Seminar Health Sustainability, Climate Crisis & Circular Economy
NASA mencatat hari terpanas di bumi sepanjang sejarah terjadi pada 10 Juli 2023, yaitu mencapai 1,2°C lebih panas dari rata-rata musim panas antara 1951-1980. Rekor ini telah mengakibatkan bencana di berbagai belahan dunia, antara lain kebakaran hutan yang mematikan, gelombang panas maupun suhu dingin yang ekstrim, curah hujan yang sangat tinggi hingga banjir di tempat-tempat yang belum pernah mengalaminya. Dunia sudah bergerak untuk mengatasi penyebab dan dampak dari pemanasan global dengan berbagai strategi. Indonesia sebagai negara berkembang yang terus mengalami deforestrasi juga harus berkontribusi di dalamnya.
Industri perumahsakitan ternyata menjadi salah satu sektor penyumbang terbesar pemanasan global dengan banyaknya jejak karbon yang dihasilkan dari proses pelayanan, yang memicu terjadinya perubahan cuaca. Praktik pelayanan di rumah sakit berpotensi doing harm terhadap lingkungan, meskipun prinsip pelayanannya adalah do no harm. Penggunaan air dan energi listrik yang tidak efisien hingga limbah padat-cair-gas yang tidak diolah dengan baik adalah contoh bahaya yang ditimbulkan oleh proses pelayanan di RS terhadap lingkungan. Ini menyebabkan industri kesehatan berkontribusi 4-6% carbon footrpint. Jumlah ini setara dengan kumulasi emisi yang dihasilkan dalam setahun oleh 514 PLTU[1]. Selanjutnya, emisi ini berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan global.
Diperlukan adanya kesadaran kolektif dari seluruh RS dan stakeholders kunci untuk membuat pelayanan kesehatan di Indonesia less do harm terhadap lingkungan. Untuk itu, pada Sabtu, 18 November 2023 yang lalu, RSA UGM bekerjasama dengan Proyek Kebumi (Kesehatan untuk Bumi) menyelenggarakan seminar bertajuk Health Sustainability, Climat Crisis, and Circular Economy. Seminar ini adalah salah satu kegiatan dalam upaya integrasi para tenaga ahli kesehatan dengan wacana iklim yang didukung juga oleh Health Care without Harm Southeast Asia (HCWH-SEA). Tujuan seminar ini untuk mendukung partisipasi pemerintah Republik Indonesia dalam COP 28 – UN Conference on Climate Change, membangun jaringan kerja sama dan kolaborasi antar profesional dan akademisi di bidang kesehatan dan lingkungan, serta mendorong munculnya ide-ide positif dan inisiasi aksi partisipatif dari kalangan tenaga kesehatan di Indonesia, membangkitkan semangat dan memotivasi keikutsertaan secara aktif untuk mengatasi tantangan iklim dan kesehatan.
Sektor kesehatan perlu peduli terhadap krisis iklim karena jika planet sakit, tidak mungkin umat manusia bisa sehat. Bagi sektor kesehatan, perubahan iklim menjadi ancaman nomor satu karena stres panas dan mortalitas terkait suhu, food security yang memicu kelaparan, penyakit infeksi, kualitas udara dan air, hingga kesehatan mental. Di sisi lain, sektor kesehatan juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, dimana sebuah green paper menunjukkan bahwa ada kontribusi sebesar 4,4% terhadap global carbon emission. Menurut Laetania Belai Djandam, BMedSci (Climate Officer, Health Care Without Harm SEA), sektor kesehatan Indonesia perlu terlibat aktif dalam penanganan perubahan iklim, salah satunya dengan memanfaatkan COP-28, yaitu pertemuan tahunan PBB UNFCC yang yang kali ini fokus pada iklim dan sektor kesehatan. Strategi yang perlu dilakukan oleh sektor kesehatan adalah mitigasi, adaptasi, dan community resilience.
Hal senada disampaikan oleh Novi Nur Fatmawati (GGHH National Trainers), sehingga kemudian HCWH mengembangkan alat climate impact check up untuk mengestimasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh suatu institusi pelayanan kesehatan. Dengan mengetahui besarnya emisi karbon yang dihasilkan, RS dapat mengembangkan strategi yang tepat untuk menguranginya. Contohnya, pada 2021 penggunaan listrik menjadi sumber emisi karbon terbesar pada RSU, sedangkan employee commuting menjadi sumber terbesar pada RS psikiatri. Hal ini karena RS Psikiatri umumnya terletak jauh dari pusat kota dan tempat tinggal staf RS. Alat ini tersedia gratis, RS tinggal masuk ke website GGHH dan melakukan registrasi.
Sementara itu, menurut Antonius Aditantyo Nugroho, S.H (Indonesia Center of Environmental Law), pemenuhan hak atas lingkungan mepengaruhi pemenuhan hak atas kesehatan, dimana hak atas kesehatan dan hak atas lingkungan masing-masing sudah diakui dalam tataran hak asasi manusia. Kolaborasi ahli hukum dan ahli kesehatan, di kesehatan sendiri untuk dampak kesehatan publik mengenai perubahan iklim belum diatur secara spesifik.
Upaya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akan lebih efektif jika dilakukan secara kolektif, misalnya dnegan memanfaatkan potensi organisasi dan persyarikatan dalam membangun kesadaran kolektif untuk pelayanan kesehatan sehingga upaya tersebut dapat berkelanjutan. Belum lama ini Muhammadiyah meluncurkan Muhammadiyah Climate Center yang diikuti oleh 13 negara, dan menjadi upaya aksi terhadap perubahan iklim di tingkat global. Menurut Dr. Mochammad Syafak Hanung, Sp.A., hal ini merupakan salah satu hasil muktamar Muhammadiyah, dimana ada tiga isu yang menjadi keputusan yaitu isu keumatan (membangun budaya hidup bersih dan sehat), isu kebangsaan, dan isu kemanusiaan universal.
Salah satu aspek teknis dari pengendalian emisi karbon di RS adalah dengan pengelolaan inventori dan alat bekas milik RS, dan upaya mengendalikan emisi karbon dari limbah RS. Menurut Dr. R.Azizah, SH, M.Kes (Universitas Airlangga), emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran segala senyawa yang mengandung seperti CO2, solar, bensin, LPG, seta bahan bakar lainnya. Untuk mengurangi emisi karbon, operasional IPAL RS harus efisien. Salah satu strateginya adalah memanfaatkan sanbio activator (campuran dari bakteri fotosintetik, asam laktat (Lactobacillus sp), Actinomycetes sp, Streptomycetes, jamur fermentasi, Brevibacterium, Pseudomonas dan Bacillus megatrium, dan lain-lain) untuk meningkatkan kinerja bak bioreactor. Selain itu, RS dapat memanfaatkan sampah organik dari dapur gizi sebagai ecoenzyme, dan menangani sampah organik dengan menggunakan Black Soldier Fly (BSF) menjadi KasGot (Bekas Magot), yang kemudian dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
RS perlu mempelajari dan menerapkan berbagai upaya untuk mengurangi emosi karbon. Pada September 2023 yang lalu pemerintah telah mencanangkan inisiatif carbon market, dimana karbon akan menjadi “mata uang” baru. Setiap usaha diwajibkan untuk mengurangi emisi karbonnya masing-masing. Denda akan diterapkan pada usaha yang emisi karbonnya melewati batas yang telah ditetapkan, yang disebut sebagai pajak karbon. Menurut Boyke Rudy Purnomo, S.E., M.M., PhD., CFP (FEB UGM), lebih dari setengah jejak karbon dari pelayanan kesehatan berasal dari energi/beban listrik. Sebagian besar jejak karbon tersebut terjadi di scope 1 (direct emission) dan scope 2 (indirect emission).
Dari sudut pandang ekonomi dalam standar pelaporan keberlanjutan pelayanan kesehatan, Singgih Wijayana (RS Akademik UGM) mengutip Bumpus (2011), Burtraw, et al. (2002) dan Descheneau (2012) bahwa carbon market telah menerjemahkan konsumsi emisi ke dalam terminologi moneter dengan mengubah emisi karbon menjadi komoditas yang bernilai uang. Oleh karenanya, merepresentasikan beban emisi dalam laporan keuangan tidak hanya berarti mengamati seperangkat teknik, tetapi pada akhirnya juga mempengaruhi pengambilan keputusan politik, sosial, dan ekonomi.
Pendekatan CSR untuk mandiri mengolah sampah organik, produk hulu ke hilir dilakukan oleh RSA sebagai salah satu bentuk kontribusi nyata untuk mengurangi bahan pencemaran akibat timbulan sampah organik. Hal ini disampaikan oleh Dewi Sarastuti (RS Akademik UGM) sebagai narasumber terakhir pada sesi 2. Budi daya larva BSF, budi daya ikan dalam ember, pembuatan nugget lele hasil budi daya, pembuatan pelet ikan dari larva BSF, hingga pemanfaatan sampah buah dan sayur menjadi eco enzyme telah menjadikan RSA sebagai percontohan pengolahan sampah yang efektif dan efisien bagi instansi dan wilayah lain. RSA menerapkan filosofi Jawa, yaitu urip dadi uriping sesami (URUS) dengan melakukan pendampingan program dari tahun ke tahun secara berkesinambungan.
Dirangkum oleh:
Putu Eka Andayani, SKM, M.Kes. adalah konsultan manajemen rumah sakit dan
peneliti alat kesehatan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK KMK UGM.
[1] https://bioethics.fk.ugm.ac.id/2019/12/27/seminar-dan-webinar-the-green-healthcare-a-moral-and-ethical-action/