Pandemi COVID-19 telah berlangsung selama 19 bulan di Indonesia dan hampir 2 tahun di dunia. Selama itu pula negara – negara mengalami pasang surut lonjakan kasus. Indonesia sendiri telah mengalami beberapa kali lonjakan kasus nasional yang menyebabkan rumah sakit kewalahan dan jumlah kematian meningkat. Pada awal pandemi pada Maret 2020, puskesmas dan rumah sakit sempat mengalami kelangkaan APD sehingga menempatkan tenaga kesehatan pada risiko sangat tinggi. Dengan partisipasi dari berbagai stakeholders, kelangkaan APD dapat diatasi, sehingga meskipun tren jumlah kasus meningkat namun perlindungan terhadap nakes sudah jauh lebih baik. Kementerian Kesehatan beberapa kali merevisi buku pedoman penanggulangan pandemi COVID-19 sesuai dengan perkembangan standar WHO yang didasari pada penemuan terbaru dari hasil – hasil penelitian.
Sepanjang 2020, Indonesia setidaknya mengalami satu kali lonjakan yaitu pada kuarter keempat. Saat itu, rumah sakit di beberapa provinsi dengan jumlah kasus tertinggi – salah satunya adalah Provinsi DI Yogyakarta – sempat mengalami krisis tempat tidur sehingga banyak pasien tidak dapat dirujuk karena kekurangan kapasitas perawatan. Beberapa RS ditingkatkan kapasitasnya dengan menambah jumlah tempat tidur (TT) isolasi dan ICU COVID-19, maupun mengalihkan fungsi ruang perawatan biasa menjadi ruang isolasi COVID-19 bertekanan negatif. Namun penambahan ini mencapai batasnya manakala jumlah SDM mencapai beban kerja maksimal. Apalagi pada awal 2021 kembali terjadi lonjakan kasus, sehingga RS rujukan COVID-19 kembali mengalami tekanan. Jumlah nakes yang terpapar sehingga harus dirawat atau isolasi mandiri meningkat, bahkan jumlah yang meninggal juga bertambah, sehingga makin mengurangi kemampuan pelayanan di RS.
Menteri Kesehatan telah menginstruksikan agar seluruh RS rujukan COVID-19 menambah kapasitas tempat tidur isolasi maupun ICU sebanyak 30% hingga 40%. Penambahan ini disertai juga dengan penambahan peralatan dan SDM (relawan) sehingga meningkatkan kemampuan RS dalam menampung pasien yang terkonfirmasi positif dengan gejala sedang dan berat. Namun demikian, lonjakan yang terjadi pada sekitar Juni – Juli 2021 jauh melebihi lonjakan yang terjadi sebelumnya, dan melampaui kapasitas yang telah disediakan. Pada saat itu, penambahan jumlah kasus harian nasional mencapai hampir 60.000. Hal ini mengakibatkan banyaknya pasien gejala sedang dan berat yang tidak tertampung di RS sehingga terpaksa menjalani isolasi mandiri di rumah sampai akhirnya tidak tertolong. Meskipun pemerintah pusat maupun daerah telah berusaha menambah kapasitas RS lapangan dan shelter, namun fasilitas – fasilitas ini hanya dapat merawat pasien dengan gejala ringan hingga sedang, yang tidak membutuhkan tindakan medis dengan SDM terlatih dan peralatan canggih. Sedangkan kasus berat dan kritis ynag seharusnya mendapat penanganan spesialis di rumah sakit banyak yang tidak tertolong karena keterbatasan kapasitas. Lonjakan kasus ini juga menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan habis pakai, diantaranya oksigen medis berkali lipat. Peningkatan kebutuhan yang terjadi dalam waktu sangat cepat ini tidak diimbangi dengan kecepatan supply dan distribusi ke seluruh wilayah yang mengalami lonjakan kasus – di seluruh Pulau Jawa – sehingga RS – RS rujuakn COVID-19 mengalami krisis oksigen bahkan obat – obatan.
Grafik Trend Kasus Harian COVID-19 Indonesia dan Beberapa Kejadian Krisis Kesehatan, Maret 2020 – Agustus 2021
Sumber: datastudio.google.com, diolah
Strategi pemerintah dalam menerapkan PPKM dibarengi dengan cakupan vaksinasi yang terus meningkat – meskipun belum sesuai target – diduga berkontribusi dalam menurunkan jumlah kasus. Saat ini penambahan jumlah kasus harian < 4.000 sehingga tekanan terhadap fasilitas kesehatan sudah jauh berkurang dibandingkan saat peak. Namun demikian, potensi terjadinya surge kembali perlu diwaspadai, mengingat beberapa negara tetangga yang sempat melonggarkan prokes karena jumlah kasus sudah sangat rendah, kini kembali mengalami lonjakan, antara lain Singapura dan Malaysia. Meskipun mengalami lonjakan, namun jumlah kasus berat dan membutuhkan perawatan di RS di Singapura sangat sedikit, dimana sebagian besar kasus berat tersebut terjadi pada warga yang belum mendapat vaksinasi. Artinya, cakupan vaksin yang saat ini sudah mencapai lebih dari 80% cukup efektif dalam mengendalikan pandemi, dalam konteks pengurangan tekanan terhadap sistem kesehatan.
Meskipun telah diketahui bahwa 3T, 5M dan vaksinasi untuk mencapai herd immunity merupakan strategi paling baik dalam mengendalikan pandemi, namun di Indonesia pelaksanaannya di lapangan jauh dari mudah. Hal ini terlihat dari sulitnya pemerintah mencapai target jumlah tracing dan testing dari standar minimal WHO, dan pencapaian target yang belum konsisten. Data testing epidemiologis dengan testing mandiri juga tidak dipisahkan sehingga tidak diketahui berapa sebenarnya jumlah testing epidemiologis dalam rangka pelacakan kasus. Kepatuhan masyarakat terhadap prokes juga masih menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, pelaksanan vaksin masih jauh dari target karena berbagai hal, antara lain masih banyak kelompok masyarakat yang menolak divaksin, sebagian masyarakat tidak memiliki akses yang memadai untuk vaksin, hingga masalah stok dan distribusi vaksin ke berbagai daerah.
Padahal, dengan diturunkannya status PPKM berbagai daerah merah dari level 4 ke level 3, mulai terlihat banyaknya kelonggaran disiplin masyarakat terhadap prokes maupun pengawasan dan tindakan/sanksi dari aparat. Berbagai lokasi wisata mulai dipadati pengunjung, yang tidak semuanya taat prokes. Pelaksanaan vaksinasi di berbagai daerah justru menimbulkan kerumunan luar biasa yang mengabaikan prokes. Semua ini menimbulkan potensi munculnya kembali ledakan kasus dalam 2 – 3 minggu kedepan.
Prof. Yoga Tjandra Aditama – Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI – dalam artikel opini di Media Indonesia 14 September lalu menulis beberapa lessons learned dari kejadian lonjakan kasus COVID-19 pada Juni – Juli lalu agar tidak terulang lagi. Pelajaran penting tersebut antara lain: kebijakan pembatasan sosial (PPKM) harus sudah mulai diterapkan diawal terjadinya lonjakan kasus untuk menyiapkan kapasitas lonjakan (surge capacity) di RS rujukan COVID-19; meningkatnya kebutuhan SDM kesehatan, peralatan dan logistik harus sudah diantisipasi sejak sekarang dengan membangun sistem untuk mengantisipasi lonjakan di masa mendatang; pembenahan sistem rujukan pasien dari aspek aplikasi maupun SDM pelaksananya; perbaikan sistem pembayaran klaim; serta perlindungan terhadap tenaga kesehatan baik dari risiko terpapar COVID-19, kekerasan keluarga pasien, maupun dari tuntutan hukum.
Grafik Jumlah Tempat Tidur RS untuk Pasien COVID-19 dan Tingkat Utilisasinya
Sumber: Mahendradhata Y, Andayani NLPE and Marthias T. COVID‐19 health system response monitor: Indonesia. New Delhi: World Health Organization Regional Office for South‐East Asia; 2021 (tersedia di: https://apo.who.int/publications/i/item/covid-19-health-system-response-monitor-indonesia)
Dari lonjakan kasus di negara tetangga, Indonesia juga harus bersiap untuk kembali menghadapi lonjakan kasus COVID-19 dalam beberapa minggu ke depan. Antisipasi ini perlu dilakukan di area hilir dengan menyiapkan kapasitas RS rujukan yang meliputi jumlah tempat tidur isolasi dari ICU, SDM, alat kesehatan, logistik kesehatan. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah mengendalikan area hulu agar tidak terjadi ledakan kasus seperti sebelumnya. Area hulu dapat dikendalikan melalui kampanye 5M terus menerus diserta dengan pengawasan yang konsisten, 3T, dan meningkatkan kecepatan perluasan cakupan vaksinasi.
Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Faktanya terdapat banyak sumber daya sosial yang dimiliki oleh Indonesia, yang harus bisa dimanfaatkan dan disinergikan dengan program pemerintah, sehingga seluruh indikator dan target pengendalian pandemi bisa dicapai. Rumah Sakit Rujukan COVID-19 adalah hilir. Sebesar apapun kapasitas di hilir, tidak akan pernah cukup jika masalah di hulu tidak diatasi dengan optimal. (Putu Eka Andayani, PKMK FK – KMK UGM)