Kesehatan Mental Tenaga Medis Selama Covid-19 :
Menuju New Normal
Community of Practice for Health Equity
https://www.freepik.com/
Lima bulan telah berlalu sejak awal merebaknya pandemi COVID-19. Meskipun upaya preventif dan promotif COVID-19 dan budaya hidup sehat dalam masyarakat telah digencarkan, pada Juli – Agustus 2020 tetap terdapat sekitar dua ribu kasus terkonfirmasi baru di Indonesia setiap harinya dan per 22 Agustus 2020, terdapat 39.706 pasien dalam perawatan.1 Para tenaga medis harus bekerja keras demi menyelamatkan pasien, baik pasien COVID-19 maupun pasien umum. Selama lima bulan lamanya, para tenaga medis yang senantiasa terletak di garda depan penanganan COVID-19 terpapar stressor yang konstan dan sangat tinggi. Selama pandemi ini, tidak ada tenaga medis yang tidak pernah mengalami gangguan psikologis, tapi hanyalah ada tenaga medis yang takut untuk mengakui bahwa mereka membutuhkan dukungan kesehatan mental.
Profesi tenaga kesehatan adalah profesi yang senantiasa terpapar oleh stressor yang tinggi. Sebelum pandemi COVID-19, profesi tenaga kesehatan telah memiliki risiko lebih tinggi terkena gangguan psikologis, seperti depresi, burnout, dan bunuh diri dibandingkan profesi lain.2 Menurut artikel oleh Ventriglio et al. (2020), dokter memiliki 5 – 7 kali risiko bunuh diri yang lebih besar dibandingkan populasi umum.3 Di tengah pandemi ini pun para tenaga medis berisiko mengalami berbagai gangguan psikologis. Hasil survei terhadap 1.257 dokter dan perawat yang dilakukan oleh Lai et al. (2020) menemukan bahwa 50.4% responden mengalami gejala depresi, 44.6% mengalami gejala kecemasan, 34% mengalami insomnia, dan 71.5% mengalami distres.4 Stressor yang tinggi tidak hanya mengakibatkan gangguan psikologis akut atau jangka pendek, namun juga dapat menjadi gangguan psikologis yang kronik atau berkepanjangan. Situasi ini tentu akan berdampak pada kapasitas tenaga kerja medis, yang sekarang pun jumlahnya terbilang masih kurang memadai.
Sumber stressor yang dialami oleh tenaga kesehatan selama pandemi COVID-19 antara lain jam kerja yang tinggi, kekhawatiran akan kurangnya Alat Pelindung Diri (APD), kekhawatiran akan kesehatan diri dan keluarga, keadaan sosioekonomi, dan tekanan moral yang dirasakan oleh para tenaga medis.4,5,6 Tingginya jumlah kematian, baik kematian pasien maupun sejawat, sejak awal pandemi ini merupakan beban yang sangat berat bagi tenaga medis yang terus berjuang melawan COVID-19. Adapun tenaga medis enggan mengakui bahwa mereka mengalami gejala gangguan psikologis dan mencari pelayanan kesehatan mental. Hal ini dikarenakan stigma bahwa tenaga medis yang mengalami gangguan psikologis kurang profesional dan kurang kompeten, bahwa tenaga medis yang mengidap gangguan psikologis adalah individu yang lemah secara mental dan tidak mampu menjadi tenaga medis.7 Stigma ini membuat para tenaga medis yang mendapati diri mereka mengalami gejala gangguan psikologis merasa malu dan tidak profesional. Mereka juga takut izin praktik mereka akan dicabut karena dinyatakan tidak kompeten.7 Oleh karena itu, diskusi akan kesehatan mental tenaga medis harus dinormalisasikan, terutama untuk menjaga kontinuitas kapasitas tenaga kesehatan pada era new normal.
Kesadaran akan kesehatan mental diantara para tenaga medis harus ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai melalui penyediaan sarana bagi tenaga medis untuk mendiagnosis kesehatan mental mereka dan akses akan pelatihan pengelolaan kesehatan mental. Meningkatkan pembicaraan akan kesehatan mental diantara tenaga medis akan memberi wawasan bahwa mengalami gangguan psikologis adalah hal yang wajar dan terdapat langkah – langkah untuk mengelola kesehatan mental sejak dini agar kondisi psikologis dapat pulih kembali. Untuk mewujudkan suatu sistem yang mendukung bagi kesehatan psikologis para tenaga medis ini, harus diberlakukan perubahan dalam skala manajemen institusional, seperti pengadaan konsultasi dengan psikolog secara berkala, pembentukan kelompok sharing antar tenaga medis, dan tunjangan finansial serta pengurangan jam kerja tenaga medis.5,8
Adapun Greenberg (2020) mengemukaan enam aksi prioritas yang dapat dilakukan untuk melindungi kesehatan mental para tenaga medis selama dan setelah pandemi COVID-19, antara lain:
- Tenaga medis harus dihargai dan diberi tanda terima kasih secara layak. Penghargaan yang dimaksud harus mencakup pengakuan akan tantangan psikologis yang dialami para tenaga medis dan penyediaan informasi mengenai pelayanan dan dukungan kesehatan mental yang tersedia.
- Tenaga medis yang tidak hadir kerja harus dihubungi sebagai antisipasi jikalau ketidakhadiran mereka indikatif akan masalah kesehatan mental.
- Saat pandemi COVID-19 mulai terkendali, semua tenaga kesehatan harus mendapatkan wawancara mengenai kesigapan kembali bekerja saat new normal. Wawancara ini dilakukan saat memulai transisi dari status tanggap bencana ke keadaan normal baru dan harus dilakukan oleh supervisor yang kompeten akan bidang kesehatan mental.
- Para manajer yang bertanggungjawab akan para tenaga medis harus memperhatikan kelompok – kelompok yang berisiko tinggi.
- Siapa pun yang telah terpapar pada peristiwa yang berpotensi menimbulkan trauma harus dipantau secara aktif, terutama mereka yang dianggap berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental.
- Mengingat kemungkinan bahwa petugas kesehatan telah terpapar pada keadaan yang menggemparkan selama pandemi COVID-19, mungkin berulang kali, manajer yang bertanggungjawab akan tenaga medis harus membantu mereka memahami dan menerima pengalaman mereka serta membantu mereka untuk tidak menyalahkan diri sendiri maupun orang lain atas apa yang telah terjadi selama krisis ini. Salah satu model yang dapat diterapkan adalah Schwartz rounds, yaitu forum terstruktur di mana staf dapat mendiskusikan aspek emosional dan sosial pekerjaan.9
COVID-19 berdampak pada kesehatan mental seluruh masyarakat. Terlebih lagi, tidak hanya pasien dan masyarakat awam yang membutuhkan pelayanan kesehatan mental, tenaga kesehatan juga sangat membutuhkan pelayanan kesehatan mental. Gangguan psikologis tidak hanya terjadi di saat terpapar stressor, tetapi juga dapat berkelanjutan menjadi gangguan psikologis kronis bila tidak disikapi sejak dini. Oleh karena itu, langkah – langkah harus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan mental bagi tenaga kesehatan. Meskipun profesi tenaga kesehatan berlandaskan prinsip altruisme, namun tenaga kesehatan bukanlah martir dalam pandemi ini. Mereka juga berhak menikmati kesehatan yang tidak hanya mencakup kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental (Giovanna).
Referensi
- GTPP COVID-19. Peta Sebaran | Peta Sebaran COVID-19 [Internet]. covid19.go.id. Diakses pada 21 Agustus 2020 dari: https://covid19.go.id/peta-sebaran
- ABC News. (Mei 2020). Front-line doctors face a mental health crisis amid coronavirus. Can medicine overcome the culture of stoicism? [Internet]. Diakses pada 21 Agustus 2020 dari: https://abcnews.go.com/Health/front-line-doctors-face-mental-health-crisis-amid/story?id=70660931
- Ventriglio A, Watson C, Bhugra D. (2020). Suicide among doctors: A narrative review. Indian Journal of Psychiatry. 2020 Mar 1;62(2):114.
- Lai J, Ma S, Wang Y, Cai Z, Hu J, Wei N, et al. Factors Associated With Mental Health Outcomes Among Health Care Workers Exposed to Coronavirus Disease 2019. JAMA Netw Open. 2020 Mar 2;3(3):e203976–e203976.
- Gold JA. (Mei 2020). Covid-19: adverse mental health outcomes for healthcare workers. BMJ [Internet]. Diakses pada 21 Agustus 2020 dari: https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1815
- Greenberg N. (2020). Mental health of health-care workers in the COVID-19 era. Nat Rev Nephrol. 2020 Aug;16(8):425–6.
- Galbraith N, Boyda D, McFeeters D, Hassan T. (2020). The mental health of doctors during the COVID-19 pandemic. BJPsych Bull. 2020 Apr 28;1–4.
- The BMJ. (Juli 2020). Covid-19 will end but doctors will keep dying: supporting physicians’ mental health after the pandemic [Internet]. Diakses pada 21 Agustus 2020 dari: https://blogs.bmj.com/bmj/2020/07/08/covid-19-will-end-but-doctors-will-keep-dying-supporting-physicians-mental-health-after-the-pandemic/
- reenberg N. (2020). Mental health of health-care workers in the COVID-19 era. Nat Rev Nephrol. 2020 Aug;16(8):425–6.
Adanya pembatasan sosial di masa pandemi tidak jarang menyebabkan banyak orang merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru. Tidak sedikit dari mereka yang mengeluhkan gangguan, tidak hanya fisik namun juga secara psikologis. Terkait dengan hal itu, Atika Dian Ariana, S.Psi., M.Sc. menegaskan urgensi menjaga kesehatan mental selama berkegiatan di tengah pandemi Covid-19. Selengkapnya baca di sini: http://news.unair.ac.id/2021/10/10/dosen-unair-berikan-tips-jaga-kesehatan-mental-di-masa-pandemi/