Reportase Seminar Nasional
“Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN”
10 Januari 2014
Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4
Bagian-1
PKMK, Jakarta. Pada 10 Januari 2014 yang lalu, ARSADA Pusat telah menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Bayang-bayang Risiko Hukum, Fraud dan Abuse dalam Pelaksanaan JKN” di Jakarta. Seminar yang dirangkai dengan Rapat Pleno I ini ditujukan untuk mempertemukan antara PPK khususnya RSUD dengan pemerintah (Dirjen BUK), BPJS, hingga pakar-pakar hukum dan etika kedokteran dalam satu forum, untuk membahas berbagai risiko penyelewengan dan hukum dalam implementasi JKN.
Dirjen BUK, Prof. DR. Dr. Akmal Taher, pada sesi di pagi hari menyatakan bahwa setelah implementasi JKN dalam beberapa hari ini terlihat banyak RS yang melakukan “fraud”. Misalnya obat untuk penyakit kronis yang harusnya diberikan untuk satu bulan, diberikan ke pasien hanya untuk 10 hari. Alasannya adalah agar RS tidak rugi, karena nilai klaim untuk pengobatan satu bulan lebih rendah daripada harga obatnya.
Menurut Akmal, hal itu tidak perlu dilakukan oleh RS karena penghitungan INA-CBGs sudah melalui analisis terhadap banyak kasus. Ia yakin bahwa tarif dalam INA-CBGs sudah cukup mampu menanggulangi biaya pelayanan kesehatan di RS, meskipun diakuinya juga bahwa tarif ini belum sempurna. Menurutnya, Kemenkes dan Kemenkeu akan melakukan evaluasi iuran PBI dalam 3-6 bulan ke depan. “Sudah ada roadmap-nya, PBI akan naik secara bertahap. Ini keputusan bagus,” katanya. Jika aplikasi di pelayanan primer membaik, ia yakin di INA-CBGs juga akan membaik. “Kami tidak pernah mengasumsikan bahwa apa yang sudah dibuat oleh NCC (INA-CBGs) sudah baik dan lengkap. Namun jangan sampai kita menanggapi kasus per kasus, harus dikumpulkan dulu semuanya. Kalau terjadi berulang kali, berarti kesalahannya bersifat sistemik, yang harus dibenahi adalah sistemnya”.
Ia juga mengakui bahwa masih ada banyak biaya yang belum masuk dalam daftar. Misalnya dalam Formularium Nasional baru mencakup 1500 items, dalam e-catalog baru ada 300-an items. Jika ada obat-obatan yang lebih murah dari yang ada di e-catalog, ia mempersilahkan RS untuk menggunakannya. Disamping itu, masih banyak juga obat-obatan untuk penyakit kronis, misalnya kanker dan thalasemia di rawat jalan yang tidak ditanggung. “Ini akan diperbaiki”, imbuhnya.
Terkait dengan jasa pelayanan, Akmal menyebutkan bahwa Kemenkes akan menyusun formulasinya. “Tapi ini untuk jasa layanan, bukan jasa medik lho. Dulu Askes juga seperti itu, menentukan nilai maksimum (jasa)nya saja” tambahnya.
Ke depannya, Akmal menyarankan agar direktur RS lebih banyak melibatkan komite medis, khususnya dalam pengambilan keputusan pengobatan pada pasien. Keputusan untuk memberi obat pada pasien untuk tiga hari, 10 hari atau satu bulan adalah keputusan klinis dimana komite medis yang paling berhak untuk menentukan.
Untuk itu, Direktur RS Daerah harus sudah mulai membiasakan diri bekerja secara tim dengan komite medis. “Ini tidak mudah, apalagi kalau tidak terbiasa berkolaborasi,” katanya. Memang masih ada kendala ketersediaan dokter spesialis. Namun Akmal berharap RS tetap mematuhi standar kelas pelayanan. Misalnya jika RS Kelas B, maka harus memenuhi standar pelayanan kelas B yang sebenarnya. Di sisi lain, menurut Akmal ARSADA memiliki jejaring yang sangat luas, yang menjadi kekuatan RSUD dalam pelaksanaan JKN dan menghadapi persaingan. Selama ini asosiasi-asosiasi RS menjadi wakil untuk berbagai diskusi dengan pemerintah terkait dengan implementasi JKN. Selain itu, asosiasi harus bisa mendorong agar anggotanya juga tetap meningkatkan kompetensi (dan pemenuhan standar pelayanan) sehingga memiliki daya saing yang tinggi. “ARSADA siap nggak bersaing?” tantangnya. (pea)