Jakarta, PKMK. Dalam tiga tahun terakhir, angka pengaduan konsumen layanan kesehatan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) rendah. Hanya ada lima sampai tujuh pengaduan per tahunnya. Adapun total angka pengaduan di tahun 2012 sebanyak 602, ungkap Sudaryatmo, Ketua YLKI di Jakarta (22/4/2013). Pihak yang diadukan tersebut bervariasi, ada konsumen ataupun pasien yang mengadukan hal yang berhubungan dengan persoalan medis seperti dokter, rumah sakit, dan lain-lain. Ada pula pengaduan nonmedis seperti soal keamanan lingkungan rumah sakit. Di sini, keluarga pasien mengadu karena kehilangan telepon genggam saat membesuk. Selanjutnya, muncul pula pengaduan terkait nilai tagihan dari rumah sakit. Ada tagihan tentang jasa konsultasi dengan dokter spesialis. Sementara, pasien merasa tidak pernah mendapatkan hal itu. “Ternyata, konsultasi itu dilakukan perawat via telepon dan pasien dikenai biaya tersebut,” ungkap Sudaryatmo.
Satu persoalan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia adalah buruknya komunikasi antara dokter dengan pasien. Meskipun begitu, sekarang di kota besar pasien sudah memiliki keberanian untuk banyak bertanya ke dokter. Sementara dokter, walau tidak diminta sudah lebih banyak menjelaskan hasil diagnosis, alternatif tindakan medis, risiko, dan biayanya. “Dokter sering sudah menginformasikan semua itu dari awal,” tambah Sudaryatmo. Ia mengatakan bahwa rendahnya angka pengaduan konsumen kesehatan disebabkan sejumlah faktor. Beberapa diantaranya yakni kebiasaan mengadu yang rendah; tidak tahu harus mengadu kemana karena tidak semua penyedia jasa kesehatan menyediakan sarana untuk itu; dan baru mengadu jika sudah merasakan penderitaan parah. “Kalau kenyataannya, YLKI meyakini bahwa angka keluhan konsumen lebih banyak daripada yang masuk,” tambahnya. Sebenarnya, saat konsumen tidak mendapatkan informasi lengkap dari dokter ataupun rumah sakit, haknya sudah dilanggar. Juga, saat apoteker sekadar melayani pembelian tanpa menjelaskan tentang obat yang dibeli, hak konsumen sudah dilanggar.