Jakarta, PKMK. Penerapan telemedicine di Indonesia terhambat oleh sejumlah faktor. Satu di antaranya adalah biaya penyelenggaran infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal. dr. Erik Tapan, MHA, pengamat informatika kedokteran, mengatakan hal tersebut di Jakarta hari ini. Erik menyampaikan dengan infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal, telemedicine Indonesia menjadi tidak feasible untuk dipasarkan. “Bandwidth di Indonesia itu kan terbilang mahal,” kata dia. Kecepatan perkembangan telemedicine di Indonesia, ia mengatakan, akan sejajar dengan harga infrastruktur teknologi informasi. Semakin menurun harga tersebut, semakin cepat pula perkembangan telemedicine.
Erik menambahkan untuk saat ini yang lebih berkembang di Indonesia adalah telemedicine yang tidak memerlukan bandwidth besar. Salah satunya yaitu layanan yang bersifat konsultatif antara dokter dengan pasien. “Pokoknya, yang berkembang lebih cepat adalah telemedicine yang tidak bersifat real time,” kata Erik. Seperti apa bentuk telemedicine yang ideal di Indonesia saat ini? Erik menjawab, sekarang ada rumah sakit yang menerapkan teleconferencedengan institusi pelayanan kesehatan di luar negeri. Hal yang harus diingat bahwa telemedicine yang baik adalah yang bersifat D to D, bukan D to P. Pada prinsipnya, telemedicine adalah pengobatan jarak jauh menggunakan teknologi. Itu sedari layanan konsultasi, diagnosis, sampai pengobatan. “Termasuk di situ adalah operasi,” jelas Erik.
Tulisan Terkait:
Telemedicine: Harapan baru untuk meningkatkan kapasitas RS daerah terpencil