BANGKALAN, RadarMadura.id – Manajemen RSUD Syamrabu melakukan efisiensi anggaran dengan tidak mengurangi kualitas layanan.
Terobosan itu diberi nama Efisiensi untuk Membangun RSUD Syamrabu (Si Sayang Ibu).
Direktur RSUD Syamrabu Farhat Surya Ningrat menyatakan, terobosannya itu diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Bangkalan 2005–2025.
Yaitu, peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah perbaikan kinerja pengelolaan keuangan dan organisasi.
Menurut Farhat, RSUD Syamrabu ditetapkan sebagai badan layanan umum daerah (BLUD) sejak 2011.
Hal tersebut membuat manajemen rumah sakit terbesar di Bangkalan itu memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan keuangan.
Namun, support anggaran dari pemkab ke rumah sakit pelat merah itu semakin kecil. Dengan demikian, pengelolaan RSUD Syamrabu dituntut lebih mandiri.
”Juga harus makin visioner dan adaptif untuk menghadapi berbagai tantangan kesehatan,” ujarnya.
Dokter spesialis kulit dan kelamin itu menyatakan, kemandirian pola pengelolaan keuangan (PPK) BLUD dilakukan dengan berbagai cara.
Misalnya, pemanfaatan anggaran tepat guna, efisiensi, dan optimalisasi pengelolaan sisa lebih perhitungan anggaran (silpa).
Karena itu, RSUD Syamrabu mampu membangun gedung layanan lima lantai tahun ini.
Sementara di tahun anggaran 2025, manajemen RSUD Syamrabu juga menyiapkan proyek strategis untuk menjawab kebutuhan pengunjung rumah sakit.
”Yaitu, pembangunan gedung parkir, gedung server, dan gudang farmasi,” ujarnya.
Peningkatan sarpras tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung layanan kesehatan bagi masyarakat.
Sebab, jumlah kunjungan pasien di RSUD Syamrabu mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Hal tersebut dapat diketahui dari angka kunjungan rawat inap dan rawat jalan dari kurun waktu 2021–2023 (lihat grafis).
Farhat memaparkan, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi lembaganya. Pertama, 96,5 persen pasien yang berobat merupakan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sebab, universal health coverege (UHC) sudah diberlakukan di Bangkalan sejak 2022.
Tantangan kedua yang dihadapi yaitu meningkatnya jumlah pasien hingga 25 persen di RSUD Syarambu.
Pasien yang berobat bukan hanya warga Bangkalan, melainkan juga warga dari kabupaten tetangga di Madura. Bahkan, ada yang berasal dari luar Pulau Garam.
Tantangan selanjutnya yaitu biaya klaim Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) yang cenderung tidak berubah.
Sementara kebutuhan operasional pembelian alat kesehatan (alkes) semakin mahal. Kemudian, faskes juga dihadapkan dengan regenerasi alkes yang cepat berubah.
Dengan begitu, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan rumah sakit selain menghemat anggaran agar layanan tetap maksimal.
Salah satu opsi efisiensi yang ditempuh yaitu dengan kerja sama operasional (KSO).
Dia mencontohkan, terdapat beberapa alkes yang dibutuhkan rumah sakit. Misalnya, CT Scan 32 slice yang harganya sekitar Rp 8 miliar.
Kemudian, X-Ray yang harganya sekitar Rp 4 miliar. Sementara biaya maintenance dua alkes itu sekitar Rp 200 juta per tahun.
Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan CT Scan 32 slice dan X–Ray beserta bahan medis habis pakai (BMHP) selama lima tahun bisa mencapai Rp 15 miliar.
Sementara itu, jika bekerja sama dengan pihak lain, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 12,5 miliar selama lima tahun.
”Maka, selisihnya Rp 2,5 miliar. Kami juga tidak perlu memikirkan soal perbaikan dan semacamnya karena sudah menjadi tanggung jawab pihak ketiga,” katanya.
Ada beberapa keuntungan yang didapatkan rumah sakit dengan menerapkan KSO dalam penyediaan alkes.
Yakni, lebih efisien, menjaga likuiditas keuangan, dan layanan kesehatan terhadap pasien tetap terjamin. (jup)
Sumber: radarmadura.jawapos.com