Jakarta, PKMK. Model komunikasi searah di dunia pelayanan kesehatan Indonesia cenderung merugikan dokter ataupun pasien. Sebab, dokter tidak mendapatkan informasi penuh tentang tindakan yang harus dilakukan. Sedangkan pasien tidak memperoleh respons seperti yang diinginkan. “Hubungan satu arah tersebut harus diubah nenjadi hubungan relasional. Suatu hubungan yang lebih bersifat humanistik, ungkap Dr. Lely Arrianie, M Si., ketua Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta (29/4/2013).
Ia mengatakan, di negara maju, hubungan dokter dengan pasien bukan sekadar transaksional, namun sudah lebih bersifat relasional. Komunikasi dokter dengan pasien pun menggunakan berbagai perangkat seperti smart phone. “Dokter dan pasien sering saling kirim BlackBerry Messenger. Kalau di Indonesia, hal itu dilakukan kalau kebetulan pasien merupakan teman dokter. Ataupun si pasien punya jabatan,” kata Lely yang juga staf ahli Ketua MPR RI Dr. Taufiq Kiemas. Pasien di Indonesia cenderung dalam posisi pasif. Pasien ditempatkan sebagai komunikan, bukan komunikator. Komunikan dalam hal ini disebut sebagai penerima pesan saja. Maka, perlu ada proses komunikasi yang memuat proses penyampaian pesan antara pasien dengan dokter secara timbal balik.
Dokter di Indonesia sering berargumen, tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi intensif dengan pasien. Hal tersebut kurang tepat sebab dokter sudah seharusnya berperan melayani pasien. Hal tersebut adalah konsekuensi dari pilihan profesi dan hidup sebagai dokter, kata Lely. Proses transisi pada hubungan relasional tersebut merupakan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, perubahan bisa dimulai dari dokter sebagai pemegang lapisan atas pelayanan kesehatan. Para perawat dan tenaga lain nantinya akan meniru hubungan relasional yang dijalankan dokter. “Sekarang, di rumah sakit, yang dilakukan kok terbalik yang diberi pelatihan komunikasi adalah tenaga medis di bawah,” Lely berkata.