Reportase Webinar
Keadilan Sosial dalam Pemenuhan Akses dan Distribusi Vaksin
COVID-19 di Indonesia
CoP for Health Equity
Selasa, 20 Oktober 2020
Sampai saat ini, belum ada negara yang mampu memproduksi jumlah vaksin yang dibutuhkan secara individu, sedangkan penyediaan vaksin tidak akan mengakhiri pandemi dengan cepat kecuali jika didistribusikan secara adil. Kondisi ini menyebabkan timbulnya persaingan antar negara untuk mendapatkan stok vaksin saat tersedia nanti. Maka dari itu, GAVI meluncurkan program Covax dan Indonesia telah menjadi bagian dari negara menengah ke bawah yang akan mendapatkan subsidi dari COVAX. Namun, Indonesia tetap memerlukan strategi jangka panjang dalam pengembangan dan pengadaan vaksin COVID-19. Webinar yang diadakan pada 20 Oktober 2020 mengundang tiga panelis untuk mendiskusikan bagaimana pemenuhan dan skema distribusi vaksin COVID-19 secara ekuitabel serta pentingnya edukasi masyarakat akan pentingnya vaksin. Ketiga panelis yang berkontribusi pada webinar kali ini ialah Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph. D, Sp. MK (K), Dr. Nihayatul Wafiroh, MA, dan Dr. dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA. Webinar ini dimoderatori oleh dr. Tiara Marthias, MPH.
Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph. D, Sp. MK (K), selaku Kepala LBM Eijkman, memaparkan pentingnya distribusi vaksin yang ekuitabel baik di level dunia maupun nasional. WHO menganjurkan setiap negara menerima dosis vaksin yang proporsional dengan populasi negara tersebut. Program COVAX yang dipimpin oleh Gavi, CEPI, dan WHO bertujuan untuk mempercepat pengadaan vaksin bagi seluruh negara di dunia dan mewujudkan pendistribusian vaksin yang ekuitabel. Alokasi vaksin COVID-19 akan terbagi dalam 4 fase. Pada fase pertama, 3% populasi setiap negara ditargetkan mendapatkan vaksin. Pengalokasian vaksin akan terus berlanjut sampai 20% dari populasi setiap negara mendapatkan vaksin COVID-19. Terdapat beberapa pertimbangan dan model teoretis dalam menentukan populasi prioritas pemberian vaksin. Secara umum, penentuan populasi prioritas harus memperhatikan manfaat dalam lingkup public health, menjunjung hak dan martabat setiap individu, dan mengkaji ketimpangan yang ada serta menghindari diskriminasi. Terdapat 3 prinsip dalam alokasi vaksin yang ekuitabel, yaitu Fairness atau keadilan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penentuan populasi prioritas, Transparency atau transparansi kepada masyarakat mengenai kriteria alokasi vaksin, dan evidence based atau berdasarkan bukti ilmiah untuk menimbang manfaat dan risiko pemberian vaksin pada populasi tertentu. Maka dari itu, kelompok prioritas penerima vaksin di setiap negara akan berbeda berdasarkan kondisi dan kebutuhan masing – masing. Indonesia pun tengah dalam proses merancang kerangka prioritas penerima vaksin COVID-19. Salah satunya telah disosialisasikan dalam keterangan Pers Menko Bidang Perekonomian tertanggal 12 Oktober 2020, dimana terdapat 6 sasaran penerima vaksin Covid-19. Dalam kerangka ini, penerima utama vaksin COVID-19 saat vaksin tersedia adalah tenaga medis, TNI, Polri, aparat hukum, dan pelayan publik.
Dr. Nihayatul Wafiroh, MA, selaku Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, membahas mengenai dasar hukum pengembangan dan pengadaan vaksin. Sejak dibubarkannya gugus tugas penanggulangan COVID-19, pemerintah kembali berfokus pada upaya pemulihan ekonomi, sehingga dana untuk pengembangan dan pengadaan vaksin tercakup dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Tim Nasional Percepatan Pengembangan Vaksin COVID-19 pada 3 September 2020, dibentuklah Tim Pengembangan Vaksin COVID-19 yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan nasional dan kemandirian bangsa dalam pengembangan vaksin COVID-19. Pada tahun ini, Indonesia akan masih bergantung pada pengadaan vaksin COVID-19 dari luar negeri. Tetapi, Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa seluruh tahapan vaksin COVID-19 buatan dalam negeri atau Vaksin Merah Putih akan selesai pada kuartal IV 2021, sehingga pada 2022, Indonesia diharapkan dapat mandiri dalam memproduksi vaksin COVID-19. Selanjutnya, pada 5 Oktober 2020, telah dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19. Pengadaan vaksin COVID-19 yang mencakup penetapan jenis dan jumlah vaksin yang diperlukan untuk pelaksanaan vaksinasi meliputi: (a) penyediaan vaksin dan peralatan pendukung dan logistik yang diperlukan; dan (b) distribusi vaksin sampai pada titik serah yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Adanya kompleksitas dalam proses pengadaan vaksin COVID-19, maka diperlukan tanggung jawab dan kerjasama dari beberapa kementerian dan lembaga. Kontribusi dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk membantu pemerintah mewujudkan distribusi vaksin yang transparan, berkeadilan, dan merata.
Dr. dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA, selaku Ketua Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK–KMK UGM, memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai skema distribusi vaksin COVID-19 yang berkeadilan dan mengingatkan bahwa pengadaan vaksin COVID-19 bukanlah satu – satunya solusi untuk mengakhiri pandemi ini. Memvaksinasi semua orang belum tentu merupakan langkah paling efektif untuk memulihkan Indonesia dari dampak pandemi COVID-19. Penentuan kelompok prioritas pemberian vaksin berlandaskan paradigma utilitarianisme, yang mempertimbangkan kemanfaatan publik paling besar dari suatu tindakan. Berkaitan dengan teori utilitarianisme, WHO dan seluruh negara memprioritaskan pemberian vaksin kepada tenaga kesehatan saat vaksin nanti tersedia. Menanggapi skema tersebut, diperlukan upaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa penentuan prioritas penerima vaksin bukan berlandaskan bias atau diskriminasi, melainkan berlandaskan kemanfaatan publik, sehingga tidak menimbulkan konflik sosial. Selain penentuan kelompok prioritas penerima vaksin COVID-19, kelompok yang mendapatkan subsidi pemerintah terhadap vaksin COVID-19 juga harus dipertimbangkan dan ditentukan dengan bijak. Pendanaan vaksin COVID-19 dapat ditanggung oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Subsidi vaksin dari pemerintah ataupun non pemerintah dalam bentuk dana sosial sebaiknya terarah bagi keluarga berpendapatan rendah. Sedangkan untuk keluarga berpendapatan cukup, pengadaan vaksin dapat dikategorikan sebagai barang pribadi dan dibeli dengan dana sendiri atau dibayarkan oleh instansi pekerjaan mereka. Dari skema tersebut, maka biaya pengadaan vaksin bagi tenaga kesehatan, dokter, guru, dan kelompok prioritas lain yang berkecukupan dapat dibayarkan oleh tempat kerja mereka, bukan dari dana pemerintah.
Secara keseluruhan, webinar ini memaparkan bahwa terdapat kompleksitas dalam pengembangan dan pengadaan vaksin COVID-19. Dengan kapasitas vaksin COVID-19 yang masih terbatas, tidak mungkin untuk memberikan vaksin bagi setiap orang. Maka, untuk memaksimalkan efektivitas pengadaan vaksin dalam rangka mengakhiri pandemi COVID-19, diperlukan kerangka pendistribusian yang tepat sasaran, yaitu memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan berlandaskan keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan konsiderasi dan kontribusi dari berbagai pihak, transparansi, dan pengambilan data yang komprehensif.
Reporter : Giovanna Renee Tan