Peran Unit Pemeliharaan Alat Kesehatan (UPAK) atau Regional Maintenance Center (RMC) dalam Pelaksanaan Transformasi Sistem Kesehatan
Untuk mencapai tujuan transformasi sistem kesehatan, salah satu strategi utama yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan adalah memperkuat layanan primer dan layanan rujukan. Pada pilar pelayanan primer, program utama yang ditetapkan antara lain meningkatkan kemampuan puskesmas pada area pencegahan primer (imuniasi rutin) dan pencegahan sekunder (mendeteksi 14 penyakit penyebab kematian utama, skrining stunting, meningkatkan pelayanan antenatal care untuk ibu hamil dan pelayanan kesehatan bayi dan balita. Pada pilar pelayanan rujukan, program utamanya adalah meningkatkan akses dan mutu pelayanan rumah sakit.
Alat kesehatan menjadi salah satu komponen penunjang yang sangat penting bagi tercapainya tujuan tersebut. Penguasaan teknologi kedokteran dan kesehatan dapat dilihat dari ketersediaan alat kesehatan pada fasyankes. Jadi jika fasilitas pelayanan kesehatan rujukan harus mampu menangani penyakit KJSU-KIA sesuai dengan stratanya, misalnya, maka peralatan kesehatan yang mendukung merupakan syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Demikian juga puskesmas, jika harus mampu melakukan pelayanan pencegahan primer dan sekunder, maka peralatan pendukung untuk melakukan deteksi dini dan pemeriksaan harus lengkap, dalam kondisi baik, dan siap pakai. Yang sering menjadi masalah adalah ketersediaan alat kesehatan tersebut yang tidak selalu sesuai dengan perkembangan teknologi (alat sudah ketinggalan zaman), kekeliruan proses perencanaan dan pengadaan (alat yang diadakan berbeda dengan yang dibutuhkan), atau alat rusak sebelum waktunya karena penggunaan dan pemeliharaan yang tidak tepat. Ketidaktepatan pengelolaaan alat kesehatan akan berdampak pada ketersediaan dan kualitas pelayanan di fasyankes.
Pada standar ketenagaan RS, ada tenaga elektromedik yang kemudian bertanggung jawab terhadap upaya pemeliharaan alat-alat elektromedik. Namun dalam standar ketenagaan puskesmas, hanya ada 9 jenis tenaga kesehatan tanpa tenaga elektromedik. Artinya, dari 10.435 puskesmas di Januari 2023 (berdasarkan SISDMK), hampir semuanya tidak memiliki tenaga elektromedik. Beberapa puskesmas bekerjasama dengan rumah sakit, sehingga teknisi elektromedik RS melakukan pemeliharaan alat-alat kesehatan di puskesmas. Namun sebagian besar puskesmas tidak memiliki tenaga yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan, khususnya inspeksi dan pemeliharaan korektif. Kurangnya produksi tenaga elektromedik dan distribusinya ynag tidak merata, serta kendala geografis antara lain menjadi kendala dalam menyetarakan dukungan layanan pemeliharaan alat kesehatan bagi setiap fasilitas pelayanan kesehatan secara merata. Minimnya upaya pemeliharaan alat kesehatan membuat umur ekonomis alat kesehatan semakin pendek, yang berdampak pada tingginya biaya investasi pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada 2019 Direktorat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI menerbitkan pedoman Regional Maintenance Center (RMC) atau Unit Pemeliharaan Alat Kesehatan (UPAK) dalam Bahasa Indonesia, yang kemudian direvisi pada 2022. Pedoman ini mengacu pada THET Partnership for Global Health 2015, bahwa secara umum pengelolaan alat kesehatan meliputi siklus yang dimulai dari perencanaan, penganggaran, penilaian, pembelian, instalasi, pelatihan, pengoperasian, pemeliharaan, penonaktifan alat hingga penghapusan alat kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2023, pemeliharaan alat kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi inventarisasi alat kesehatan, pemeliharaan promotif, pemeliharaan pemantauan fungsi/inspeksi, pemeliharaan preventif, dan pemeliharaan korektif/perbaikan.
Pemeliharaan alat kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh penyelenggara yang dibentuk oleh rumah sakit, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat. Pada umumnya RS telah memiliki unit ini, yang biasa dikenal sebagai Instalasi Sarana Prasarana Rumah Sakit. Penyelenggara yang dibentuk oleh pemerintah daerah merupakan unit pelaksana teknis daerah atau unit fungsinal pada dinas kesehatan kabupaten/kota yang melakukan pemeliharaan alat kesehatan di puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (klinik, rumah sakit, balai pengobatan, dan sebagainya, terutama yang menggunakan alat-alat elektromedik). UPAK milik pemerintah daerah dapat difungsikan secara optimal untuk membantu pemeliharaan alat kesehatan puskesmas secara terpadu, sekaligus sebagai solusi bagi penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki keterbatasan anggaran maupun akses kepada tenaga pemeliharaan yang kompeten.
Lingkup kegiatan UPAK meliputi perencanaan, pendampingan uji fungsi dan uji coba alat kesehatan yang baru maupun yang telah selesai diperbaiki, melakukan pemeliharaan alat kesehatan, memberikan penilaian teknis terhadap alat kesehatan, mengawasi dalam kegiatan instalasi/pemasangan, pemeliharaan dan pengujian dan/ atau kalibrasi alat kesehatan yang dilaksanakan oleh pihak lain, maupun pelatihan untuk pengguna alat di fasilitas pelayanan kesehatan.
Manfaat keberadaan UPAK perlu disadari oleh seluruh stakeholders kesehatan di daerah. Bagi puskesmas, UPAK dapat mendukung dalam pemberian pelayanan yang bermutu melalui:
- Mencegah Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD). Peralatan kesehatan yang ada di puskesmas khususnya yang memiliki sistem kelistrikan (elektromedis) perlu dirawat secara rutin untuk menjaga akurasi dan reliabilitasnya. Perawatan rutin antara lain meliputi inspeksi (visual, fungsional, performance, hingga keamanan) dan pembersihan. Tanpa perawatan rutin, akurasi dan reliabilitas alat menurun dan alat akan lebih cepat rusak. Misalnya tubuh pasien akan dilumuri dengan gel sebelum tenaga kesehatan melakukan pemeriksaan menggunakan USG. Gel akan menempel pada probe USG, yang jika tidak dibersihkan lama kelamaan akan menimbulkan kerak dan mengurangi kepekaan dalam mendeteksi organ yang diperiksa, sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Lensa mikroskop perlu dibersihkan dan ditera secara berkala agar tidak menimbulkan kesalahan pemeriksaan sampel pasien. Demikian juga dengan timbangan badan, alat pengukur tekanan darah, dan sebagainya, perlu dicek secara berkala agar tidak bias saat digunakan mengukur indikator kesehatan pasien. Alat elektromedis yang tidak dirawat juga dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan, misalnya konsleting yang menyebabkan pengguna tersengat listrik pada hingga kebakaran alat dan ruangan.
- Mencegah terhambatnya pelayanan pada pasien. Jumlah hari alat rusak yang bisa dicegah sehingga pelayanan tidak terganggu. Misalnya dental unit rusak akibat banjir bandang pada 1 Februari. Sejak itu, pelayanan kesehatan gigi yang membutuhkan dental unit tidak bisa dilaksanakan. Puskesmas tidak memiliki tenaga teknisi, juga tidak punya anggaran untuk mengundang teknisi dari perusahaan supplier untuk datang. Akhirnya dental unit digudangkan dan puskesmas berharap bisa mengusulkan pengadaan dental unit pada anggaran perubahan (September) dan pengadaan dental unit baru pada Februari tahun berikutnya. Jika per hari ada 15 pasien klinik gigi puskesmas dan 50% diantaranya membutuhkan tindakan dengan dental unit, maka ada 15 pasien x 50% = 7 – 8 orang pasien gigi yang tidak bisa dilayani setiap harinya (dirujuk ke puskesmas lain/klinik swasta/RS, atau dipulangkan dan berobat sendiri dengan metode tradisional). Jika dalam setahun ada 275 hari kerja maka ada 1.925 (7 x 275) sampai dengan 2.200 (8 x 275) orang pasien yang tidak terlayani. Jumlah ini akan semakin bertambah jika puskesmas tertunda mendapatkan dental unit pengganti, misalnya anggaran tidak disetuju atau tidak mencukupi. Dengan adanya UPAK, dental unit yang rusak bisa segera diperbaiki, puskesmas mungkin hanya perlu membeli suku cadang yang tidak terlalu mahal, atau suku cadang sudah tersedia di Gudang UPAK, sehingga dental unit bisa segera dioperasikan kembali.
- Mengawal terlaksananya hak puskesmas untuk mendapatkan uji fungsi dan pelatihan yang layak dari vendor alkes. Dalam setiap proses pengadaan alat kesehatan khususnya alat yang besar dan rumit, ada tahapan uji fungsi untuk memastikan alat tetap berfungsi dengan baik di lokasi pelayanan setelah melalui proses pengemasan, pengiriman dari pabrik/Gudang ke lokasi, dan unboxing. Uji fungsi ini merupakan kewajiban vendor yang harus dilakukan dihadapan panitia pengadaan dan user. Tidak jarang, dengan berbagai alasan, vendor tidak melakukan uji fungsi secara adekuat. UPAK dapat menjadi lembaga yang dapat diberi kewenangan untuk mengawal terlaksananya uji fungsi secara baik dan benar sehingga puskesmas memperoleh alat kesehatan yang berkualitas dan berfungsi baik sesuai dengan spesifikasi yang diadakan.
UPAK mendukung Dinas Kesehatan untuk menjalankan sebagian tugasnya secara lebih efektif:
- Mengawal agar pengadaan alat kesehatan di puskesmas sesuai dengan yang dibutuhkan untuk pelayanan. UPAK dapat menjadi “tangan kanan” Dinas Kesehatan dalam menyusun perencanaan pengadaan alat kesehatan untuk puskesmas, baik untuk anggaran yang bersumber dari Pemda, maupun dari pusat. UPAK dapat memberikan masukan (professional advice/pendapat ahli, pertimbangan, rekomendasi) kepada Dinas Kesehatan terkait spesifikasi alat, ketersediaan dan kemudahan memperoleh suku cadang, akses ke tenaga teknisi vendor jika terjadi kerusakan berat, dan sebagainya terhadap usulan alat kesehatan dari puskesmas. Dengan akses yang dimiliki ke ASPAK dan melihat langsung keadaan di puskesmas, UPAK menjadi pihak yang sangat memahami kebutuhan dan kendala yang berkaitan dengan alat kesehatan.
- Mendukung Dinkes dan Puskesmas dalam peningkatan kompetensi dan kinerja pelayanan. Anggaran untuk pengadaan alkes yang sudah diperbaiki oleh teknisi UPAK bisa dialihkan untuk kebutuhan yang lain, misalnya untuk pengembangan inovasi pelayanan, atau pengadaan alkes baru yang belum pernah dimiliki oleh puskesmas padahal sangat mendukung pencapaian kinerja puskesmas.
Manfaat keberadaan UPAK bagi Pemda:
- Mencegah pemborosan anggaran Pemda. Karena puskesmas tidak memiliki tenaga teknisi, maka puskesmas akan kesulitan mengetahui penyebab alat tidak berfungsi. Biasanya alat dianggap rusak dan dimasukkan ke gudang penyimpanan alat rusak. Sebagai gantinya, puskesmas akan mengusulkan pada perencanaan tahun berikutnya, pengadaan alat baru. Dengan adanya UPAK, teknisi dapat segera memeriksa penyebab kerusakan dan mengatasinya sesuai dengan kemampuan dan dukungan peralatan serta ketersediaan suku cadang yang diperlukan. Sebagian besar kasus di lapangan menunjukkan bahwa alat yang rusak dari kacamata tenaga kesehatan adalah alat yang masih bisa diperbaiki oleh teknisi tanpa atau dengan penggantian suku cadang. Alat yang telah diperbaiki akan dapat digunakan kembali seperti biasa, sehingga puskesmas tidak perlu menganggarkan pengadaannya di tahun berikutnya.
- Menjadi sumber revenue untuk meningkatkan pelayanan pada publik. Jika UPAK telah berkembang menjadi unit yang mampu meraih pelanggan tidak saja di lingkungan Pemda melainkan juga meraih pelanggan dari sektor swasta, maka seharusnya UPAK sudah menjadi Lembaga yang mandiri, setidaknya mampu menanggung biaya operasionalnya sendiri. Biaya operasional meliputi biaya perjalanan dinas, jasa perawatan (insentif), biaya pengadaan suku cadang, bahkan biaya pelatihan penyegaran bagi teknisi maupun pengelola UPAK agar lebih profesional dan kompetensinya dapat mengikuti perkembangan teknologi kesehatan. Dengan pola tarif yang dimiliki UPAK dapat memperoleh revenue (jasa layanan) dari berbagai sumber, misalnya dari fasilitas pelayanan kesehatan swasta, atau dari fasilitas pelayanan kesehatan di laur wilayah kerjanya. Bahkan UPAK juga bisa mendapatkan revenue dari kegiatan pelatihan-pelatihan bagi UPAK lain maupun bagi users di fasilitas pelayanan kesehatan.
Penulis:
Putu Eka Andayani, SKM, M.Kes. adalah konsultan manajemen rumah sakit dan
peneliti alat kesehatan pada Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK KMK UGM.