Seminar Advokasi BLUD, 14 Juni 2013
Bali, PKMK. Masih dalam rangkaian program Sister Hospital di Provinsi NTT, pada tanggal 14 Juni 2013 telah berlangsung Seminar Advokasi Badan Layanan Umum Daerah yang diharapkan dapat menyamakan persepsi mengenai kebijakan dan pelaksanaan BLUD di Rumah Sakit Daerah. Seminar ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang terdiri dari anggota DPRD, Kepala Daerah beserta jajarannya yang terkait, Dinas Kesehatan Provinsi, AIPMNH dan DPC serta tim UGM.
Seminar ini dibuka oleh DR. Dr. Hyron Fernandez mewakili Kepala Dinas Kesehatan, yang menyatakan bahwa regulasi tentang BLUD sudah lama ditetapkan namun pada kenyataannya hingga saat ini masih banyak RSUD khususnya di NTT yang belum menerapkan PPK BLUD. Hal ini terkait dengan kondisi dimana persepsi yang masing berbeda-beda mengenai BLUD, padahal BLUD bersifat lec specialis. Hal ini dipertegas oleh Yos Hendra, SE, Ak., MM selaku course director acara ini yang pada pengantarnya menjelaskan bahwa BLUD bagi RS pemerintah merupakan amanat Undang-undang. Salah satu masalah krusial adalah tarif yang oleh pengambil kebijakan di daerah biasanya ditetapkan semurah mugkin padahal biaya pelayanan kesehatan cenderung lebih tinggi untuk menghasilkan mutu yang lebih baik.
Pada sesi peran Dinas Kesehatan dalam Mendukung BLUD di RSUD, DR. Hyron menegaskan bahwa Dinkes harus memfasilitasi pemenuhan syarat-syarat bagi RSUD untuk memenuhi BLUD. Fasilitasi ini dapat berupa meningkatkan SDM, fasilitas, hingga advokasi kepada stakeholder RS. Selain itu, Dinkes Provinsi juga dapat mendukung secara finansial melalui APBD provinsi, APBN dan dukungan dana dari external agencies.
Ada kekhawatiran bahwa jika menjadi BLUD, maka tarifakan dibuat sesuai dengan unit cost yang akan lebih tinggi dibandingkan dengan tarifsaat ini. Sehingga nantinya akan lebih banyak subsidi yang dibutuhkan dari APBD untuk menutupi biaya operasional BLUD. Mengenai kekhawatiran ini Prof. Laksono Trisnantoro melalui media Skype™ menyampaikan bahwa subsidi ini penting untuk menjaga mutu pelayanan di RS di NTT. Ada dana dari BPJS yang harusnya tetap bisa diakses oleh RS-RS di daerah sulit, namun ada syarat yang harus dipenuhi, misalnya pelayanan harus dilakukan oleh dokter spesialis. Jika RS di daerah sulit tidak memiliki dokter spesialis, maka nantinya tidak akan bisa mengklaim dana BPJS tersebut. Pada akhirnya dana-dana BPJS hanya akan dinikmati oleh RS maju di kota-kota besar yang dokter spesialisnya sudah lengkap.
Dr. Henyo Kerong dari AIPMNH mengamini apa yangtelah disampaikan oleh Prof. Laksono tersebut. Menurut Dr. Henyo, AIPMNH melihat bahwa masalah kesehatan ibu dan anak di NTT termasuk juga masalah gizinya masih perlu mendapat perhatian. Terkait dengan target mendapaian MDGs, AIPMNH menyatakan komitmennya untuk tetap mendukung upaya peningkatan status kesehatan ibu dan anak, termasuk dengan membenahi sturktur pelayanan di rumah sakit melalui penerapan PPK BLUD.
Seminar ini menjadi semakin hangat ketika memasuki sesi Peran Pemda (yang diharapkan) dalam pelaksanaan BLUD oleh Wisnu Saputro, SE (Subdit BLUD Kementerian Dalam Negeri, Wisnu Saputro, SE). Wisnu menekankan bahwa BLUD harusnya hanya menjadi alat Pemda untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Apa yang ada di RS memang sudah menjadi tugas Pemda. Pelayanan harus bagus namun disisi lain ada regulasi membatasi. Oleh karena itu tugas Pemda untuk memfasilitasi agar SKPD yang menerapkan PPK BLUD (seperti RS) tidak melanggar regulasi yang berlaku umum, yaitu dengan menetapkan SKPD terebut sebagai PPK BLUD. Dengan ditetapkan sebagai PPK BLUD, maka ada perkecualian yang akan diterapkan pada SKPD tersebut, mulai dari pengelolaan kas, utang, piutang, asset/barang, kerjasama, pengadaan barang dan jasa dan sebagainya, semuanya untuk tujuan meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dan meningkatkan kinerja SKPD yang bersangkutan. Yang mendapat penekanan adalah bahwa pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan boleh dikelola secara langsung tanpa melalui Perpres, sedangkan pendapatan dari jasa layanan boleh dikelola dengan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Pengalaman dari RSUD Ende yang telah menerapkan PPK BLUD sejak 1 Januari 2013 sangat menarik sebab dipaparkan sebagai satu contoh yang sangat dekat dengan kondisi sebagian besar RSUD di NTT. Meskipun baru menerapkan PPK BLUD selama enam bulan, namun RSUD Ende yang mendapat bimbingan dari RS Panti Rapih dan RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta, telah difasilitasi oleh Pemerintah Daerahnya berua peraturan kepala daerah yang dibutuhkan untuk menerapkan aturan tersebut. Namun masih banyak kendala yang dihadapi oleh RSUD Ende, antara lain tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan segera setelah RSUD menerapkan PPK BLUD, sebagaimana halnya tuntutan SDM (yang hanya memahami sebagian dari esensi BLUD) terhadap pendapatan mereka. Harapannya adalah subsidi kepada RSUD Ende tidak dihilangkan meskipun sudah BLUD, karena masih diperlukan untuk membenahi pelayanan agar sesuai dengan standar.
Sesi terakhir seminar ini dimanfaatkan untuk mendidentifikasi kesiapan RSUD di NTT dalam menuju penerapan PPK BLUD dan merencanakan langkah selanjutnya. Harapannya setelah mengikuti seminar ini ada langkah yang lebih konkrit dan lebih progressive di daerah-daerah tersebut untuk melaksanakan amanat UU RS ini.