.
Tahapan selanjutnya adalah mengorganisasi scenario planning tersebut kepada unit-unit terkait di rumah sakit atau fasilitas kesehatan sehingga menjadi system yang satu kesatuan nya saling berhubungan. Setelah siap maka dilakukan pelaksanaan atau implementasi dari kegiatan-kegiatan yang ada pada scenario planning tersebut. Untuk menjamin agar implementasi dapat efektif dan efsisien maka dilakukan fungsi monitoring. Kegiatan evaluasi wajib dijalankan setelah masa implementasi yang dimonitoring ini selesai dilakukan. Siklus atau tahapan ini mengacu pada konsep manajemen yaitu dari perencanaan sampai evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan setiap kurun periode tertentu, misal setiap tahun yaitu dengan tehnik scoring antara realisasi terhadap target yang ada.
Dalam manajemen ada kaidah: “if you can measure it, you can manage it”. Hasil evaluasi dapat memberikan gambaran bagaimana efektivitas pencapaian kinerja dikaitkan dengan pola demand tersebut. Instrument inilah yang dapat dijadikan sarana berkomunikasi antar staf di rumah sakit untuk dapat menuju pada quality improvement dalam mengisi kesenjangan dengan permintaan kebutuhan yang ada. Berangkat dari hasil evaluasi terhadap kinerja ini maka dapat disusunscenario planning selanjutnya. Inilah yang disebut sebagai second wave, third wave, fourth wave dst dari proses panjang manajemen strategi yang telah dilakukan. Proses panjang ini menjadi grand scenario rumah sakit dan fasilitas kesehatan dalam upaya me-matching kinerja layanannya dengan pola demand layanan yang begitu dinamis.
Jadi, peranan dua kunci ini terhadap tantangan perubahan merupakan syarat bagi keberhasilan rumah sakit dan fasilitas kesehatan dalam memberikan pelayanan yang efektif bagi kebutuhan layanan yang diminta. Pertama adalah kunci primer berupa perubahan cara pandang. Kedua adalah kunci sekunder berupa penselarasan kembali (re-aligning) indicator kinerja rumah sakit terhadap perubahan pola demand yang ada.
Dalam konteks akreditasi RS yang mengacu pada JCI Accreeditation maka kedua peran kunci ini dapat menjadi materi pendalaman pada komponen Tata Kelola & Kepemimpinan. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang menjalankan kunci-kunci ini sangat berpotensi untuk dapat adaptif terhadap perubahan sehingga keberadaannya tetap dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dalam bentuk pelayanan yang berkesesuaian dan berkesinambungan.
Salam Unstoppable Sharing — Great Leading Great Managing
Bahan Bacaan
1.Chawla, Govindaraj,” Improving Hospital Performance through Policies to Increase Hospital Autonomy: Implementation Guidelines”, Harvard School of Public Health, 1996
2.The Joint Commission, ”HEALTH CARE AT THE CROSSROADS: Guiding Principles for the Development of the Hospital of the Future’, 2008
3.WHO,” Measuring Hospital Performance To Improve The Quality Of Care In Europe: A Need For Clarifying The Concepts And Defining The Main Dimensions”, Report On A Who Workshop Barcelona, Spain, 10-11 January 2003
4.Kaplan, R.S. and Norton, D.P, ”Transforming the Balanced Scorecard from Performance Measurement to Strategic Management: Part I”, Accounting Horizons, Vol. 15 No. 1, March 2001, pp 87 – 104
5.Hartono,”Pengembangan Model Pengukuran Kinerja Rumah Sakit Untuk Mencapai Misi Rumah Sakit di Indonesia”, Disertasi, FKM UI 2011.
Penulis
Budi Hartono*
*) Penulis adalah seorang Healthcare & Hospital Coach, Health Administration & Policy Consultant, Certified Lecturer dan Executive Trainer. Ia adalah founder dari buttonMED COACHING sebuah lembaga strategis yang berfokus pada empowerment SDM kesehatan serta pionir dalam bidang pengembangan coaching di fasilitas kesehatan dan rumah sakit di Indonesia. Ia memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam area Manajemen Rumah Sakit dan Kesehatan seperti: Pengembangan Organisasi dan Kepemimpinan, Budaya dan Mutu Layanan Kesehatan, Manajemen Keuangan, Unit Cost & Pricing, Ekonomi Kesehatan, Manajemen Strategi serta Administrasi & Kebijakan Kesehatan. Ia telah bekerja secara intensif dengan mitra strategis di fasilitas dan institusi terkait kesehatan seperti Rumah Sakit (RS), Puskesmas, Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan serta di beberapa Kementerian dan Perusahaan lainnya sebagai Instruktur Pelatihan, Peneliti, Konsultan dan Executive Coach. Pada tahun 2011, Ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul: “Pengembangan Model Pengukuran Kinerja RS Dalam Mencapai Misi RS di Indonesia” dan mendapatkan gelar doktor dari FKM UI dengan predikat sangat memuaskan. Ia adalah seorang yang memotivasi dan berkapasitas dalam coaching maupun pemberdayaan untuk menjadikan pribadi eksekutif bertumbuh dan berkembang bersama potensi dasarnya dalam sebuah pencapaian prestatif sehingga mereka dapat berkontribusi signifikan dalam mencapai misi dan visi luhur di organisasi manapun mereka berada. Ia telah memberikan pelatihan dan coaching dihadapan lebih dari 15,000 peserta. Ia memiliki sertifikasi pada sejumlah professional skill sepertiCertified Coach Practitioner, Certified Professional Coach, Associate Certified Coach dariInternational Coach Federation (ICF) USA, and Certified Lecturer dari Kementerian Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Ia dapat dihubungi melalui WA di 0816-48500-94, email:[email protected], FB: Budi Hartono Abihanni.
Info training & coaching untuk empowerment program SDM dan organisasi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan dapat menghubungi Annisah Zahrah, SKM atau Amina di no. 0815-8428-2656 | Kantor no. 7864978.
Penulis : Dr. Budi Hartono, SE, MARS, ACC
Editor : Thia Destiani
Sumber: harianbernas.com