Pandemi COVID-19 telah membuat hampir semua negara di dunia bekerja sangat keras untuk mengendalikannya, tidak terkecuali Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara Asia yang sering menjadi rujukan sistem pelayanan kesehatan dan rumah sakit kelas dunia. Kasus pertama di Jepang terjadi pada 15 Januari 2020, lima hari kemudian disusul oleh Korea Selatan yang mengalami kasus pertama pada 20 Januari 2020.
Berdasarkan Situation Report yang dipublikasikan WHO pada 9 Maret 2021, secara global ada peningkatan kasus sebanyak 2% dalam 1 minggu terakhir (ada 2,5 juta kasus baru) yang terjadi di Mediterania Timur, Afrika, dan Eropa. Sementara di wilayah Pasifik Barat kasus baru turun 6% dan Asia Tenggara turun 2%.
Mencegah Transmisi Lokal
Dalam seminggu terakhir Jepang mengalami kenaikan kasus baru sebesar 7.216 kasus sedangkan Korea Selatan naik 2.799 kasus. Jumlah kasus kumulatif di Jepang hampir 439 ribu kasus dengan rate 347,1 kasus per 100 ribu penduduk, di Korea Selatan lebih dari 92 ribu kasus dengan rate 180,4 per 100 ribu penduduk (Indonesia 502,3 per 100ribu penduduk). Dalam seminggu terakhir ada 367 kematian baru di Jepang dan 31 kematian di Korea Selatan. Ini membuat angka kumulatif kematian di Jepang mencapai 6,5 per 100 ribu penduduk dan Korea Selatan mencapai 3,2 per 100 ribu penduduk (Indonesia 13,6 per 100 ribu penduduk). Kedua negara tersebut masih pada level penularan dalam klaster, sedangkan Indonesia sudah mengalami transmisi lokal.
Dalam mencegah transmisi lokal, Pemerintah Jepang menggunakan website resmi Kementerian Kesehatan untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat dan menampilkan laporan perkembangan harian kasus. Pemerintah Korea Selatan membuat kampanye – kampanye pencegahan COVID-19 dengan media briefing, guideline, poster, sampai media sosial secara sangat intensif. Setiap ada kenaikan level maka intensitas kampanye pencegahan juga ditingkatkan. Dalam komunikasi risiko ini, pemerintah pusat dan daerah saling bekerjasama. Untuk menerapkan kebijakan jaga jarak, pemerintah Jepang telah menutup sekolah dan mengubahnya menjadi sekolah online sejak akhir Februari 2020. Sekolah – sekolah dibuka kembali pada awal Juni, setelah sebulan sebelumnya mengumumkan adopsi “new normal”. Di Korea Selatan, pemerintah terus menerus mengkampanyekan jaga jarak sejauh bentangan 2 lengan.
Untuk menjalankan kebijakan isolasi, orang yang terkonfirmasi positif di Jepang akan mendapat pilihan apakah akan dirawat di RS khusus COVID-19, RS umum, isolasi di rumah, atau isolasi di fasilitas yang disediakan. Seluruh biayanya ditanggung pemerintah Jepang. Sementara di Korea Selatan, penduduk yang sedang menjalani isolasi dimonitor dan selalu diberi alert melalui aplikasi yang diinstall di smart phone masing – masing.
Memastikan Kecukupan Infrastruktur Fisik dan Tenaga Kesehatan
Dari aspek infrastruktur Jepang memiliki 83.000 RS dengan lebih dari 887.800 TT, dimana 1.800 diantaranya ada di bangsal infeksius dan 17.000 di ICU (termasuk HCU). Padahal kebutuhannya lebih dari 30ribu TT ICU dan untuk pasien COVID-19 bergejala berat baru terseda 56% TT ICU. Masyarakat Jepang bisa mengakses layanan di RS pemerintah maupun swasta dengan skema pembiayaan yang sama. Selain RS, hotel-hotel juga dibuka untuk menampung pasien bergejala ringan yang perlu isolasi.
Korea Selatan belajar dari outbreak MERS yang terjadi di tahun 2015 sehingga lebih siap menghadapi kondisi darurat pandemi. Tahun 2020 pemerintah Korsel menganggarkan USD 36 juta untuk melakukan riset – riset terkait COVID-19 tahun 2020 – 2022, sehingga respon pemerintah dapat berbasis pada evidence. Pemerintah juga berupaya meningkatkan jumlah epidemiologis serta profesional kesehatan lainnya, menambah kapasitas RS khusus COVID-19 termasuk ruang – ruang isolasi. Pada pertengahan September, Korsel memiliki 4.138 TT di 43 RS yang didedikasikan untuk penyakit menular, dengan tingkat hunian 37%. Selain itu juga ada hunian (residensial) yang dimanfaatkan sebagai pusat penanganan kasus COVID-19 dengan kapasitas 4.297 kamar dan terisi 15,2%.
Jepang memiliki rasio nakes per 1.000 populasi sebagai berikut: 2,6 untuk dokter, 11,7 untuk perawat dan 2,5 untuk farmasi. Menghadapi pandemi COVID-19, pemerintah Jepang membuat kebijakan untuk mencegah para nakes mengambil cuti, sementara asosiasi perawat Jepang memanggil kembali para perawat yang sedang cuti sehingga terdapat tambahan 700 tenaga perawat untuk ditempatkan kembali di fasilitas – fasilitas kesehatan. Di faskes primer Jepang berhasil menambah jumlah tenaga hingga 3,8 kali lipat dari sebelumnya. Korea Selatan awalnya membagi tugas sebagai berikut. Dokter dan petugas laboratorium dilibatkan dalam testing, dan farmasis dilibatkan dalam penyediaan masker dan PPE lainnya. Namun Korsel sempat mengalami kekurangan tenaga dengan terjadinya lonjakan pasien secara tiba – tiba di pertengahan Maret 2020. Pemerintah memobillisasi tenaga kesehatan dari daerah – daerah lain untuk membantu penanganan lonjakan kasus yang terjadi di Daegu tersebut. Setelahnya, pemerintah menerapkan penempatan tenaga yang fleksibel sesuai dengan lokasi terjadinya outbreak. Sejak September 2020, Korsel tidak lagi mengalami kekurangan nakes.
Menyiapkan Pelayanan Kesehatan secara Efektif
Meskipun Jepang telah menambah kapasitas layanan COVID-19 di RS dengan memanfaatkan bangsal umum, menambah kapasitas ICU dan memanfaatkan hotel untuk isolasi kasus rungan, namun hingga kapasitas yang tersedia masih belum mencukupi kebutuhan. Pedoman -pedoman manajemen kasus dibuat dan di – update oleh komite yang terdiri dari lintas spesialisasi. Pasien penyakit kronis disarankan untuk kontrol berkala dan mendapatkan layanan resep melalui perangkat komunikasi jarak jauh. Program vaksin rutin tetap diselenggarakan dengan memperhatikan risiko. Operasi elektif ditunda jika tidak terdapat kegawatan, sesuai dengan rekomendasi asosiasi dokter bedah Jepang. Pasien lansia dan difabel yang membutuhkan perawatan jangka panjang tetap dirawat dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Ibu – ibu yang ingin melahirkan di “kampung halaman” yang berada pada perfektur yang berbeda, disarankan untuk membatalkan perjalanan lintas perfektur.
Di Korea Selatan, pemerintah cenderung memanfaatkan fasilitas RS yang sudah ada, jika memungkinkan, daripada membangun baru. Tempat tidur untuk pasien COVID-19 dengan fleksibel bisa dipindahkan dari satu fasilitas ke fasilitas lain untuk memenuhi kebutuhan di tempat tersebut. Rumah sakit dapat berfungsi sebagaimana biasanya, bisa juga diubah menjadi RS khusus COVID-19. Pemerintah mengembangkan sistem tunggal pembiayaan yang meng-cover seluruh biaya pasien COVID-19, dan semua fasilitas kesehatan – termasuk swasta – harus mengikuti sistem ini. The National Health Insurance System Korsel (NHIS) memungkinkan pemerintah untuk merencanakan dan menyediakan pelayanan, termasuk hingga menjangkau penduduk di pelosok – pelosok. Pemerintah berusaha membuka akses seluas-luasnya terutama bagi kelompok risiko tinggi, termasuk para imigran ilegal dengan relaksasi peraturan agar mereka mau dites tanpa takut dihukum dan dideportasi. Pemerintah menjaga ketat pintu – pintu masuk negara. Pelaku perjalanan lintas negara dites, jika positif segera diisolasi di faskes dan jika negatif tetap harus isolasi mandiri selama 14 hari. Untuk memperlancar sistem rujukan, di level nasional ada Referral Support Situation room yang menerima permintaan rujukan dari faskes, yang kemudian meneruskan permintaan tersebut ke RS rujukan COVID-19. Jika RS rujukan dapat menampung, feedback diberikan kepada RS pengirim (untuk mempersiapkan transfer pasien) dan kepada National Fire Agency room yang membantu proses transfer pasien dari RS pengirim ke RS rujukan. Sementara itu, pelayanan kesehatan esensial tetap dapat berlangsung seperti biasa karena tidak ada lockdown mayor dan sistem kesehatan Korsel tidak sampai overload dalam menghadapi pandemi. Pemerintah menunjuk beberapa RS sebagai “national safe hospitals” khusus untuk melayani pasien non COVID-19 agar tidak terjadi infeksi silang. Pemanfaatan telemedicine juga meningkat untuk layanan konsultasi hingga resep obat. Ada kenaikan biaya sebesar 30% untuk layanan telemedicine yang ditanggung oleh NHIS. Pemerintah Korsel membuka layanan konseling psikologi untuk menjaga kesehatan mental warga, yang memanfaatkan berbagai aplikasi percakapan, serta diitengrasikan dengan the National Trauma Center. Pemerintah Korea Selatan juga mengadakan vaksin flu gratis serta menyiapkan dan memonitor persediaan darah untuk transfusi.
Pembiayaan Kesehatan
Tahun 2020 pemerintah Jepang mengalokasikan subsidi kedaruratan COVID-19 sebesar ¥3,722 juta atau sekitar USD34 milyar, USD5,9 milyar untuk infrastruktur, dan USD2,5 milyar untuk riset vaksin dan obat – obatan. Subsidi kedaruratan daüat digunakan untuk membayar reimburs pelayanan pasien COVID-19 di RS. Dengan tingginya beban kerja para tenaga kesehatan secara fisik maupun mental, pemerintah menyiapkan imbalan berbentuk lump sum senilai USD 458 hingga USD 1.832 sesuai dengan level RS tempat bertugas. Jepang sudah menerapkan UHC sejak tahun 1961. Pasien membayar 10 – 30% dari biaya pelayanan kesehatan yang mereka terima, tergantung pada usia dan income. Menurunnya daya beli masyarakat pada saat pandemi membuat pemerintah Jepang mempertimbangkan kembali metode co-payment ini khususnya bagi mereka yang kehilangan pendapatan.
Pemerintah Korea Selatan telah menghabiskan USD 310 juta dari USD 62 milyar yang dianggarkan (0,5%) untuk mengatasi pandemi COVID-19, termasuk untuk biaya langsung dan biaya untuk pelayanan kesehatan esensial (non COVID-19) serta biaya kompensasi yang dikeluarkan oleh penyedia layanan kesehatan. Bagi yang kehilangan pekerjaan/penghasilan, pemerintah memberi kompensasi sebesar perkiraan gaji bulanan, juga ada kompensasi dari pemerintah untuk institusi medis, perusahaan farmasi dan bisnis umum declining akibat COVID-19. Sistem NHIS membantu pemerintah mengatasi pandemi secara efisien dan efektif, karena memungkinkan untuk dilakukannya diagnosis dan penanganan sejak dini, sehingga kasus – kasus positif bisa dikelola dengan baik. Pada sistem NHIS, warga Korsel harus membayar 20 – 30% biaya yang tidak ditanggung oleh NHIS. Namun pada pandemi COVID-19, copayment ini ditanggulangi oleh pemerintah sehingga warga Korsel dapat menikmati pelayanan secara gratis. Warga asing di Korsel juga bisa mendapat layanan diagnoostik dan terapi secara gratis, kecuali jika melanggar peraturan isolasi atau prokes maka fasilitas gratis dibatalkan dan yang bersangkutan dapat dikenai biaya penuh.
Kesimpulan
Pemerintah Korea Selatan lebih siap dalam menghadapi bencana pandemi dibandingkan dengan Pemerintah Jepang. Dalam komunikasi risiko, Pemerintah Korea Selatan dapat secara agresif memanfaatkan berbagai jalur komunikasi, termasuk media sosial agar menjangkau semua lapisan masyarakat. Dalam hal infrastruktur, Jepang masih kekurangan kapasitas perawatan sejak sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Korea Selatan sempat mengalami kekurangan tenaga di awal pandemi, namun dengan fleksibilitas pengaturan SDM hal tersebut bisa diatasi, bahkan sistem kesehatan Korea Selatan tidak sampai overload menangani pasien COVID-19 meskipun sempat terjadi lonjakan kasus. Dalam hal pembiayaan kesehatan, kedua negara diuntungkan dengan telah berjalannya sistem UHC secara stabil. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat bisa mengakses fasilitas swasta maupun pemerintah. Pemerintah Jepang mengalokasikan anggaran cukup besar untuk riset, sedangkan Korea Selatan tidak ada informasi mengenai hal ini.
Catatan:
Tulisan di atas disarikan dari Laporan Asia Pacific Observatory on Health System and Policy mengenai COVID-19 Health System Response Monitor yang dirilis pada Januari 2021 (Jepang) dan Desember 2020 (Korea Selatan).
(Putu Eka Andayani – 15 Maret, 2021)