CoP for Health Equity
14% gadis di Indonesia telah menikah sebelum memasuki ulang tahun yang ke – 18 dan 1% telah menikah sebelum berumur 15 tahun. Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati peringkat 8 tertinggi populasi di dunia dengan anak perempuan menikah dini. Disisi yang sama, Indonesia adalah negara dengan salah satu negara dengan angka stunting tertinggi di dunia. Apakah tingginya prevalensi untuk kedua hal tersebut hanyalah kebetulan semata?
Pernikahan dini akan menyebabkan kehamilan pada usia dini. Sebuah penelitian di India menunjukkan kehamilan pada usia dini akan mempengaruhi pertumbuhan bayi, yang dapat berpunca dari badan fisiologis yang kurang mendukung dan kurangnya asupan nutrisi untuk pertumbuhan fetus. Dari segi biologis, pernikahan dini akan meningkatkan kemungkinan anemia pada ibu maupun anak yang dilahirkan. Bayi yang lahir oleh ibu anemia akan meningkatkan resiko kelahiran preterm dan berat badan rendah, yang menyebabkan mereka rentan terhadap permasalahan pertumbuhan, termasuk stunting. Kehamilan pada usia dini juga meningkatkan mortalitas dan morbiditas ibunya, yang dapat menyebabkan kehilangan pengasuh anak yang dilahirkan. Selain itu, perempuan yang menikah dini seringnya dikontrol oleh suaminya dan mertua, dimana menyebabkan keterbatasan pengambilan keputusan mengenai kesehatan mereka sendiri maupun anaknya.
Pernikahan dini dan stunting juga terlihat ada kaitan di Indonesia. Badan Pusat Statistik pada 2015 menunjukkan provinsi dengan persentase tinggi pernikahan dini juga mempunyai prevalensi stunting yang tinggi. Pada laporan berdasarkan Susenas 2012, menunjukkan bahwa Sulawesi Barat mempunyai prevalensi tertinggi pernikahan dini pada 37.3%, diikuti Kalimantan Tengah pada 36.7%, dan Sulawesi Tengah pada 34.4%. Data ini seiring dengan data yang menunjukkan bahwa provinsi tersebut dalam peringkat 10 tertinggi untuk stunting dengan prevalensi 39.7% di Sulawesi Barat, 34.1% di Kalimantan Tengah, dan 32% di Sulawesi Tengah. Walau angka tersebut tidak menunjukkan secara tersirat pernikahan dini berkontribusi pada stunting, terlihat jelas jika ada asosiasi antara dua aspek tersebut.
Dalam upaya penanganan pernikahan dini, pemerintah telah mengubah kebijakan yang mengharuskan wanita minimal berumur 19 tahun untuk menikah, yang sebelumnya ditetapkan berumur 16 tahun. Untuk stunting pemerintah telah memberikan dorongan dari pihak kesehatan dan pihak berwenang lain untuk menurunkan angka stunting. Berbagai seminar, webinar, dan pelatihan telah diterapkan, akan tetapi masih jarang melihat diungkitnya pernikahan dini dalam topik stunting. Melihat bagaimana ada hubungan erat antara kedua hal tersebut, perlunya menyorotkan lebih mendalam isu pernikahan dini dalam penanggulangan stunting. (Eugeu Yasmin)
Sumber:
https://doi.org/10.1016/j.puhe.2019.08.008
https://www.girlsnotbrides.org/child-marriage/indonesia/
https://www.thejakartapost.com/academia/2018/10/02/stunting-and-child-marriage.html