Maldistribusi fasilitas pelayanan kesehatan rujukan hingga saat ini masih menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia. Riskesdas tahun 2018 menunjukkan 36,8% masyarakat pedesaan sulit mengakses pelayanan kesehatan primer, dan 42,4% sulit mengakses pelayanan rumah sakit. Meskipun cakupan kepesertaan BPJS telah mencapai 98% – artinya barier finansial untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sudah teratasi – namun cakupan tersebut menjadi kurang bermakna ketika fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tidak tersedia, khususnya di lokasi yang jauh dari kota besar. Sementara itu, cakupan kepesertaan BPJS yang tinggi telah meningkatkan utilisasi layanan canggih, sehingga penyakit kanker, kardiovaskuler, stroke, dan uronefrologi (KJSU) muncul sebagai penyakit dengan volume dan serapan anggaran kesehatan tertinggi. Strategi Transformasi Pelayanan Kesehatan Rujukan diharapkan bisa menjadi solusi pemerataan distribusi RS, yang diprioritaskan untuk menangani penyakit KJSU.
Kemenkes memetakan penyebaran sumber daya dan menetapkan target, yaitu sebelum tahun 2025, 50% dari 34 provinsi memiliki 1 RS strata utama dan 50% dari 507 kabupaten/kota dengan RSUD sudah memiliki 1 RS strata madya. Jenis tenaga spesialis yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan KJSU meliputi Spesialis Jantung (Sp.JP, Sp. BTKV, Sub.Spes.Kardiovaskuler, Sub.Kardio Intervensi); Spesialis Saraf (Sp.Bs, Sp.S, Sp.AN KNA, Neuro Intervensi, Sp.BS Vaskuler, Sub Neuro Vaskuler); Spesialis Uronefrologi (Sp.U, Sp.PD KGH, Sub.Spes.Nefrologi); Spesialis Kanker (Sub Sp OG, Sub Sp A (KHOM), Sub Sp PD (KHOM) Sp.B.Onk); Spesialis Penunjang (Sp.An, Sp.Rad, Sp.PA, Sp.PK); Fisikawan Medis; serta Spesialis empat dasar (Sp.PD, Sp.OG, Sp.B, Sp.A) . Untuk memenuhi kebutuhan SDM yang sangat banyak tersebut, Kemenkes menyediakan beasiswa spesialis, subspesialis, dan fellowship bagi ribuan dokter, mengoptimalkan program pendayagunaan dokter spesialis, memperluas/ menambah program studi spesialis dan dokter spesialis, serta melakukan redistribusi tenaga kesehatan. Selain itu, Kemenkes juga mengalokasikan Rp 31 T untuk pengadaan alkes di tahap 1, dimana 70% anggaran diproyeksikan berasal dari dana PEN dan 30% lainnya dari DAK bidang kesehatan, BLU/BLUD, APBD, serta pinjaman/partnership (SMI, IsDB, I-SPHERE Bank Dunia).
Sementara itu, data SDMK tahun 2022 menunjukkan bahwa ada 42% RSUD di kabupaten/kota yang kelengkapan tujuh jenis tenaga dokternya belum terpenuhi. Tujuh jenis spesialisasi ini meliputi spesialis obsgyn, spesialis kesehatan anak, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah, spesialis anestesi, spesialis radiologi, dan spesialis patologi klinik. Dibandingkan dengan target Kemenkes di atas, ketersediaan tenaga spesialis di RS masih sangat jauh dari cukup. Kekurangan SDM ini menjadi masalah yang sangat mendasar bagi pemerataan pelayanan kesehatan rujukan, sebab tanpa adanya SDM, fasilitas dan peralatan yang disediakan tidak akan termanfaatkan secara optimal.
Jika ditelusuri lebih jauh, maldistribusi SDM tidak semata karena kekurangan jumlah, tetapi juga karena berbagai masalah lain. Sebuah white paper mengenai hasil evaluasi kebijakan Jejaring Pengampuan KJSU menyebutkan beberapa masalah SDM misalnya kurangnya minat dokter spesialis untuk ditempatkan di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar atau 3T; aspek keamanan dan infrastruktur wilayah yang kurang memadai; rendahnya reward; serta culture shock. Untuk mengatasi akar masalah ini diperlukan kerjasama lintas kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah. Sistem pelayanan kesehatan rujukan dapat dibangun secara merata jika situasi lingkungan yang mendukung juga disiapkan. Situasi yang aman dan infrastruktur yang maju setidaknya dapat meningkatkan minat para dokter spesialis untuk ditempatkan dan bekerja disana, setidaknya untuk mengurangi culture shock.
Selain itu, dokter spesialis tidak dapat bekerja sendiri di RS. Dibutuhkan tim tenaga kesehatan dengan kompetensi yang memadai untuk bekerja bersama dokter spesialis menangani berbagai aspek pelayanan pada pasien. Tenaga-tenaga kesehatan ini pun jumlahnya seringkali terbatas, misalnya perawat tersertifikasi kegawatdaruratan onkologi, fisikawan medis, perawat neurosains, radiografer, perawat tersertifikasi hemodialisis, elektromedis, dan sebagainya. Tenaga-tenaga kesehatan ini perlu disiapkan oleh Pemda untuk melengkapi kebutuhan ketenagaan dalam pelayanan KJSU, karena tidak ter-cover oleh beasiswa Kemenkes.
Demikian juga dengan peralatan dan sarana-prasarana, karena tidak semua kebutuhan disiapkan oleh Kemenkes, maka Pemda perlu mengupayakan agar peralatan dan sarana prasarana tersebut memenuhi standar pelayanan KJSU. Pada jejaring pengampuan kanker misalnya, banyak RS yang belum memiliki ruang klinik nyeri dan klinik paliatif, serta belum memiliki hematology analizer dan clinical chemistry analiyzer. Pada jejaring kardiovaskuler, banyak RS yang belum memiliki invasive coronary functional study dan atherectomy, serta belum memiliki OK khusus jantung, ruang Cath Lab, dan ruang ICCU/ICVCU. Pada jejaring pengampuan stroke banyak RS yang belum memiliki unit stroke atau bangsal stroke, serta banyak RS strata utama yang belum memiliki set clipping aneurisma. Pada RS jejaring pengampuan uronefrologi, banyak RS yang belum memiliki Unit Hemodialisis (kompatibel pediatrik), USG Doppler (Probe Liner, Probe Curve dan Probe Transrectal), dan blood chemical analyzer, serta belum memiliki ruang hemodialisis, ruang operasi uronefrologi. Peran Pemda sangat diperlukan untuk dapat memenuhi berbagai sumber daya ini, sehingga pemerataan pelayanan rujukan KJSU dapat terwujud dan masyarakat di kota-kota kecil serta wilayah 3T dapat mengakses pelayanan sesuai dengan hak kepesertaannya pada sistem JKN.
Isu penting lainnya adalah reward untuk menjaga retensi SDM. Investasi yang telah dilakukan melalui peningkatan kompetensi SDM serta pengadaan peralatan dan sarana prasarana, perlu dipelihara untuk mencapai utilisasi optimal dalam jangka panjang. Di wilayah tertentu, retensi SDM sangat rendah, karena sulit mendapatkan tenaga tetap. Pemenuhan kebutuhan SDM, khususnya dokter spesialis, mengandalkan program pemerintah pusat seperti Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PPDS) dan Nusantara Sehat. Salah satu penyebabnya adalah reward yang dianggap tidak sebanding dengan risiko dan seringkali terlambat dibayarkan hingga berbulan-bulan. Situasi ini perlu diselesaikan di level Pemda agar daerahnya menjadi lebih menarik bagi para tenaga kesehatan untuk bekerja dan berkarir disana (PEA).