Reportase Seminar
Clinical Pathway Terintegrasi dan Reformasi Pembayaran Provider
kerjasama antara NICE International dengan CNHDRC
Beijing, 29 Oktober 2015
Latar Belakang
Sejak 2009 NICE International bekerjasama dengan CNHDRC mengembangkan suatu desain proyek pembuatan clinical pathway untuk rumah sakit-rumah sakit daerah. National Institute for Health and Care Excellence (NICE) adalah lembaga yang berbasis di Inggris, didirikan tahun 1999 untuk mengurangi variasi dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam National Health Service (Sistem Kesehatan Inggris). Melalui beragam kegiatan, lembaga ini menghasilkan pedoman-pedoman berbasis bukti, mengembangkan standar mutu dan ukuran kinerja serta menyediakan informasi pada stakeholders dalam sistem kesehatan, NICE berperan dalam meningkatkan outcome bagi masyarakat yang menggunakan sistem kesehatan dan sistem lain – termasuk sistem layanan sosial – yang terkait.
China National Health Development Research Center (CNHDRC) adalah sebuah institut penelitian nasional yang didirikan tahun 1991 sebagai lembaga think-thank yang memberikan konsultasi teknis berbasis bukti (hasil riset) bagi pengambil keputusan. Pada bulan Mei 2015 yang lalu PKMK FK UGM berkesempatan mengikuti sebuah kaji banding mengunjungi CNHDRC, guna mempelajari peran lembaga think tank di Tiongkok dalam pengambilan keputusan. Laporan mengenai hasil kaji banding ini dapat Anda baca disini.
Clinical pathways untuk mengubah perilaku provider
Selama kurun waktu kurang lebih lima tahun NICE men-support CNHDRC, salah satunya untuk mengembangkan clinical pathway (CP) di beberapa RS daerah. Hasil kerjasama ini kemudian diseminarkan di Beijing pada 29 Oktober 2015, dengan mengundang stakeholders terkait (pengambil kebijakan di tingkat nasional maupun daerah, RS dan Dinas Kesehatan yang terlibat). Selain itu, NICE juga mengundang beberapa partner (atau calon partner) lain dari India, Nepal, Ghana dan Indonesia (PKMK FK UGM dan Universitas Atmajaya).
Pembuatan CP yang terintegrasi ini dilatarbelakangi oleh trend peningkatan biaya kesehatan di Tiongkok secara signifikan selama dua dekade terakhir. Isu lain terkait dengan kurangnya monitoring penggunaan obat-obatan dan peralatan medis di berbagai RS daerah. RS telah membeli berbagai peralatan mahal seperti CT scan untuk menarik pasien dan meningkatkan pendapatan, namun lama kelamaan penggunaannya menjadi sangat berlebihan. Di samping itu, muncul harm akibat radiasi. Setidaknya, ini semua terjadi karena tidak adanya CP sebagai guideline bagi para tenaga medis untuk melakukan pemeriksaan atau tindakan pada pasien. Penelusuran hal ini membawa pada fakta adanya perilaku irregular dokter, sistem manajemen yang belum terbangun dan berbagai pemeriksaan yang irasional. Ada kebutuhan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan outcome yang seiring dengan upaya menurunkan biaya, khususnya pada non-communicable diseases (NCD) yang merupakan penyakit berdurasi panjang, membutuhkan perawatan yang lama serta manajemen pasien yang terencana dengan baik.
CP dianggap sebagai suatu solusi karena merupakan alat yang menerjemahkan bukti terbaik yang tersedia dan guideline menuju praktek multidisiplin terbaik. NICE dan CNHDRC mengembangkan CP berbasis bukti bersama-sama dengan reformasi lain di rumah sakit publik untuk mengatasi masalah pelayanan kesehatan yang berlebihan maupun yang kurang dari standar, di berbagai daerah di Tiongkok. Sebenarnya tahun 2009 sudah ada kebijakan nasional terkait CP, namun hal ini justru mengisolasi dari dilakukannya reformasi lain dalam pelayanan kesehatan, misalnya mekanisme pembayaran dari asuransi ke provider dan sistem insentif pada pemberi pelayanan di faskes. Padahal penelitian telah membuktikan bahwa reformasi pembayaran yang berbasis bukti dapat menimbulkan reaksi berantai berupa perubahan perilaku pemberi pelayanan, merekatkan hubungan antar-stakeholders yang berbeda dan memaksimalkan efek kumulatif kebijakan kesehatan di daerah rural di Tiongkok.
Kolaborasi antara NICE dengan CNHDRC dalam mengembangkan CP ini dilakukan dalam dua fase. Fase pertama (2009-2012) fokus pada mengintegrasikan manajemen CP dengan reformasi pembayaran kasus untuk kasus-kasus bedah umum prioritas. Pathways yang dihasilkan digunakan sebagai basis untuk menyusun metode pembayaran berdasarkan kasus, diimplementasikan secara elektronik di dua pilot sites. Hasilnya berupa delapan artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah berbahasa Cina dan satu artikel berbahasa Inggris. Proyek ini menunjukkan adanya perubahan perilaku provider, meningkatkan kualitas pelayanan dan menekan pengeluaran kesehatan. Pendekatan pada fase pertama ini telah diperluas ke non-pilot sites dan pada berbagai kasus penyakit yang lain.
Pada fase kedua (2012 – sampai sekarang) yang didukung juga oleh pemerintah pusat fokus digeser ke non-communicable disease, yaitu COPD dan stroke. Kedua kasus ini memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi di daerah rural di Tiongkok. Fase dua ini menjadi inisiasi dilakukannya kerjasama Selatan-Selatan, untuk membagi pembelajaran dua-arah dengan India dan Afrika Selatan.
Kegiatan fase dua dilakukan di RS umum pada 4 wilayah, yaitu di Hanbin, Huangdao, Qianjiang dan Wenxian. Ada 77 pathways yang dihasilkan di RS Hanbin, 79 pathways di RS Qianjiang, 49 pathways di RS Huangdao dan 62 pathways di RS Wenxian. CP yang dihasilkan bukan hanya untuk diagnosa dan tindakan melainkan juga mulai dari preventif sampai ke rehabilitasi medis.
Pada diskusi panel, para narasumber sepakat bahwa pengukuran terhadap beberapa indikator jangka pendek telah menujukkan ada perbaikan output pelayanan kesehatan dan perubahan perilaku. Namun perlu dipikirkan adanya indikator jangka panjang, yaitu peningkatan kualitas hidup masyarakat. Reformasi ini merupakan awal dari keseluruhan agenda Negara Tiongkok dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan publik diberbagai level. Sebagaimana negara lain, Tiongkok juga menghadapi burden pelayanan kesehatan berupa aging population perubahan pola penyakit dan sebagainya. Stakeholders berpendapat bahwa pilot project ini telah terorganisir dengan baik dan desainnya disesuaikan dengan konteks lokal.
Hal yang unik dari project ini adalah karena pathways dikembangkan secara terintegrasi mulai dari promotif hingga rehabilitatif. Selama ini baik dokter maupun pembuat kebijakan kurang memahami rehabilitasi medis. Hal ini berdampak pada minimnya benefit packages untuk layanan rehabilitasi medis pada sistem pembiayaan kesehatan. Pembayaran untuk layanan rehabilitasi medis yang dilakukan secara reimbursement seharusnya bukan hanya untuk time of care melainkan juga harus memperhitungkan function based management dan health technology assessment.
Dari perspektif akademisi, Prof. Wang dari Peking University berpendapat bahwa CP ini telah memberikan kontribusi secara nasional dimana pada prosesnya telah ditemukan ada abuse of care. Effort yang lebih besar masih diperlukan untuk mengaitkan pathways dengan payment untuk provider, karena perilaku akan dikendalikan oleh prescription.
Dari perspektif klinisi rehabilitasi medis, banyak benefit yang diperoleh dari proyek ini, misalnya adanya penurunan cost pelayanan (sebelumnya ada pemeriksaan atau tindakan tidak perlu yang berlebihan dilakukan oleh dokter), ada komunikasi yang lebih intensif antar-klinisi misalnya dalam membahas episode penyakit. Pengembangan CP yang terintegrasi adalah tantangan bagi para klinisi. Rekomendasi dari klinisi untuk penelitian ini lebih lanjut antara lain perlunya dukungan kebijakan dan adanya insentif untuk meningkatkan motivasi kerja petugas kesehatan serta untuk memperbaiki sikap. Dari sudut pandang profesi neurologi, benefit yang dirasakan langsung dari kegiatan ini adalah adanya pendampingan teknis diawal penerapan CP, komunikasi yang lebih bain antar-dokter dan diketahuinya biaya pelayanan. Dengan CP avLOS bisa diturunkan. Dalam implementasinya, peran sistem IT sangat penting.
Departemen Kesehatan Tiongkon mempertegas pernyataan mengenai manfaat yang sudah didapat dari kegiatan ini, yaitu bahwa ini adalah perubahan terbesar yang pernah terjadi di sektor kesehatan. Kegiatan ini di level akar rumput sudah membuat proses pelayanan tidak lagi berbasis pada kebiasaan dokter melainkan pada guideline yang telah terstandarisasi. Langkah selanjutnya adalah pembayaran pada provider untuk meningkatkan mutu pelayanan. Menurut Kementerian Kesehatan, sejauh ini belum ada desain payment yang cukup jelas bagi provider. Masih diperlukan upaya lebih lanjut agar ada win-win results bagi semua pihak yang terkait.
Sebagai perbandingan, di Ghana CP menjadi alat politik untuk menerapkan social scheme insurance yang dimulai tahun 2004. Semua warga negara harus masuk dalam skema ini, sehingga paketnya menjadi terlalu besar dan terlalu umum. Ini menyebabkan tantangan baru di aspek keuangan. Di India, pemerintah harus menyiapkan pengobatan esensial minimal secara gratis di seluruh India. Ini merupakan tantangan yang sangat besar mengingat berbagai masalah demografi dan ekonomi di negara ini. Selain itu, RS-RS di India menghadapi masalah SDM dan politik. Karena dana terbatas, maka penerapan evidence based medicine sebenarnya adalah satu-satunya pilihan. Saat ini, India sedang melakukan upaya berkelanjutan untuk membangun guideline yang bisa digunakan untuk managing patients.
Ethiopia dulu fokus pada UHC. Saat ini fokus pengembangan sedikit digeser ke arah health facility sebagai isu utama untuk dilakukan standarisasi. Hal ini karena masih sangat kurangnya kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan. Pembiayaan kesehatan masih menggunakan sistem campuran antara out of pocket dengan social health insurance yang diutamakan untuk layanan kesehatan masyarakat.
Di Nepal, UHC digunakan untuk layanan kesehatan primer. Ada peningkatan kasus NCD. Fokus perbaikan diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas dan mengubah perilaku. Korea Selatan telah mengembangkan lebih dari 300 pathways. Di Indonesia kebijakan JKN yang telah berjalan hampir dua tahun akhirnya mampu meningkatkan kebutuhan penggunaan CP. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes untuk PNPK layanan kesehatan primer. Untuk layanan kesehatan rujukan (spesialis), pengembangan PNPK diserahkan ke masing-masing organisasi profesi. (pea)