Jakarta – Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa Nova Riyanti Yusuf mengatakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berpotensi melakukan tindak kriminal perlu ditempatkan di tempat khusus untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.
“Menempatkan ODGJ pelaku tindakan kriminal ke dalam rumah sakit jiwa tentu menimbulkan rasa tidak aman dan tidak nyaman terhadap pasien ODGJ lainnya dan juga para tenaga kesehatan jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa tersebut. Mungkin dapat dipikirkan untuk menempatkan para ODGJ pelaku tindakan kriminal ke sebuah tempat khusus,” ujar Nova melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Nova mengatakan hal itu diperlukan karena belum lama ini dirinya mendengar berita memilukan datang dari Rumah Sakit Khusus Daerah Stroke Center Provinsi Sulawesi Selatan yang dahulu dikenal dengan nama Rumah Sakit Jiwa Dadi bahwa dua orang pasien kembar di rumah sakit tersebut tewas karena diduga dicekik oleh teman sekamarnya, sesama pasien ODGJ.
Dia menilai kejadian itu menegaskan pentingnya pemisahan ODGJ yang berpotensi melakukan kekerasan dengan ODGJ lainnya sebab di Indonesia belum ada ketentuan mengenai penanganan terhadap ODGJ yang melakukan tindakan kriminal, kecuali dengan mengirimkannya ke rumah sakit jiwa selama paling lama satu tahun.
“Perlu dipikirkan menempatkan ODGJ yang berpotensi melakukan tindak kriminal ke dalam tempat khusus, dengan penjagaan dan prosedur yang lebih ketat, seperti bangsal psikiatri forensik yang ada di Institut/Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, seperti di Jepang dan Amerika Serikat,” kata dia.
Dia mengatakan bahwa peristiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah Stroke Center Sulawesi Selatan menyedihkan karena terjadi pada saat Komisi IX sedang melakukan penyusunan draf RUU tentang Kesehatan Jiwa, yang salah satu tujuannya adalah memberikan perlindungan terhadap ODGJ dari segala bentuk kekerasan.
“ODGJ sering kali menerima kekerasan, baik yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat sekitar maupun yang dilakukan oleh sebagian kecil oknum tenaga kesehatan jiwa. Kekerasan yang dialami oleh ODGJ umumnya berbentuk pemasungan, pemukulan, atau kekerasan verbal,” ujar dia.
Nova menjelaskan bahwa di dalam draf RUU tentang Kesehatan Jiwa diatur larangan bagi tenaga kesehatan jiwa untuk melakukan kekerasan atau menyuruh orang lain untuk melakukan kekerasan terhadap ODGJ.
Dia mengatakan, dengan adanya peristiwa di Sulawesi Selatan, menginspirasi dirinya untuk mengusulkan penambahan kata “membiarkan” di dalam ketentuan tersebut.
Nantinya, ada larangan yang tegas bagi tenaga kesehatan jiwa untuk melakukan kekerasan serta menyuruh atau membiarkan orang lain melakukan kekerasan terhadap ODGJ.
“Di setiap rumah sakit tentu sudah ada prosedur tetap menyangkut penanganan pasien, terlebih di rumah sakit jiwa yang mempunyai pasien dengan karakteristik khusus yang penanganannya tentu berbeda dengan pasien lainnya. Adanya kesalahan penetapan prosedur yang berakibat fatal bagi pasien atau orang lain, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pembiaran,” ujar dia.
Dia menekankan bahwa usulan tersebut bukan bermaksud untuk mengkriminilisasi tenaga kesehatan jiwa yang telah bekerja dengan sangat keras untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat. Namun, justru dapat menjadi landasan hukum bagi seluruh pihak dalam penanganan ODGJ dan memberikan kepastian hukum bagi para tenaga kesehatan jiwa.
“Selama mereka menjalankan prosedur yang sudah ditetapkan, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, itu di luar kuasa mereka,” kata dia.
Sumber: antaranews.com