Pengantar
Lean adalah strategi atau pendekatan sistematis berkelanjutan untuk menciptakan lebih banyak value bagi customers dengan mengidentifikasi, mengeliminasi atau mengurangi waste dalam proses. Lean hanya membutuhkan sedikit waktu, sedikit usaha manusia, lebih sedikit biaya, lebih sedikit ruang, lebih sedikit cedera, dan lebih sedikit kesalahan. Lean akan menciptakan organisasi yang dapat melakukan lebih banyak hal dan menyelesaikan tiap prosesnya dengan lebih baik. Lean yang diimplementasikan dalam pelayanan kesehatan (Lean Healthcare) adalah filosofi manajemen yang dirancang untuk mengembangkan budaya continuous improvement bagi setiap orang di rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk meningkatkan value pasien dan pelanggan lainnya dengan menghilangkan waste dan memanfaatkan tools yang tepat.
Implementasi lean bukan hanya memberikan manfaat kepada pasien, namun juga bagi staf dan manajer rumah sakit, owner dan stakeholder lainnya. Dengan lean akan terjadi penyederhanaan dan standarisasi proses, aliran proses yang lebih ringkas, peningkatan: kepuasan pasien dan staf yang lebih meningkat, mutu, akses pelayanan, komunikasi dan teamwork. Sehingga banyak organisasi yang telah mencoba menginimplementasikan lean. Bukan hanya di industri manufaktur bahkan termasuk industri kesehatan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan saran dari Institute of medicine (IOM) agar provider pelayanan kesehatan untuk terus belajar termasuk dari industri lain diluar kesehatan seperti penggunaan metode lean, six sigma dan lain – lain. Metode ini telah terbukti secara signifikan meningkatkan daya saing dan profitabilitas diberbagai organisasi. Lean mentransformasi tempat kerja menjadi area ekspresi diri bagi para staf untuk menjadi tempat yang menantang kreativitas dan ide – ide mereka. Lean bahkan memberi kepuasan dan kesenangan bagi semua orang dalam organisasi. Virginia Mason meraih banyak hal setelah mengimplementasikan lean, seperti: peningkatan produktifitas hingga 75%, pengurangan biaya hingga 55%, pengurangan inventory dan lead time hingga 90%.
Namun demikian, di samping ada yang berhasil banyak pula yang gagal mempertahankan implementasi lean – nya. Tulisan sebelumnya menjelaskan bagaimana perubahan budaya, pemahaman tools yang diinisiasi oleh kepemimpinan yang meneladani menjadi kunci sukses untuk implementasi lean. Sukses ini akan sustain jika dibangun dalam fondasi yang cukup kuat. Sekitar 70% organisasi yang mencoba inisisasi lean gagal mempertahankan implementasinya. Atau jika merujuk tulisan Prof Liker yang 20 tahun mendalami Toyota dalam bukunya Toyota Way, jika harus dipersentasekan apa yang dilakukan oleh banyak organisasi yang mengatakan diri sudah mengimplementasikan lean itu jauh di bawah 1%.
Penyebab Lean Healthcare Gagal dan Tidak Sustain
Ada banyak faktor yang menyebabkan implementasi lean gagal dan tidak berkelanjutan. Faktor seperti manajemen dan leadership, faktor staf, faktor budaya dan pendekatan adaptasi lean itu sendiri. Secara khusus, beberapa faktor utama penyebab lean gagal antara lain:
- Fondasi Tidak Kuat
Toyota sebagai cikal bakan cerita Lean membangun fondasi “rumah” nya dari filosofi respect for people dan Continuous Improvement. Dalam prakteknya di berbagai organisasi termasuk provider pelayanan kesehatan, cerita continuous improvement (dalam nama Kaizen, PDSA/PDCA, Process Excellent atau lainnya) jauh lebih banyak dibahas dibanding respect for people. Padahal tidak akan ada continuous improvement tanpa adanya respect for people. Sayangnya sangat sedikit organisasi yang menyadari betapa penting filosofi ini dalam membangu fondasi implementasi lean. Mengabaikan filosofi lean dan pentingnya mendesain budaya yang tepat untuk filosofi tersebut, mengakibatkan organisasi termasuk rumah sakit tidak memenuhi persyaratan untuk memastikan kesuksesan. Karena itu, filosofi lean harus menjadi hal mendasar yang sangat penting untuk dipahami dan diimplementasikan dalam bangunan organisasi lean (Shook, 2010)
Cerita manajemen Toyota mentransformasi budaya General Motor (GM) saat mereka bekerja sama dalam perusahaan New United Motor Manufacturing Inc (NUMMI) misalnya, bagaimana awalnya para pekerja menyabotase mobil untuk menjamin upah lembur. Ketidakhadiran merajalela karena pekerja membenci pekerjaan dan manajemen mereka. Toyota datang mengubah para pekerja dengan menunjukkan rasa hormat kepada mereka dan mengajari mereka betapa pentingnya mereka. Tidak takut untuk menyampaikan masalah. Justru adalah masalah kalau tidak ada masalah. Masalah tidak dapat diselesaikan kecuali staf mengakuinya. Toyota menghendaki setiap orang menjadi pemecah masalah. Bahkan meskipun dari improvement mereka menyebabkan berkurangnya kebutuhan akan staf, tidak membuat mereka tidak nyaman atau skeptis. Mereka tetap percaya bahwa “The Toyota Way” memberi hal yang lebih baik dan akan menyelamatkan pekerjaan mereka. Karena itu, bisa jadi tidak adanya respect for people tadi membuat banyak continuous improvement yang dilakukan hanya sesaat. Gagal mempertahankan improvement menjadi budaya berkelanjutan. Ibaratnya popcorn. Popcorn kaizen. Hanya meledak sejenak. Satu dua tahun akan menghilang.
Continuous improvement mengandung filosofi bahwa tidak ada perbaikan yang telah dilakukan akan membuahkan hasil yang sempurna, selalu masih ada hal yang bisa dilakukan untuk diperbaiki/ditingkatkan. Sedangkan melalui Respect for people (khususnya kepada bawahan/staf, pasien dan keluarganya), maka akan timbul dedikasi untuk melakukan continuous improvement, ada kesamaan tekad untuk mencapai tujuan bersama. Respect bukan saja bisa membuat orang berbuat lebih baik, tapi bisa berbuat jauh lebih baik. Mengkondisikan pekerjaan yang aman dan bermanfaat adalah tanda rasa hormat yang sungguh – sungguh kepada staf. Berpikir (menghormati orang) adalah hal yang sangat penting. Hal ini berarti ada kepedulian dan mempercayai mereka untuk melakukan hal yang benar. Di NUMMI, apapun yang mempengaruhi tingkat kepercayaan bukanlah hal yang boleh dianggap sepele. Harus diperbaiki.
- Definisi dan Pemahaman Tidak Jelas
Suatu ketika dalam satu sesi, saya bertanya tentang definisi lean kepada empat orang pegawai yang rumah sakitnya mengimplementasikan lean. Ternyata empat orang tersebut memiliki jawaban masing – masing yang berbeda. Saya juga bertanya kepada selain mereka berempat, dengan definisi tadi, tanpa menyebutnya sebagai lean apakah Anda bisa melakukan hal tersebut? Mereka menjawab: Bisa. Lalu apanya yang lean, apa yang membedakan bahwa Anda saat ini sedang mengimplementasikan lean?
Istilah lean pertama kali dicetuskan oleh John F. Krafcik dalam artikelnya yang berjudul Triumph of the Lean Production System tahun 1988. Setelah itu terbit buku The Machine that Changed the World (1990) dan Lean Thinking karya Womack & Jones (1996). Dalam buku Lean Thinking inilah pertama kali dicetuskan prinsip – prinsip lean, Yaitu: Value, Value Stream, Flow, Pull dan Perfection. Bersama dengan buku The Toyota Way karya Prof Liker (2004) dan Toyota Production System karya Taichi Ohno (1988) menjadi rujukan utama bagi banyak tulisan – tulisan berikutnya tentang Lean hingga saat ini. Seperti halnya sebagai penganut suatu agama kita akan mengimplementasikan prinsip – prinsip dalam agama tersebut. Kedalaman atau cara implementasinya tergantung dari kemampuan dan konteks masing – masing. Demikian pula, mengimplementasikan lean artinya mengimplementasikan prinsip – prinsip lean tersebut. Implementasinya sesuai strategi, cara dan kemampuan masing – masing, tetapi prinsip dasarnya sama: mengidentifikasi apa yang menjadi value pelanggan, mengidentifikasi mana sebenarnya dari proses kita yang value added, membuat proses berjalan terus mengalir, organisasi menyediakan sumber daya karena “ditarik” oleh kebutuhan pelanggan serta mempertahankan apa yang sudah baik bahkan terus berupaya tanpa henti mencapai kesempurnaan.
Untuk memudahkan implementasinya, kita bisa menfaatkan berbagai tools (alat bantu) yang ada. Berbagai literature review menyebut beberapa tools yang umum dipakai untuk implementasi Lean adalah Value Stream Mapping (VSM), 5S, Visual Management, Kanban, Error Proofing, Kaizen, DMAIC, Takt Time, SIPOC, dan lain-lain (Akmal et al., 2020; Amaral et al., 2020; Marin-Garcia et al., 2021). Tools seperti VSM misalnya, akan membuat waste di tahap atau titik manapun dalam proses akan terlihat jelas. VSM juga menjadi salah satu tools untuk memahamkan proses yang ada saat ini. Sarana mengkuantitatifkan ukuran – ukuran proses termasuk tingkat efisiensinya (Value Added Ratio-VAR). Value Added Ratio hanya bisa diperoleh setelah melakukan gemba walk, benar – benar datang (bukan perkiraan dibelakang meja), melihat langsung waste yang terjadi, mengukur waktu prosesnya, menghitung berapa banyak waktu yang value added, waktu tunggu dan waktu tiap tahapan prosesnya. Pada akhirnya kita bisa menghitung VAR nya, melihat sejauh mana efisiensi proses kita. Proses yang tidak efisien tentu saja artinya masih ada atau banyak pemborosan/waste. VSM adalah cara kita memahami keadaan kita saat ini. Sebab proses meningkatkan sesuatu dimulai setelah memahami standar/proses yang kita lakukan sekarang. Jika tidak memahami apa yang ingin diperbaiki, bagaimana kita tahu bahwa solusi kita adalah perbaikan.
Penggunaan tools disesuaikan dengan konteks masing – masing. Ibaratnya membangun rumah, tidak mungkin hanya palu dan sekop terus, tools yang dipergunakan terus berkembang sesuai proses dan konteks masing – masing. Tools yang dipergunakan untuk membangun rumah orang lain belum tentu sama dengan untuk membangun rumah kita. Demikian pula yang dipergunakan oleh rumah sakit lain belum tentu cocok dengan rumah sakit kita. Kemampuan dan budaya mereka dengan kita berbeda. Apa yang kita lihat dari RS lain hanya sebagai inspirasi. Kita harus kembangkan pendekatan implementasi dan memanfaatkan tools yang tepat sesuai konteks kita sendiri. Tetapi fondasi dan prinsip dasarnya adalah lebih kurang sama.
Karena itu penting sejak awal mendefinisikan: Lean di organisasi kita adalah apa? A journey of lean kita tidak akan terarah tanpa jawaban yang jelas, persepsi yang sama untuk pertanyaan ini. Staf akan mempersepsikan lean sesuai pemahaman masing – masing bahkan bisa menimbulkan kebingungan apakah mereka berjalan ke arah yang benar. Ini jelas bukan titik awal yang baik. Organisasi harus memiliki pemahaman yang sama tentang ke mana arah yang ingin dituju. Apa lean kita. Apa itu waste, apa itu DOWNTIME. Apa itu value, Apa itu VSM, dan seterusnya. Harus didefinisikan dengan jelas.
Ratusan hasil googling sebagian mengarahkan kita pada pengertian yang masih berasal dari industri manufaktur. Beberapa diantaranya akan mengarahkan definisi yang benar, yang lain mungkin membingungkan. Sebagian besar definisi yang tidak pas tersebut belum tentu salah atau benar-benar tidak selaras dengan lean, melainkan tidak cukup, tidak lengkap. Misalnya apakah lean adalah tools saja? (Jika lean hanya didasarkan pada tools, lean tidak akan memenuhi tujuannya untuk memberikan value yang lebih baik kepada organisasi. Jadi lean bukan hanya VSM, bukan hanya Kaizen). Apakah lean adalah pendekatan untuk efisien rupiah? Atau pengertiannya kita tambah continuous improvement? atau ditambah budaya dan strategi? Atau ditambah, dikurangi konsep lainnya sesuai konteks kita. Atau menjadi seperti definisi di awal tulisan ini?
Kalau kita mendefinisikan bahwa lean bagi setiap orang, maka sasaran nya adalah setiap orang. Mulai dari manajemen, dokter, perawat, nutrisionis, analis, radiographer, farmasis, staf adminkes, hingga security, petugas taman dan cleaning service. Tidak hanya satu bagian atau staf tertentu. Tapi semua orang di organisasinya kita. Jika kita ingin budaya, maka kita akan mendefinisikan lean sebagai budaya dalam implementasinya, dan lain – lainnya. Meningkatkan value pelanggan, membuang waste dengan memberdayakan setiap staf untuk melakukan budaya continuous improvement seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam mendefinisikan lean. Menciptakan budaya lean berarti menciptakan keinginan yang tidak pernah ada habisnya untuk melakukan perbaikan (Toussaint & Berry, 2013).
- Pendekatan Implementasi Tidak Utuh
Banyak jajaran direksi rumah sakit tertarik dengan cerita implementasi lean di suatu rumah sakit. Hal ini menjadikan beberapa rumah sakit lain ingin melakukan hal yang sama. Mencoba melakukan dengan tools yang mungkin sama. Memilih unit – unit, orang – orang tertentu untuk mengimplementasikannya. Maka jadilah implementasinya parsial. Hanya unit tertentu, hanya departemen atau fungsional tertentu, hanya tools tertentu. Padahal sangat penting dalam implementasi lean dilakukan bersama seluruh sistem. Bukan hanya dilingkungan RS, bahkan hingga ke dalam hubungan dengan stakeholder lain seperti penyedia atau pihak ketiga yang berhubungan dengan RS.
Implementasi lean harusnya berbasis sistem. Mulai dari mendesain visi, misi dan nilai-nilai organisasi. Tidak hanya bagus untuk ditempel dinding – dinding, tapi visi, nilai tersebut benar – benar dijiwai. Ikut serta roh lean di dalamnya. Hal ini memastikan bahwa meskipun pemimpin berganti, visi, nilai dan strategi lean tetap berjalan. Tidak cukup hanya mmahami lean secara parsial seperti sebagai tools saja. Sebaliknya, Implementasi lean harus secara terintegrasi dan tersistem menjangkau setiap orang, setiap unit/departemen. Tujuannya harus disadari bersama untuk mendorong terciptanya budaya keunggulan, peningkatan value pelanggan dan berkurangnya waste. Tersistem juga akan memastikan bahwa penghapusan waste di satu tempat bukan merupakan pemindahan waste dari satu value stream ke value stream lainnya. Hal ini tentu saja membuat implementasi lean menjadi tidak optimal.
Banyak organisasi kesehatan mengimplementasikan lean hanya berfokus pada input dan output. Padahal seharusnya pada upaya menyempurnakan proses. Di rumah sakit, Implementasi lean menghadapi kompleksitas sistem kerja. Banyak yang berorientasi unit/departemen saja bukan keseluruhan sistem. Menyebakan silos ego antar departemen atau unit. Selain itu, keinginan untuk melakukan quick improvement oleh kelompok kecil berisiko bahwa inisiatif lean menjadi upaya satu kali daripada komitmen peningkatan berkelanjutan. Hal ini tentu saja menyebabkan implementasi lean tidak akan mendapatkan manfaat secara maksimal. Karena itu, kompleksitas sifat dan dinamisnya pelayanan kesehatan ini tidak boleh menghentikan pemahaman tentang lean hanya pada tools atau cara saja. Harus menjadikan lean sebagai bagian dari sistem manajemen (Gibbons & Burgess, 2010). Memahami lean secara utuh, memahami proses yang ada saat ini (dalam VSM) membuat staf tidak akan kehabisan ide untuk diimplementasikan. Karena nyata masih banyak value pelanggan yang bisa direncanakan pemenuhannya, masih banyak inefisiensi dalam proses kita saat ini. Berbagai organisasi di dunia rata – rata baru sekitar 10 – 15%, tentu saja tergantung proses yang diukur.
- Kepemimpinan Tidak Mendukung
Kepemimpinan di level manapun apalagi seorang top leader merupakan katalisator utama suatu perubahan. Demikian pula dalam implementasi lean. Rencana mengintegrasi lean ke dalam sistem, strategi, visi dan nilai organisasi hanya bisa dilakukan oleh jajaran manajemen atas. Top leader memiliki kekuasaan, punya kewewenangan untuk menentukan arah organisasi. Termasuk menetapkan strategi yang berfokus pada value pasien.
Leadership mendesain rencana implementasi lean, termasuk membangun dan mengkomunikasikan filosofi dan budaya lean yang diharapkan. Tanpa leadership yang mendukung, rencana perubahan organisasi tidak akan pernah terwujud (Steed, 2012). Protzman et al., (2016) mengatakan bahwa pemahaman tools dan perubahan budaya adalah 50%-50% dalam implementasi lean, sedangkan menurut Mann, (2009) adalah 20% karena tools dan 80% keberhasilan implementasi lean karena faktor manajemen atas.
Paradigma continuous improvement dalam lean ini adalah memberdayakan staf. Jika di organisasi tradisional, masalah dari bawah tapi problem solving banyak dari atas (top down), sehingga banyak keputusan yang mungkin tidak sesuai konteks masalah. Manajer atas tidak mengetahui secara ril masalah yang timbul. Namun dalam organiasi yang lean, hubungannya terbalik. Manajer atas tidak mengambil keputusan di belakang meja, namun perlu melihat langsung dimana masalah tersebut terjadi (harus melakukan gemba walk juga). Kepemimpinan memiliki kebijakan yang jelas yang memungkinkan manajemen menengah dan staf garis depan untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Bahkan langsung mengambil tindakan pencegahan jika menyebabkan waste berlanjut. Sehingga waste tidak menyebar ke banyak/semua area/orang. Tentu saja, perlu keyakinan dan dan diberi kepercayaan (otorisasi) bahwa mereka memiliki kemampuan mengatasi masalah tersebut.
Pemimpin dan organisasi perlu terus belajar pada hal – hal baru. Tidak lekas puas dengan apa yang telah dicapai. Lean selalu mengembangkan para staf untuk memecahkan masalah sehingga menjadi lebih baik atau lebih bernilai. Dari berbagai masalah, staf dapat belajar. Tanpa masalah, tidak akan ada pembelajaran. Tanpa masalah tidak ada perkembangan staf. Oleh karena itu, kepemimpinan perlu memberi kesempatan dan kembangkan staf selama proses pemecahan masalah. Semakin banyak staf yang terlibat dalam perbaikan, semakin besar kesempatan organisasi untuk tidak hanya mempertahankan tingkat kinerja yang ada, namun melebihi apa yang ada saat ini. Kuncinya adalah dorong staf untuk berkreasi memecahkan masalah, berikan mereka kesempatan mencoba walau seringkali gagal! Percobaan menciptakan proses belajar, kegagalan bermanfaat sebagai pembelajaran (Berlanga & Husby, 2017). Jika di organisasi tradisional ada pepatah, “Jika tidak rusak, jangan perbaiki/utak-atik,” Sebaliknya, dalam lean “kalaupun tidak rusak, ayok kita bongkar dan pasang, kumpulkan kembali untuk menghasilkan yang menjadi lebih baik,”.
Penutup
Memahami faktor penyebab kegagalan ini membuat kita belajar dari faktor penyebab kegagalan yang telah menjauhkan kita dari potensi manfaat lean. Mengatasi faktor-faktor gagal ini memungkinkan kita membalik dan mengubahnya menjadi faktor sukses.
Dr. Firman, SE, MPH
Pratisi dan Peneliti Lean
Doktor “Lean Six Sigma” FK-KMK UGM (2019)
Daftar Bacaan
- Akmal, A., Greatbanks, R., & Foote, J. (2020). Lean thinking in healthcare – Findings from a systematic literature network and bibliometric analysis. Health Policy, 124(6), 615–627. https://doi.org/10.1016/j.healthpol.2020.04.008
- Amaral, L. C. de, Calado, R. D., Teixeira, A. M., Silva, M. H. T. da, & Bourguignon, Saulo Cabral Costa, H. G. (2020). Systematic review and meta-analysis of the use of lean methods and tools in healthcare services: an alternative to improve care during the pandemic. Research Square, 1–30. Retrieved from https://www.researchsquare.com/article/rs-53743/latest.pdf
- Ben-Tovim, D. I. (2017). Process Redesign for Health Care Using Lean Thinking. Boca Raton: CRC Press.
- Berlanga, G. A., & Husby, B. C. (2017). Lean Daily Management for Healthcare Field Book. Boca Raton: CRC Press.
- Carla, A., Gomes, D. S., Reis, C., Souza, C. G. De, & Le, I. (2020). The first evidence about conceptual vs analytical lean healthcare research studies. Journal of Health Organization and Management. https://doi.org/10.1108/JHOM-01-2020-0021
- Clear, J. (2018). Atomic Habits : An easy & proven way to build good habits & breal bad ones. New York: Avery-an Imprint of Penguin Random House LLC.
- Dahlgaard, J. J., Pettersen, J., & Park, S. M. (2011). Quality and lean health care: A system for assessing and improving the health of healthcare organisations. Total Quality Management & Business Excellence, 22(March 2015), 673–689. https://doi.org/10.1080/14783363.2011.580651
- Firman, F. (2020). Panduan Implementasi Lean Untuk RS Mata Dr. Yap-Yogyakarta. Bima: Triple F.
- Firman, F., Utarini, A., Koentjoro, T., & Widodo, K. H. (2019). Implementasi Lean Six Sigma untuk menurunkan Lead Time pasien Emergensi Maternal di unit Emergensi maternal RSUD Panembahan Senopati Bantul. UNIVERSITAS GADJAH MADA.
- Fishman, C. (2006). No Satisfaction at Toyota. Retrieved February 5, 2021, from https://www.fastcompany.com/58345/no-satisfaction-toyota
- Gibbons, P. M., & Burgess, S. C. (2010). Introducing OEE as a measure of lean six sigma capability. International Journal of Lean Six Sigma, 1(2), 134–156. https://doi.org/10.1108/20401461011049511
- Kaplan, G. S., Patterson, S. H., Ching, J. M., & Blackmore, C. C. (2014). Why Lean doesn’t work for everyone. BMJ Quality & Safety, 23(12), 970–973. https://doi.org/10.1136/bmjqs-2014-003248
- Liker, J. K. (2004). The Toyota Way: 14 Management Principles from the World’s Greatest Manufacturer. History. New York: McGraw Hill.
- Mann, D. (2009). The Missing Link : Lean Leadership. Health Service Management, 26(1), 15–26.
- Marin-Garcia, J. A., Vidal-Carreras, P. I., & Garcia-Sabater, J. J. (2021). The role of value stream mapping in healthcare services: A scoping review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(3), 1–25. https://doi.org/10.3390/ijerph18030951
- Mazzocato, P., Savage, C., Brommels, M., Aronsson, H., & Thor, J. (2010). Lean thinking in healthcare : a realist review of the literature. Qual Saf Health Care, 376–383. https://doi.org/10.1136/qshc.2009.037986
- ONG, S. (2019). The New Seikatsu Kaizen-Reformasi Pola Hidup Jepang-Panduan Menjadi Masyarakat Unggul dan Modern. Jakarta: Elex Media Computindo.
- Protzman, C., Whiton, F., Kerpchar, J., Lewandowski, C. R., Stenberg, S., & Grounds, P. (2016). The Lean Practitioner’s Field Book. Boca Raton: CRC Press/Taylor & Francis Group, LLC.
- Rizzardo, D. (2020). Lean – Let’s Get It Right! (First). New York: Routledge.
- Robinson, S., Radnor, Z. J., Burgess, N., & Worthington, C. (2012). SimLean : Utilising simulation in the implementation of lean in healthcare. European Journal of Operational Research, 219(1), 188–197. https://doi.org/10.1016/j.ejor.2011.12.029
- Shah, R., & Ward, P. T. (2007). Defining and developing measures of lean production. Journal of Operations Management, 25(4), 785–805. https://doi.org/10.1016/j.jom.2007.01.019
- Shook, J. (2010). How to Change a Culture: Lessons From NUMMI. MIT Sloan Management Review, 51(2), 63–68.
- Spagnol, G. S., Min, L. L., & Newbold, D. (2013). Lean principles in healthcare: An overview of challenges and improvements. IFAC Proceedings Volumes (IFAC-PapersOnline) (Vol. 6). IFAC. https://doi.org/10.3182/20130911-3-BR-3021.00035
- Steed, A. (2012). An exploration of the leadership attributes and methods associated with successful lean system deployments in acute care hospitals. Qual Manag Health Care, 21(1), 48–58. https://doi.org/10.1097/QMH.0b013e318241825c
- Toussaint, J. S., & Berry, L. L. (2013). The Promise of Lean in Health Care. Www.Mayoclinicproceedings.Org, 88(January), 74–82. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.mayocp.2012.07.025
- Trisbiantara, I. (2018). Peran Leadership dalam Keberhasilan Implementasi Lean Management di Rumah Sakit PELNI. Universitas Gadjah Mada.
- Womack, J. P., & Jones, D. T. (1996). Lean Thinking. New York: Free Press.